Hubungan Resistensi Insulin Menggunakan Homa-IR dengan Rasio Profil Lipid pada Penderita Sindroma Metabolik

8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Resistensi Insulin
2.1.1. Defenisi
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respon
metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa plasma
tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak dari normal untuk
mempertahankan keadaan normoglikemik (euglikemik). Daerah utama
terjadinya resistensi insulin adalah postreseptor sel target dijaringan otot
rangka dan sel hati. Kerusakan reseptor ini menyebabkan kompensasi
peningkatan sekresi insulin oleh sel beta, sehingga terjadi hiperinsulinemia
pada keadaan puasa maupun postprandial (Krenzt, A.J, 2007).

2.1.2. Patofisiologi Resistensi Insulin
Gen insulin manusia terletak pada lengan pendek dari kromosom 11.
Molekul prekusor yaitu praproinsulin, suatu peptide rantai panjang dengan
BM 11.500 dihasilkan oleh sintesis yang diarahkan oleh DNA/RNA dalam
retikulum endoplasmik dari sel-sel beta pankreas. Molekul dibelah oleh

enzim-enzim mikrosomal menjadi proinsulin, kemudian diangkut ke badan
golgi dimana terjadi pengemasan menjadi granul-granul sekretorik berlapis
klatrin yang selanjutnya disebut insulin (Simanjuntak,2013) . Insulin adalah

Universitas Sumatera Utara

9

hormon pankreas yang dihasilkan oleh sel β Langerhan yang berfungsi
menurunkan kadar gula darah dengan menekan pengeluaran hepatic glucose
melalui penurunan glukoneogenesis dan glikogenolisis dan menurunkan
kadar gula darah dengan merangsang penyimpanan terutama ke otot dan
jaringan lemak melalui Glucose Transporter-4 (GLUT-4) (Rao, 2009).
Pada resistensi insulin terjadi kerusakan pensinyalan pada Insulin
reseptor substrate (IRS) maupun Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) yang
menyebabkan gagalnya translokasi suatu molekul transmembran GLUT-4 ke
membran sel sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan
digunakan oleh sel tersebut sebagai sumber energi. Glukosa yang tidak
terpakai ini akan menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang secara
klinis akan memberikan gambaran hiperglikemia (Immanuel, 2013). Peran

gen apabila terjadi resistensi insulin pada sindroma metabolik ini ditemukan
adanya mutasi pada kedua alel reseptor insulin , namun kasus ini jarang
terjadi. Beberapa data menunjukkan gangguan aktivitas insulin akibat mutasi
IRS-1 dan 2 (Simanjuntak,2013).
Resistensi insulin banyak dipercayai sebagai

denominator utama

terjadinya sindroma metabolik, tiap penderita beresiko berkembang penyakit
kardiovaskuler

dan

komponen

sindroma

metabolik

lainnya


(seperti

hiperlipidemia, hipertensi, dan hiperglikemia). Penyebab utama terjadinya
resistensi insulin adalah obesitas, terutama lemak visceral.

Obesitas

disebabkan karena intake kalori yang berlebihan dan aktivitas inadequate

Universitas Sumatera Utara

10

dibandingkan penggunaannya (Gerich , 2007).Penelitian di Italia pada
obesitas ditemukan peningkatan asam lemak bebas di dalam plasma akan
menganggu

sinyal


kaskade

insulin

melalui

peningkatan

fosforilasi

serin/treonin (IRS) 1 dan 2. Apabila terjadi peningkatan fosforilasi
serin/treonin pada reseptor maka terjadi penurunan fosforilasi tirosin.
Penurunan fosforilasi tirosin akan menganggu kerja IRS 1 dan 2. Penurunan
fosforilasi tirosin akan menganggu akan menganggu kerja IRS 1 dan 2 untuk
berikatan dengan PI3K, sehingga terjadi hambatan pengambilan glukosa ke
dalam sel oleh GLUT-4 (Immanuel, 2013).
Mekanisme terjadinya resistensi insulin dapat diterangkan oleh
beberapa jalur. Yang pertama adalah induksi resistensi insulin karena faktor
inflamasi. Hubungan antara inflamasi dan resistensi insulin dimana sitokin
proinflamatorik TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) dapat menginduksi

resistensi insulin. Akumulasi jaringan lemak pada obesitas akan meningkatan
produksi berbagai macam sitokin seperti TNF-α, IL-6 (Interleukin-6), resistin,
leptin, adiponectin, MCP-1 (Monocyte Chemoattractant Protein-1), PAI-1
(Plasminogen

Activator

bertanggungjawab

pada

Inhibitor-1),
kondisi

dan

inflamatorik

angiotensinogen
subakut


pada

yang
obesitas

(Sulistyoningrum, 2010)
Ketika intake kalori berlebihan dibandingkan pengeluaran energi, hal
ini dapat menginduksi meningkatnya

mitokondria NADH (mNADH) dan

reactive oxygen species (ROS) pada siklus asam sitrat (Cerelio, 2005). Jika

Universitas Sumatera Utara

11

ROS diproduksi terlalu berlebihan akan menurunkan aktivitas sel β pankreas,
dan sel yang lainnya ,pada saat yang bersamaan hiperglikemia akan

menginduksi signal ROS yang akan menstimulasi sekresi insulin atau glucosa
induced insulin secretion (GIIS) (Pitocco, 2013).

