TEORI ORGANISASI Kekuasaan dan Politik O

Kekuasaan dan Politik Organisasi
A. Pendahuluan
1. Latarbelakang
Kekuasaan hal yang melekat dengan seorang pemimpin, sebagaimana dalam Islam, Nabi
adalah seorang pemimpin yang memiliki wewenang dalam berbagai hal, salah satunya adalah
pengadilan. Seperti digambarkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur: 48.

















 



 
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.”1
Terdapat pesan-pesan dinamika kehidupan berorganisasi dalam ayat di atas, dimana dalam
sebuah organisasi akan terdapat pihak-pihak yang selalu berbeda pandangan, dan kepentingan
yang bisa menampakkan sikap oposisi bahkan menolak bekerja sama kepada seorang
pemimpin yang sedang berkuasa. Disinilah pentingnya kekuasaan dan politik organisasi
dijalankan oleh seorang pemimpin, agar dapat mempengaruhi orang yang dipimpinnya
melalui hard power atau pun soft power. Dapat dilihat dalam ayat tersebut memperlihatkan
bagaimana Nabi diberi kekuasaan oleh Allah untuk menghukum individu.
Ketika individu berada dalam satu organisasi, aktifitas mereka harus diarahkan dan
dikendalikan, agar mereka dapat bekerja untuk mencapai tujuan bersama, dan untuk
mengatur elemen-elemen yang ada di organisasi, maka dibutuhkan kekuasaan. Kekuasaan
merupakan satu kata yang menjadi diskusi dalam banyak disiplin ilmu sosial mau pun ilmu
humaniora apakah itu Sosiologi, Politik, Filsafat, Antroplogi, dan Manajemen. Karena

kekuasaan merupakan kemampuan individu mau pun kelompok kepada individu atau
kelompok lain untuk mengerjakan sesuatu yang mungkin tidak mereka inginkan. Sehingga
terjadi interaksi dalam satu komunitas atau organisasi.

1 QS. 24: 48. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Al-Jumnatul ‘Ali. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir AlQur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depertemen Agama Republik Indonesia.
(Jakarta: CV Penerbit J-Art, 2005), hlm. 357.

1

Dalam studi organisasi dan kepemimpinan, pertanyaan yang sering muncul adalah:
“Mengapa atau bagaimana pemimpin dapat

diikuti oleh pengikutnya?” pertanyaan ini

banyak menjadi pertanyaan bagi para ilmuwan sosial, misalnya Max Weber.Weber
mendefenisikan kekuasaan sebagai probabilitas, yang mana seorang aktor dalam hubungan
sosial akan menjadi sebuah posisi untuk membuat dirinya akan bertahan. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Emerson, bahwa kekuasaan dari aktor A meliputi aktor B adalah jumlah
resistensi pada B yang secara potensial diatasi oleh B. Dapat dilihat bahwa kekuasaan
meliputi seseorang merubah perilaku satu orang atau lebih.

Sebuah bagian penting mempelajari peranan yang kelompok mainkan di organisasi
adalah memahami bagaimana dan mengapa individu berperilaku berbeda di kelompok dan
tim. Perbedaan-perbedaan ini berlangsung diluar perilaku yang diciptakan oleh aturan dalam
interaksi kelompok. Di organisasi kelompok, anggota yang lain berpotensi mempengaruhi
pemikiran dan perilaku individu.
Studi mengenai kekuasaan dan politik organisasi juga menjadi pembahasan dalam
manajemen pendidikan. Karena dalam mengelola lembaga pendidikan terdapat banyak
dinamika dan variabel yang membuat sebuah institusi pendidikan mencapai tujuannya. Pada
kasus lembaga pendidikan Islam, manifestasi kekuasaan dan politik organisasi ini akan
menjadi sangat unik jika dilihat di pesantren atau pun madrasah.
Dalam konteks lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren dan madrasah.
Terdapat berbagai varian kekuasaan di pesantren dan di madrasah. Di pesantren terdapat kyai
yang memiliki otoritas besar sementara di madarasah lebih dikenal dengan kepala madrasah.
Pola-pola kekuasaan dan politik yang diterapkan di pesantren sangat berbeda dengan
madrasah. Pesantren sangat didominasi oleh kyai, sedangkan madrasah yang dikelola yayasan
biasanya kekuasaan kepala madrasah tidak terlampau kokoh.
Namun pada kenyataannya, penerapan kekuasaan di lembaga pendidikan Islam tidak
seperti yang diharapkan, sebagaimana

yang dikonsepkan dalam manajemen modern.


Sehingga seringkali kekuasaan dan politik organisasi seringkali memperlemah kekuatan dan
kualitas lembaga pendidikan Islam. Hal ini sangat berbeda dari yang diharapkan dalam teori
organisasi, dimana kekuasaan dan politik organisasi semestinya lebih bersifat produktif.
Olehkarena itu untuk memahami dinamika organisasi di lembaga pendidikan Islam
diperlukan studi khusus mengenai konsep kekuasaan dan politik organisasi secara umum dan
penerapannya secara khusus di lembaga pendidikan Islam.
2

Pentingnya makna serta peran kekuasaan dan politik organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi. Maka sangatlah penting mempelajari konsep kekuasaan dan politik organisasi
secara umum dan melihat bagaimana implementasinya di lembaga pendidikan Islam.
2. Fokus Pembahasan
Makalah ini fokus membahas sebagai berikut:
a. Konsep kekuasaan dan politik organisasi.
b. Mengulas disertasi, dan jurnal yang berkenaan dengan kekuasaan dan Politik
Organisasi dalam berbagai perspektif disiplin ilmu.
c. Manifestasi kekuasaan dan politik organisasi dalam Lembaga Pendidikan Islam:
pesantren dan madrasah.
3. Tujuan dan Manfaat

a. Menjelaskan konsep kekuasaan dan politik organisasi
b. Mengulas dan mengambil manfaat dari penelitian mengenai kekuasaan dan politik
organisasi.
c. Menganalisis konsep kekuasaan dan politik organisasi dalam pengelolaan lembaga
pendidikan Islam: pesantren dan madrasah.
B. Kajian Pustaka
1. Kekuasaan dan Politik Organisasi dalam Islam
Dalam mendiskusikan konsep kekuasaan dan kepemimpinan, maka tidak bisa dilepaskan
kata pemimpin. Karena pemimpin lah yang memiliki kekuasaan dan menjalankan politik
organisasi. Dalam sejarah dan pemikiran politik Islam terdapat beberapa terma, diantaranya
adalah Imamah dan Khalifah. Dua istilah pemimpin dalam Islam tersebut berdampak dalam
sistem pemerintahan Islam masa klasik atau pu masa modern.
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’: 58 menggambarkan

konsep Islam mengenai

kekuasaan, dan politik organisasi.
       
