Relasi Hukum dan Kekuasaan doc

Mencari Relasi Harmonis Antar Hukum dan Kekuasaan
Oleh :
MIRZA SATRIA BUANA, S.H, M.H*
A man should take courage when about to die, and be of good hope, after
leaving this life, he will attain to the greatest good yonder (Socrates)
Pendahuluan
Indonesia

sebagai

sebuah

negara

hukum

sebagaimana

yang

diamanahkan dalam UUD 1945 yang berkedudukan sebagai hukum dasar

negara (supreme law of state), menyatakan secara eksplisit bahwa negara
dijalankan berdasarkan hukum1, hal ini mempertegas konsep kedaulatan
hukum dalam negara. Namun apa yang menjadi das sollen diatas masih
terasa jauh panggang dari api. Terlebih bila kita mendengar, melihat dan
membaca berita-berita yang mempertontonkan secara telanjang bobroknya
supremasi hukum di Indonesia. negara yang seharusnya bermahkotakan
hukum, pada prakteknya malah bermahkota politik kekuasaan semata, dan
efek domino yang dirasakan warga negara adalah teralienasi-nya nilai-nilai
keadilan dan kebenaran yang seolah hanya dapat ditakar oleh pundi-pundi
uang semata. Sudah menjadi rahasia umum dimana produk hukum yang
seharusnya bertujuan untuk menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan
bagi masyarakat direkayasa menjadi produk politik semata yang hanya
bertujuan untuk mengisi pundi-pundi uang para penguasa dan oligar-oligar
rakus

di

parlemen;

ini


sungguh

sebagai

sebuah

potret

realitas

penselingkuhan najis antara penguasa dengan pengusaha. Kenyataan
empiris tersebutlah yang seakan menjadi justifikasi dari teori Prof. Mahfud
MD yang menyatakan “hukum sebagai produk politik”. Sungguh tidak bisa
dinafikkan bahwa keadaan Indonesia pada masa ini dapat dianalogikan
seperti keadaan “Kandang-Kandang Sapi Raja Augeas”2 yang kotor dan bau.
*
1

UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”

Istilah ini diambil dari mitos Yunani kuno, tentang tugas-tugas Hercules (The Labour of
Hercules), tugas ke-5 Hercules adalah untuk membersihkan Kandang-Kandang Sapi Raja
Auges yang sangat besar, luas, kotor dan bau. Hercules akhirnya dapat membersihkan
kandang-kandang sapi tersebut dengan menggunakan akalnya. Dia membangun bendungan
besar yang akan mengarahkan arus sungai untuk membanjiri kandang-kandang sapi
2

1

Tulisan sederhana ini tidak berpandangan skeptis terhadap peranan
hukum dalam negara, penulis berkeyakinan bahwa hukum merupakan satusatunya alat untuk dapat memberikan rasa keadilan, kesejahteraan,
kepastian hukum dan kebenaran bagi warga negara. Hukum adalah sebuah
norma yang mau tidak mau, suka tidak suka harus ditaaati dan dipatuhi oleh
warga negara tanpa terkecuali oleh para elit negara sendiri 3. Namun dalam
prakteknya

hukum

yang


berorientasi

kepada

nilai

keadilan

sering

bertentangan secara diametral dengan kekuasan yang juga merupakan hal
yang tidak dapat dilepaskan dari negara, karena negara tanpa kekuasan
merupakan suatu kesia-siaan belaka (powerless). Dikarenakan jalinan yang
tidak dapat dinafikan antara nilai keadilan, negara dan kekuasaan inilah
maka memunculkan suatu pertanyaan kritis. Manakah yang lebih penting
dalam

suatu

negara;


apakah

nilai

keadilan

dalam

hukum

ataukah

kekuasaan? Bagaimana jalinan ideal antara keadilan, negara dan kekuasaan?
Tulisan sederhana ini akan coba untuk melacaknya
Esensi keadilan dalam negara hukum
Keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum,
bahkan sering keduanya diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan
menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak
hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool)

namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat
dalam suatu negara4. Hukum yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk
negara hukum

(rechstaat atau rule of law) idealnya diciptakan untuk

menciptakan ketertiban dan kesejahteraan sosial (to order and accomplish
welfare)5, untuk mendapatkan semua tuntutan tersebut hukum wajib
mencipta keadilan di masyarakat, keadilan dalam konteks negara hukum
dimaknai sebagai sebuah keadaan dimana tidak ada rasa diskriminasi
ataupun perbedaan antara hal yang satu dengan hal yang lain, keadilan juga

tersebut. Dalam konteks Indonesia, siapakah yang mau dan rela menjadi seorang Hercules?
3
Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Mudzakkir dalam sebuah sesi perkuliahan
4
Moh.Mahfud MD, Bahan kuliah Politik Hukum, Program PascaSarjana UII, hlm. 12
5
Sajipto Rahardjo, Membedah hukum prograsif, Kompas, 2008, hlm.171


