Isolasi dan Uji Ekstrak Metanol Bakteri Endofit Keji Beling (Strobilanthes Crispus) dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Mikroba Patogen

alternatif pengendalian secara biologi untuk menekan pertumbuhan mikroba
patogen dan untuk mendapatkan isolat awal bakteri endofit dari tanaman tersebut.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keji Beling (Strobilanthes crispus)
Keji beling (Gambar 2.1) adalah suatu jenis tumbuhan yang berbatang basah dan
sepintas menyerupai rumput berbatang tegak. Batang pohonnya berdiameter antara
0,2 - 0,7 cm. Kulit luar berwarna ungu dengan bintik-bintik hijau dan apabila
menjadi tua berubah menjadi coklat. Daun berbentuk bulat telur, pada tepinya
bergerigi dengan jarak agak jarang, berbulu halus hampir tak kelihatan. Panjang
helaian daun (tanpa tangkai) berkisar antara 5 - 8 cm (ukuran normal) dan lebar
daun kira-kira 2 - 5 cm (LIPI, 2009). Akar utama keji beling berbentuk tunggang,
berwarna putih kekuningan dan berfungsi dalam menyerap air dan memperkuat
tanaman. Kulit batangnya berwarna serta memiliki bulu halus.

Gambar 2.1. Keji Beling (LIPI, 2009)
Tanaman ini merupakan tanaman obat yang memiliki efek farmakologi yang
dapat menghancurkan senyawa berbahaya dalam tubuh. Selain itu tanaman keji
beling mengandung zat kalium, natrium, kalsium, asam silikat dan sebagainya.

Tumbuhan ini juga memiliki rasa yang pahit (Sulaksana & Jayusman, 2005).
Tanaman keji beling ini berasal dari daerah Madagaskar. Perkembangan dan proses

Universitas Sumatera Utara

penyebarannya hingga ke Indonesia belum diketahui secara pasti. Kemungkinan
besar keji beling dibawa ke Indonesia oleh para pedagang rempah-rempah yang
berkeliling dunia berabad-abad yang lalu. Di Indonesia, keji beling bisa tumbuh
hampir di seluruh wilayah kepulauan Nusantara.
2.2. Bakteri Endofit
Mikroba endofit adalah organisme hidup yang berukuran mikroskopis (bakteri dan
jamur) yang hidup di dalam jaringan tanaman (xylem dan phloem), daun, akar, buah,
dan batang. Mikroba ini hidup bersimbiosis saling menguntungkan, dimana dalam
hal ini mikroba endofit mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme tanaman dan
memproteksi tanaman sedangkan tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan
senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya (Tanaka et al., 1999). Setiap
tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu
menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat
koevolusi atau transfer genetik dari tanaman inang ke dalam mikroba endofit (Tan
& Zou, 2001).

Mikroba endofit terdapat dalam beragam jenis tanaman, mengkolonisasi
jaringan tanaman, mendapatkan nutrisi dan perlindungan dari tanaman inangnya.
Mikroba endofit dapat menghasilkan beragam metabolit sekunder potensial dalam
bidang kesehatan, pertanian dan industri (Strobel & Daisy, 2003). Dalam satu
jaringan tanaman kemungkinan ditemukan beberapa jenis endofit. Endofit yang
hidup dalam tanaman dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder sama
dengan yang dihasilkan inangnya akibat adanya pertukaran genetis dan hubungan
evolusi yang panjang (Tan & Zou, 2001).
Jaringan internal akar dilaporkan memiliki kerapatan populasi bakteri
endofit yang paling tinggi dibandingkan bagian tanaman lain seperti batang dan
daun (Hallmann et al., 1997), sehingga dapat menjadi sumber berbagai metabolit
sekunder baru yang berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang medis, pertanian
dan industri. Kemampuan bakteri endofit dalam memproduksi senyawa metabolit
sekunder merupakan peluang yang sangat besar di bidang pertanian dalam hal
biopestisida yang ramah lingkungan (Radji, 2005).
Pengendalian hayati menggunakan bakteri endofit merupakan salah satu
alternatif pengendalian penyakit tanaman. Keunggulan bakteri ini sebagai agen

Universitas Sumatera Utara


pengendali hayati yaitu mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi, menghasilkan
hormon pertumbuhan dan mengendalikan penyakit tanaman melalui mekanisme
induksi ketahanan tanaman (Hallmann et al., 1997).

2.3. Mikroba Patogen
Keberadaan mikroba patogen, sangat mempengaruhi kehidupan kita,
terutama dalam hal masalah kesehatan. Terdapat berbagai penyebab penyakit, salah
satunya ialah mikroba patogen. Penyakit yang ditimbulkan bermacam-macam
tergantung dari jenis mikroba penyebab penyakit tersebut, dan menimbulkan
infeksi pada organ-organ tertentu. Oleh karena itu, dilakukan pencegahan
semaksimal mungkin terhadap mikroba patogen tersebut.

