Seni Puisi dan Kekuasaan pdf

SENI, PUISI, DAN KEKUASAAN

Runtuhnya rezim gereja abad pertengahan di Eropa, yang dilatar belakangi semangat
pencerahan,menyisakan ilmu pengetahuan (postivisme) sebagai satu-satunya epistemologi yang absah.
Kepercayaan pada pengetahuan yang empiris dan rasional menjadi semangat jaman. Janji manis
modernitas yang berniat memberi waktu luang yang lebih besar pada manusia dengan jalan melakukan
industrialisasi kehidupan, terbukti menemukan jalan buntu. Bukan waktu luang yang didapat, justru
dehumanisasi manusia yang terjadi. Demi efisiensi dan efektivitas, pabrik-pabrik memperkerjakan
perempuan dan anak-anak melebihi kemapuan mereka untuk bekerja.
Marx adalah orang pertama yang memprotes kondisi tersebut, ia menuduh kapitalisme sebagai
penyebab keterasingan manusia dari kemanusiaannya. Menurut Marx, pembagian kerja yang subtil
dalam industri, yang di kenal dengan istilah Fordisme, telah membuat manusia terasing dari apa yang
dikerjakannya. Seorang buruh pabrik pasta gigi, terkadang hanya mengerjakan tutup pasta gigi saja,
yang lainnya menempelkan merk, atau sekedar memasukan pasta gigi ke dalam kemasan. Kerja yang
dipelajari Marx dari Hegel sebagai cara manusia mencerap dunia, patah oleh kenyataan cara kerja
ekonomi kapital yang menjadikan kerja sebatas pencipta nilai bagi komoditi.
Kerja di jaman modern tidak lagi membutuhkan perenungan mendalam, seperti para mpu pembuat
keris di jaman Sriwijaya atau Majapahit. Kemampuan pekerja tidak lagi dinilai dari kualitas produk yang
diciptakannya, melainkan dari berapa banyak ia mampu membuat produk dalam waktu yang singkat.
Akibatnya manusia kehilangan spiritualitas, kerja bukan lagi kegiatan yang dapat mengantarkan manusia
pada Tuhan, sebaliknya kerja di jaman Industri adalah pengingkaran terhadapNYA. Target yang serba

pasti dan prediksi yang mendahului takdir adalah tanda dari matinya Tuhan dalam kerja di jaman
modern.
͞Agama͟ Baru
Di tengah krisis kemanusiaan yang membelenggu, kemana manusia mencari harapan? agama mungkin
adalah pilihan yang paling tepat, jika saja reformasi gereja masih menyisakan sesuatu untuk dipercaya
dalam agama dan agama tidak keburu jatuh dalam formalisme. Jika bukan agama, maka tinggal senilah
satu-satunya jawaban yang mungkin. Mengapa? Seni satu-satunya ruang yang masih membutuhkan
perenungan dalam proses penciptaannya, dan seniman mungkin satu-satunya manusia yang tidak
terasing dengan apa yang diciptakannya.
Seni adalah dunia yang merayakan kemungkinan, hanya dalam puisi kata-kata memiliki sayap, dan hanya
dalam lukisan manusia berkepala kuda. Dalam seni dan melalui para seniman, manusia yang di belenggu
kapitalisme menitipkan utopia dan harapan akan dunia yang lebih baik. inilah mengapa di awal jaman
oder se i e jadi aga a aru da para se i a
e jadi pe deta ya .

Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 1

Namun, kenyataan seni sebagai ruang perayaan kemungkinan bukan satu-satunya alasan yang