2

sering dimaknai sebagai sebuah keadaan yang sepatutnya dan selayaknya
terjadi dalam pranata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hukum secara tataran filosofis terbagi dua, yaitu sebagai kaidah
substansi yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai keadilan (ius)
dan hukum sebagai kaidah formal yang berwujud peraturan per-undanganundangan (lex) yang merupakan wujud artikulasi normatif dari ius6. Sebagai
bagian substansial dari hukum, jelas kedudukan keadilan dalam hukum
menjadi sebuah keharusan dari suatu hukum, dan negara yang berdasarkan
atas hukum

sudah sepatutnya juga berorientasi kepada pencapaian nilai

keadilan.
Keadilan merupakan tujuan utama dari negara hukum, hal ini
dibuktikan oleh pengalaman empiris seorang tokoh fisfus kenamaan Yunani
kuno yang bernama Socrates. Dikisahkan bahwa pada tahun 399 SM ketika
beliau

menginjak


usia

70

tahun,

Socrates

dihadapkan

pada

sidang

pengadilan Heliasts (Court of Heliasts) yang terdiri dari 501 warga Athena,
yang serentak bertindak sebagai hakim tentang hukum, fakta dan bukti
(judge of law, facts dan evidence). Para penuntut Socrates adalah Anytus,
seorang politisi demokrat, Melitus, seorang penyair tragedi dan Lykon
seorang ahli pidato, mereka bertiga mendakwa Socrates telah melakukan

dua

kejahatan.

Pertama,

Socrates

dengan

terang-terangan

menolak

menyembah dewa-dewa resmi Yunani (impiety). Kedua, Socrates dituduh
telah meracuni pikiran-pikiran anak muda Athena dengan pemikiranpemikiran filsafati yang kritis dan rasional (corrupting the youth)7.
Hakim Athena, yang kebanyakan adalah musuh-musuh Socrates
dengan suara bulat menjatuhi hukuman mati kepada Socrates dengan cara
dipaksa meminum segelas anggur cemara beracun. Hakim beralasan inilah
keadilan dan kebenaran karena keputusan merupakan hasil dari


suara

terbanyak dari sidang majelis, dengan kata lain hakim Athena menggunakan
hukum yang diambil dari keputusan suara terbanyak sebagai tameng
kejahatan mereka. Hukum yang lalim telah dengan terang benderang tidak
6
7

Andre Ata Ujan, Filsafat hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm.17
Charles Himawan, Hukum sebagai Panglima, Kompas, Jakarta, 2006, hlm.192

3

hanya membunuh Socrates namun juga telah membunuh rasa keadilan dan
kebenaran itu sendiri.
Berdasarkan pengalaman

Socrates


inilah,

Plato

(427-347

SM)

meninggalkan Athena untuk mengembara mencari dan berkontemplasi
tentang

hukum dan keadilan yang menurut Plato merupakan satu paket

yang tidak dapat ditawar harus ada dalam satu negara dan harus
menempati posisi sentral dalam politik negara 8. Plato dalam sebuah karya
besarnya Republic, menyebut negara idealnya dengan nama “ The City of
Justice”. Dalam negara ini setiap kelompok masyarakat harus berkontribusi
bagi tegaknya republik keadilan dengan menjalankan tugas masing-masing
secara konsekuen dan dengan penuh disiplin9.
Membicarakan hukum tidak terlepas dengan kaitannya dengan cita
hukum yang senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula.
Menurut Plato, kekuatan moral adalah unsur hakikat dari hukum, sebab
tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan
independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur
oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia 10.
Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat
universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan
hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama dan
keadilan sosial

.

11

Jadi hakikat hukum pada dasarnya berpijak pada

hubungan antar manusia dalam dinamika masyarakat, yang terwujud
sebagai proses sosial pengaturan cara bertingkah laku. Hakikat hukum
bertumpu pula pada idea keadilan dan kekuatan moral12.
8

Andre Ata Ujan, Op. cit, Ibid, hlm. 38
Plato membagi warga negara menjadi (3) tiga kelas yaitu :
1. Rakyat biasa;
2. Kaum serdadu;
3. Dan, golongan pemimpin (filsuf), Plato menyatakan hanya golongan ini yang memilki
kekuasaan politik
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 147
10
W. Poespoprodjo, Filsafat moral kesusilaan dan teori dan praktek, Remadja karya,
Bandung, 1986, hlm. 134
11
Moralitas dianggap universal, misalnya : “Hendaklah hukum bersifat adil!” atau
“Janganlah merugikan orang lain”. Haryarmoko, Etika Politik dan Keuasaan, Kompas, Jakarta,
2003, hlm. 193
12
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat hukum, Bandung, 1985, hlm. 123-124
9

