Spirit Seni dan Keeksakan Sains

Spirit Seni dan Keeksakan Sains
YANG rasional dan yang spiritual pada akhirnya juga diskusi tentang
seni dan sains. Namun, sains tak mendapat perhatian budayawan
dan sastrawan. Mungkinkah berharap puisi menjadi penyembuh luka
besar kemanusian?
Pada diskusi tentang fiksi mikro di UKMBS Unila beberapa waktu
lalu, Ari Pahala Hutabarat dan Iswadi Pratama menyinggung soal
logika dalam sastra. Kedua penyair terdepan di Lampung ini tidak
cuma sekali melontarkan hubungan seni dan sains.
Beberapa waktu lalu, Iwan Nurdaya Djafar juga meneropong novel
tetralogi Andrea Hirata dari sudut pandang sains dengan kesimpulan
yang agak ganjil. Isbedy Stiawan ZS dalam esai tanggapan atas esai
Iswadi yang mengkritik miskinnya kritikus seni di Lampung
menekankan keharusan memasukkan yang spiritual.
Diskusi tentang yang rasional dan yang spiritual, mau tak mau
mengajak kita berdiskusi tentang seni dan sains. Beberapa karya
sastra dan seni rupa akhir-akhir ini mulai ramai menyinggung apa
yang dulu oleh Albert Einstein dinamakan relativitas dan gravitasi.
Andrea membuka novel ketiganya, edensor (2007), dengan teori
relativitas Einstein dan mengajak kita berdiskusi tentang astronomi.
Iwan Nurdaya Djafar mempersoalkan keberpihakan Andrea pada

teori Barat dalam resensi atas tetralogi Andrea di Lampung Post
(tanggal 22 dan 29 Juni 2008). Iwan juga menyebut novel Andrea
sebagai takhayul dan klenik yang lain dengan cara pandang khas
kaum rasionalis.
Empat novel Andrea, bagaimanapun, menyuguhkan tafsir-ulang atas
peran fisika, kimia, biologi, dan astronomi yang sama sekali tak
mengklaim agamanya yang mesti di lap-lap. Dalam Laskar Pelangi,
Andrea menggugat Tuhan dengan cantik, dan katanya, seindah apa
pun sebuah teorema tak akan mampu menjangkau Tuhan. Karena
"Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh
karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan".
Bahkan di sana-sini Andrea menyinggung soal lambang dalam
aritmatika dan geometri. Ihwal yang terakhir ini muncul bersamaan
dengan perbincangan mengenai teori gravitasi dalam bab Rahasia
Gravitasi buku edensor.
Makin jelas kini kita tengah dihadapkan pada karya sastra yang
menampilkan berbagai ekspedisi dan petualangan, yang tampaknya
menunjukkan kepada kita bahwa dunia kini memang tak lagi

tersekat-sekat oleh batas dan disiplin ini dan itu. Ayu Utami dengan

Bilangan Fu dan Andrea dengan tetraloginya jelas tifikal novelis
lintas batas yang fasih mengaduk-aduk sains dalam narasi. Seperti
kata salah seorang tokoh dalam edensor, "ekspedisiku telah
membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekatsekat dimensi ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang
menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristia
masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin
dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang
siputnya, untuk menemukan jawaban pertanyaan atas dirinya. Inikah
postulat hukum nasib? Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai
lngkaran alamiah filsafat manusia?"
***
Jika Iwan Simatupang pernah bilang, salah satu ciri novel masa
depan adalah novel-esai dan novel tanpa genre, saya kira novel
Bilangan Fu dan tetralogi Andrea adalah di antaranya, walau bukan
juga sebuah kemutlakan. Gaya kedua novel ini nyaris tak bergenre,
dan kalau pun ini novel maka tak lagi terpilah secara ketat dengan
genre-genre kesenian yang lain.
Analogi antara geometri dan seni, atau bahkan antara geometri dan
puisi, memang terhitung sudah tua, namun sampai kini masih
diparodikan. Andrea hemat saya hanya memarafrasekan kembali