menjadikan seni sesuatu yang adiluhung, lebih dari itu, ada kekuasaan yang mendefinisikannya
demikian. Setiap karya yang dilahirkan dari perenungan, memerlukan perenungan untuk mencernanya,
sedangkan tidak setiap orang memiliki waktu untuk merenung. Mereka yang punya waktu merenung
dalam terminology Marx disebut sebagai kaum borjuis, yaitu mereka yang tidak perlu bekerja untuk
menghasilkan nilai ekonomi.
Dengan demikian, penobatan seni sebagai sesuatu yang adiluhung juga disebabkan oleh para
penikmatnya yang mendefinisikannya demikian, karena kebanyakan dari mereka adalah kelompok
dominan. Jika meminjam model pembacaan Lacan, situasi tersebuat dapat digambarkan sebagai
diskursus budak tuan. Lacan percaya setiap tuan (kelompok dominan) akan selalu berusaha
menonjolkan apa yang tidak mampu dimiliki oleh para budak (kelompok minor), sedangkan budak akan
sekuat tenaga mengerahkan seluruh potensinya untuk menjadi tuan, agar bisa mengakses sumber
penikmatan.
Seni di tempatkan sebagai sesuatu yang luhur dan ekslusif, karena ia dinikmati para tua . U tuk
menjaga agar akses pada seni tetap ekslusif, mereka menghargai seni dengan nilai ekonomi yang tinggi.
Ini sesuai dengan teori Marx tentang kerja sebagai pencipta nilai komoditi, lama kerja yang dibutuhkan
seniman dan kerumitan pekerjaannya, menjadi faktor yang menentukan nilai ekonomi dari seni .
Namun, faktanya hanya seni lukis yang bisa demikian, karena lukisan adalah satu-satunya produk seni
yang tidak bisa di produksi secara masal.
Awalnya teater juga, namun begitu teknologi motion picture di perkenalkan, teater kehilangan
spiritualitasnya (nilai perenunganya). Ini lah yang merisaukan Walter Benjamin, Benjamin mengatakan

seni yang telah di produksi se ara asal aka kehila ga apa ya g dise ut ya se agai aura . Puisi
misalnya, apabila di bukukan dan kemudian di reproduksi secara massal pada akhirnya hanya akan
menjadi komoditi belaka. Pada titik ini, seni sekalipun tidak dapat membebaskan manusia dari rasio
i stru e tal . Mereka yang mencetak buku kumpulan puisi mungkin saja tidak pernah membaca puisi
yang di cetaknya. Atas nama seni manusia di pekerjakan dalam industri.
Sampai pada saat meninggalnya, Walter Benjamin tidak pernah menemukan jawaban untuk
menghindari jatuhnya seni pada kondisi postauratik. Pertanyaan yang di tinggalkannya, akhirnya di
jawab oleh generasi filsuf setelahnya. Adalah Foucault yang lantang meriakkan tidak adanya yang
esensial dalam setiap bentuk pengetahuan, tidak terlepas seni. Jika meminjam pisau analisis Foucault,
maka kegagalan Walter Benjamin, telah dimulai dari titik pangkal pemikirannya yang ingin menemukan
sesuatu yang esensial (aura) dari seni. Bagi Foucault, pandangan esensialisme dalam melihat seni tidak
lain hanya bagian dari formasi kekuasaan, yang di dalamnya ada kurator, pengusaha, seniman, juga para
penikmat seni dan banyak lainnya.
Di tangan Foucault seni bukanlah jiwa ataupun aura, melainkan permainan kekuasaan. Apakah dengan
demikian seni bukan lagi jalan penyelamatan? Sebaliknya, justru Foucault memberi jalan pada siapapun
juga untuk menjadikan seni sebagai jalur emansipasi, ataupun mengemansipasi seni. Jika dalam
Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 2


pandangan Marxian yang di wakili Mazhab Frankfurt, mereka yang bukan seniman, seperti penerbit,
kurator, dan penikmat seni sebagai bagian yang tidak penting, bahkan dilihat sebagai alat, maka
Foucault melihatnya sebagai subjek kuasa.
Untuk menjadikan seni sebagai jalan penyelamatan, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah
menyelamatkan seni dari ekslusifitas dan elitisme. Baik dari segi bahasa maupun cara pandang
terhadapnya, untuk kemudian mengembalikannya pada setiap orang. Inilah nada protes yang pertama
kali di lontarkan kaum pasca strukturalisme di Eropa pada tahun 1970 dan masih berlangsung hingga
kini. Meski mungkin bukan di latarbelakangi oleh pandangan pascastrukturalis dalam melihat seni, nada
protes yang sama terdengar di ta ah air, le at geraka puisi e Beli g ya g di ga a gi oleh )eiha ,
Remy Silado, dkk juga pada tahun 1970.