4

Hukum negara bagi Plato, menjadi hal yang sangat penting guna
menegakkan keadilan, karena hanya dengan instrument hukum (per-undangundangan) yang didapat dari persetujuan atau hasil kontrak sosial antara
rakyat dengan penguasalah hukum baru dapat ditransformasikan kedalam
jiwa masyarakat sehingga hukum akan dihormati dan dipatuhi oleh
masyarakat dan bukan sekedar dipaksakan dari luar.
Aristoteles, murid Plato memiliki pandangan yang sedikit berbeda
dengan Plato. Hukum menurut Aristoteles, merupakan sebuah “kandang”
yang dapat menjinakkan (domesticate) manusia. Hukum negara bertujuan
tidak hanya untuk memperolah keadilan namun juga untuk mendapatkan
kebahagiaan (eudaimonia) bagi semua warga negara13. Aristoteles menolak
sebuah anggapan bahwa hukum hanya sekadar alat konvensi praktis
semata, seperti sistem birokrasi prosedural-formil, pengatur lalu lintas,
menghukum

pelaku

kejahatan,

atau

memaksa

warga

negara

untuk

membayar pajak. Pemenuhan tujuan hukum sebagai alat konvensi praktis
tersebut

tidak

dapat

membahagiakan

masyarakat,

malah

membuat

masyarakat menjadi “liar”.
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh
negara kepada setiap penduduk/ warga negara dan hukum yang baik adalah
hukum yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa
terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit beliau menyatakan;
“ Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi
dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran
tentang apa yang hak”.14

13

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT. Cipta Aditya
Bakti, 2004, hlm. 79
14
Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan, hukum hendaknya menjaga
agar pembagian yang demikian senantiasa terjamin dan terlindungi dari perkosaanperkosaan terhadap dirinya. Dalam hubungan ini ia membedakan antara:
 Keadilan distributif (yang mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat
membagi-bagi sumber daya itu kepada orang-orang)
 Keadilan kolektif (yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari,
kita harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang
dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain)
Rahardjo, Satjipto. 1982. Ilmu Hukum. CV. Rajawali. Jakarta,hlm 163.

5

Dalam uraian tentang hakikat hukum kita telah melihat bahwa hukum
berdasarkan kesamaan hakiki semua

manusia

sebagai manusia

dan

kesamaan semua warga negara sebagai warga negara. Hukum menjamin
bahwa segenap anggota masyarakat diperlakukan menurut tolak ukur yang
obyektif dan sama. Tolak ukur itu adalah hukum. Maka negara wajib
bertindak menurut hukum. Tindakan yang tidak berdasarkan hukum selalu
dan dengan sendirinya melanggar keadilan karena tidak lagi berdasarkan
patokan obyektif yang sama bagi semua.
Mengutip pernyataan Huston Smith, tentang apa itu hukum dalam
tulisannya Why Religion Matters; The Fate of The Human Spirit in an Age of
Disbelief.

Pertama, hukum merupakan keputusan penting yang selalu

berubah dan memiliki keterkaitan dengan persoalan jiwa (rohani) manusia.
Kedua, dikarenakan begitu beragamnya doktrin konstitusional sehingga
perlunya perlindungan berbagai kepentingan maka oleh sebab itu hukum
harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan problem baik kedalam
(ilmu itu sendiri/teoritis) maupun keluar (praktik/pragmatis) dan dengan
posisinya itu hukum menjadi wilayah yang bersifat terbuka dan peka, artinya
hukum bukan semata-mata wilayah yang steril namun sebuah wilayah yang
bersifat multi dan interdisipliner, sehingga perubahan yang terjadi harus bisa
dicerna (dirasakan pengaruhnya) oleh hukum demikian pula sebaliknya 15.
Hukum yang berkeadilan memang selayaknya menjadi kuasa atas
negara, hukum negara yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk kaidahkaidah hukum positif berpretensi untuk merealisasikan cita-negara hukum,
yaitu apa yang dipersepsikan dan dihayati sebagai hukum yang hidup dan
dianut dalam suatu masyarakat tertentu, yang dalam garis besarnya
berintikan keadilan, kepastian, ketertiban, prediktabilitas, dan sebagai alat
kontrol sosial16.
Hukum dalam tataran implementasinya bercorak rigid dan responsive;
hukum menjadi rigid ketika diposisikan sebagai sebuah sebuah norma yang
agung

dalam

menjaga

pranata

ketertiban

15

dan

kepastian

hukum

di

Huston Smith dalam E. Sumaryono, Etik dan Hukum, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,
2002, hlm. 56
16
B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu hukum Indonesia, FH UNPAR, Bandung, 2008, hlm. 4

