Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Batu Bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar Chapter III V

BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan merupakan studi intervensional dengan
menggunakan metode Quasi Experimental Design dengan pola Non Equivalent
Control Group Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan (Sugiyono, 2008).
Dalam penelitian ini kelompok perlakuan adalah kelompok yang diberikan
fasilitas kerja berupa meja kerja dan tempat meletakkan hasil cetakan batu bata
selama 1 (satu) bulan, dan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak diberikan
fasilitas kerja.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada usaha pembuatan batu bata di Kecamatan
Darussalam Aceh Besar yaitu di Desa Lambada Peukan dan

Miruk Taman

Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Pemilihan lokasi tersebut karena
usaha pembuatan batu bata yang ada di 2 (dua) desa tersebut merupakan usaha
pembuatan batu bata yang lebih aktif berproduksi dibandingkan lokasi lain yang ada

di Kecamatan Darussalam.

Universitas Sumatera Utara

3.2.2. Waktu penelitian
Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 13 bulan

dari bulan

Januari 2011 sampai dengan Januari 2012, dengan kegiatan dimulai dengan
pengajuan judul, penelusuran perpustakaan, seminar proposal, penyusunan hasil
penelitian, seminar hasil dan ujian komprehensif.

3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua perajin wanita di bagian pencetakan
batu bata yang ada di Desa Lambada Peukan dan Miruk Taman Kecamatan
Darussalam Aceh Besar yang berjumlah 84 orang yaitu 49 orang dari Desa Lambada
Peukan dan 35 orang dari Desa Miruk Taman.
3.3.2. Sampel

Besar sampel pada penelitian ini yaitu 84 orang (total populasi) yang
kemudian dibagi 2 (dua) untuk kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masingmasing 42 orang. Penentuan sampel untuk kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan dilakukan secara acak.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan dari responden dengan melakukan
observasi terhadap sikap kerja, fasilitas kerja, pengukuran antropometri tubuh

Universitas Sumatera Utara

pengrajin batu bata dan melalui wawancara berdasarkan nordic body map
questionaire.
3.4.2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dengan melakukan wawancara
langsung dengan Camat, Kepala Desa dan pemilik usaha pembuatan batu bata untuk
mengetahui gambaran umum tentang usaha pembuatan batu bata yang ada di Desa
Lambada Peukan dan Miruk Taman Kecamatan Darussalam Aceh Besar.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel penelitian
1. Variabel bebas (X) yaitu sikap kerja

2. Variabel terikat (Y) yaitu keluhan muskuloskeletal
3.5.2. Definisi operasional
1. Keluhan muskuloskeletal adalah suatu keluhan rasa sakit, nyeri atau pegal
pada bagian otot rangka yang dirasakan oleh perajin di bagian pencetakan
batu bata selama dan/atau setelah melakukan aktivitas kerja yang meliputi
pengambilan bahan baku, mencetak batu bata dan meletakkan hasil cetakan
batu bata
2. Sikap kerja adalah postur tubuh perajin di bagian pencetakan batu bata saat
mengambil bahan baku, mencetak batu bata dan meletakkan hasil cetakan
batu bata.

Universitas Sumatera Utara

3.

Fasilitas kerja yaitu peralatan kerja berupa meja kerja dan tempat meletakkan
hasil cetakan batu bata yang dirancang berdasarkan data antropometri perajin
di bagian pencetakan batu bata.

3.6. Metode Pengukuran

1. Pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan menggunakan Standar Nordic
Body Map Questionaire (Tarwaka, 2004 dan Santoso, 2004). Pengukuran
dilakukan dalam 2 waktu yang berbeda yaitu sebelum bekerja (jam 08.00
WIB), dan setelah selesai bekerja (jam 17.00 WIB). Pengukuran dilakukan
sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Pengukuran dengan Standar
Nordic Body Map Questionaire dilakukan dengan menggunakan skoring
(skala likert) yaitu :
a. Skor 1 : tidak ada keluhan/kenyerian atau tidak ada rasa sakit
sama sekali yang dirasakan oleh pekerja (tidak sakit)
b. Skor 2 : dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada
otot skeletal (agak sakit)
c. Skor 3 : responden merasakan adanya keluhan/kenyerian atau
sakit pada otot skeletal (sakit).
d. Skor 4 : Responden merasakan keluhan sangat sakit atau
sangat nyeri pada otot skeletal (sangat sakit).
Hasil penilaian terhadap keluhan muskuloskeletal dikatagorikan kedalam 4
(empat) tingkatan berdasarkan tingkat risikonya yaitu :

