Peluang Internalisasi Nilai Keadilan Sos

PELUANG INTERNALISASI NILAI KEADILAN SOSIAL
DALAM KURIKULUM YANG MENGACU PADA KKNI
Victor Imanuel W. Nalle
Makalah Temu Ilmiah Tahunan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia
(Jakarta, 2 – 4 September 2014)
Pendahuluan
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(Perpres KKNI) merupakan awal masuknya rezim KKNI (National Qualification
Framework) ke dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Jika mengacu pada
konsideransya, Perpres KKNI lahir dari adanya urgensi untuk melaksanakan ketentuan Pasal
5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional (PP Sistem Pelatihan Kerja Nasional). PP Sistem Pelatihan Kerja Nasional – dalam
Pasal 5 ayat (1) – menyatakan bahwa dala rangka pengembangan kaualitas tenaga kerja
ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang kualifikasi kompetensi kerja dari yang
terendah sampai yang tertinggi. KKNI tersebut kemudian menjadi acuan dalam penetapan
kualifikasi tenaga kerja [lihat Pasal 6 ayat (1)].
Ketentuan KKNI dalam PP Sistem Pelatihan Kerja Nasional menunjukkan bahwa KKNI
ditujukan untuk kepentingan pasar tenaga kerja. Pada perkembangannya, KKNI kemudian
berimplikasi pada kurikulum pendidikan tinggi. Perpres KKNI mengatur penyetaraan capaian
pembelajaran dalam pendidikan dengan jenjang kualifikasi dalam KKNI. Capaian
pembelajaran dalam hal ini adalah kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi

pengetahuan sikap, ketrampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja. Oleh karena
itu, pada akhirnya kurikulum pendidikan tinggi perlu mengacu pada pencapaian dalam setiap
jenjang KKNI.
Pertanyaannya, apakah paradigma pasar tenaga kerja yang dibawa oleh KKNI dapat
memiliki nilai ideologis yang berpihak ketika diintrodusir dalam kurikulum pendidikan tinggi
hukum? Jika kurikulum pendidikan tinggi hukum ditujukan sekedar mengajar mahasiswa
untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan hukum, tentunya paradigma pasar tenaga kerja
yang dibawa oleh KKNI tidak menjadi masalah. Namun tentunya kurikulum pendidikan
tinggi hukum bukan sekedar untuk mencetak “tukang” dalam dunia hukum. Kurikulum
pendidikan tinggi hukum tentunya tidak mungkin bebas nilai karena hukum sendiri sebagai
sistem perilaku diperkuat oleh sistem nilai.

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas peluang masuknya nilai – dalam hal ini
nilai keadilan sosial – ke dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum. Makalah ini akan
terlebih dahulu akan membahas paradigma yang dibawa oleh KKNI dengan membandingkan
penerapan dan implikasi kerangka kualifikasi nasional terhadap pendidikan di negara lain.
Setelah itu akan dibahas perkembangan kurikulum pendidikan tinggi hukum dalam nuansa
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mengacu pada KKNI. Dalam pembahasan
tersebut akan dilihat sejauhmana masuknya KKNI dalam kurikulum dapat mengakomodir
masuknya nilai-nilai keadilan sosial dalam pendidikan tinggi hukum.

Kerangka Kualifikasi Nasional dan Pasar Tenaga Kerja
Dalam Buku Pedoman Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Edisi 1 (2010:7) disebutkan
bahwa KKNI disusun sebagai respon terhadap ratifikasi yang dilakukan Indonesia pada
tanggal 16 Desember 1983 dan diperbaharui tanggal 30 Januari 2008 terhadap konvensi
UNESCO tentang pengakuan pendidikan diploma dan pendidikan tinggi (the International
Convention on the Recognition of Studies, Diplomas and Degrees in Higher Education in
Asia and the Pasific). Konvensi tersebut telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor
103 Tahun 2007. Tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang diatur dalam konvensi tersebut
sehingga berimplikasi pada munculnya KKNI.
Jika mengacu pada Tujuan Umum KKNI dalam Buku Pedoman (2010:9) maka terlihat
bahwa orientasi KKNI adalah menciptakan tenaga kerja yang adaptif terhadap pasar bebas
ketenagakerjaan. Tujuan Umum tersebut menunjukkan kegelisahan tidak terpakainya tenaga
kerja ketika pasar tenaga kerja di Indonesia– khususnya dalam lingkup ASEAN – mulai
dibuka bagi tenaga kerja dari negara ASEAN lain.
Dengan demikian KKNI berangkat dari tesis bahwa sistem pendidikan saat ini tidak
mampu mencetak sumberdaya manusia yang bersaing dengan negara lain. Sebagaimana
dalam dokumen Kajian dan Implementasi Strategi KKNI yang dirilis oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, bahwa penerapan KKNI nantinya dapat berdampak pada meningkatnya
kuantitas sumberdaya manusia yang bermutu dan berdaya saing internasional agar dapat
menjamin terjadinya peningkatan aksesibilitas sumberdaya manusia Indonesia ke pasar kerja