6

masyarakat, namun disisi lain hukum juga harus mampu menjelma sebagai
perwujudan dari cita-cita masyarakat disinilah dikedepankan hukum yang
memiliki “rasa empati” terhadap rakyat (responsive). Ketegangan inilah yang
sering menjadi paradox dari hukum yang cenderung menjadi sesuatu yang
rigid dalam pelaksanaan negara karena lebih mengedepankan nilai kepastian
hukum yang bercorak legalitas an sich semata, hal inilah yang menjadi
trigger dari terpecahnya (dikotomi) konsep negara dengan masyarakat
awam17. Semakin banyak keadilan dikorbankan atas nama logika kepastian
hukum dan alasan prosedural-formal, maka semakin lebar jarak antara
hukum negara dengan sentimen awan tentang kebenaran. Akibatnya hukum
kehidupan kehilangan kejernihannya, juga legitimasinya di mata kalangan
masyarakat awam; masyarakat awam nantinya hanya akan mengenal
hukum sebagai alat-alat ajaib yang digunakan oleh golongan terhormat (elit)
tertentu.
Padahal paradigma dari hukum tersebut seharusnya lebih dapat
bersifat dinamis dan “cair” guna melayani masyarakat dan mengakomodir
kebutuhan masyarakat. Negara

yang berdasarkan hukum merupakan

“pelayan” dari masyarakat, bukannya minta dilayani oleh masyarakat.
Negara harus tampil sebagai manipulator kehidupan sosial, karena karakter
dan aktifitas negara dalam arti yang lebih dalam ditentukan oleh hubunganhubungan kekuasaan antar kelompok di dalam masyarakat18. Dalam konteks
Indonesia, tegangan antara rigid-nya hukum dan responsive-nya hukum juga
sering kali terjadi, maka implementasi hukum tidak dapat lain harus
berusaha

mewujudkan

kompromi

antara

“sifat-sifat

bawaan”

hukum

tersebut. Prof Mahfud dalam sebuah pernyataannya pernah berujar tentang
pentingnya pemahaman bahwa Indonesia merupakan negara prismatika
hukum, dimana ini merupakan konsep negara yang mengambil semua
anasir-anasir yang baik dan relevan dari semua mazhab hukum di dunia.
Esensi Kekuasaan dalam negara

17
18

Roberto M. Unger, Teori hukum kritis, Nusa Media, 2007 , hlm.74
Roberto M. Unger, Ibid, hlm.76

7

Dalam sub judul ini penulis akan merangkaikan definisi dan korelasi
antara kekuasan dengan negara, yang mana para sarjana politik sebagian
besar beranggapan bahwa hakikat politik adalah kekuasaan dan disepakati
pula bahwa proses politik tidak lain adalah serangkaian peristiwa yang
hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan. Joseph Roucek
dalam pernyataannya “The central problem of politics is that of the
disrelationships are power realtionships, actual or potential”.19
Sedangkan, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku
orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku20
Pernyataan diatas memiliki makna sosiologis namun

realistis,

mengingat bahwa manusia hidup dalam kesadarannya memiliki berbagai
macam keinginan dan tujuan yang ingin diraihnya. Dalam konteks ini begitu
juga dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara tidak hanya terbatas pada
kehidupan antar manusia dibidang politik semata, tetapi juga dibidang
hukum pun kekuasaan senantiasa bergandengan.
Lassalle, bahkan mengungkapkan sebuah pendapat bahwa Hukum dan
Kekuasaan sejatinya adalah identik. Hukum negara (dalam konteks ini
Konstitusi)

merupakan

sebuah

konkritisasi

dari

hubungan-hubungan

kekuasaan yang nyata dalam suatu negara. Dalam perspektif kekuasaan,
aturan-aturan hukum yang teruang dalam konstitusi negara merupakan
sebuah deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut
dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara21.
Konsep kekuasaan dalam kingkup negara dapat lebih mudah dipahami
lewat tulisan-tulisan Karl Marx dan Engles yang berpandangan bahwa hukum
hanya sebagai derivasi belaka dari kekuatan infrastruktur ekonomi, yang
digunakan sebagai sarana penindasan dan alat tipu muslihat dari kelas yang
berkuasa22. Karl Marx menyalahkan hubungan-hubungan kelas dalam negara
19

Cheppy Hari Cahyono, Ilmu Politik dan perspektifnya, Triawacana, Yogyakarta, 1986, hlm.
186
20
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, hlm.10
21
Salman Luthan, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Program PascaSarjana UII, Yogyakarta,
hlm.16
22
Erich Fromm, Konsep Manusia menurut Marx, Pustaka Pelajar, 2001, hlm.107