Universitas Sumatera Utara


a. Ringan/rendah, yaitu bila setelah dilakukan penilaian dengan
menggunakan standar body map questionnaire didapat total
skor keluhan 28 - 49.
b. Sedang, yaitu bila setelah dilakukan penilaian dengan
menggunakan standar body map questionnaire didapat total
skor keluhan 50 – 70.
c. Berat/tinggi, yaitu bila setelah dilakukan penilaian dengan
menggunakan standar body map questionnaire didapat total
skor keluhan 71 – 91.
d. Sangat berat/sangat tinggi, yaitu bila setelah dilakukan
penilaian

dengan

menggunakan

standar

body


map

questionnaire didapat total skor keluhan 92 – 112.
2. Pengukuran/ penilaian sikap kerja dengan menggunakan metode OWAS, yaitu
suatu metode analisa postur kerja dengan melakukan evaluasi postur kerja
yang berisiko terhadap cedera muskuloskeletal. Cara penilaian postur tubuh
pada saat bekerja ditunjukkan sebagai berikut :
Penilaian pada punggung digunakan nilai 1 sampai dengan 4, yaitu :
1 = Tegak
2 = Membungkuk ke depan atau ke belakang
3 = Berputar dan bergerak ke samping
4

= Berputar dan bergerak atau membungkuk ke samping dan ke depan

Universitas Sumatera Utara

Penilaian pada lengan (arm) digunakan nilai 1 sampai dengan 3, yaitu :
1 = Kedua tangan berada di bawah level ketinggian bahu
2 = Satu lengan berada di atas level ketinggian bahu

3 = Kedua lengan berada di atas level ketinggian bahu
Penilaian pada kaki digunakan nilai 1 sampai dengan 7, yaitu :
1 = Duduk
2 = Berdiri dengan keadaan kedua kaki lurus
3 = Berdiri dengan cara beban berada pada salah satu kaki
4 = Berdiri dengan kedua lutut sedikit tertekuk
5 = Berdiri dengan satu lutut sedikit tertekuk
6 = Jongkok dengan satu atau dua kaki
7 = Bergerak atau berpindah
Penilaian pada beban diberikan nilai 1 sampai dengan 3, yaitu :
1 = Beban kurang dari 10 kg
2 = Beban 10 sampai dengan 20 kg
3 = Beban lebih dari 20 kg
Berdasarkan hasil penilaian pada punggung, lengan, kaki dan beban maka
dapat disimpulkan analisa kondisi kerja dengan katagori 1 sampai dengan 4 yaitu :
1 = Tidak perlu dilakukan perbaikan
2 = Perlu dilakukan perbaikan
3 = perbaikan perlu dilakukan secepat mungkin
4 = Perbaikan perlu dilakukan sekarang juga


Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.1 Penilaian Sikap Kerja (Postur Tubuh Pada Saat Bekerja) Menurut
OWAS
B A
A R
C M
K

1

2

3

4

5

6


7

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 2 2 3 2 2 3 2 2 3
2 2 2 2 3 2 2 3 2 3 3
3 3 3 4 2 2 3 3 3 3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
3 2 2 2 3 1 1 1 1 1 2
3 2 2 3 1 1 1 2 3 3
1 2 3 3 2 2 3 2 2 3
4 2 3 3 4 2 3 4 3 3 4
3 4 4 4 2 3 4 3 3 4
Sumber : Sulistyadi dan Susanti (2004)