2.1.3. Homeostatic Model Assessment Insuline Resistance (HOMA - IR)
Homeostatic Model Assessment Insuline Resistance (HOMA - IR)
adalah suatu metode untuk menilai terjadinya resistensi insulin pada keadaan
basal (puasa) berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah dan insulin
(Wallace, 2004)
Tehnik

hiperinsulinemic–euglycemic clamp adalah

gold standard

untuk mengukur sensitifitas insulin. Namun karena teknik ini mahal, perlu
banyak waktu, dan perhatian intensif, menjadikan tenik ini kurang praktis.
Beberapa pemeriksaan alternatif seperti
insulin tolerance test (ITT),

frequently sampled


(FSIVGTT),

insulin sensitivity test (IST) dan continuous

infusion of glucose with model assessment (CIGMA). Sayangnya, semua
metode ini memerlukan akses intra vena dan vena punksi yang multipel.
Terdapat beberapa tehnik pemeriksaan lain yang tidak invasif seperti
Continuous Infusion of Glucose with Model Assessment (CIGMA), dan Oral
Glucose Tolerance Test (OGTT) (Hermanto, 2012). Selain itu terdapat
metode puasa untuk menilai sensitivitas insulin seperti pengukuran Insulin
puasa,

G/I ratio, Homeostatic Model Assessment (HOMA), Quantitative

Universitas Sumatera Utara

12

Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dan


Insulin Sensitivity Index

(Radikova, 2003).
HOMA –IR lebih sering digunakan dalam menentukan sensitivitas
insulin karena dipertimbangkan tidak mahal , praktis untuk digunakan pada
penelitian epidemiologis secara besar. HOMA –IR menggunakan perhitungan
pengukuran kadar glukosa dan insulin puasa untuk menilai resistensi insulin
(Chaudari, 2012).
Rumus penghitungan HOMA-IR :
HOMA IR = (kadar insulin puasa (µIU/mL X kadar gula puasa (mg/dL)
405

(Byun,2015)

2.2. Sindroma Metabolik
2.2.1. Sejarah
Sindroma metabolik dikenal dengan berbagai nama. Pada tahun 1920,
Kylin dari Swedia orang yang pertama kali menjelaskan mengenai kumpulan
gangguan


metabolik,

yang

melibatkan

faktor-faktor

risiko

penyakit

kardiovaskular, atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD), hipertensi,
hiperglikemia, dan gout (Silalahi, 2013). .Pada tahun 1970 Gerald Phillips
menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan
manifestasi

klinis,


yang

sekarang

disebut

sindroma

metabolik

dan

dihubungkan dengan penyakit jantung. Pada tahun 1988, Gerald Reaven
mengajukan hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan

Universitas Sumatera Utara

13

trigliserida, dan kolesterol HDL yang rendah dan dinamakan kumpulan
abnormalitas Sindrom-X (Jafar,2012). Pada tahun 1989 Kaplan menamai
kembali sindroma tersebut menjadi “ The Deadly Quartet” (kuartet yang
mematikan) atau sindroma metabolik dan pada tahun 1992 kembali dinamai
ulang menjadi Sindroma Resistensi Insulin (Silalahi, 2013).

2.2.2. Definisi
Sindroma metabolik adalah kumpulan beberapa faktor resiko yang
saling berhubungan yang dapat menyebabkan diabetes dan penyakit
kardiovaskuler (Cornier et.al, 2008)
Definisi

sindroma

metabolik

termasuk

obesitas

sentral

terus

berkembang hingga 1999 dan pada tahun yang sama WHO menetapkan
nama sindrom X menjadi sindroma metabolik hingga dikenal sampai
sekarang. Selain WHO banyak perkumpulan di dunia menentukan kriteria
yang berbeda untuk sindroma metabolik, diantaranya European Group for the
Study of Insulin Resistance (EGIR) , the American Heart Association/National
Heart, Lung, and Blood Institute (AHA/NHLBI), The American Association of
Clinical Endocrinology (ACE), the International Diabetes Federation (IDF),
dan National Cholesterol Education Program abbreviated to Adult Treatment
Panel (NCEP ATP III) (Byrne, 2005)
Pada sindroma metabolik adanya kombinasi beberapa faktor ,hingga
para peneliti menyebutkan makin meningkatnya kewaspadaan komorbiditas