8

yang

membatasi

kebebasan

masyarakat,

sebab

mereka

(masyarakat

kecil/menengah) tidak dapat meningkat di atas kekuasaan borjuis, dan
mereka (borjuis) meletakkan pembatasan-pembatasan atas apa yang dapat
dicapai dengan hukum. Hanya dalam masyarakat non-kelas (egaliter) hukum
dapat menjadi suatu alat dari kehendak bebas masyarakat dan dapat
memberikan

kekuasaan

kepada

semua

orangmengenai

kondisi

dari

kehidupannya23. Pendapat Marx diatas didukung oleh Thrasimachus dan
Gumplowicz yang mengungkapkan bahwa hukum sejatinya merupakan apa
yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat dan bersandar pada penaklukan
terhadap yang lemah; hukum merupakan susunan definisi yang dibuat oleh
pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya24.
Teori-teori diatas secara jelas menempatkan negara dan hukum
dibawah bayang-bayang kekuasaan (baik politik maupun ekonomi) yang
dipegang mutlak oleh sang penguasa. Sekilas nampak benar adanya dimana
kekuasaan cenderung mengalienasi hukum negara dan keadilan, namun
negara sebagai sebuah institusi penjamin keadilan juga memiliki kekuatan
hukum baik yang bersifat artifisial; berupa penegakan hukum positif negara
yang lahir dari konsep solidaritas mekanis, maupun dari kekuataan hukum
otonom yang latern dalam masyarakat. Kekuatan dan semangat dari
penegakan

hukum

dapat

memaksa

(represif)

maupun

melakukan

pendekatan persuasif terhadap kekuasaan untuk dapat berjalan sesuai trek
yang sudah disepakati oleh para pemimpin negara. Hal inilah yang disebut
sebagai supremasi hukum (supreme of law), kekuasaan berada dibawah
hukum, atau hukum berada di atas kekuasaan, dan hukumlah yang
menentukan eksistensi dari kekuasaan.
Teori filsafat Marx tentang kekuasaan cenderung terlalu radikal dan
naïf, hal ini ditentang keras oleh Habermas; beliau berpendapat bahwa
hukum dapat menjadi sarana perekat keharmonisan sosial masyarakat
majemuk. Syaratnya hukum harus dibentuk dalam komunikasi yang bebas
23

Jonathan Wolff, Mengapa masih relevan membaca MARX hari ini?, Mata Angin, Yogyakarta,
2002, hlm. 43
24
Salman Luthan, Ibid, hlm. 17

9

dengan melibatkan para subyek hukum. Hanya dengan cara ini setiap
subyek hukum akan menyadari apa keuntungan yang akan ia miliki dan
konsekwensi apa yang akan ia tanggung bila sebuah norma hukum
diberlakukan25.
Teori komunikasinya Habermas menyatukan dan sekaligus mengatasi
kelemahan teori Positivisme hukum, Marxis dan teori hukum Kodrat. Melalui
teori

komunikasi

kekuasaan.

Habermas

Kepatutan

pada

juga

berhasil

hukum

yang

membedakan
dibentuk

hukum

melalui

dari

praktek

komunikasi merupakan tindakan rasional, dan bukan paksaan kekuasaan26.
Lewat teori Habermas dapat disimpulkan sebaiknya wujud kekuasaan
menghindari dari keinginan-keinginan particulary, jika terus mengikutinya
maka keinginan-keinginan itu senantiasa berwujud inkonstitusional, dan
bahkan menimbulkan penderitaan bagi yang akan terkena dampaknya 27. Hal
ini bukan berarti suatu penentangan terhadap demokratisasi dalam wujud
yang

heterogenitas,

mempertahankan
konstitusional.

tetapi

kekuasaan

Menghindari

diperlukan
itu

dalam

adanya
koridor

anggapan-anggapan

konsistensi
yang

bahwa

dalam

benar-benar
bagian-bagian

pendukung kekuasaan itu telah mengkeruhkan ruang hukum karena adanya
niat-niat individual yang berkeinginan mencampurnya dengan ranah politik
praktis semata.
Berhukum dengan benar demi tegaknya Keadilan
Apa yang telah dikemukakan diatas memberikan wacana bahwa kaidah
hukum itu bukan hanya merupakan perintah atau bersifat larangan saja,
melainkan juga mengandung

nilai-nilai dan nalar tertentu (terutama nilai

kekuasaan). Hakikat nilai dalam kaitannya dengan hukum dalam kajian
filsafat hukum, menurut pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekamto bahwa para ahli filsafat didalam pekerjaannya mempelajari nilainilai yang diartikannya merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai halhal yang harus dianuti (dianggap baik), dan yang harus dihindari (dianggap
25

Donny Danardono, Telaah hukum Marxis, Habermasian dan Post-modernisme, Law,
Society, and Development, hlm.23
26
Donny Danardono, Ibid, hlm. 24
27
Donny Danardono, Ibid, hlm.24