2
2

2
3
3
3
3
4
4
4
4
4

2
2
2
3
4
4
3
4
4

4
4
4

2
2
3
3
4
4
3
4
4
4
4
4

2
2
2
3
3
4
4
4
4
4
4
4

2
2
2
3
4
4
4
4
4
4
4
4

2
2
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4

1
1
1
2
3
4
1
3
4
4
4
4

1
1
1
2
3
4
1
3
4
4
4
4

1
1
1
2
4
4
1
3
4
4
4
4

1
1
1
2
2
2
1
1
1
2
2
2

1
1
1
3
3
3
1
1
1
3
3
3

L
E
G
S
L
O
A
D

1
1
1
3
4
4
1
1
1
4
4
4

Berdasarkan penilaian dengan metode OWAS, sikap kerja dapat dikatagorikan
menjadi 2 (dua) katagori yaitu :
b. Baik, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode OWAS, sikap
kerja termasuk dalam analisa kondisi kerja 1 yaitu tidak berisiko
terhadap cedera muskuloskeletal sehingga tidak perlu dilakukan
perbaikan.
c. Tidak baik, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode OWAS,
sikap kerja termasuk dalam analisa kondisi kerja 2, 3, dan 4 yaitu

Universitas Sumatera Utara

berisiko terhadap cedera pada sistem muskuloskeletal sehingga perlu
dilakukan perbaikan.
3. Untuk perancangan fasilitas kerja dilakukan pengukuran antropometri tubuh
perajin batu bata dengan menggunakan meteran. Ukuran-ukuran tubuh yang
diukur meliputi :
a. Tinggi badan berdiri, diukur dari puncak kepala ke telapak kaki pada
posisi berdiri dengan belakang kepala berada pada garis vertikal terhadap
dinding.
b. Tinggi bahu, diukur dari bagian bahu teratas ke telapak kaki pada posisi
berdiri
c. Tinggi siku, diukur dari siku dan lengan bawah pada posisi horizontal ke
telapak kaki pada posisi berdiri
d. Tinggi pinggul, diukur dari bagian pinggul teratas ke telapak kaki pada
posisi berdiri
e. Jangkauan tangan, diukur jarak horizontal dari punggung sampai ujung
jari tengah.
f. Panjang depa, diukur jarak dari ujung jari tangan kanan dan tangan kiri
pada posisi depa horizontal
g. Panjang lengan dan tangan, diukur jarak dari ketiak ke ujung jari tengah
h. Panjang lengan atas, diukur jarak dari ketiak ke siku
i. Panjang lengan bawah, diukur jarak dari siku ke ujung jari tengah

Universitas Sumatera Utara

j. Panjang tangan, diukur jarak dari pergelangan tangan sampai ujung jari
tengah (jari terpanjang).
k. Lebar bahu, diukur jarak antara bagian terluar lengan atas kanan dan kiri
l. Lebar pinggul, diukur jarak antara bagian terluar pinggul kanan dan kiri
pada posisi berdiri.
Berdasarkan data antropometri tersebut, maka dirancang fasilitas kerja yang
dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.1 Rancangan Meja Kerja

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.2 Rancangan Tempat Meletakkan Hasil Cetakan
3.6.1. Aspek pengukuran
Tabel 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
No Variabel
1. Sikap Kerja

2

Keluhan
Muskuloskeletal

Hasil Ukur
Baik
Tidak Baik
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat

Alat Ukur
Lembar
penilaian
Metode OWAS
Nordic Body
Map
Questionaire

Skala Ukur
Ordinal

Interval

3.7. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan yaitu :
1. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi masingmasing variabel.
2. Analisis bivariat dilakukan dengan uji t-dependent (berpasangan) dan
t-independent (tidak berpasangan).

Universitas Sumatera Utara

a. Untuk mengetahui perbedaan tingkat keluhan muskuloskeletal pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah
intervensi fasilitas kerja dilakukan uji t-dependent (berpasangan)
b. Untuk mengetahui perbedaan tingkat keluhan muskuloskeletal antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah
intervensi fasilitas kerja dan pengaruh sikap kerja terhadap keluhan
muskuloskeletal dilakukan uji t-independent (tidak berpasangan).