Yang Bukan Penyair Tidak Ambil Bagian
ya g uka pe yair, tidak a il agia
de ikia u gkap Chairil A ar dala
salah satu
wawancaranya dengan radio Belanda. Kalimat chairil tersebut mengantarkan pada pemahaman
mengenai bagaimana seni di maknai di tanah air. Nada protes terhadap kalimat tersebut tumbuh subur
di penghujung tahun 1971, yang di tandai oleh munculnya perkemahan kaum urakan yang dikomandani
Rendra dan gerakan puisi emBeling yang di komandani Zeihan dan Remy Silado .
Seni di Indonesia memang bukan agama baru, karena Indonesia tidak pernah mengalami guncangan

epistemologi sebagaimana Eropa mengalaminya. Berbeda dengan di Eropa, agama di Indonesia justru
menjadi bahan bakar perlawanan terhadap kolonialisasi, sehingga sampai sekarang agama memiliki
posisi yang signifikan dalam masyarakat. Kendati demikian, nada sakralisasi dan ekslusiftas seni begitu
terasa dalam kalimat chairil tersebut.
Dalam kalimatnya Chairil dengan tegas membagi antara yang penyair dan bukan penyair. Bagi Chairil,
hanya penyairlah yang punya hak membuat syair. Sehingga jelas penyair memiliki posisi yang luhur,
karena hanya penyair yang boleh merenung (ambil bagian) dan melahirkan puisi atau sajak. Dengannya
puisi ataupun sajak menjadi sesuatu yang luhur pula, sebab ia buah karya seorang penyair. Pernyataan
inilah yang di tolak Zeihan dengan gerakan puisi emBeling. Dalam percakapannya dengan Farid Sony
Maula a, )eiha
e gataka , De ga tegas saya kataka , ya g uka pe yair oleh ikut a il agia .
Ini artinya setiap orang boleh menulis puisi, boleh main-main dengan puisi. Gembira ria dengan
puisi Mata e Beli g,
:
.
Pernyataan Zeihan adalah tantangan terhadap kemapanan jamannya. Tantangan itu disampaikan
dengan cara yang elegan, langsung dialamatkan pada episentrum kekuasaan ketika itu, yaitu majalah
Horison, yang seolah tidak memberikan peluang terhadap gaya pengucapan puisi, selain puisi lirik.

Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010


Page 3

Di penghujung tahun 1971 puisi embeling pertama kali di publikasikan di majalah aktuil. Pemilihan
majalah Aktuil sebagai media publikasinya adalah pesan pertama pemberontakan puisi emBeling.
Majalah Aktuil di kenal sebagai majalah remaja populer, berbeda dengan majalah Horison yang dikenal
majalah bermuatan serius. Dengan menaruh puisi di majalah Aktuil, sama dengan menurunkan derajat
kemuliaan puisi. Namun, memang itulah yang dihendaki gerakan puisi emBeling, seperti yang terungkap
dalam mukadimah puisi embeling.

Sadjak ja sadjak
Djedjak ja djedjak
Sadjak tjari djedjak
Djedjak tjari sadjak
Biarkan
Jang di djedjak, djedjak
Jang sadjak, sadjak
(Mata emBeling jeihan, 2000: 11)

Seni adalah apa yang harus diletakkan di telapak kaki, begitulah filosofi gerakan puisi emBeling yang

disampaikan juru bicaranya, Remy Silado. Pesan untuk membumikan seni terasa dalam kalimat tersebut.
Puisi adalah denyut kehidupan, maka puisi haruslah lahir dari keseharian bukan pertapaan. Puisi
bukanlah sesuatu yang yang luhur dan sulit di capai. Akan tetapi sesuatu yang dapat hidup di mana pun
dan untuk siapa pun, karenanya puisi emBeling, sebagaimana yang dikatakan Zeihan, tidak berhasrat
menyembunyikan makna dalam keindahan bahasa. Tidak perlu intelektualitas untuk mencerap puisi
emBeling, puisi emBeling telanjang dengan sendirinya. Makna pesan dalam puisi bagi zeihan adalah
seperti puisi di bawah ini:
1 mie baso
1 es jeruk
Cepat!
(Mata emBeling jeihan, 2000: 61)

Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 4

Lugu, tidak berlumur metafora, dan apa adanya, itulah semangat puisi emBeling, seperti yang dapat
dilihat melalui sajak pesan karya Zeihan di atas. Puisi emBeling adalah ikhtiar mengembalikan puisi
sebagai ruang emasipasi. Tanpa menempatkan estetika dan teknologi bahasa sebagai yang utama, puisi
emBeling menembus batas-batas puisi itu sendiri. Begitu pula halnya dengan batas antara seniman dan