Universitas Sumatera Utara

14

kardiovaskuler dan penyakit metabolik. Walaupun ada perbedaan kriteria
dalam menetapkan diagnosa sindroma metabolik, mereka tetap setuju bahwa
dalam menetapkan sindroma metabolik sudah termasuk obesitas sentral,
resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi (Cornier et.al, 2008)

2.2.3. Epidemiologi
Prevalensi sindroma metabolik meningkat tiap tahun di seluruh dunia.
Estimasi prevalensi sindroma metabolik di Amerika Serikat dan seluruh dunia
tergantung definisi , kriteria sindroma metabolik yang digunakan, dan
populasi yang diambil untuk penelitian (jenis kelamin, umur, ras, etnis, gaya
hidup) (Cornier et.al,2008). Perbedaan data prevalensi sindroma metabolik
menggunakan kriteria WHO, EGIR, dan ATP III dapat dilihat pada tabel 2.2.
(Alberti,2006).
Di Indonesia, prevalensi sindroma metabolik terus meningkat seiring
dengan perubahan pola hidup, Soewondo dkk (2006) meneliti prevalensi
sindroma metabolik dengan menggunakan NCEP ATP III yang dimodifikasi
dengan kriteria Asian sebagai kriteria sindroma metabolik di Jakarta. Diantara
1591 subjek yang diteliti 30,4% sindroma metabolik pada pria dan 25,4%
pada wanita, prevalensi cenderung meningkat sesuai dengan kenaikan umur.
Penelitian Soegondo (2001) menunjukkan prevalensi sindroma metabolik di
Indonesia adalah 13,13% berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga.
Dalam penelitiannya yang dilakukan di Depok dengan memakai NCEP:ATP

Universitas Sumatera Utara

15

III sebagai kategori didapat prevalensi sindroma metabolik sebesar 25,7%
pada pria dan 25% pada wanita (Soegondo,2001).

Tabel 2.2. Prevalensi sindroma metabolik berdasarkan WHO, EGIR dan
NCEP ATP III (Alberti,2006)

Di Semarang 297 penderita diabetes mellitus tipe 2 yang menjalani rawat
jalan di Poliklinik Endokrinologi di RS Dr. Kariadi sebesar 52,2% pasien
memenuhi kriteria WHO dan 73% memenuhi kriteria NCEP ATP III
(Wulandari, 2013).

2.2.4. Diagnosa
Kriteria AHA/ NHLBI dan IDF merupakan kriteria yang selalu
digunakan sebab sangat praktis untuk menentukan diagnosis.meskipun

Universitas Sumatera Utara

16

sangat rumit, Kriteria WHO juga digunakan pada beberapa bagian di dunia
ini. Saat ini NCEP ATP III merupakan yang sering dipakai untuk penelitian
karena sangat mudah dan simpel. AHA & NHLBI. menyatakan bahwa ketika
menegakkan

diagnosis

sindrom

metabolik,

tidak

terlalu

diperlukan

peningkatan lingkar pinggang, jika kriteria lainnya ada (Soegondo, 2009)
Tabel 2.3. Kriteria Diagnosis Sindroma Metabolik.( (Soegondo,
2009)
KLINIS

WHO (1998)

EGIR

Insulin
Resisten

IGT,IFG,T2DM
atau rendahnya
sensitivitas
insulin + 2 dari
kriteria

Obesitas

WHR
L ≥ 0,9
P ≥ 0,85
Dan atau
2
BMI> 30kg/m

Plasma
insulin
th
>75
Percentile
+ 2 dari
kriteria
Lingkar
pinggang
L ≥ 94cm
P ≥ 80cm

Dislipidemi

Plasma TG ≥1,7
mmol/l
(150
mg/dl) dan/atau
HDL-C
P < 0,9 mmol/l (
40 mg/dl)
L140/90
mmHg
IGT,IFG,atau
T2DM

Glukosa

NCEP
ATP
III
(2001)
Tidak ada
Tapi + 3
dari
5
kriteria

AACE
(2003)

IDF (2005)

AHA/NHLBI
(2005)

IGT atau
IFG
+
salah satu
penilaian
klinis

Tidak ada

Tidak ada
Tapi + 3
dari
5
kriteria

Lingkar
pinggang
L

102cm
P

80cm

BMI
2
≥25kg/m

Lingkar
pinggang
L ≥ 102cm
P ≥ 88cm

Plasma
TG
≥150
mg/dl
HDL-C
L < 40
mg/dl
P < 50
mg/dl

Plasma
TG
≥150
mg/dl
HDL-C
L
80 cm
TG level ≥
150 mg/dl
(1,7 mmol/l)
/ TG RX
HDL-C
L