10

buruk). Ahli-ahli filsafat biasanya merenungkan tentang “nilai”, merumuskan
tentang nilai-nilai dan juga menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi
berbeda haluan. Oleh para ahli filsafat tersebut hukum diartikan sebagai
jalinan nilai-nilai.28
Nalar dalam kaidah hukum terletak pada penilaian oleh masyarakat
terhadap tingkah laku atau perilaku seorang dalam kehidupan sosial
masyarakat. Sesungguhnya penilaian terhadap perilaku atau tingkah laku
manusia tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga

merupakan bagian dari

suatu ide yang lebih luas, yaitu kehidupan masyarakat yang teratur. Disinilah
timbulnya ide, bahwa hukum sebagai sistem jaringan nilai-nilai pada
hakikatnya membentuk tatanan masyarakat.
Menurut Zevenbergen bahwa diri hukum itu mengandung dua hal :
I. Patokan penilaian, yaitu hukum menilai kehidupan masyarakat dengan
menyatakan apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak
baik. Dari penilaian ini, kemudian melahirkan petunjuk tentang
tingkah laku mana yang termasuk dalam kategori yang harus
dijalankan dan yang harus ditinggalkan.
II. Patokan tingkah laku, yaitu kaidah hukum merupakan patokan
semestinya

diikuti

dan

ditaati

sebagai

suatu

patokan

dalam

bertingkah laku untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
teratur dan adil. 29
Berdasarkan patokan diatas, maka hukum mengadung norma penilaian
(preskriftif), karena hukum melakukan penilaian terhadap tingkah laku warga
masyarakat dan penguasa dalam hubungan intekasinya, artinya hukum itu
memiliki patokan-patokan yang digunakan untuk melakukan penilaian.
Patokan sebagai hasil penilaian itulah yang memberikan dasar bagi hukum
untuk melahirkan petunjuk-petunjuk tingkah laku bagi masyarakat dan
penguasa. Dengan demikian semakin menunjukkan indikasi hukum sebagai
sistem jalinan nilai-nilai memberikan penilaian terhadap perilaku orang
melalui norma-normanya, dan menjadi tolak ukur dalam bermasyarakat. Hal
28

Purnadi Purwacaraka, Ikhtisar Anatomi: Aliran Filsafat sebagai landasan Filsafat hukum,
CV.Rajawali. Jakarta, 1987, hlm.13
29
Satjipto Rahardjo, Op.cit, hlm. 69-70

11

ini akan mendorong hukum untuk bergerak dan bekerja atas kekuatan
sendiri.
Inti penilaian itu sendiri bukan hanya dari berbagai penilaian,
melainkan juga satu kesatuan yang disebut sistem penilaian. Disinilah nanti
hukum sebagai sistem jalinan nilai-nilai akan menunjukkan bahwa betapa
eratnya hubungan antara sub sistem sosial, (tempat hukum berlaku) dengan
sub sistem budaya dan nilai-nilai lainnya.
Hukum dimaknai sebagai salah satu dari sistem kontrol di masyarakat.
Tidak hanya berfungsi sebagai kaidah-kaidah hukum an sich, namun dalam
prakteknya juga harus di mobilisasi ke dalam jiwa masyarakat. Tidak dapat
dinafikan memang bahwa hukum dimulai dari rangkaian kaidah-kaidah yang
bersifat normatif dan memiliki sifat memaksa, tetapi suatu kaidah hukum itu
tidak langsung diterapkan begitu saja. Ia perlu dimusyawarahkan (overleg)
lebih dulu agar mencapai hasil yang baik 30. Hukum yang dijalankan dengan
mekanisme musyawarah (overleg) jelas lebih ber-nurani dan mencitrakan
keadilan bagi manusia.
Relasi Ideal Hukum dengan Kekuasaan
Sejak awal fase kehidupan manusia di bumi ini, mereka selalu
berkelompok dengan sesamanya, dan sejak adanya kehidupan sosial itulah
maka manusia menundukkan diri terhadap yang namanya kekuasaan.
Kekuasaan disini berupa yang dapat mengusahakan dan menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan bersama.
Kekuasaan supaya mantap, memerlukan legitimasi,

antara

lain

legitimasi etis, etika politik menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum
yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis),
dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi
moral). Ketiga tuntutan tersebut dapat disebut legitimasi normatif atau etis
karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis
apabila sesuai dengan tuntutan tadi. Dalam kenyataannya, orang yang
memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih berkuasa daripada
yang berwenang atau yang memiliki kekuatan fisik (senjata). Kekayaan
30