Universitas Sumatera Utara

BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Industri Batu Bata
Usaha pembuatan batu bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar khususnya
di desa Lambada Peukan dan Miruk Taman merupakan salah satu usaha sektor
informal yang telah ada sejak ± 20 tahun yang lalu. Jumlah usaha pembuatan batu
bata yang ada di 2 desa tersebut yaitu sebanyak 14 usaha. Setiap usaha pembuatan
batu bata di kelola oleh seorang pengelola dengan melibatkan 2-4 orang perajin lakilaki dan 6-10 orang perajin wanita. Perajin laki-laki bertanggung jawab dalam
pengolahan tanah atau bahan baku sedangkan perajin wanita bertanggung jawab pada
bagian pencetakan batu bata. Di bagian pencetakan batu bata, dalam sehari perajin
bekerja selama ± 8 jam dan setiap orang dapat mencetak 500 sampai 1000 batu bata.
Proses pembuatan batu bata terdiri dari beberapa tahap yaitu
1. Pembuatan bahan baku
Bahan baku berupa tanah yang diambil dari areal persawahan. Tanah tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam lubang berbentuk kubangan dan dicampur
dengan air secukupnya untuk menghasilkan tanah yang basah menyerupai
lumpur, kemudian diinjak-injak dengan bantuan mesin penggiling tanah
(Jeetor) yang digerakkan oleh seorang perajin selama ± 3 jam untuk
menghasilkan konsistensi lumpur yang licin. Setelah selesai, lumpur ini bisa
langsung digunakan untuk mencetak batu bata. Bila lumpur basah ini tidak

Universitas Sumatera Utara

langsung digunakan untuk mencetak batu bata, maka lumpur ini harus ditutup
dengan plastik agar tidak mengeras.
2. Pencetakan batu bata
Proses pencetakan batu bata dilakukan dengan menggunakan cetakan yang
terbuat dari besi yang kemudian dialasi kayu saat mencetak. Setiap cetakan
hanya menghasilkan 1 batu bata. Pencetakan batu bata dilakukan di atas meja
kerja sederhana dengan cara berdiri yang diawali dengan mengambil
tanah/lumpur basah lalu dipadatkan baru kemudian di masukkan ke dalam
cetakan dengan cara membanting. Sebelumnya cetakan telah taburi tanah
kering agar tidak lengket. Kemudian sisa lumpur diratakan dengan sepotong
kawat, lalu batu bata dikeluarkan dari cetakan dan diletakkan di atas tanah.
Batu bata yang telah selesai dicetak diletakkan di atas tanah selama 2-3 hari
kemudian disusun secara zig-zag di pinggir lokasi pencetakan agar areal
lokasi pencetakan dapat digunakan kembali untuk meletakkan batu bata yang
baru selesai dicetak. Pengambilan bahan baku dan meletakkan hasil cetakan
dilakukan dengan cara membungkuk.
3. Pengeringan batu bata
Pengeringan batu bata sangat tergantung kepada cuaca. Bila cuaca terik,
proses pengeringan biasanya berlangsung 7-10 hari, tetapi bila mendung atau
musim hujan, pengeringan bisa berlangsung selama 2-3 minggu bahkan
terkadang 1 bulan.

Universitas Sumatera Utara

4. Pembakaran batu bata
Batu bata yang telah kering kemudian dibawa ke tempat pembakaran untuk
dibakar. Proses pembakaran batu bata dilakukan selama ± 5 hari yang terbagi
dalam 2 tahap, yaitu 3 hari dengan menggunakan api kecil dan 2 hari dengan
menggunakan api besar.
5. Penyimpanan
Setelah batu bata selesai dibakar, batu bata dibiarkan dulu selama 2-3 hari
sampai dingin. Setelah itu baru dibongkar dan disusun rapi di tempat
penyimpanan sambil menunggu permintaan pembeli.
4.2. Data Antropometri Pekerja di Bagian Pencetakan Batu Bata
4.2.1. Pengumpulan Data Antropometri
Pada penelitian ini data antropometri yang diambil adalah ukuran dimensi
tubuh dalam posisi berdiri karena pekerjaan mencetak batu bata yang dilakukan ini
merupakan jenis pekerjaan dengan mobilitas yang tinggi sehingga sikap kerja berdiri
lebih sesuai dan dipilih oleh perajin. Data antropometri ini diambil untuk
menghasilkan rancangan fasilitas kerja yang baik. Antropometri perajin diukur
dengan menggunakan dan meteran. Untuk menghindari bias, pengukuran setiap
dimensi tubuh dilakukan sebanyak 3 kali, kemudian dirata-ratakan dan hasil
pengukurannya dapat dilihat pada lampiran 4.