2.3.1. Streptococcus mutans
Streptococcus mutans merupakan kuman yang mampu membentuk karies

pada gigi karena segera membentuk asam dari karbohidrat yang dapat diragikan. S.
mutans bersifat asidogenik yaitu menghasilkan asam, asidodurik, yang mampu

tinggal pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket
disebut dextran (Nugraha, 2008).

Karies gigi merupakan suatu penyakit infeksi yang dapat menular dan
terutama mengenai jaringan keras gigi, sehingga terjadi kerusakan jaringan keras
setempat. Proses terjadinya kerusakan pada jaringan keras gigi melalui suatu reaksi
kimiawi oleh bakteri. Proses kerusakan terjadi pada bagian anorganik, kemudian
berlanjut pada bagian organik (Sabir, 2005).
Kerusakan gigi dimulai dari permukaan dan berkembang ke arah dalam. Awal
dari karies adalah pembentukan plak yang terdiri atas endapan-endapan gelatin dari
glukan. Polimer-polimer glukan dihasilkan oleh Streptococcus terutama
Streptococcus mutans (Jawetz et al., 2001). S. mutans juga menyebabkan

pembusukan gigi melalui pembentukan biofilm dekstran dan asam yang merusak
email gigi (Hawley, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Salmonella typhii
Salmonella typhii merupakan bakteri Gram-negatif yang tidak berspora dan

merupakan salah satu penyebab infeksi penyakit utama pada manusia. Keberadaan
S. typhii tidak tahan pada kondisi lingkungan yang mengandung konsentrasi garam


yang tinggi. Organisme ini masuk melalui jalan oral, biasanya dengan
mengkontaminasi makanan atau minuman. Salah satu infeksi penyakit yang
disebabkan oleh S. typhii ialah demam enterik Typhoid.
Mekanisme infeksi penyakit demam typhoid S. typhii berada pada bagian
dalam tubuh. S. typhii menyerang ileosekum, menginvasi dan mematikan sel-sel
makrofag sehingga menyebar dan mencapai aliran darah. Selanjutnya S. typhii
berada di jaringan pembuluh empedu, diangkut ke dalam saluran pencernaan,
sehingga dapat menyebabkan penyakit (Hawley, 2003). Ketika Salmonella
mencapai usus kecil, kemudian masuk ke dalam cairan getah bening dan kemudian
ke aliran darah, selanjutnya dibawa oleh darah ke beberapa organ. Bakteri ini
meningkat di dalam jaringan getah bening usus dan dikeluarkan melalui tinja
(Jawetz et al., 2001).
Waktu masa demam tiphoid yaitu selama empat minggu. Masa inkubasi 7-14
hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dan denyut nadi. Pada minggu kedua terjadi
peradangan pada splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul
penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi
pada minggu ini dengan diare dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi dan pada
minggu ke empat terjadi perbaikan klinis (Zein et al., 2004).


2.3.3. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan jenis mikroorganisme koliform. E. coli memiliki ciri-

ciri berbentuk batang, merupakan bakteri Gram-negatif, tidak berkapsul dan
bersifat motil. E. coli juga digunakan sebagai indikator pencemaran makanan dan
air oleh tinja. Bakteri ini terdapat banyak pada usus manusia dan hewan.
E. coli adalah salah satu dari bakteri enterik. E. coli diklasifikasikan

berdasarkan sifat karakteristik dan virulensinya dan tiap kelompok menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

penyakit dengan mekanisme yang berbeda. Ketika infeksi klinis terjadi, biasanya
disebabkan oleh E. coli. Bakteri ini menjadi patogen ketika mereka mencapai
jaringan di luar intestinal normal atau tempat flora normal yang kurang umum, dan
kebanyakan tempat yang sering mengalami infeksi klinis yaitu pada saluran air
kemih, dan beberapa rongga perut (Jawetz et al., 2001), kemudian ketika ketahanan
tubuh inang tidak kuat dapat menimbulkan infeksi lokal yang secara klinik dapat
mencapai aliran darah lalu menimbulkan sepsis (Rio et al., 2012).

Selama ini, E. coli merupakan mikroorganisme indikator yang dipakai
dalam analisis air untuk menguji adanya pencemaran oleh tinja, tetapi
penyebarannya tidak selalu melalui air, melainkan juga melalui mulut dan dapat
ditemukan tersebar di alam sekitar kita. Penyebaran secara pasif dapat terjadi
melalui makanan atau minuman (Melliawati, 2009). E. coli juga merupakan
penyebab utama diare pada bayi di negara-negara berkembang. Penyakit ini
ditularkan melalui pemakaian feses sebagai pupuk tanaman dan umumnya pada
sanitasi yang buruk (Hawley, 2003).