      
        

    
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

3

adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”2
Sedangkan dalam Surat Yusuf: 54-55 merupakan proses bagaimana Nabi Yusuf memperoleh
kekuasaan.
      
     
      
     
“(54) Dan raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai
orang yang rapat kepadaku.”Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia
berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan
tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (55) Yusuf berkata, “Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga

lagi berpengetahuan.”
Menurut Ibnu Katsir, Allah berfirman menceritakan sang raja ketika

memeriksa

ketidaksalahan Yusuf dan kesucian kehormatannya dari tuduhan yang dialamatkan
kepadanya. Raja berkata “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang
dekat kepadaku.” Maksudnya, aku akan menjadikannya sebagai orang kepercayaanku dan
tempat aku bermusyawarah. “Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia.”
Maksudnya, setelah sang raja mengajaknya berbincang-bincang, mengenalnya,melihat
keutamaan dan kepintarannya, serta mengetahui keelokkan fisik, akhlak dan kesempurnaan
yang dimilikinya, maka sang raja berkata kepadanya “sesungguhnya kamu (mulai) hari ini
menjadi seseorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya disisi kami.” Maksudnya, engkau
akan tinggal disisi kami sebagai orang yang memiliki kedudukan dan kepercayaan.
Kemudian Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir): sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Ia memuji dirinya sendiri, dan
yang demikian itu diperbolehkan karena tida ada orang yang menjabat dibidang itu sangat
mendesak. “orang yang pandai menjaga”. Maksudnya, bendaharawan yang terpercaya “lagi
berpengalaman”. Yakni memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang itu.
Yusuf hanya meminta raja untuk menjadikannya sebagai bendaharawan yang

mengelola gudang-gudang penyimpanan bahan makanan dan pengumpulan hasil-hasil bumi.
Hal ini karena peduduk Mesir akan menghadapi tahun-tahun yang telah ia informasikan
(melalui takwil mimpi sang raja). Dengan demikian, ia dapat bertindak dengan cara yang
2 QS.12: 54-55. Ibid, hlm. 243.

4

paling tepat, paling baik dan paling bijaksana untuk mereka. Maka permintannya itu
dikabulkan karena suka kepadanya dan sebagai penghormatan untuknya.3

      
      
      
“Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di Negeri Mesir; (dia
berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja ia kehendaki di bumi mesir itu. Kami
melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”4
Ibnu Katsir menjelaskan Allah berfirman “ dan demikianlah Kami memberi kedudukan
kepada Yusuf dinegeri,” maksudnya di negeri Mesir. “(Dia berkuasa penuh) pergi menuju
kemana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu”. Berkata as-Suddi dan ‘Abdurrahman bin

Zaid bin Aslam: “Di negeri Mesir itu, ia diberi kebebasan untuk mengambil tindakan apapun
yang ia kehendaki. Ibnu Jarir berkata: “ia boleh tingggal di mana saja di Mesir, sesuai dengan
apa yang ia kehendaki, setelah mengalami kesempitan, terpenjara dan tertawan.
Allah berfirman “ Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki,
dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” Maksudnya, Kami
tidak menyia-nyiakan kesabaran Yusuf menghadapi penganiayaan saudara-saudaranya, dan
kesabarannya menghadapi penjara gara-gara isteri al-Aziz.
Olehkarena itu Allah menjadikan suatu akibat yang baik bagi Yusuf, berupa keselamatan,
kemenangan dan dukungan. “dan kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala diakhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang
beriman dan selalu bertakwa.” Allah memberitahukan bahwa apa yang telah disediakan-Nya
untuk Nabi-Nya (Yusuf) di negeri akhirat, adalah lebih besar, lebih banyak dan lebih mulia
daripada kekuasaan dan pengaruh yang telah Dia berikan kepadanya di dunia.5
Selanjutnya Al-Qur’an dalam Surat An-Naml: 32-35 juga menggambarkan bagaimana
seorang Ratu Balqis yang berkuasa penuh sekali pun harus tunduk kepada kekuasaan lebih
tinggi yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman.
3 Ibnu Katsir, Pengesahan Hadits berdasarkan Kita-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan
Ulama Hadits Lainnya disertai Pembahasan yang Rinci dan Mudah difahami. (Jilid 4.Jakarta: Penerbit Ibnu
Katsir, hlmn.645. Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Abu Ahsan Sirojuddin Hasan Bashri, Cetakan keempat)


4 QS.12: 56, Op.cit, hlm. 243.
5 Ibnu Katsir. Op.cit, hlm. 647.

5

       
        
      
 
       
       
 
     
  

(32) Dia (Balqis) berkata, “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam
urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada
dalam majelis(ku).” (33) Mereka menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki
kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan
keputusan berada ditanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu

perintahkan.” (34) Dia berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia
menjadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (35) Dan
sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah,
dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa oleh utusan-utusan itu.” 6

Menurut Ibnu Katsir setelah Balqis membacakan surat Nabi Sulaiman kepada para pembesar
kerajaannya, ia pun meminta pendapat mereka dalam menghadapi masalah ini: “Berkata dia
(Balqis): ‘Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak
pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu semua berada dalam majelis (ku).”
Maksudnya, hingga kalian menghadiri dan memberi masukkan kepadaku. “Mereka
menjawab, kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian
yang sangat (dalam peperangan).” Maksudnya, mereka memberikan gambaran tentang
jumlah prajurit, perlengkapan-perlengkapan persenjataan dan kekuatan mereka. Selanjutnya
mereka menyerahkan keputusan kepada Sang Ratu.
Mereka berkata, “ Dan keputusan berada ditanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang
akan kamu perintahkan.”. Artinya, kami tidak menentangmu dan tidak akan keberatan bila
engkau hendak melawan dan memerangi mereka. Kami tidak akan melawan perintahmu.
Jadi, apa pun yang engkau putuskan itulah yang menjadi ketetapan. Putuskan saja
pendapatmu sekarang, nisacaya kami mentaati dan mengikutinya.
Pada akhirnya Ratu Balqis mengambil langkah perdamaian dengan saling menyerahkan
hadiah dan menawarkan kepada Sulaiman untuk tidak saling menyerang.