nasional dan internasional (2010:9). Benarkah KKNI melulu terkait dengan tenaga kerja yang
kompetitif dalam pasar tenaga kerja? Untuk menjelaskan hal tersebut perlu diketahui pula
konsep kerangka kualifikasi nasional yang terkait erat dengan KKNI.
Konsep kerangka kualifikasi nasional merupakan konsep yang telah digunakan di banyak
negara. Negara-negara tersebut percaya bahwa kerangka kualifikasi nasional dapat membantu

untuk menjamin kualifikasi sumberdayanya di bidang sosial ekonomi (Tuck, 2007:1).
Kerangka kualifikasi nasional, menurut OECD (2006), adalah:
an instrument for the development and classification of qualifications according to a set
of criteria for levels of learning achieved. This set of criteria may be implicit in the
qualifications descriptors themselves or made explicit in the form a set of level
descriptors. The scope of frameworks may be comprehensive of all learning achievement
and pathway or may be confined to a particular sector for example initial education,
adult education and training or an occupational area. Some frameworks may have more
design elements and a tighter structure than others some may have a legal basis whereas
others represent a consensus of views of social partners. All qualifications frameworks,
however, establish a basis for improving quality, accessibility, linkages and public or
labour market recognition of qualification within a country and internationally. (garis
bawah oleh penulis)
Definisi yang diberikan oleh OECD tersebut menunjukkan bahwa kerangka kualifikasi

nasional memang ditujukan agar sumberdaya manusia di setiap negara dapat memperoleh
pengakuan. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan dalam memperoleh pengakuan,
maka kerangka kualifikasi harus memiliki capaian pembelajaran yang komprehensif. Terkait
dengan capaian pembelajaran, maka kerangka kualifikasi nasional tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan sistem pendidikan. Kebijakan negara di bidang pendidikan akan
terpengaruh oleh tujuan dan ruang lingkup dari kerangka kualifikasi nasional. Hubungan
antara kerangka kualifikasi nasional dengan kebijakan negara di bidang pendidikan
digambarkan dalam Gambar 1. Perkembangan kerangka kualifikasi nasional kemudian juga
menunjukkan bahwa konsep ini diadpsi oleh banyak negara (lihat Tabel 1).
Gambar 1. Alur Pengaruh Kerangka Kualifikasi Nasional terhadap Kebijakan
Pendidikan
Tujuan dan sektor
pendidikan yang terkait
Strategi kontrol dari
Kerangka Kualifikasi
Strategi kebijakan

Dasar hukum

Level kerangka


Desain dan model
implementasi

Sistem penjaminan mutu

Manajemen dan tata
kelola

Standar, penilaian,
modul, sistem kredit,
akreditasi institusi

Tabel 1. Negara-negara yang Mengadopsi Kerangka Kualifikasi Nasional
(sampai dengan tahun 2010)
2. Developing and
3. Planning and/or
4. Considering
1. Established
Implementing

designing
Ghana,
Angola, Ethiopia, Kenya, DRC,
Lesotho
Sub-Saharan Africa
Botswana
Malawi,
Nigeria, Rwanda, Zambia Madagascar,
Seychelles
Mauritius
Mozambique, Swaziland,
Namibia
Tanzania,
Uganda,
South Africa
Zimbabwe
Americas & The OECS
Barbados,
Canada, Antigua and Barbuda,
Caribbean

Honduras,
Jamaica, Chile, Colombia, Grenada,
Trinidad and Tobago
Guyana
Asia (South & East) Australia, Hong Kong
& Pacific
SAR, Malaysia, New
Zealand, Philippines,
Samoa, Singapore, Sri
Lanka, Vanuatu
Europe & Central England,
France,
Asia
Ireland,
Malta,
Northern
Ireland,
Romania,
Scotland,
Wales


China, Fiji, Maldives, Bangladesh
Pacific Islands, Papua India
New Guinea, Thailand, Pakistan
Tonga, Vietnam
Albania,
Belgium
Flanders, Bosnia, Czech
Republic,
Estonia,
Georgia,
Kosovo,
Lithuania, Montenegro,
Portugal,
Slovenia,
Turkey