Satjipto Raharjdo, Berhukum dengan Akal sehat, Koran Kompas, 12 Desember 2008

12

(uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber
kekuasaan yang penting sedangkan dalam keadaan tertentu, kejujuran,
moral yang tinggi dan pengetahuanpun tidak dapat diabaikan sebagai
sumber-sumber kekuasaan.31
Maksud dari legitimasi

demokrasi

disini

adalah

tuntutan

agar

penggunaan kekuasaan harus berdasarkan persetujuan dasar para warga
negara dan senantiasa berada di bawah kontrol masyarakat. Hal ini
mengandung tuntutan agar kekuasaan negara dijalankan berdasarkan dan
dalam batas-batas hukum, Jadi dalam negara hukum merupakan satu
prasyarat agar negara dapat betul-betul bersifat demokratis.
Apabila legalitas
kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan
dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka hukum
memiliki wewenang tertinggi dan penguasa berada dibawah hukum,
sehingga akan terbina hubungan yang berkeadilan antara hukum, penguasa
dan masyarakat. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting
dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan
kehendak masyarakat. Artinya hukum harus menjaga kekuasaan agar tidak
merusak sifat dasar harkat dan martabat manusia32
Kemampuan hukum dalam menjaga kekuasaan ini didukung terutama
oleh kenyataan bahwa hukum merupakan pencerminan dari kehendak
manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana
harus diarahkan.
Jika penguasa/pemerintah memiliki kesadaran akan makna hukum dan
hakikat tentang hukum, maka kekuasaan tersebut akan menjadi sumber
keadilan,

kedamaian,

kesejahteraan

rohaniah

dan

jasmaniah,

yang

merupakan juga tujuan dari hukum33.
Dengan demikian idealnya, kekuasaan (power) itu bersumber pada
wewenang formal yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada
seseorang atau lembaga tertentu. Ini berarti kekuasaan tersebut bersumber
pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian
31

Muchtar Kusumatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam pembangunan nasional,
Bina Cipta, Bandung, hlm. 6 -7
32
Lili Rasjidi, Op.cit, hlm.56
33
Punadi Purbacaraka, Op.cit, hlm.50

13

wewenang tadi. Seperti dijelaskan diatas sebabnya suatu kekuasaan perlu
diberikan batasan adalah karena suatu kekuasaan tersebut, juga termasuk
kekuasaan pemerintah negara selalu diselenggarakan oleh manusia tanpa
kecuali, dan sudah barang tentu sebagai manusia ia mengidap banyak
kelemahan, karena itu kekuasaan dimanapun memiliki kecenderungan untuk
disalahgunakan (absolute power tends to corrupt), disinilah diperlukan
hukum untuk memberikan pembatasan terhadap kekuasaan.
Hukum sebagai sistem jalinan nilai keadilan, moralitas dan kebenaran,
melahirkan petunjuk mengenai tingkah laku, mana yang termasuk dalam
kategori yang harus dijalankan dan yang harus di tinggalkan oleh para
penguasa, sehingga dengan adanya hukum maka akan

tercipta tatanan

kekuasan negara yang terkendali dan dapat dikontrol setiap saat.
Salah satu pembatasan kekuasaan dalam suatu negara, biasanya ialah
melalui konstitusi sebagai sumber-sumber formalnya, atau dinamakan juga
sebagai undang-undang dasar, yang dirumuskan dalam bentuk tertulis. Ia
mengandung berbagai hal yang berkenaan dengan aspek-aspek kehidupan
ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Dalam konteks Indonesia, UUD
1945 berlaku sebagai konstitusi Indonesia,walau harus jujur diakui bahwa
UUD 1945 (sebelum amandemen), secara substansial masih sangat jauh dari
“sempurna”. UUD 1945 adalah konstitusi yang relatif kolusif; konstitusi tanpa
konstitusionalisme34. UUD 1945 tidak layak disebut sebagai konstitusi karena
tidak memiliki “dinding pembatas” untuk menahan syahwat korup penguasa
negara. Konstitusi yang baik pastinya merupakan dokumen negara yang
berisi dengan nilai-nilai falsafah negara, cita-cita, tujuan dan sebagai alat
kontrol kekuasaan (asas konstitusionalisme). Sewajibnya, konstitusi memiliki
dua unsur penting, yaitu: (1) berisi prinsip-prinsip saling-kontrol-saling
imbang (check and balance system), (2) berisi prinsip-prinsip perlindungan
Hak Asasi manusia35.
Lewat deskripsi singkat diatas dapat disimpulkan bahwa pertalian
hukum dengan negara (kekuasaan) demikian eratnya layaknya ikan dengan
34
35

Denny Indrayana, Negara antara ada dan tiada, Kompas,2008,hlm,.5
Denny Indrayana,Ibid,hlm.6