dunia mimpi dan komedi putar yang mengingatkan saya pada istilah
Richard Rorty--dalam terjemahan Arif Bagus Prasetyo--ini: suatu
ziarah "komidi-putar sastra-sejarah-antropologi-politik".
Inilah ziarah kritisisme budaya, kata Arif, di mana matematika
menopang fisika--yang berupaya menangkap sejumlah keping
semesta-- sementara seni menyokong etika, yang berjuang
menangkap sebagian lain dari keping semesta yang sama. Karena
itu: "Sains, tak lebih dan tak kurang, hanyalah sebuah genre sastra",
tulis Arif.
Seandainya sains dan seni tak mengandung keindahan melalui
lambang-lambang, barang kali tak akan pernah menarik. Kekuatan
puisi dan geometri justru pada pola dan topografi serta lambangnya
yang ringkas. Simbol-simbol, khususnya bilangan dan perhitungan
numerologi, muncul jauh sebelum kata-kata dipakai dalam tulisan.
Nenek-moyang kita bahkan menulis dengan lambang-lambang
seperti takik.
John Forbes Nash, yang pernah mengalami skizofrenia puluhan
tahun dan akhirnya meraih Nobel Matematika, pernah menuturkan
pengalaman hidupnya dengan gaya berpikir yang eksotik-matematik
kepada Sylvia Nasar dalam buku A Beautiful Mind (1998). "Saya


selalu asyik dengan konsep bahwa perhitungan numerologi yang
bergantung pada sistem desimal mungkin tak cukup intrinsik. Bahwa
bahasa dan struktur alfabet mungkin mengandung ciri-ciri budaya
kuna yang bersilangan dengan pemahaman yang gamblang atau
pemikiran yang tidak bias", kata Nash.
Dari sini Nash menuliskan serangkaian lambang "baru"; simbolsimbol yang terkait dengan sistem untuk menggambarkan bilanganbilangan bulat melalui metafora-metafora yang berdasarkan
perkalian-perkalian bilangan-bilangan prima yang berurutan, yang
tak ubahnya dengan seni.
Tahun 1950-an, Nash berusaha menulis ulang dasar-dasar fisika
kuantum dan tak henti-hantinya menggali makna tersembunyi di
balik angka-angka dan teks Alkitab. Disertasinya yang hanya 12
halaman sangat populer karena mengekspresikan dunia sains yang
kaya dengan metafora dan pikiran-pikiran simbolik yang tak mudah
dicerna.
Banyak ahli fisika dan matematika menghasilkan karya kreatif yang
juga menjadi inspirasi para penyair. Sistem numerologi dan teoremateorema matematika telah memengaruhi penulisan puisi model
kuatrin di negeri Arab-Islam.
Bahkan apa yang disebut fiksi mikro, seperti pernah diuraikan
dengan baik oleh Hasif Amini dalam Dunia di Sebutir Pasir, yang

disinggung panjang lebar oleh Iswadi dalam diskusi di UKMBS itu,
salah satu cirinya adalah ringkas dan padat secara maksimal dan
indah seperti sebuah teorema. Sajak-sajak haiku dan koan Zen,
misalnya, mengandung teka-teki tak ubahnya dengan teorema
aritmetika. Apa yang ditekankan bukan aritmetika sebagai ilmu pasti
dan rasional, melainkan lambang, metafora.
***
Sains memang melahirkan rasionalisme. Sementara seni
menguatkan spiritualisme.
Post-modernisme hadir sambil menggugat jalan tengah yang
ditawarkan agama atau menampik sintesa dan dialektika Hegelian.
Semangatnya yang mendekonstruksi di sana-sini banyak
mempengaruhi keeksakan sains. Lonceng kematian filsafat dan
kepastian sains ditabuh dan dipulangkan dalam dunia spiritual. Maka
orang pun ramai menyebut filsafat dan sains jika hendak eksis,
seperti kata Bambang Sugiharto, mesti mengambil spirit dari puisi.
Sains bagaimana pun mementingkan logika atau penalaran logis.
Seni sepintas bertolak belakang, walau beberapa penyair Lampung