5. Competence
framework


Brazil,
Costa
Rica,
Dominican Republic, El
Salvador,
Guatemala,
Mexico,
Nicaragua,
Panama
Afghanistan,
Bhutan, Indonesia
Brunei,
Cambodia,
China, Japan, Laos,
Macau, Mongolia, Nepal,
Republic of Korea
Azerbaijan, Bulgaria
Kazakhstan, Kyrgyztan,
Latvia
Luxembourg, Macedonia

Switzerland
Ukraine, Uzbekistan

Andorra,
Armenia,
Austria, Belgium French,
Croatia, Cyprus, Denmark,
Germany,
Greece,
Hungary, Iceland, Italy,
Norway, Poland, Russian
Federation, Serbia, Slovak
Republic, Spain
Middle East & North
Tunisia
Algeria, Egypt, Jordan, Iraq
Africa
Morocco, UAE
Sumber: Stephanie Allais, The Implementation and Impact of National Qualification Frameworks, hlm. 23.


KKNI, Pendidikan Tinggi Hukum, dan Keadilan Sosial
Pendidikan tinggi hukum seringkali dikritik karena lambat merespon perubahan-perubahan
yang terjadi. Kurikulum dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia dikritik karena belum
mampu mencetak lulusan dengan kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang sarjana
hukum (Fidiyani, 2010:244). Hasil studi pelacakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi terhadap 168 alumni Fakultas Hukum menunjukkan bahwa 44% alumni
sulit menerapkan ilmu yang diperoleh selama studi dan 36% ilmu yang diperoleh tidak cocok
dengan kebutuhan (Gunawan, 2013). Artinya, kurikulum berbasis kompetensi pada
pendidikan tinggi hukum tidak dapat dihindarkan. Pada perkembangan selanjutnya, dengan
adanya KKNI, mengakibatkan nantinya pendidikan tinggi hukum harus memiliki kurikulum
berbasis kompetensi yang mengacu pada KKNI.
Di sisi lain, kurikulum pendidikan tinggi hukum juga diharapkan bukan hanya mengisi
aspek keterampilan. Lulusan fakultas hukum juga diharapkan memegang nilai-nilai ideologis.
Menurut Romli Atmasasmita, pendidikan tinggi hukum seharusnya memiliki muatan yang
berimbang antara penguatan penghayatan Pancasila sebagai ideologi dan filsafat hidup
bangsa Indonesia – yang termasuk di dalamnya adalah nilai keadilan sosial – serta muatan
karakteristik, asas hukum, dan filsafat/teori hukum dilengkapi dengan legal problem solving.
Kerangka kualifikasi nasional sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya
memiliki pengaruh yang kuat terhadap sistem pendidikan tinggi, termasuk di dalamnya
adalah pendidikan tinggi hukum. Nantinya pendidikan tinggi strata sarjana di Indonesia,
dengan mengacu pada KKNI, merupakan level 6 pada level kualifikasi (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Penjenjangan KKNI

Sumber: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kajian tentang Implikasi dan Strategi
Implementasi KKNI, hlm. 7.

KKNI juga menetapkan deskriptor umum yang mendeksripsikan karakter dan berlaku
pada setiap jenjang serta deskriptor spesifik yang mencakup aspek keterampilan,
keilmuan/pengetahuan, metoda dalam mengaplikasikan ilmu, serta kemampuan manajerial.
Level 6 KKNI menetapkan deskriptor spesifik sebagai berikut:
1. Mampu memanfaatkan IPTEKS dalam bidang keahliannya, dan mampu beradaptasi
terhadap situasi yang dihadapi dalam penyelesaian masalah.
2. Menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep
teoretis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta
mampu menformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
3. Mampu mengambil keputusan strategis berdasarkan analisis informasi dan data, dan
memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi.
4. Bertanggungjawab pada pekerjaan senderi dan dapat diberi tanggung jawab atas
pencapaian hasil kerja organisasi.
Berdasarkan deskriptor tersebut kemudian dirumuskan capaian pembelajaran. Dalam
Sosialisasi Revitalisasi Bidang Ilmu Hukum Tahun 2013 yang diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan), telah disampaikan beberapa contoh capaian pembelajaran yang
mengacu pada KKNI. Berdasarkan capaian-capaian pembelajaran tersebut dapat dilihat
sejauhmana capaian pembelajaran yang dirumuskan tersebut mengakomodasi nilai keadilan
sosial (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Rumusan Capaian Pembelajaran Program Studi Ilmu Hukum (Sarjana)
Parameter Deskripsi
Kemampuan Bidang Kerja