bukan seniman. Mereka yang membaca puisi emBeling seolah diajak untuk merefleksikan keseharian
menjadi sajak.
Kehidupan adalah lautan makna, dimana setiap hari manusia mengarunginya, siapa saja belajar dari
hidup sesungguhnya adalah penyair. Persoalan kecanggihan bahasa adalah persoalan modalitas sosial
dan simbolik, tidak ada yang esensial kendati itu selera. Menurut Boerdieau, selera tidak terlepas
dengan kelas sosial, kemampuan untuk membuat puisi yang indah dalam perspektif kemapanan, hanya
mungkin bagi mereka yang lahir dalam kelas sosial tertentu. Kelas yang memiliki gaya hidup, pendidikan,
dan kemampuan ekonomi yang memadai. Puisi Sapardi Djoko Damono misalnya, tidak mungkin
dinikmati oleh seorang tukang becak, karena tukang becak tidak memiliki pengalaman hidup dalam kelas
sosial dimana Sapardi Djoko Damono dilahirkan.
Kendati demikian, kelas sosial bukanlah harga mati, dimana manusia akan tetap di dalamnya hingga ia
mati. Bagi Boerdieau, modal ekonomi ataupun simbolik, dapat di perebutkan dalam ranah sosial. Siapa
punya modal yang kuat, ia akan mampu mendefinisikan kebenaran menurut versinya. Puisi embeling
adalah usaha menawarkan alternatif konvensi bahasa yang lain dalam membangun puisi, bahasa yang
lebih memungkinkan kelas sosial yang tidak dominan untuk ikut menikmati puisi.
Hanya saja perlu di pahami, para aktor yang melahirkan puisi emBeling adalah juga mereka yang
tergolong dalam kelas sosial yang mapan. Remy Silado dan Zeihan adalah orang-orang yang pernah
mengecap pendidikan di perguruan tinggi. Posisi Remy Silado di majalah Aktuil jugalah yang
memungkinkan publikasi puisi embeling di majalah ini pertama kali. Usaha resistensi yang dilakukan
puisi emBeling, tidak lain adalah bentuk kuasa itu sendiri. Meskipun demikian, kuasa itu produktif.

Melalui pemberontakan puisi emBeling, khazanah sejarah sastra Indonesia berkesempatan untuk
menambah perspektifnya dalam melihat seni. Puisi emBeling mungkin tidak mampu merubah formasi
kekuasaan yang telah lama berakar, tapi setidaknya menawarkan alternatif pemaknaan yang segar atas
puisi. Kini pun,entah karena alasan apa, puisi emBeling tidak lagi mewarnai khazanah kesusatraan
nasional. Namun barang siapa menjiarahi sejarah sastra tanah air, niscaya tidak akan dapat mengingkari
jejaknya.
Humor, Parodi, dan Jalan Ilahi
Konsekuensi dari menyakini kuasa sebagai sesuatu yang produktif, membebani tulisan ini untuk
menjawab pertanyaan mengenai hikmah apa yang bisa di pelajari dari kehadiran puisi embeling?
Sebelum menjawabnya perlu terlebih dahulu di uraikan apa yang menjadi ke khasan puisi embeling.
Tentu akan sangat sulit menghindari generalisasi ketika harus menentukan apa yang khas pada puisi
emBeling, setiap Individu yang membuat puisi embeling memiliki coraknya masing-masing.
Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 5

Namun, dalam rangka tulisan ini, perlu diambil abstraksi atas makna yang berserak dalam puisi
emBeling. Sebagai sebuah gerakan, puisi emBeling menambahkan dua hal dalam puisi yang sebelumnya
nyaris tidak pernah di explorasi, yaitu humor dan parodi. Humor yang awalnya di anggap sebagai noda,
diangkat dalam puisi-puisi yang di tulis dengan gaya emBeling.

Humor dalam puisi emBeling merupakan tanda ke insafan diri, yang merupakan usaha menertawakan
diri sendiri (manusia). lewat humor dan parodi puisi emBeling menertawakan kelemahan manusia, yang
sampai detik ini tidak mampu menjelaskan ruang yang tersisa dalam deret bilangan, mendeteksi gempa,
ataupun mengukur gerak atom. Ketimbang bersembunyi dalam arogansi pengetahuan positivisme, puisi
emBeling mengajak manusia melihat betapa kecilnya dirinya di hadapan Yang Maha Esa . Dengan kata
lain, puisi embeling mengingatkan manusia bahwa hanya Tuhan lah yang pasti. Seperti tampak pada
puisi Nelayan karya Zeihan di bawah ini.