masih menekankan kelogisan dalam puisi. Bukan sains sebagai genre

sastra, tapi sastra sebagai genre sains.
Subagio Sastrowardoyo dahulu pernah menilai puisi dengan
penekanan pada logika, bahkan tuntutannya pada logika hampir
mutlak. Asrul Sani menganggap penilaian Subagio merupakan sikap
"antipuisi yang paling ekstrim" seraya ditambahkannya bahwa "puisi
punya logikanya sendiri".
Nirwan Dewanto menyayangkan kegagapan kita terhadap sains.
Sains tak mendapat perhatian di kalangan budayawan dan sastrawan
kita padahal kehadiran masyarakat sains yang terus membesar, kata
Nirwan dalam pidato kebudayaan 1991 di TIM yang kemudian
diterbitkan menjadi esai bertajuk Kebudayaan Indonesia: Pandangan
1991, mestinya akan terlihat dengan meningkatnya kemampuan
mereka melakukan refleksi terhadap seluruh tata kebudayaan yang
berlaku. Tapi nyatanya tidak. Hal itu justru menjadi bukti peran
budayawan makin merosot. Bahwa cara berpikir kultural sudah aus.
Ayu Utami baru-baru ini menunjukkan paradoks post-modernisme
yang tampaknya dialami sebagian besar orang Indonesia. Di satu sisi
Ayu masih menganggap kanon sastra masih penting dan karena itu
mengusulkan novel tetralogi Pulau Buru Pramoedya sebagai kanon
sastra dalam esai Kanon Sastra: Mengapa Takut? Tapi pada novel

Bilangan Fu (2008), Ayu secara terbuka mengkampanyekan apa yang
disebutnya "3M: Tiga Musuh Dunia Postmodern, yaitu modernismemonotheisme-militerisme".
Apa yang digugat dan digayang kaum post-modern ternyata itulah
yang tengah mereka rayakan. Betapa pun ilmu pengetahuan ditolak
dan ditampik, kenyataannya justru banyak yang terpukau. Aritmatika
dan geometri masih laku, bahkan di sekolah-sekolah diminati siswa
dan mahasiswa dengan gairah.
Kepercayaan kepada Tuhan yang Mahaesa, walau digugat habishabisan oleh para teoritkus posmo, nyaris tak tergoyahkan. Bahkan
muncul pembelaan dengan merebaknya semangat fundamentalisme.
Di lain tempat muncul gugatan tehadap paham monotheisme. Ada
juga kritikus yang menggugat bentuk, ruang, dan pedalaman karena
ketiga soal ini meniscayakan keterbatasan dan kedangkalan; tak
lebih sebagai ilusi.
***
Gaston Bachelard pernah menulis tentang puisi ruang, yang oleh
Syariati dalam esai Mazhab Pemikiran dan Ideologi dikatakan
Bachelard meyakini anggapan: "manakala suatu gagasan dapat

dikoseptualkan dalam bentuk geometris, ia telah menemukan bahasa
yang tepat guna mengekspresikan dan menjelaskan dirinya sendiri.

Artinya, manakala suatu gagasan bisa diekspresikan secara
geometris, ia telah menemukan bahasa terbaik ekspresinya".
Bagi Syariati, jika seorang bisa memanfaatkan matematika sebagai
bahasa ekspresi suatu mazhab agama, filsafat dan sastra atau seni
pada umumnya, maka ia bakal menemukan ekspresi lewat penalaran
logis seraya membuktikan dirinya logis dan ilmiah. Suatu mazhab
puisi dan pemikiran akan teruji dan menampakkan sosoknya lewat
batu-batu sendi dan sandi geometris: apakah ia berbentuk natural,
apakah kurvanya normal dan abnormal, apakah bentuknya heterogen
atau homogen, tak jadi soal.
Artinya, seseorang--entah sebagai filsuf maupun sebagai penyair-bisa memahami kualitas-kualitas natural suatu mahzab dari suatu
ekspresi geometrisnya. Kaum sufi banyak menulis karya dengan
teorema-teorema cantik yang umumnya dirumuskan dalam sembilan
waktu dan sembilan ruang yang sangat simbolik.
Sebuah teorema bahkan sempat menjadi ekspresi di kalangan
mistikus, koan zen, kebatinan Timur. Ada banyak contoh puisi tanpa
kata yang mengekspresikan kekonkritan yang ditakik dari geometri,
yang bisa dikemukakan di sini.
***
Demikianlah. Kesibukan berdebat soal seni untuk seni atau seni