Pengetahuan yang dikuasai

Capaian Pembelajaran
1. Mampu menyusun konsep penyelesaian masalah atau kasus
hukum melalui penerapan metode berpikir yuridik
berdasarkan pengetahuan teoretik tentang sumber, asas,
prinsip, dan norma hukum dari berbagai bidang hukum
positif Indonesia, yang merupakan keahlian dasar untuk
menjalankan profesi hukum.
2. Mampu merumuskan ide-ide secara logis, kritis, dan
argumentatif di bidang hukum positif Indonesia dan
mengkomunikasikannya secara lisan dan/atau tertulis,
khususnya dalam lingkup masyarakat akademik, sesuai
dengan etika akademik.
1. Menguasai konsep teoretis tentang (a) ciri, struktur, dan
teori Ilmu Hukum (b) sumber, asas, prinsip dan norma

hukum (c) sistem atau tata hukum nasional Indonesia dan
sejarah perkembangannya.
2. Menguasai pengetahuan dasar tentang sejarah dan aspek
teoretis bidang-bidang hukum positif Indonesia yang
sekurang-kurangnya mencakup Hukum Perdata, Hukum
Pidana, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional,
Hukum Adat, Hukum Islam, baik aspek material atau
substansial maupun formal atau prosedural.
3. Menguasai pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan
langkah-langkah penyelesaian masalah atau kasus hukum
melalui penerapan metode penemuan hukum, sehingga
dapat merumuskannya ke dalam bentuk dokumen
elementer hukum, yakni sekurang-kurangnya berupa
memorandum hukum, dokumen hukum untuk beracara,
dokumen kontrak, dan dokumen hukum yang berfungsi
regulatif dan beschikking.
4. Menguasai pengetahuan dasar tentang metode penelitian
hukum dengan menggunakan metode berpikir logis dan
kritis untuk dapat membangun argumentasi ilmiah, dan
teknik dasar penulisan karya ilmiah bidang hukum sesuai
dengan prinsip-prinsip etika akademik.
5. Menguasai konsep umum pengetahuan filsafat hukum,
sosiologi hukum, dan perbandingan hukum agar dapat
memahami hukum secara kontekstual, sistemik dan utuh
dalam rangka membangun argumentasi ilmiah.
Kewenangan dan Tanggung 1. Mampu mengambil keputusan secara akademik, mandiri
Jawab
dan bertanggungjawab dalam menyelesaikan kasus atau
masalah hukum, serta mampu bekerjasama dengan sejawat.
2. Memiliki sikap etis, adil, taat hukum, peka dan peduli
terhadap lingkungan sosial dalam merancang dan
menerapkan hukum.
Sumber: Johannes Gunawan et.al, Standar Pendidikan Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT):
Standar Kompetensi Lulusan – Capaian Pembelajaran Lulusan, hlm. 12 – 13.
Capaian pembelajaran tersebut menunjukkan aspek keadilan sosial ditempatkan dalam
parameter kewenangan dan tanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa aspek keadilan
sosial dalam pendidikan tinggi hukum – dalam paradigma pengambil kebijakan –
ditempatkan sebagai aspek tanggung jawab. Aspek keadilan sosial memang terkait dengan
nilai-nilai yang bersifat abstrak. Namun menempatkan aspek keadilan sosial pada parameter
kewenangan dan tanggung jawab berimplikasi nantinya aspek keadilan sosial menjadi tidak
operasional karena hanya muncul pada mata kuliah yang lebih banyak menekankan pada
pengetahuan tentang nilai-nilai. Padahal idealnya pengetahuan tentang nilai-nilai tersebut
dapat diimbangi juga dengan pemahaman operasionalisasi nilai-nilai tersebut dalam
ketrampilan hukum. Gambar 3 menggambarkan bagaimana capaian pembelajaran diturunkan
menjadi mata kuliah

Tabel 3. Alur Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Mengacu pada KKNI
Profil Lulusan

CAPAIAN PEMBELAJARAN

BAHAN KAJIAN

MATA KULIAH

Kemampuan kerja
1

Legal Officer

Mata Kuliah
Bersifat
Komprehensif/
Blok

Pengetahuan
Kewenangan dan Tanggung Jawab
Kemampuan kerja

2

Peneliti

Pengetahuan
Kewenangan dan Tanggung Jawab
Kemampuan Kerja

3

Konsultan Hukum

Pengetahuan
Kewenangan dan Tanggung Jawab

Mata Kuliah Bersifat Parsial,
mengambil beberapa bahan kajian
yang mencakup capaian
pembelajaran dari masing-masing
parameter deskripsi KKNI