6 QS.27: 32-35, Op.cit, hlm.380.

6

Ia berkata “ Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan
(membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusanutusan itu.” Maksudnya, aku akan mengirim hadiah yang sesuai dengan kedudukannya
sebagai raja. Aku akan menunggu apa jawaban Sulaiman setelah mendapatkan hadiah. Ada
kemungkinan ia menerima hadiah dari kita, bisa jadi ia menolaknya, bisa jadi pula ia
membebankan kepada kita kewajiban membayar upeti yang harus kita serahkan tiap tahun.
Kita harus membayar upeti agar ia tidak memerangi kita dan membunuh rakyat kita.7
Selanjutnya Allah dalam Surat Al-Baqarah: 247 menyampaikan bagaimana Thalut
menjadi raja kaumnya.
       
       
      
       
      
       
 
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah
telah mengangkat Talut menjadi rajamu. “Mereka menjawab,
“Bagaimana Talut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun
tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata,
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah
memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”8
Ayat di atas menampakkan bagaimana di dalam sebuah komunitas (organisasi) selalu terjadi
resistensi dari para pengikutnya. Para pengikut cendrung mengikuti penguasa yang harus
benar-benar melebihi dari apa yang mereka miliki, baik itu lebih dalam harta benda, kekuatan
fisik, atau pun ilmu yang dimiliki seorang calon pemimpin. Surat Al-Baqarah: 247 dalam
konteks organisasi modern selalu melihat kelebihan-kelebihan calon pemimpin mereka.
Surat An-Nisa’: 139 menggambarkan bagaimana seorang penguasa yang melakukan
koalisi (aliansi) dengan kekuatan-kekuatan lain diluar komunitasnya, hanya untuk
memperkokoh kekuasaan yang dimilikinya.

7 Ibnu Katsir. Op.cit, hlm. 673-676.
8 QS. 2: 247. Op.cit, hlm. 41.

7

   






     
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi
orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”9
Selanjutnya Suta An-Nisa’: 144 umat diperingatkan untuk tidak memilih penguasa
(pemimpin) yang berasal dari golongan kafir.





     
     
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu?)” 10
Penguasa tetap harus menghargai orang-orang yang dipimpinnya atau para pengikutnya,
sebagaimana dalam Surat Asy-Syu’ara’: 215.





  
 

“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
yang beriman.” 11
Dari Surat dalam Al-Qur’an yang dikutip di atas, dapat dilihat konteksnya dalam teori
organisasi, khususnya yang berkenaan dengan kekuasaan dan politik organisasi. Surat Yusuf:
54-55 menggambarkan proses memperoleh sebuah kekusaan dan wewenang kekuasaan yang
dimiliki seorang pemimpin. Surat An-Naml: 32-35 menggambarkan bagaimana sebuah
kekuasaan yang lebih tinggi dari individu atau kelompok lain akan mampu menaklukan
individu atau kelompok yang lebih lemah.
Surat Al-Baqarah: 247 menggambarkan proses lahirnya seorang pemimpin. Dalam surat
ini diceritakan bagaimana seorang raja Thalut mengalami penolakan dari pengikutnya
dikarenakan mereka menganggap calon pemimpinnya tidak memenuhi standar apa yang
mereka inginkan. Artinya dalam sejarah organisasi selalu ada tarik menarik kepentingan mau
pun penolakan dari pemimpin yang akan berkuasa. Namun dalam surat ini diperlihatkan,
9 QS. 4: 139
10 QS. 4: 144

11 QS. 26: 215
8

bagaimana seorang pemimpin yang tidak memiliki kecukupan materi namun dia memiliki
sebuah kekuatan ilmu pengetahuan maka ia akan mampu menjalankan peran sebagai
penguasa. Dalam konsep dan filsafat kekuasaan modern ilmu pengetahuan merupakan
sumber untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Dalam Surat An-Nisaa’: 58 menceritakan bagaimana seorang pemimpin yang diberikan
amanat kekuasaan dan diberikan wewenang dalam menetapkan hukum, maka penguasa
tersebut harus menjalankannya secara adil. Sedangkan Surat An-Nisaa’: 144 menggambarkan
bagiamana seorang pemimpin akan cendrung melakukan koalisi dengan pihak lain walau pun
terdapat perbedaan pandangan atau pun ideologi yang berbeda, tetapi untuk memperkokoh
kekuasaannya maka hal tersebut harus dilakukan.Surat Asy-Syu’ara’: 215 mengisyaratkan
kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk tetap menghargai para pengikutnya dan
menjalankan kekuasaannnya dengan prinsip-prinsip memanusiakan.
2. Perkembangan Konsep Kekuasaan dan Politik Organisasi
a. Filsafat Kekuasaan dan Politik
Seorang Filsuf Islam, Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn al-Uzalagh
Al-Farabi, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, menulis tentang konsep ideal penguasa
dalam bukunya Al-Madinah Al-Fadhilah. Menurut Al-Farabi bahwa seorang penguasa adalah
Imam. Sehingga sebuah kota harus dipimpin oleh seorang yang memiliki berbagai jenis ilmu
pengetahuan.12 Bagi Al-Farabi, sosok penguasa wajib memiliki dua belas indikator sebagai
berikut:
1. Harus memiliki organ-organ tubuh yang sempurna, bebas dari kekurangan.
2. Harus memiliki pemahaman baik dalam menangkap segala sesuatu yang disampaikan
kepadanya sesuai dengan maksud orang yang menyampaikannya.
3. Memiliki ingatan yang baik mengenai segala sesuatu yang telah ia pahami, lihat, dan
dengarkan.
4. Harus pandai, cerdas, dan dapat menangkap indikasi paling halus sekali pun.
5. Harus memiliki artikulasi sehingga memiliki kejelasan dalam menyampaikan hal yang
dipikirkannya.
6. Harus mencintai ilmu pengetahuan, memiliki keterbukaan pemikiran dan hati.
7. Harus mencintai kebenaran, dapat dipercaya, membenci kebatilan dan pendustaan.
8. Tidak berhasrat besar atau berkecendrungan besar terhadap makanan, minuman,
hubungan seksual, judi, dan bersenang-senang.
12 Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan Khomeini. (Bandung: Mizan, 2002), hlm.51.