14

air. Dimana antara keduannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain
dikarenakan adanya hubungan inter-dependensi antara keduanya. Tugas
mulia seorang jurist adalah untuk mengharmonisasikan hubungan antara
keduanya, sehingga akan tercipta jalinan harmonis antara hukum dan
kekuasaan. Dimana hukum yang berperan sebagai Panglima.
Kesimpulan
Hukum dalam kompleksitas negara memiliki banyak tujuan dari
dirinya. Tidak hanya sebagai alat pengatur masyarakat, namun juga sebagai
pemberi rasa kepastian hukum, kemanfaatan bagi masyarakat dan yang
terutama sebagai tonggak pedang keadilan bagi masyarakat. Nilai keadilan
sebagaimana penulis uraikan di atas merupakan tujuan negara yang utama,
hukum tanpa keadilan adalah sebuah kemandulan hukum, hukum tidak
hanya dapat ditegakkan dengan aturan-aturan rigid semata, namun hukum
bersemai dalam jiwa masyarakat yang secara harmoni menyatu dengan
adat, kebiasaan masyarakat tersebut.
Hukum sebagai jalinan nilai keadilan pada hakikatnya membentuk
tatanan masyarakat. Karena hukum melakukan penilaian terhadap tingkah
laku para warga masyarkat dalam hubungan sosialnya, artinya hukum itu
memiliki patokan-patokan yang digunakan untuk melakukan penilaian.
Patokan sebagai hasil penilaian itulah yang memberikan dasar bagi hukum
untuk melahirkan petunjuk-petunjuk tingkah laku.
Hukum pada hakikatnya merupakan sistem kehidupan manusia
bermasyarakat dan bernegara yang bertolak belakang dari masalah-masalah
konflik sosial di lingkup masyarakat (grassroot). Kehadiran hukum dalam
masyarakat

diantaranya

ialah

untuk

mengintegrasikan

dan

mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat atau
setidak-tidaknya menekan benturan-benturan kepentingan tersebut menjadi
sekecil mungkin
Hukum yang berkeadilan hanya akan menjadi wacana utopis semata
bila tidak didukung oleh kekuasaan (power) sebagai roda menggerak negara
yang demokratis dan ber-nurani. Eksistensi nilai-nilai hukum terhadap
kekuasaan sangat besar. Keberadaan nilai-nilai hukum memberikan batasan
15

kepada kekuasaan agar tetap terkendali dan tidak sewenang-wenang, karena
hukum sebagai jalinan nilai-nilai disini akan melahirkan petunjuk mengenai
tingkah laku yang mana harus dijalankan dan tingkah laku mana yang harus
ditinggalkan oleh para penguasa. Kekuasaan wajib tunduk kepada nilai
keadilan dalam hukum negara, karena hanya negara yang memberikan rasa
keadilanlah yang pantas disebut sebagai negara hukum.
Semoga para intelektual-intelektual muda, aktifis-aktifis revolusioner,
birokrat-birokrat reformis, dan para legislator-legislator humanis di Indonesia,
tidak akan pernah merasa lelah dan putus asa untuk menegakkan negara
hukum dan keadilan. Tegakkan keadilan walaupun bumi bergetar dan langit
runtuh!
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982.
Cahyono, Cheppy Hari, Ilmu Politik dan perspektifnya, Triawacana,
Yogyakarta, 1986.
Danardono, Donny,

Telaah

hukum

Marxis,

Habermasian

dan

Post-

modernisme, Law, Society, and Development,Volume II, 2007.
Fromm, Erich, Konsep Manusia menurut Marx, Pustaka Pelajar, 2001.
Haryarmoko, Etika Politik dan Keuasaan, Kompas, Jakarta, 2003.
Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, Kompas, Jakarta, 2006.
Indrayana, Denny, Negara antara ada dan tiada, Kompas, Jakarta, 2006.
Kusumatmadja, Muchtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
pembangunan nasional, Bina Cipta, Bandung, 1989.
Luthan, Salman, Bahan Hukum Filsafat Hukum, Program PascaSarjana UII,
Yogyakarta, 2008.
Mahfud MD, Moh, Bahan kuliah Politik Hukum, Program PascaSarjana UII,
Yogyakarta, 2008.
Poespoprodjo.W, Filsafat moral kesusilaan dan teori dan praktek, Remadja
karya, Bandung, 1986.
Purwacaraka, Purnadi, Ikhtisar Anatomi: Aliran Filsafat sebagai landasan
Filsafat Hukum, CV.Rajawali. Jakarta, 1987.
Rahardjo, Sajipto, Membedah hukum prograsif, Kompas, 2008.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum. CV. Rajawali. Jakarta,1982.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat hukum, Bandung, 1985.
16

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT.
Cipta Aditya Bakti, 2004.
Sumaryono.E, Etik dan Hukum, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2002.
Sidharta, B. Arief, Struktur Ilmu hukum Indonesia, FH UNPAR, Bandung, 2008.
Unger, Roberto M, Teori hukum kritis, Nusa Media, 2007.
Ujan, Andre Ata, Filsafat hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009.
Wolff, Jonathan, Mengapa masih relevan membaca MARX hari ini?, Mata
Angin, Yogyakarta, 2002.

17