Ilustrasi dalam Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai-nilai yang abstrak dalam parameter
kewenangan dan tanggung jawab dapat tercakup dalam setiap mata kuliah yang dibentuk
dalam kurikulum yang mengacu pada KKNI. Oleh karena itu, nilai keadilan sosial dapat
dimasukkan dalam beberapa mata kuliah yang diinginkan. Namun yang menjadi
permasalahan adalah sejauhmana nilai keadilan sosial tersebut mampu diterjemahkan
menjadi lebih operasional dalam setiap konteks mata kuliah.
Sebagai contoh, jika capaian pembelajaran “memiliki sikap etis, adil, taat hukum, peka
dan peduli terhadap lingkungan sosial dalam merancang dan menerapkan hukum”, “mampu
merumuskan ide-ide secara logis, kritis, dan argumentatif di bidang hukum positif Indonesia
…”, serta “menguasai pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan langkah-langkah penyelesaian
masalah atau kasus hukum melalui penerapan metode penemuan hukum…” pada bahan
kajian Argumentasi Hukum dan Perancangan Dokumen Hukum dikelompokkan dalam
sebuah mata kuliah. Tentunya capaian pembelajaran terkait sikap adil tersebut harus
dikontekstualkan dalam bahan kajian Argumentasi Hukum Perancangan Dokumen Hukum.
Selain dikontekstualkan dengan kedua bahan kajian, capaian pembelajaran tersebut juga
harus terkait dengan capaian pembelajaran lain dalam parameter kemampuan kerja dan
pengetahuan. Dengan demikian, peluang masuknya nilai keadilan sosial ke dalam kurikulum
pendidikan tinggi hukum yang mengacu pada KKNI sangat bergantung pada rencana
pembelajaran di masing-masing mata kuliah. Setiap pengampu mata kuliah harus mampu
mengkontekstualkan nilai keadilan sosial ke masing-masing mata kuliah.
Gambar 3. Alur Internalisasi Keadilan Sosial ke dalam Kurikulum mengacu KKNI
Kontekstua
lisasi Nilai

Kemampuan kerja
Profil

Pengetahuan
Tanggung Jawab

Mata Kuliah
Bahan
Kajian

Silabus
dan
RPKS
Mata Kuliah

Nilai Keadilan
Kontekstua
lisasi Nilai

Penutup
KKNI lahir dari tuntutan adanya pengakuan terhadap sumberdaya manusia Indonesia dalam
pasar tenaga kerja. Tenaga kerja Indonesia harus memiliki kompetensi yang kompetitif
dengan tenaga kerja dari negara lainnya. Untuk melahirkan sumberdaya manusia yang
kompetitif tersebut, KKNI berpengaruh pada kurikulum pendidikan tinggi. Dalam
perkembangannya, setiap perguruan tinggi Indonesia didorong untuk merumuskan kurikulum
yang mengacu pada KKNI.
Sistematika perumusan kurikulum yang mengacu pada KKNI membuka peluang bagi
internalisasi nilai keadilan sosial. Namun internalisasi nilai keadilan sosial tersebut harus
tercakup dalam capaian pembelajaran hingga silabus dan Rencana Program dan Kegiatan
Pembelajaran Semestera (RPKS). Oleh karena itu, tantangan bagi internalisasi nilai keadilan
sosial dalam kurikulum bukan hanya pada tataran pengambil kebijakan di Fakultas, tetapi
juga pada tataran operasional oleh dosen pengampu mata kuliah atau tim pengajar.

DAFTAR PUSTAKA
Allais, Stephanie, 2010, The Implementation and Impact of National Qualification
Frameworks, Geneva, ILO.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2010, Buku Pedoman Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia Edisi 1, Jakarta, Dikti.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2010, Kajian tentang Implikasi dan Strategi
Implementasi KKNI, Jakarta, Dikti.
Fidiyani, Rini, 2010, “Pergeseran Paradigma dalam Pendidikan Tinggi Hukum”, Jurnal
Dinamika Hukum Volume 10 Nomor 3 September.
Gunawan Johannes, 2013, Revitalisasi Program Studi Ilmu Hukum dalam Rangka
Pengembangan Pembelajaran dan Kompetensi Mahasiswa, Makalah, Sosialisasi
Revitalisasi Bidang Ilmu Hukum Tahun 2013.
Gunawan, Johannes et.al, 2013, Standar Pendidikan Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT):
Standar Kompetensi Lulusan – Capaian Pembelajaran Lulusan, Makalah, Sosialisasi
Revitalisasi Bidang Ilmu Hukum Tahun 2013.
Tuck, Ron, 2007, An Introductory Guide to National Qualification Frameworks: Conceptual
and Practical Issues for Policy Makers, Geneva, I