9

9. Harus bangga pada diri sendiri, mencintai kehormatan: bahwa karakternya tumbuh
secara alami menuju suatu yang mulia.
10. Uang dan tujuan-tujuan duniawi harus diminimalisasi.
11. Mencintai keadilan, membenci penindasan, dan

ketidakadilan

sekaligus

mempraktikkannya.
12. Harus bersemangat dan kuat melakukan segala sesuatu ketika kesadarannya
memintanya tanpa rasa takut atau lemah akal.13
Corak pemikiran Al-Farabi tersebut lebih menekankan konsep Imamah yang dianut oleh
kelompok Syi’ah. Al-Farabi sering dikelompokkan ke dalam pemikir politik Islam Syi’ah.
Sementara Al-Mawardi seorang ulama Sunni membagi seorang penguasa ke dalam empat
bagian, sebagai berikut:
1. Mempunyai kekuasaan umum dan bekerja pada bidang umum, mereka dinamakan
mentri yang menerima kekuasaan untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak
ditentukan bentuknya.
2. Mempunyai kekuasaan umum dan bekerja pada daerah-daerah khusus. Mereka
dinamakan Gubernur Daerah. Mereka berwenang dalam semua urusan yang ada di
daerah tanggung jawabnya.
3. Mempunyai kekuasaan khusus dan bekerja pada bidang regional yang umum, seperti
Hakim, Komandan Militer, Kejaksaan, Pengaturan Perpajakan, Pembagi Sedekah.
Setiap bagian memiliki batas tugas yang harus mereka kerjakan, tetapi kawasan
regionalnya meliputi semua daerah.
4. Mempunyai kekuasaan khusus dan bekerja pada bidang khusus, seperti Hakim atau
Qadhi Daerah, pengaturan perpajakan daerahnya, pemungutan sedekah. Setiap bidang
yang menjadi tanggung jawabnya secara terbatas dan di dalam kawasan regional
tertentu. 14
Jika dilihat penjabaran Al-Mawardi di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-Mawardi
menjelaskan penguasa lebih dalam perspektif admisnistrasi, dan telah menampakkan
kekhasan delegasi tugas sebagaimana yang diterapkan dalam manajemen modern. Sedangkan
menurut Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, kekuasaan mutlak Tuhan yang memilih dua
orang sebagai penguasa untuk membimbing rakyat, mereka yaitu Nabi dan Raja.15

13 Nader dalam Nanang Tahqiq. Politik Islam. (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm, 11, dalam
14 Al-Mawardi, ‘Al-Ahkam as-Sulthaniyah dalam Adang.....hlm.84.
15 Adang. Op.cit. Politik syiah,hlm. 87.

10

“Tuhan telah memilih dua kelompok manusia dan memberi mereka beberapa kelebihan
atas yang lain; yang satu adalah kelompok para nabi, dan yang lain adalah para raja. Para
nabi diutus kepada hamba-hamba – Nya untuk membimbing mereka kepada-Nya, dan
para raja melindungi mereka dari (saling menyerang) di antara mereka; dan dengan
kebijaksanaan-Nya Dia (membebankan kepada raja) derajat yang tinggi”16
Mengenai kekuasaan seorang pemimpin bahkan Al-Ghazali pernah memberikan pandangan
yang sangat kontroversial.
“Seorang sultan yang berbuat jahat dan keji, selama didukung oleh kekuatan militer,
sehingga sangat sulit untuk melengserkannya, dan upaya untuk menjatuhkannya hanya
akan memunculkan perang saudara yang merusak, maka ia harus dibiarkan menduduki
tahtanya, dan setiap orang harus mematuhinya.”17
Pernyataan Al-Ghazali tersebut senada dengan cerita penaklukan Nabi Sulaiman atas Ratu
Bilqis. Namun Al-Ghazali menekankan pada pertarungan kekuasaan dan kepentingan internal
organisasi. Apa yang disampaikan oleh Al-Ghazali memperlihatkan bagaimana sebuah
kekuasaan yang bersifat otoriter dan militeristik cendrung membuat orang yang dipimpinnya
lebih memilih patuh walau pun dalam keadaan terpaksa. Jika dilihat konteks fenomena saat
ini justru yang terjadi adalah sebaliknya, dimana kekuasaan seorang pemimpin yang berkuasa
secara otoriter dan dengan memanfaatkan kekuatan militer banyak telah dijatuhkan oleh
rakyat yang dipimpinnya.Katakanlah lengsernya Soeharto oleh gerakan rakyat dan
mahasiswa, Saddam Hussein di Irak, Moamar Qhadafy di Libya, dan berbagai negara di
Timur Tengah atau pun di negara Eropa yang mampu menjatuhkan seorang pemimpin
otoriter. Namun apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali mengenai pertumpahan darah ketika
melawan pemimpin otoriter terbukti, yaitu banyaknya korban nyawa dari rakyat ketika
menentang pemimpin yang represif dengan memanfaatkan kekuatan militer.
Agak mirip dengan Al-Ghazali tentang patuh kepada pemimpin, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa seorang pemimpin di organisasi harus dipatuhi, karena pemimpin
memiliki misi untuk mensejahterakan anggotanya.
“....Apabila umat manusia telah diorganisir maka sudah pasti banyak hal-hal yang harus
mereka lakukan untuk mewujudkan kesejahteraan mereka dan banyak pula hal-hal yang
tidak boleh mereka lakukan karena akibat-akibatnya yang buruk. Dan mereka harus
mematuhi pemimpin yang menjunjung tinggi cita-cita tersebut dan orang-orang yang
mencegah perbuatan-perbuatan yang berakibat buruk itu. Jadi seluruh ummat manusia
harus tunduk kepada para pemimpin atau orang-orang yang mencegah kejahatan
tersebut.” 18
16 Al-Ghazali dalam Lambton, 1980,IV: 105 sebagaimana dalam tesis Adang. Op.ccit. Politik Syi’ah.., hlm.87
17 Ibid, hlm, 89
18 Ibnu Taimiyah dalam Qamaruddin Khan. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
hlm. 57. Sebagaimana dalam Adang Taufik Hidayat, Pemikiran Politik Islam Syi’ah dan Sunni tentang