di tengah laut
seorang nelayan berseru
Tuhan bikin laut
beta bikin perahu
Tuhan bikin angin
beta bikin layar
tiba-tiba perahunya terguling
akh,
beta main-main
Tuhan sungguh-sungguh
(mata emBeling Jeihan, 2000: 71)


Humor dalam sajak Zeihan di atas bukan untuk menertawakan kekuasaan Tuhan, melainkan bagian
untuk menginsafinya dengan lega hati dan terus terang. Parodi dalam hal ini adalah bagian dari
kesadaran penulisnya yang terkadang masih juga lupa bahwasannya hanya Tuhan yang pasti. Penulis
adalah nelayan yang berangkat dengan segala kepercayaan diri, namun kembali dengan kenyataan
kapalnya terbalik, begitu pula kepercayaan dirinya. Layar yang dikembangkannya niscaya tidak berguna
tanpa angin yang Tuhan kirimkan, perahunya juga akan sia-sia tanpa hamparan laut yang Tuhan
Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 6

ciptakan. Gemerlap dunia terkadang memalingkan manusia dari kenyataan bahwa hidup yang kompleks
tidak mungkin hanya di jelaskan oleh hukum sebab akibat.
Tidak serta merta dengan adanya angin setiap layar pasti terkembang atau setiap hujan mesti di dahului
dengan langit mendung. Setiap gerak atau peristiwa adalah kehendak Ilahi, dan Tuhan tidak mesti
mengikuti rumus matematika, ataupun hukum alam yang manapun. Pesan ini jugalah yang menjadi
pere u ga )eiha dala puisi ya ya g erjudul Buat Kau D. “udia a

0123456789
bulan kehilangan magis
ABCDEFGHI
JKLMNOPQR
STUVWXYZ
Manusia kehilangan diri
Hitam-putih hitam – putih
Dunia kehilangan warna
Mata e Beli g )eiha ,

:

frase ula kehila ga
agis adalah iro i dari ati ya ke u gki a dala aroga si pe getahua
positi is e ya g di la a gka
elalui a gka
. Perlu di ketahui, Zeihan menulis puisi ini
pada tahun 1969, tahun yang sama dengan keberhasilan Neil Amstrong menginjakkan kakinya di bulan.
Sebelum peristiwa keberhasilan manusia ke bulan, bulan adalah ruang tempat yang gaib, ruang yang
selalu mengingatkan manusia bahwa ada kekuatan diluar dirinya, yang tidak mampu di capai manusia.
Namun, ini berubah sejak Neil Amstrong mengabarkan pada manusia bahwa tidak ada sesuatu apapun
di bulan, tidak itu Tuhan, setan, atau mitos apapun yang selama ini meliputi cerita-cerita mengenai
bulan.
Puisi Buat Kau D.“udia a e a gkap se a gat ja a ya g erayaka dunia yang hitam putih. Dunia
yang tidak lagi mengizinkan segala yang tidak dapat di ukur, seolah semua yang terjadi di dunia mesti
dapat dijelaskan. Pesan spiritual yang sama juga pernah disampaikan seorang guru sufi bernama Siddi
Kisyar atau yang di kenal dengan nama Nashruddin Khoja.

Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 7

Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh dari atap
rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka tetapi justru Mullah
Nashruddin yang di dibawa ke rumah sakit.
ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru? Ta ya salah satu

urid ya

Hi dari keper ayaa pada kepastia atau sesuatu ya g tidak isa di hi dari. Meskipun hukum
sebab akibat nampak tidak bisa di tolak! Ajukan pertanyaan-perta yaa teoritis seperti: jika
seseora g jatuh dari atap apakah leher ya ya g aka patah? Ia ya g jatuh – tetapi justru
leherku ya g patah! (Mahkota Sufi, Idries Shah: 67).