untuk politik sudah aus. Momentum krisis sains telah dimanfaatkan
secara serius oleh kalangan penyair di belahan dunia. Tipologi
matematika dan pola-pola kompleks geometri sudah bertemu dengan
tipologi dan pola-pola puisi. Jorge Luis Borges dengan intim bicara
tentang ensiklopedi berbagai disiplin dengan Tlon, Uqbar, Orbius,
dan Tertius yang terkenal itu. Para kritikus dunia mulai tertarik
menguak wawasan puitik Omar Khayam dalam al-Rubaiyat yang
memanfaatkan lambang-lambang aljabar, algoritme dan trigonometri
Al Khuwarizmi. Sebuah situs Aulipo di internet mulai banyak
dibicarakan orang Indonesia sejak Nirwan Ahmad Arsuka menulis di
Bentara.
Di kalangan penyair mulai tumbuh wawasan sains yang, mungkin
karena daya gedor gerakan posmo yang begitu dahsyat, sehingga
muncul karya sastra dengan gaya yang tampaknya bukan lagi ditulis
pada zaman kita. Karya sastra bukan lagi buah dari suatu zaman
kini, melainkan zaman entah. Karya sastra bukan ditulis dari tanah
sendiri, melainkan tanah tak bernama.
Sains telah berkembang pesat sehingga, seperti halnya magi, ia

bukan lagi suatu bangunan yang tunggal. Karena itu sains pun

merumuskan dirinya terus-menerus dan senantiasa berada dalam
proses yang tidak seperti labirin berujung tunggal. Baik sains
maupun sastra memang membutuhkan sebuah kritik, mungkin
sejenis kritik terhadap diri sendiri seperti tekanan yang diberikan
Karl Popper.
Harus diakui, para penyair modern tidak lebih berhasil daripada ahli
magi primitif. Teori Frazer tentang magi dan sains sebagai rangkai
kejadian terhadap sesuatu yang pasti dan mengikuti aturan hukum
yang ketat dan operasinya dapat diperhitungkan dengan tepat, telah
banyak diakui ilmuwan. Terlepas dari adanya banyak kritik dan
perbedaan mendasar antara magi dan ilmu pengetahuan, teori
Frazer juga diyakni B. Malinowski yang--kendati Malinowski lebih
tertarik menghubungkan magi dan agama ketimbang sains-menganggap magi sebagai pseudo ilmu dengan sebuah proses yang
sama-sama dilakukan dengan perhitungan rasional.
Percuma saja berharap pada puisi agar bisa menjadi penyembuh luka
besar kemanusian jika kita sendiri tidak memanfatkan puisi dengan
mendasar. Begitu juga dengan sains, seperti yang dilukiskan ahli
neurologi, Donal B. Calne dalam Batas Nalar: percuma kau
mengharapkan sains menyembuhkan kanker kalau kau tidak lebih
dahulu menempatkannya di jalur perkembangan yang cocok dengan

itu.
Bahwa para ilmuwan dan penyair tak sanggup menentukan jalur
yang dimaksud, tidak berarti sains dan puisi gagal, melainkan jalur
tersebut tidak cukup dilejajahi dan karena itu terlalu banyak
halangan harus dihadapi. Namun, siapa pun sulit mengingkari bahwa
zaman teknologi yang dilahirkan sains sekarang ini ternyata bisa
menghasikan tahap-tahap penting imajinasi yang terkadang masih
berbau sihir. Dan sihir: mengapa tidak?
* Asarpin, Pembaca sastra