11

Kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan kecuali dalam suatu taat sosial di mana
setiap orang tergantung kepada yang lain-lainnya, dan olehkarena itu tidak bisa dihindari,
masyarakat memerlukan seorang pemimpin untuk mengatur mereka. 19

Dalam konsep

kepemimpinan Ibnu Taimiyah berbeda dengan kelompok Syi’ah yang menganut Imamah.
Ibnu Taimiyah lebih memilih kepada konsep Khalifah an-Nubuwah (Khalifah Kenabian),
yaitu Nabi ditaati sebagai utusan Tuhan. Ibnu Taimiyah mengemukakan syarat-syarat untuk
seseorang menjadi pemimpin: 1) seorang imam harus dari suku Quraisy; 2) harus diangkat
melalui konsultasi di antara orang-orang Muslim; 3) harus mendapatkan sumpah setia dari
orang-orang Muslim; dan 4) harus bersifat adil.20
Sementara Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa seorang pemimpin dalam menjalankan
kekuasaannya harus memiliki supremasi yang didukung oleh fanatisme orang yang
dipimpinnya.
“....Kepemimpinan tidak dapat diraih kecuali dengan supremasi atau kekuasaan.
Supremasi hanya dapat dicapai dengan fanatisme,...dengan demikian, kepemimpinan
terhadap suatu kaum haruslah berasal dari kelompok yang memiliki supremasi atas
kelompok-kelompok lain secara keseluruhan. Sebab jika masing-masing kelompok dari
mereka merasakan adanya supremasi dari kelompok yang memimpin mereka, maka
mereka akan tunduk dan mengikutinya.” 21
Menurut Ibnu Khaldun fanatisme yang diperoleh seorang pemimpin bisa bersumber dari
ashabiyah atau kekuasaan yang bersumber dari garis keturunan. Prinsip kekuasaan yang
bersumber dari keturunan ini akan memberikan supremasi yang kokoh dan saling
memperkuat satu sama lain.
Jika merujuk filsuf Barat, konsep kekuasaan akan menjadi sangat berbeda dari ulasan
para filsuf Islam klasik. Jika dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya konsep kekuasaan telah
dipikirkan para Filsuf Yunani. Plato pernah mengemukakan pemikirannya mengenai seorang
penguasa haruslah seorang filsuf, karena filsuf dengan kekuatan akal dan pikirannya akan
mampu menyelesaikan masalah masyarakat.

Kekuasaan: Studi Pembagian Kekuasaan Politik di Republik Islam Pakistan. (Jakarta: Thesis Pascasarjana
FISIPOL Universitas Indonesia) , hlm. 92

19 Qamaruddin Khan. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. (Jakarta: Pustaka Pelajar , 2001), hlm. 57. Ibid. hlm.
92.
20 Ibid, hlm. 93
21 Ibnu Taimiyah dalam Adang Taufik Hidayat,Ibid. hlm. 97.

12

Pada perkembangan filsafat kekuasaan dan politik di dunia Barat banyak memunculkan
pemikir politik. Misalnya filsuf dari Italia, Nicollo Machiavelli yang konsep pemikirannya
mengenai kekuasaan dan politik banyak mempengaruhi dunia. Machiaveli banyak
menyarankan kepada para penguasa mengenai kekuasaan dan politik dalam bukunya Il
Principe dan Prince. Begitu besarnya pengaruh filsafat Machiavelli dalam perpolitikan dunia,
sehingga para pemimpin yang otoriter, culas, dan licik sering disebut sosok pemimpin
Machiavelis. Sebutan ini bermakna negatif, sesuai yang disarankan Machiavelli mengenai
pemimpin bisa melakukan apa saja demi kekuasaannya.
Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua hal yang terpisah. Moral
hanya merupakan strategi kekuasaan dan demi mempertahankan legitimasi kekuasaan.
Kekuasaan

merupakan

praktek

berbagai

upaya

yang

dilakukan

penguasa

untuk

melanggengkan kekuasaan.22 Prinsip utama Machiavelli hal terpenting dari tindak tanduk
seorang

pemimpin

adalah

lakukan

apa

saja

untuk

merebut,

memperluas,

dan

mempertahankan kekuasaannya.
Selanjutnya filsuf asal Perancis Michel Foucault banyak menyumbangkan pemikirannya
dalam filsafat kekuasaan, terutama relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Foucault
menjelaskan bahwa kekuasaan yaitu dapat menentukan dan menetapkan pengetahuan dan
tipe-tipe diskursus, serta menentukan benar dan salah. 23 Michel Foucault melihat kekuasaan
sebagai wacana, dimana penguasa harus mampu memaksa untuk mengetahui dan
menggunakan wacana, maka wacana tersebut menerapkan kekuasaan. Maka seorang
penguasa harus memproduksi wacana yang mengarahkan apa yang dipikirkan oleh sub
ordinan.24 Foucault melihat kekuasaan dengan menekankan pada wacana sebagai alat
kekuasaan. Kekuasaan atau sebuah kelompok dominan didirikan melalui wacana, dan
kekuasaan memiliki pengaruh. Melalui wacana, kekuasaan bisa mempengaruhi pemikiran
masyarakat dalam sebuah upaya melestarikan sebuah kekuasaan. Wacana yang disebarkan
sebuah kekuasaan akan membangun sebuah ketidakadilan dan ketidaksetaraan

22 Corina Tambunan “Moralitas dan Kekuasaan: Studi atas Pemikiran Nicollo Machiavelli (1469-1527).”
Perpustakaan Universitas Indonesia. UI Thesis. Diakses di http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
Id=1164197lokasi=lokal tanggal 15 Oktober 2014.