Universitas Sumatera Utara

4.2.2. Pengolahan Data Antropometri
Tidak semua data antropometri yang diukur dalam posisi berdiri tersebut
dipakai untuk perancangan fasilitas kerja. Data yang diperlukan yaitu ; tinggi siku
(TS), jangkauan tangan (JT), panjang depa (PD), panjang lengan bawah (PLB) dan
panjang tangan (PT). Untuk keperluan perancangan fasilitas kerja, harus dilakukan uji
statistik terlebih dahulu agar diketahui kenormalan data, nilai rata-rata, percentile, dan
standar deviasi. Nilai ini digunakan untuk mendapatkan ukuran fasilitas kerja yang
bisa dipakai oleh sebagian besar atau seluruh perajin di bagian pencetakan batu bata.
Dari hasil uji statistik yang dilakukan, diketahui bahwa semua data yang akan dipakai
untuk perancangan fasilitas kerja adalah berdistribusi normal
4.2.3. Perancangan Fasilitas Kerja Berdasarkan Data Antropometri
Fasilitas kerja yang akan dirancang adalah meja kerja dan meja tempat
meletakkan hasil cetakan. Meja kerja terdiri dari tempat mencetak batu bata, tempat
meletakkan tanah kering dan tempat meletakkan bahan baku. 1 meja kerja digunakan
oleh 2 orang perajin. Fasilitas kerja tersebut dirancang berdasarkan dimensi tubuh
perajin. Ukuran fasilitas kerja tersebut menggunakan percentil 5 dan 95 agar
memungkinkan sebagian besar perajin dapat menggunakannya. Ukuran fasilitas kerja
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Panjang meja kerja
Untuk panjang meja kerja disesuaikan dengan ukuran panjang depa (PD),
menggunakan percentil 5

dengan rumus X–1,645 SD sehingga didapat

ukuran panjang meja kerja 144,7 cm dibulatkan 145 cm.

Universitas Sumatera Utara

2. Tingi meja kerja
Tinggi meja kerja (tinggi landasan kerja) disesuaikan dengan tinggi siku (TS)
dan jenis pekerjaan. Oleh karena jenis pekerjaan termasuk dalam katagori
berat dan perlu penekanan, maka tinggi landasan kerja diambil 20 cm dibawah
tinggi siku berdiri (Grandjean, 1988). Untuk tinggi meja kerja digunakan
percentil 95 dengan rumus X+1,645 SD kemudian dikurangi 20 cm sehingga
didapat ukuran 83,54 cm dibulatkan 84 cm.
3. Lebar meja kerja
Untuk lebar meja kerja digunakan percentil 5 dari data jangkauan tangan (JT),
kemudian dikali 2 karena 1 meja kerja digunakan oleh 2 orang perajin secara
berhadapan sehingga didapat ukuran 124, 5 cm dibulatkan 125 cm.
4. Lebar tempat tanah kering
Untuk panjang tempat tanah kering disesuaikan dengan ukuran panjang
tangan mengambil percentil 95 dan didapat ukuran 17,34 dibulatkan menjadi
17 cm.
5. Lebar tempat bahan baku
Panjang tempat bahan baku menggunakan percentil 5 dari data jangkauan
tangan (JT) sehingga didapat ukuran 62,3 cm dibulatkan 62 cm.
6. Tinggi tempat tanah kering dan bahan baku
Tinggi tempat tanah kering dan bahan baku disesuaikan dengan tinggi siku
mengambil percentil 5 dan didapat ukuran 92,24 cm dibulatkan 92 cm.