2.3.4. Aspergillus flavus
Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit. Koloni yang sudah menghasilkan

spora akan berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula
berwarna putih tidak tampak lagi ketika spora mulai muncul. Spesies ini umum
ditemukan pada kacang-kacangan (khususnya kacang tanah), rempah-rempah, biji
yang mengandung minyak, serealia, dan kadang-kadang pada buah-buahan yang
dikeringkan (Gandjar et al., 1999). Berbagai bahan baku dan makanan olahan
seperti kacang-kacangan, daging dan buah juga rentan mendapat kontaminasi dari
jamur ini, yang terjadi melalui penyiapan bahan baku, pengolahan, penyimpanan,
pemasaran, hingga sampai pada konsumen.

Koloni A. flavus dapat mencapai diameter 3-5 cm dalam waktu tujuh hari,
dan berwarna hijau kekuningan karena lebatnya konidiofor yang terbentuk. Kepala
konidia khas berbentuk bulat, kemudian merekah menjadi beberapa kolom, dan
berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua kekuningan. Konidiofor berwarna
hialin, kasar dan dapat mencapai panjang 1,0 mm (ada yang sampai 2,5 mm).

Universitas Sumatera Utara

Vesikula berbentuk bulat hingga semibulat, dan berdiameter 25-45 µm. Fialid
terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula, dan berukuran (6-10) x (4,05,5) µm. Metula berukuran (6,5-10) x (3-5) µm. Konidia berbentuk bulat hingga
semibulat, berdiameter 3,6 µm, hijau pucat dan berduri (Gandjar et al., 1999).
Secara makroskopis jamur yang tumbuh terlihat warna koloni hijau
kekuningan yang merupakan indikator adanya jamur A. flavus. Secara mikroskopis
pada A. flavus tampak vesikel agak lonjong dengan dinding konidia lebih halus dan
tidak bergerigi seperti pada Gambar 2.2.

a

b


Gambar 2.2. a. Koloni jamur A. flavus, b. Konidia A. flavus pada pembesaran
100x10 (Safika, 2008)
Tahun 1961 telah ditemukan suatu bahan beracun dihasilkan oleh jamur A.
flavus bersifat saprofit, dengan alasan ini maka racun tersebut dinamakan

aflatoksin. Aflatoksin merupakan hasil metabolit sekunder dari jamur A. flavus
yang banyak ditemukan pada hasil pertanian di negara tropik. Lingkungan tropik
memberkan kondisi optimum bagi pertumbuhan jamur A. flavus (Massey et al.,
1995).
Kondisi optimum jamur ini untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada suhu
25-35 0C, kelembaban relatif 85 % dan kadar air 16 %, serta pH 6. Kontaminasi
aflatoksin pada bahan pangan terjadi bila strain aflatoxigenic berhasil tumbuh dan
membentuk koloni serta selanjutnya memproduksi aflatoksin. Jamur A. flavus akan
menghasilkan 50 % strain aflatoxigenic (Cotty & Melon, 2004).
Aflatoksin merupakan suatu metabolit sekunder yang terbentuk setelah fase
logaritmik pertumbuhan kapang A. flavus (Mehan et al., 1991), yang terdiri dari
empat komponen induk yaitu, aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2),

Universitas Sumatera Utara


aflatoksin G1 (AFG1) dan aflatoksin G2 (AFG2). Di antara keempat jenis aflatoksin
ini, diketahui aflatoksin B1 (AFB1) dan aflatoksin B2 (AFB2) termasuk yang
berbahaya, sehingga pengembangan penelitian banyak difokuskan pada aflatoksin
jenis ini (Coallier & Idzack, 1985).
Resiko kesehatan yang ditimbulkan jika konsumen mengkonsumsi produk
yang telah terkontaminasi A. flavus dan aflatoksin ini sangat besar, sedangkan
proses pengolahan makanan tradisional belum dapat menghilangkan cemaran
aflatoksin sampai batas aman. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu metode
kombinasi secara biologis, dengan terus melakukan eksplorasi dan skrining
mikroba kompetitor yang memenuhi standar "food grade" dan mampu menurunkan
kadar aflatoksin (Bata & Lasztity, 1999). Memodifikasi kondisi lingkungan seperti:
kelembaban rendah, kadar air serealia rendah (kering), pengepakan yang kedap
udara, perlakuan fumigasi merupakan cara mengeliminasi pertumbuhan A. flavus
sekaligus menekan kontaminasi aflatoksin (Misgyarta & Suarni, 2006).

Universitas Sumatera Utara