23 M. Abdul Hamid. Konstruk Nahwu dalam Konteks Politik: Perdebatan Madrasah Basrah dan Kufah.
(Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

24 Pip Jones, Introducing Social Theory, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, Pengantar Teori-teori
Fungsionalisme Hingga Post Modernisme. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 202-203.

13

Bagi Foucault kekuasaan hanya bisa dipertahankan dengan penguasaan wacana yang
bersifat revolution from above,25 seorang penguasa harus mampu menghegemoni, dan
mendominasi publik. Selanjutnya kekuasaan mempunyai hubungan dekat dengan
pengetahuan, karena kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Maka dengan pengetahuan
tersebut penguasa bisa membentuk sebuah dominasi rezim yang berdasarkan pengetahuan.
Foucault menyebutnya sebagai serious speech act, dimana setiap wacana yang
disampaikan kepada publik sesungguhnya telah dirancang sedemikian rupa oleh kelompok
ahli untuk kepentingan penguasa. Sehingga publik akan mengikuti apa yang diberikan oleh
penguasa. Foucault menjelaskan konsep kekuasaannya ini dalam buku Discipline and
Punish26 . Foucault mengibaratkan sebuah organisasi sebagai rumah sakit jiwa, disini publik
diibaratkan sebagai pasien dan penguasa diibaratkan seorang dokter. Artinya seorang
penguasa selalu benar atas tindakannya kepada rakyat.
Posisi publik sebagai pasien harus mematuhi wacana atau apa saja yang diberikan oleh
dokter. Benar sekali pun yang dilakukan oleh pasien tetap saja dokter memiliki kewenangan
untuk menyatakan itu salah. Dengan kesadaran dan pengetahuan maka dokter dapat
mengendalikan pasien sakit jiwa. Maka apa yang terjadi di rumah sakit jiwa yang terjadi
adalah relasi antara dokter dan pasien. Dalam konteks organisasi, seorang penguasa harus
mampu mengendalikan anggotanya dengan pengetahuan yang dimilikinya dan di dukung
oleh rezim pengetahuan.
Sedangkan Anthony Gramsci menawarkan bahwa supremasi wacana bisa dalam bentuk
dua cara berbeda; Dominasi (dominio) atau Paksaan dengan cara militeristik, dan
Kepemimpinan Moral Inteletual (direzione intelletule morale). Dalam konsep “kuasa
pengetahuan” Gramsci dan Foucault memiliki kesamaan, bahwa dengan pengetahuan seorang
penguasa akan mampu menguasai publik. Gramsci juga memiliki kesamaan dalam
memandang bahwa wacana melalui media adalah alat kekuasaan. Gramsci mengatakan
bahwa media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle
ground for competing ideologies). Konsep ini disebut Gramsci sebagai hegemoni, yaitu yang
25 Mengacu pada konsep diskursus Foucault, menurut Sarra Mills, selain kekuasaan, pengetahuan, seksualitas,
subjektifitas, dan kegilaan, Foucault menggunakan konsep diskursus untuk mengacu domain umum pasif
(passive revolution), revolusi dari atas (revolution from above), pemanfaatan institusi untuk menciptakan
perubahan struktur dalam upaya membentuk blok historis baru.
26 Buku yang ditulis Foucault pada tahun 1976 ini memperlihatkan bagaimana zaman klasik maupun modern
telah menampakkan penjara sebagai tampilan kedaulatan negara memonopoli kekerasan atas rakyatnya untuk
memonopoli kekuasaan ilmu pengetahuan juga merupakan sebagai alat untuk membentuk individu dan sebagai
alat untuk control mereka.

14

kuat mendominasi yang lemah atau pemaksaan cara pandang melalui ideologi, hegemoni ini
berlangsung secara sadar maupun tidak sadar
Jika dilihat dalam perspektif Marxisme yang pernah (dan masih) menjadi landasan
perjuangan komunisme internasional mau pun komunisme nasional . Bahwa kekuasaan
merupakan pertarungan kelas antara kelas proletariat dan kaum borjuis yang di dalam dua
strata sosial ini terdapat ideologi komunisme dan kapitalisme. Bagi kelompok proletariat
yang dikuasai oleh kelompok kapitalis borjuis maka mereka harus merebut kekuasaannya
mau pun sistem pemerintahan dengan melakukan pertentangan kelas hingga sampai pada
tahap revolusi atau perebutan kekuasaan dan menguasai pemerintahan sehingga dibentuklah
sistim diktator proletariat.
Untuk merebut kekuasaan menurut Marx, dibutuhkan konflik kelas dan terjadinya
transformasi radikal (revolusi).
“Pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan-kekuatan material produksi di dalam
masyarakat mulai mengalami konflik dengan relasi-relasi produksi yang sudah ada atausesuatu yang tak lebih dari ungkapan persoalan yang sama-berkonflik dengan relasi-relasi
kekayaan yang menjadi wahana kerja bagi kekuatan material tersebut. Dari bentuk-bentuk
perkembangan kekuatan produksi, relasi tersebut berubah menjadi belenggunya.
Kemudian terjadilah masa revolusi sosial. Seiring dengan perubahan landasan ekonomi,
seluruh suprastruktur raksasa nyaris mengalami transformasi secara pesat.” 27
Anthony Giddens menjelaskan bahwa Marx menghubungkan kekuasaan dengan perpecahan
dan pembagian kepentingan di antara kelas.28 Kekuasaan berkaitan dengan konflik. Bagi
Marx umat manusia yang berada dalam lingkungan-lingkungan yang didominasi harus
mengobarkan perjuangan dan menciptakan konflik dengan penguasa yang mendominasi.
Pada saat sistem kekuasaan diktator proletariat berdiri maka kelas pekerja menguasai segala
bentuk sumber daya dan membuat kelompok borjuis dan kapitalis harus patuh dalam sistem
yang mereka bangun, atau bisa dikatakan tidak ada lagi kelas, selain kelas pekerja yang
berkuasa.
Giddens menyebut kekuasaan sebagai Dialektika Kontrol dalam sistem sosial, yang
menyatakan bahwa para aktor sosial mengetahui, dan harus mengetahui, banyak perihal
situasi atau lingkungan tindakan mereka, dapat dihubungkan dengan dominasi dan
27 Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy dalam Anthony Giddens, Problematika
Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial. (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 289.
28 Anthony Giddens. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 400.