Universitas Sumatera Utara

7. Kedalaman tempat tanah kering
Kedalaman tempat tanah kering menggunakan percentil 5 dari data panjang
tangan (PT) sehingga didapat ukuran 15,90 cm dibulatkan 16 cm.
8. Kedalaman tempat bahan baku
Kedalaman tempat bahan baku disesuaikan dengan panjang lengan bawah
(PLB) menggunakan percentil 5 sehingga didapat ukuran 38,86 cm dibulatkan
39 cm.
9. Panjang meja tempat meletakkan hasil cetakan.
Panjang meja tempat meletakkan hasil cetakan disesuaikan dengan luas lokasi
kerja. Untuk memudahkan pada saat penempatan, panjang masing-masing
meja dibuat 2 m dan jumlah mejanya disesuaikan dengan luas lokasi kerja.
10. Lebar meja tempat meletakkan hasil cetakan
Untuk lebar meja tempat meletakkan hasil cetakan digunakan percentil 5 dari
data jangkauan tangan (JT) yaitu 62,24 cm dibulatkan 62 cm.
11. Tinggi meja tempat meletakkan hasil cetakan
Untuk tinggi meja tempat meletakkan hasil cetakan digunakan percentil 95
dari data tinggi siku (TS) dikurangi dengan lebar 3 buah batu bata karena batu
bata yang baru selesai dicetak dapat disusun 3 lapis keatas. Lebar 1 batu bata
10 cm, jadi jangkauan tangan dikurangi dengan 30 cm didapat 72,54 cm
dibulatkan 73 cm.

Universitas Sumatera Utara

Untuk lebih jelasnya, ukuran fasilitas kerja yang akan dirancang dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.1 Rancangan Meja Kerja

Gambar 4,2. Rancangan Tempat Meletakkan Hasil Cetakan

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.3 Meja Kerja

Gambar 4.4 Meja Tempat Meletakkan Hasil Cetakan

Universitas Sumatera Utara

4.3. Hasil Penelitian
4.3.1. Analisis Univariat
4.3.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Distribusi kelompok umur responden dibagi menjadi 3 kategori yaitu
kelompok umur < 30 tahun, 30-40 tahun, dan >40 tahun. Berdasarkan kategori
tersebut, diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 30-40 tahun yaitu
sebanyak 52 orang (61,9%). Responden yang berumur 40 tahun sebanyak 11 orang (13,1%).
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
pada Usaha Pembuatan Batu Bata di Kecamatan Darussalam
No
1
2
3

Umur
< 30 tahun
30-40 tahun
> 40 tahun
Total

Jumlah
21
52
11
84

Persentase (%)
25,0
61,9
13,1
100

4.3.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Distribusi pendidikan responden dibagi menjadi 4 kategori yaitu SD, SMP,
SMA dan Perguruan tinggi. Responden yang berpendidikan SD dan SMA hampir
sama jumlahnya, tetapi yang berpendidikan SD lebih tinggi yaitu sebanyak 34 orang
(40,5%), sedangkan yang berpendidikan SMA sebanyak 33 orang (39,3%).
Responden yang berpendidikan SMP yaitu sebanyak 14 orang (16,7%) dan hanya 3
orang (3,6%) responden yang berpendidikan setara dengan perguruan tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pendidikan pada Usaha Pembuatan Batu Bata di Kecamatan
Darussalam
No
1
2
3
4

Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Total

Jumlah
34
14
33
3
84

Persentase (%)
40,5
16,7
39,3
3,6
100

4.3.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja
Distribusi masa kerja responden dibagi menjadi 3 kategori yaitu 1-5 tahun, 610 tahun, dan 11-15 tahun. Berdasarkan kategori tersebut diketahui bahwa sebagian
besar responden telah bekerja selama 6-10 tahun yaitu sebanyak 39 orang (46,4%). 34
orang (40,5%) responden telah bekerja selama 1-5 tahun dan 11 orang (13,1%)
responden telah bekerja selama 11-15 tahun.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Masa
Kerja pada Usaha Pembuatan Batu Bata di Kecamatan Darussalam
No
1
2
3

Masa Kerja
1-5 tahun
6-10 tahun
11-15 tahun
Total

Jumlah
34
39
11
84

Persentase (%)
40,5
46,4
13,1
100

Universitas Sumatera Utara

4.3.1.4. Jumlah Rata-rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi
4.3.1.4.1 Jumlah Rata-rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada
Kelompok Kontrol
Pada tabel 4.4, terlihat bahwa jumlah batu bata yang dapat dicetak pada
kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi hampir sama. Sebagian besar
responden dapat mencetak batu bata yang jumlahnya berkisar antara 600-800 buah,
yaitu 26 orang (61,9%) sebelum intervensi dan 27 orang (64,3%) sesudah intervensi.
Tabel 4.4 Jumlah Rata-Rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi
Pada Kelompok Kontrol
No
1
2
3