Inilah modus spritualitas yang di tawarkan puisi Zeihan. Lewat humor dan parody Zeihan mengajak
manusia untuk menyelami agama melampaui prosedur atau ritual. Apa gunanya berangkat setiap hari
ke masjid, gereja, ataupun wihara, akan tetapi seseharinya membunuh Tuhan melalui prediksi dan ilmu
pasti. Ini sama saja dengan menjadikan gereja, wihara, ataupun masjid sebagai nisan Tuhan. Agama
adalah totalitas keyakinan dan gerak, seseorang baru dikatakan beriman apabila telah mengamalkan
keyakinannya.
Hakikatnya agama adalah jalan bagi manusia untuk menemukan Tuhannya dan Tuhan tidak akan
ditemukan hanya dengan ritual semata. Seorang salik(murid sufi) bertanya pada gurunya,
uka kah
alkohol itu haram, lalu kenapa guru i u a ggur? , ja a sa g guru, uka apa ya g masuk, tapi apa
ya g keluar dari ulut, itu ya g hara .
Sudah menjadi prosedur agama Islam untuk melarang umatnya untuk meminum segala hal yang
memabukkan. Orang yang terpaku pada prosedur akan memaknainya sekedar tidak meminum alkohol,
namun di saat yang bersamaan ia menghujat ataupun memfitnah orang lain, lalu apa gunanya ia
menahan diri dari alkohol namun tidak menahan diri dari fitnah dan gibah(bergosip) . Intinya, guru sufi
tersebut sedang mengajari muridnya untuk tidak terpaku pada bentuk, namun melihat makna dari
larangan tersebut. Seorang muslim dilarang untuk minum alkohol untuk menghindari ia dari dosa-dosa
yang lebih besar, dalam kondisi hilang kesadaran manusia dapat saja berkata bohong, menghina orang
lain ataupun membunuh. Makna inilah yang sering kali luput dipahami ketika manusia hanya taat pada
prosedur, namun melupakan hakikat perintah tersebut.
Kecenderungan modus beragama yang prosedural juga dapat membawa manusia pada sekulerisme.
Seolah-olah dunia terpisah dengan akhirat dan rumah ibadah terpisah oleh kantor. Sehabis beribadah
tanpa rasa bersalah melakukan jinna. Modus beragam semacam ini, kini semakin sering terjadi,
terutama di kota-kota besar, dimana gejala masyarakat pascamodern dapat dilihat dengan jelas.
Padahal agama adalah soal keyakinan, ia tidak bisa di simpan jika bosan, atau di taruh sementara selama
bekerja. Setiap ruang adalah rumah ibadah dan setiap waktu adalah waktu ibadah.

Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 8

Menghindari jatuhnya agama pada formalisme adalah salah satu nilai emansipasi yang ingin di
sampaikan puisi emBeling Zeihan. Parodi dalam puisi emBeling berarti kerendahan hati penulisnya,
artinya ia tidak melihat kesalahan hanya ada pada orang lain. Namun juga menyadari bahwasannya
kesalahan yang sama juga menjangkiti dirinya. Dengan kata lain, penulis tidak tampil sebagai guru
agung, melainkan sebagaimana pembacanya, penulis juga adalah murid kebenaran.
Bukan tidak mungkin modus religiusitas yang di tawarkan puisi embeling Zeihan bisa jadi alternatif cara
beragama, yang dapat menghindari umat beragama jatuh pada formalisme. Meski sejenak, melalui puisi
embeling, pembacanya dapat saja mengalami apa yang disebut Heideger sebagai moment eksistensial,
yaitu o e t ya g e utus a usia dari keseharia ya, u tuk sesaat ere u gka ada .
Namun, perlu disadari puisi adalah perayaan kemungkinan, sehingga tidak pernah ada yang satu
menyoal puisi. Begitu pula tafsir puisi emBeling dalam tulisan ini, tidak lain hanya satu kemungkinan
kebenaran. Semoga setelah membaca tulisan ini, pembaca yang terhormat menjadi terangsang untuk
menziarahi puisi emBeling dan mengambil makna anda sendiri atasnya. Jika itu yang terjadi, maka
sebagai sebuah bentuk kuasa yang lain, tulisan ini baru bisa dikatakan produktif. Wassalam

Daftar bacaan
Sukmantoro, Jeihan. Mata emBeling Jeihan. Jakarata. Grasindo, 2000
Dua, Mikhael. Filsafat Ekonomi: Upaya Mencapai kesejahteraan Bersama. Yogyakarta. Kanisius,2008.
Kendall, Gavin dan Wickham, Gary. Using Foucault Method. London. Sage Publication, 1999.
Hardiman, F. Budi. Heideger dan Mistik Keseharian. Jakarta. KPG, 2003.
Jones, Pip. Pengantar Teori-teori Sosial: Dari Fungsionalisme Sampai Post-modernisme. Jakarta. Yayasan
Obor, 2003.

Essay ini diterbitkan dalam Buku DzAura Zeihandz, 2010

Page 9