Hubungan Kadar CD4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

HIV/AIDS

2.1.1. Definisi
2.1.1.1.Definisi HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus dari famili le ntivirus
dari retrovirus hewan. Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk
retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc
Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV ( lymphadenopathyassociated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya
menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III ) (Puraja, 2008).
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2

yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara

global terutama disebabkan oleh HIV -1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang

mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.

2.1.1.2.Definisi AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome ) adalah kumpulan gejala penyakit

akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh
infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus ).

Penyakit ini dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi bakteri, jamur,

parasit, dan virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan

limfoma primer di otak. Dengan ditegakkannya penyakit -penyakit tersebut, meskipun

hasil pemeriksaan laboratorium untuk infeksi HIV belum dilakukan atau tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

diambil kesimpulan, maka diagnosis AIDS telah dapat ditegakkan (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000).


2.1.2. Diagnosis HIV/AIDS
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Cara langsung, yaitu isolasi virus dari sampel. Umumnya dapat
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus adalah dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR). Penggunaan PCR antara lain untuk:


Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi
sehingga menghambat pemeriksaan serologis.



Menetapkan status infeksi pada individu serokonversi



Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi serokonversi




Tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA untuk HIV 2 rendah

2. Cara tidak langsung, yaitu dengan melihat respons zat anti spesifik. Tes,
misalnya:


ELISA, sensitivitasnya tinggi (98. 1-100%). Biasanya memberikan
hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Hasil positif harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot.



Western blot, spesitifitas tinggi (99.6-100%). Namun, pemeriksaan
ini cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA
positif.




Immunofluorescent assay (IFA)



Radioimmunopraecipitation assay (RIPA)

Menurut WHO, HIV terbagi atas 4 derajat, yaitu:



Derajat I
1. Asimptomatik

Universitas Sumatera Utara

2. Persistent generalized lymphadenopathy
3. Acute retroviral seroconvertion syndrome
Gejala : demam, radang tenggorokan, sakit kepala, ruam kulit, nyeri
otot, hasil belum menunjukkan HIV (+)



Derajat II
Gejala :

berat

badan

menurun

10%, kronik diare tidak jelas penyebabnya >1 bulan, oral candidiasis,
oral hair leukopenia, pulmonary TB, infeksi bakteri berat: pneumonia,
pyomyositis.



Derajat IV
Gejala :


berkembang penyakit-penyakit seperti penyakit saraf, infeksi

oportunistik, keganasan/neoplasma: lymphoma dan Kaposi’s sarcoma,
HIV encephalopathy, extrapulmonary TB.
2.1.3. Struktur HIV
Partikel virus HIV-1 yang berdiameter sepesepuluhribu mm (0.1µm) diselubungi

oleh dwilapis fosfolipid seperti halnya membran sel pada umumnya. Kond isi ini
memberikan kemudahan terjadinya fusi antara kedua membran. Selubung virus tersebut

dilengkapi dengan tonjolan-tonjolan protein pada seluruh permukaan seperti jeruji.

Pada setiap ujung luar dilengkapi dengan struktur berbentuk bulat telur seperti to mbol
pintu dengan sebuah cekungan. Bagian protein yang menembus selubung virus sampai
ke bagian dalam berbentuk batang. Seluruh bangunan protein tersebut disebut gp160,
karena berat molekulnya 160, dan bagian yang berbentuk bulat telur disebut gp120 yang

melanjutkan struktur seperti batang dalam selubung menjadi gp41. Di sebelah dalam
selubung luar virus dilengkapi dengan selubung protein (kapsid). Di bagian tengah virus
terdapat “inti” yang terdiri atas substansi genetik berbentuk dua untaian RNA dengan

enzim reverse transcriptase (Subowo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Struktur HIV
Sumber: Castillo, 2005

2.1.4. Patofisiologi HIV

Universitas Sumatera Utara

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui

mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan

transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor

dan reseptor utama untuk HIV adalah mo lekul CD4 + pada permukaan sel pejamu.

Namun reseptor CD4 + saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak

mempunyai reseptor CD4 +, tapi dapat diinfeksi oleh HIV yaitu Fc reseptor untuk virion

yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkiraka n merupakan koreseptor untuk
terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel. Di samping itu telah ditemukan juga
koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya
HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4 (Nasronudin, 2007).

Gambar 2.2. Patofisiologi HIV
Sumber: Castillo, 2005

Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Daur hidup HIV

tahap :

Menurut Subowo pada tahun 2010, daur hidup HIV -1 dapat dibedakan dalam 4

1. Tahap masuknya virus dalam sel.
2. Tahap transkripsi mundur dan integrasi genom.

3. Tahap replikasi (memperbanyak diri di dalam sel inang).
4. Tahap perakitan dan pendewasaan virus.
2.1.6. Faktor Risiko HIV
Menurut WHO pada tahun 2011, ada beberapa per ilaku hidup yang

menghasilkan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya infeksi HIV, antara lain :