15

kekuasaan.29 Giddens coba menjelaskannya dengan konsep birokrasi nya Max Weber. Weber
menjelaskan bahwa dalam birokrasi terjadi “pengerucutan” menuju puncak sedemikian rupa
sehingga terjadi kemajuan birokratisasi sedikit banyak berarti penurunan progresif dalam hal
otonomi tindakan bagi orang-orang yang menduduki eselon lebih rendah.
b. Kekuasaan dan Politik
Mendikusikan kekuasaan tidak bisa terlepas dari kata politik. Karena melalui politik lah
kekuasaan bisa direbut (diperoleh), diperluas, dan dipertahankan. Setiap proses kekuasaan
tersebut selalu melakukan proses atau pun strategi-strategi politik agar orang yang ingin
dipengaruhi dapat mengikuti kehendak penguasa. Seseorang yang memiliki kekuasaan penuh
sekali pun atau seorang diktator, tetap harus melakukan rumusan dan strategi politik.
Kata “politik” sering dimaknai bahkan sudah menjadi citra publik merupakan sebuah kata
yang tendensi negatif. Bahkan di Amerika muncul sebuah ungkapan “politik adalah kata yang
paling kotor.” Politik mengesankan kepada tindakan-tindakan yang tidak bermoral dan
bahkan mengabaikan manusia dan rasa kemanusiaan. Walau pun sebenarnya ketika dimaknai
otensitas politik sebagaimana yang dikatan seorang Filsuf Jerman, Hannah Arendt bahwa
politik itu semestinya mampu membuat orang berempati, memahami orang lain, dan sanggup
keluar dari kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya untuk merasakan dan
merespon apa yang di inginkan orang di luar dari dirinya. Jadi sebenarnya tidak ada yang
salah dengan kata politik dan setiap aktifitas politik, jika itu dimaknai untuk kebaikan
bersama dalam sebuah organisasi. Bahkan dengan aktifitas politik semestinya, individu atau
pun kelompok dapat memperlihatkan kepedulian dan empatinya kepada individu atau
kelompok di luar dirinya. sebagaimana makna karta politik itu sendiri seperti dalam Kamus
Webster mendefinisikan politik “the art or science concerned with guiding or
influencing...policy....with winning and holding control..(and) competition between
competing interest groups or individuals for power and leadership”.30 Dapat dilihat bahwa
politik adalah seni atau ilmu yang mempelajari dan mempengaruhi dengan memenangkan
dan mengendalikan persaingan antara individu atau kelompok kepentingan untuk kekuasaan
dan kepemimpinan.
Dapat dilihat bahwa

hubungan antara politik dan kekuasaan adalah bahwa aktifitas

politik merupakan upaya untuk merebut kekuasaan. Jika dimaknai dalam organisasi, bahwa
29 Giddens, Op.cit. Problematika...hlm. 275.
30 Webster’s ninth New Collegiate Dictionary. Springfield, MA: Merrriam Webster,1985

16

politik organisasi adalah upaya individu dan kelompok kepentingan untuk memperjuangkan
kepentingan masing masing dengan berusaha merebut pengaruh melalui kekuasaan yang para
aktor miliki.
Kekuasaan adalah kapasitas untuk merubah sikap dan perilaku orang lain dalam bentuk
yang

diinginkan.31

Steven

McShane

dalam

bukunya

Organizational

Behavior

menggambarkan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk
mempengaruhi lainnya.32

Dalam teori perilaku organisasi dipandu oleh rasional, alasan

rasional untuk tujuan kepentingan organisasi lebih lanjut. Dalam praktiknya perilaku
organisas dimotivasi dan dipandu oleh politik organisasi sebagai individu dan kelompok yang
berusaha untuk memiliki jalan sendiri untuk tujuan dan kepentingannya.33
Menurut Max Weber kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka hubunganhubungan sosial untuk melaksankan keinginan seseorang. Sungguhpun terdapat tantangan
dan tidak tergantung pada dasar-dasar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.34 Menurut
Marx dan Engel kelas yang berkuasa disetiap zaman sekaligus adalah ide yang berkuasa.
Artinya, kelas yang menguasai kekuatan intelektual masyarakat yang bersangkutan. 35
Sementara Antonio Gramsci mengatakan bahwa kekuasaan bisa dilakukan dengan kekuatan
militer mau pun intelektual. Jika menggunakan kekuatan militer, maka lebih cendrung kepada
intimidasi, berbeda jika kekuasaan diperoleh dengan kekuatan intelektual, maka hal itu bisa
disebut dengan hegemoni.
Robert Dahl mendefenisikan kekuasaan sebagai A memiliki kekuasaan meliputi B untuk
memperluas yang dia bisa dapat dari B untuk melakukan sesuatu walau pun B tidak ingin

31 Jerald Greenberg, dan Robert A. Baron. Behavior Organizations. (Sixth Edition, London: Prentice Hall,
1995), hlm. 402.

32 EEM. Rawes, “Power, Influence& Politics in the Workplace”, http://smallbusiness.chron.com/powerinfluence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal 19 Oktober 2014
33 Randal B. Dunham dan John L, Pierce, Management. (USA: Scott, Foresman and Company, 1989), hlm.
545-546.