1. Hubungan seksual tanpa pelindung secara vaginal maupun anal.
2. Infeksi menular seksual lain seperti syphilis, herpes, chlamydia, gonorrhoea,
dan vaginosis bakterial.
3. Menggunakan jarum bekas dan peralatan medis lain yang mengandung HIV.
4. Menerima injeksi yang tidak ama n, transfusi darah, prosedur medis yang tidak
steril.
5. Tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja pada tenaga medis.
2.1.7. Cara Penularan HIV
Awal infeksi biasanya terjadi dengan cara paparan cairan tubuh yang berasal

dari orang yang terinfeksi HIV. Virus HIV ditemukan sebagai partikel virus yang bebas
dan terdapat dalam sel yang terinfeksi, dalam semen, cairan vagina dan air susu ibu


(ASI). Jalan penularan yang paling diketahui di seluruh dunia adalah melalui

persetubuhan. Penggunaan jarum suntik bekas ya ng tercemar oleh HIV pada orang orang yang menggunakan obat -obatan intravena, dan penggunaan darah atau
produknya untuk tujuan pengobatan, juga merupakan cara infeksi yang biasa terjadi.

Rute lain yang penting dalam penularan HIV yaitu berasal dari ibu yan g terinfeksi HIV
kepada anaknya. Ibu-ibu tersebut dapat menularkan HIV kepada anaknya ketika mereka

Universitas Sumatera Utara

melahirkan atau melalui pemberian ASI (Subowo, 2010). HIV juga dapat menular pada
janin melalui ari-ari (plasenta) (Depkes, 2008).

HIV tidak dapat menular melalui kegiatan seperti gigitan serangga, bersalaman,

bersentuhan, berpelukan bahkan beciuman, menggunakan peralatan makan bersama,

menggunakan jamban bersama, bahkan tinggal serumah dengan orang yang terpapar
HIV (Depkes, 2008).


Berbagai kegiatan yang dapat mengakibatkan penularan HIV antara lain :

1.

Berhubungan seks baik secara anal maupun vaginal tanpa menggunakan
pengaman dengan pasangan terinfeksi HIV.

2.

Transmisi ibu terinfeksi HIV ke anak pada masa kehamilan, melahirkan dan
menyusui.

3.

Transmisi melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV.

4.

Penggunaan jarum suntik secara bersama -sama, tattooing, peralatan skin
piercing, dan peralatan-peralatan operasi (WHO, 2011).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), cara penularan

terbanyak adalah melalui hubungan heteroseksual (51.3%), Injection Drug User atau

pengguna Narkoba suntik/Penasun (39.6%), Lelaki Seks Lelaki (3.1%), dan perinatal atau
dari ibu pengidap kepada bayinya (2.6%).

2.1.8. Imunopatogenesis Penyakit AIDS
Menurut Subowo (2010), mekanisme merosotnya jumlah sel -sel CD4+ misalnya

dapat disebabkan karena :

1. HIV dapat menyerang, membunuh ataupun melumpuhkan sel -sel CD4 + yang
sangat dibutuhkan untuk pemekaran cadangan limfoid CD4 +.

Universitas Sumatera Utara

2. Merosotnya jumlah sel-sel CD4+ dapat pula disebabkan oleh adanya sekresi
substansi toksik terhadap sel TCD4 +, yang diinduksi oleh HIV terhadap sel
CD4+ tertentu.
3. Telah dibuktikan pula bahwa pro tein selubung virus (gp120) yang berada pada
permukaan sel inang yang telah diinfeksi HIV akan berikatan dengan molekul
CD4+ pada sel-sel tubuh yang tidak diinfeksi. Reaksi antara 2 molekul tersebut
akan mengakibatkan berfusinya membran sel inang yang tidak terinfeksi
sehingga terbentuklah sinsitium atau sel datia multinuclear yang mengandung
HIV. Terbentuknya sel datia tersebu t diikuti oleh sitolisis yang mengakibatkan
kematian sel dalam waktu yang sangat pendek.
4. Fenomena autoimunitas dengan maksud melenyapkan sel -sel CD4 + yang
mengikat molekul gp120 bebas.

2.1.9. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Tujuan pengobatan penderita dengan pen yakit defisiensi imun umumnya adalah

untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengn penyakit
menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotik/antiviral yang

benar, imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem
imun yang detektif dengan transfer pasif atau transplantasi (Baratawidjaja, 2009).

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan obat efektif.

Siklus virus HIV menunjukkan beberapa titik rentan yang diduga d apat dicegah obat
antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan

AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transcriptase seperti timidine-AZT,

dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma.
Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan progres penyakit oleh karena

timbulnya bentuk mutasi reverse transcriptase yang resisten terhadap obat. Inhibitor

protease virus sekarang digunakan untuk mencegah protein prekursor m enjadi kapsid
virus matan dan protein core (Baratawidjaja, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.2.

CD4⁺

2.2.1. Definisi CD4⁺
CD4⁺ adalah bagian dari populasi limfosit T yang disebut sebagai sel T helper

(penolong). CD4⁺ dalam sistem imun ditulis dengan penanda permukaan CD4⁺ . Fungsi
utama CD4⁺ dalam imun, meregulasi sistem imun agar bekerja dengan baik. Prosesnya

dengan merangsang sistem imun nonspesifik berupa fagosit untuk khemotaksis dan
proses fagositosis benda asing, untuk sistem imun spesifik humoral : merangsang sel B
(Limfosit B) menghasilkan antibodi dan mengatur produksi antibodi (Ripani, 2010).

Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4 + dan mulai

menggandakan dirinya (replikasi virus). CD4 + merupakan target utama HIV untuk
menghancurkan sistem imun tubu h. Apabila telah bereplikasi virus dan meninggalkan

CD4+ yang telah mati, maka partikel virus baru akan mencari dan menginfeksi CD4 + baru,

sehingga dengan demikian maka akan semakin rendah jumlah CD4 + dalam tubuh.
Setelah melewati beberapa waktu, banyak se l-sel CD4 + dihancurkan sehingga sistem
kekebalan tidak lagi dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit yang lain. Oleh

sebab itu pemantauan CD4 + pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk

melihat perjalanan penyakit beserta prognosisn ya (Ripani, 2010).

Sel limfosit CD4⁺ merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi

sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV,
namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu, HIV akan menimbulkan penurunan
jumlah sel limfosit CD4⁺ .

Berkurangnya sel-sel TCD4⁺ yang secara nyata terjadi di jaringan usus selama

infeksi primer, dan kemudian bergerak lambat dalam jangka bertahun -tahun dalam
bentuk laten menuju kerusakan dari sistem imun, sehingga penderita cenderung

terserang oleh infeksi patogen oportunistik . Kebanyakan pasien terlambat datang untuk
berobat, yang menyebabkan CD4 ⁺ sudah sangat menurun sehingga rentan terkena

infeksi oportunistik, salah satunya adalah Tuberkulosis, ketika mereka menderita
penyakit AIDS (Subowo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Tuberkulosis (TB)

2.3.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular, disebabkan oleh bakteri yang nama

ilmiahnya adalah Mycobacterium tuberculosis . Mycobacterium tuberculosis pertama kali

diisolasi pada tahun 1882 oleh seorang dokter Jerman bernama Robert Koch yang

menerima hadiah Nobel untuk penemuan ini. TB paling sering mempengaruhi paru -paru,
tetapi juga dapat melibatkan hampir semua organ tubuh (George, 2010).

Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada orang

yang menderita HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia. Infeksi HIV memudahkan terjadinya
infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penderita HIV mempunyai risiko lebih besar

menderita TB dibandingkan non -HIV. Risiko ODHA untuk menderita TB adalah 10% per
tahun, sedangkan pada non -ODHA risiko menderita TB hanya 10% seumur hidup. Di

Amerika Serikat dilaporkan angka kejadi an TB dengan infeksi menurun, 4. 4 kasus baru
per 100.000 populasi (total 13.299 kasus) pada tahun 2007. Di RSU Dr. Soetomo,
dilaporkan sebanyak 25-83%. Sementara laporan Ra viglione, dkk menyebutkan bahwa

TB merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. Dimana World Health
Organization (WHO) memperkirakan TB sebagai penyebab kematian 13% dari penderita

AIDS (Dian, 2009).

2.3.2. Diagnosis TB

Menurut Oxford Immunotec (2000), diagnosis TB dibagi atas :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat)
3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang
diagnosis TB, yaitu:
 Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus
bawah.
 Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular).

Universitas Sumatera Utara

 Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
 Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
 Adanya kalsifikasi.
 Bayangan menetap pada foto ulang beb erapa minggu kemudian.
 Bayangan milier.
4. Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB Paru, namun
pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30 -70% pasien TB yang
dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
5. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen
imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik
terhadap basil TB.
6. Tes Mantoux/Tuberkulin
7. Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik mel alui amplifikasi dalam
berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1
mikroorganisme dalam specimen. Juga dapat mendeteksi adanya
resistensi.
8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)
Deteksi growth index berdasarkan CO 2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak oleh M. Tuberculosis.
9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Deteksi respon humoral, berupa proses antigen -antibodi yang terjadi.
Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama
sehingga menimbulkan masalah.
10.

MYCODOT

Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan
pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan
dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah
memadai makan warna sisir akan berubah.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Faktor Risiko TB

Beberapa faktor risiko infeksi tentu saja termasuk riwayat kontak pasien
dengan TB menular, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, penjara dan
pekerjaan tertentu, seperti kerja di rumah sakit. Perkembangan penyakit dapat
difasilitasi oleh co-morbiditas, seperti HIV / AIDS, diabetes atau silikosis, serta
kekurangan gizi dan merokok. Selain itu, hasil yang merugikan secara langsung
atau secara tidak langsung berhubungan dengan alkoholisme dan penggunaan obat
intravena serta kemiskinan (WHO, 2005).
2.3.4. Bagaimana pasien HIV bisa terinfeksi Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis , organisme penyebab Tuberkulosis menyebar

hampir secara eksklusif melalui jalur pernafasan. Orang dengan TB paru aktif

menularkannya melalui batuk atau bersin. Ketika seorang individu rentan menghirup

partikel berukur