34 Tilaar,H.A.R, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan
Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.136.
35 Imam Prayogo, Kyai dan Politik di Pedesaan: Suatu Kajian tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik
Kyai. Dalam Haris Supratno (Penyunting). Konstruksi Teori Ilmu-ilmu Sosial: Kumpulan Ringkasan Disertasi
Program Studi Ilmu-ilmu Sosial Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. (Surabaya: Unesa
University Press, 2003), hlm. 588.

17

lakukan.36 Istilah kekuasaan menurut Dahl yaitu mencakup kategori hubungan kemanusiaan
yang luas, seperti hubungan yang berisi pengaruh, otoritas, dorongan, kekerasan, tekanan dan
kekuatan fisik.37 Memahami konsep kekuasaan dari Dahl ini, yaitu kekuasaan adalah antara
dua orang atau lebih. Kekuasaan tidak dimiliki secara mudah. Individu atau kelompok harus
mampu mengatasi individu atau kelompok lain terlebih dahulu untuk memperoleh kekuasaan.
Selain itu Dahl menjelaskan bahwa kekuasaan mengacu pada kapasitas seseorang individu
untuk merubah sikap atau tindakan individu yang lain. Dalam hubungan kekuasaan satu
individu dapat mempengaruhi pemikiran yang lain, atau mengendalikan perilaku individu
lain.
Kekuasaan dapat dilihat ketika individu mempunyai wewenang untuk menilai,
menghargai dalam organisasi, maka dapat dikatakan dia memiliki kekuasaan. Disisi lain
pemiliki kekuasaan juga mampu memberikan sanksi atau hukuman kepada anggotanya.
Kekuasaan dan politik memainkan peran penting dalam bisnis, dari mengatur bagaimana
keputusan dibuat hingga bagiamana atasan berinteraksi dengan satu sama lain. Dalam bisnis
apakah itu hal besar atau hal kecil, pengaruh kekuasaan bergantung pada apakah atasan
menggunakan positif atau negatif kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain di tempat kerja.
Politik berpengaruh langsung terhadap yang memiliki kekuasaan dan membatasi apakah
keseluruhan budaya di empat kerja mendukung produktivitas.38
Kekuasaan yang positif dalam organisasi mampu mendorong produktivitas. Misalnya
dengan memberikan anggota kekuasaan untuk mengambil keputusan, penghargaan kepada
anggota terhadap kinerjanya. Kekuasaan positif akan memberikan kepercayaan diri dan
motivasi kepada anggota untuk bekerja lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan
membangun komunikasi yang baik dan menghargai anggotanya. Ketika seorang pemimpin
tidak memiliki penghargaan kepada anggotanya maka ini merupakan kekuasaan yang
negatif.39 Olehkarena itu organisasi harus membangun kekuasaan dan politik yang positif di

36 Robert Dahl (1957) dalam Linda K. Stroh et.al, Organizational Behavior: A Management Challenge. Third
Edition. (London: Lawrence Erlbaum Associates, 2002), hlm.193.

37 Robert A. Dahl dalam Adang Taufik Hidayat,Op.cit. Pemikiran...., hlm. 18.
38Stacy

Zeiger. The Impact of Power and Politics in Organizational
http://smallbussiness.chron.com/impact-power-politics-organizational-productivity-35942.html
Oktober 2014

Productivity.
Diakses 16

18

organisasi agar dapat mendorong produktifitas. Iklim kolaborasi dan sistim perintah yang
jelas akan memperkecil peluang konflik organisasi.
c. Sumber Kekuasaan
Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memaksakan
kehendaknya atas pihak lain, dan sebagai suatu fenomena yang memiliki berbagai bentuk.
Kekuasaan memiliki beberapa sumber, yaitu di samping dimiliki oleh orang yang memiliki
kewenangan resmi dan kekuatan fisik (senjata) mau pun ekonomi. 40 Kejujuran moral yang
tinggi dan pengetahuan dapat pula menjadi sumber timbulnya kekuasaan. Kekuasaan
cendrung cendrung membuat orang yang memilikinya selalu ingin mempertahankannya
bahkan memperluasnya.
Setiap orang menginginkan posisi atas atau posisi tertinggi di sebuah organisasi dimana
tempatnya mengaktualisasikan diri. Motif berada pada level atas ini tidak hanya bermotif
ekonomi, tetapi juga kepada motif akan kekuasaan itu sendiri.41 Jennifer M. George membagi
dua jenis kekuasaan, yaitu Kekuasaan Individual Formal dan Kekuasaan Individual Informal.
Kekuasaan individual formal adalah

kekuasaan dalam sebuah organisasi hirarkis yang

diperoleh individu dalam organisasi. Mereka menerima tanggung jawab formal

untuk

menjalankan tugas-tugasnya. Sementara organisasi memberikan otoritas formal untuk
memanfaatkan orang dan sumber daya organisasi agar dapat sukses menjalankan
kewajibannya.42 Sementara Kekuasaan Individual Informal merupakan kekuasaan dari
karakteristik personal seperti personaliti, keahlian, dan kapabilitas.43
Kekuasaan Individual formal bersumber dari hal sebagai beikut:
1. Legitimasi kekuasaan. Kekuasaan untuk mengendalikan dan menggunakan sumber
daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
39 Ibid

40 Mochtar Kusumaatmadja dalam Nanik Trihastuti, “Hubungan Antara Hukum dan Keuasaan dalam
Perspektif Filsafat Huku” Makalah disajikan dalam diskusi Bagian Hukum Internasional. (Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 1998), hlm. 4.

41 EEM. Rawes, “Power, Influence& Politics in the Workplace” http://smallbusiness.chron.com/powerinfluence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal 19 Oktober 2014.
42 Jennifer, op.cit, hlm, 409
43 Ibid, hlm, 411.

19

2. Reward power. Kekuasaan diberikan berdasarkan promosi, penghargaan, proyekproyek penting.
3. Coercive power. Kekuasaan yang diberikan untuk memberi sanksi
4. Kekuasaan Informasi. Kekuasaan yang diperoleh dari keleluasaan mengakses dan
mengendalikan informasi.44
Sedangkan K