Jumlah Batu Bata
< 600
600-800
>800
Total

Sebelum
N
2
26
14
42

Intervensi
%
4,8
61,9
33,3
100

Sesudah
n
2
27
13
42

Intervensi
%
4,8
64,3
31,0
100

4.3.1.4.2. Jumlah Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok
Perlakuan
Dari tabel 4.5 terlihat ada perbedaan jumlah batu bata yang dapat dicetak pada
kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi. Sebelum intervensi, sebagian
besar responden hanya dapat mencetak batu bata dalam kisaran 600-800 buah yaitu
sebanyak 22 orang (52,4%). Sesudah dilakukan intervensi, terjadi perubahan dimana
sebagian besar responden yaitu 34 orang (81%) dapat mencetak batu bata > 800 buah.
Hal ini menunjukkan bahwa sesudah intervensi terjadi peningkatan jumlah batu bata
yang dapat dicetak oleh setiap orang perajin.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.5 Jumlah Rata-Rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada
Kelompok Perlakuan
No
1
2
3

Jumlah Batu Bata
< 600
600-800
> 800
Total

Sebelum
N
3
22
17
42

Intervensi
%
7,1
52,4
40,5
100

Sesudah Intervensi
n
%
0
0
8
19,0
34
81,0
42
100

4.3.1.5. Distribusi Frekuensi Sikap Kerja
4.3.1.5.1. Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Sebelum Intervensi
Pada penelitian ini, sikap kerja yang dinilai ada 3 yaitu sikap kerja saat
mengambil bahan baku, sikap kerja saat mencetak batu bata dan sikap kerja saat
meletakkan hasil cetakan. Penilaian sikap kerja dilakukan berdasarkan metode OWAS
(Ovako Working Postures Analysis System) yang menilai pergerakan tubuh bagian
belakang (punggung), postur lengan, postur kaki dan berat beban yang diangkat oleh
pekerja saat bekerja. Hasil penilaiannya kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu
baik dan tidak baik sesuai dengan analisa kondisi kerja berdasarkan metode OWAS.
Analisa kondisi kerja ini dinilai pada setiap sikap kerja yaitu analisa kondisi kerja saat
mengambil bahan baku, saat mencetak batu bata dan saat meletakkan hasil cetakan.
Pada gambar 4.5, 4.6 dan 4.7 dapat dilihat contoh penilaian atau analisa kondisi kerja
sesuai dengan pergerakan pada punggung, lengan, kaki dan mengangkat beban
dengan menggunakan metode OWAS.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.5 Contoh Analisa Kondisi Kerja saat Mengambil Bahan Baku
Pada gambar di atas analisa kondisi kerjanya sebagai berikut :
1. Punggung : membungkuk ke depan dan diberi kode 2
2. Lengan

: kedua lengan berada di bawah level ketinggian bahu dan diberi
kode 1

3. Kaki

: berdiri dengan satu lutut sedikit tertekuk dan diberi kode 5

4. Beban

: kurang dari 10 kg dan diberi kode 1

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.6 Contoh Analisa Kondisi Kerja saat Mencetak Batu Bata
Pada gambar di atas analisa kondisi kerjanya sebagai berikut :
1. Punggung : tegak dan diberi kode 1
2. Lengan

: kedua lengan berada di bawah level ketinggian bahu dan diberi
kode 1

3. Kaki

: berdiri dengan keadaan kedua kaki lurus dan diberi kode 2

4. Beban

: kurang dari 10 kg dan diberi kode 1

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.7 Contoh Analisa Kondisi Kerja saat Meletakkan Hasil
Cetakan Batu Bata
Pada gambar di atas analisa kondisi kerjanya sebagai berikut :
1. Punggung : membungkuk ke depan dan diberi kode 2
2. Lengan

: kedua lengan berada di bawah level ketinggian bahu dan
diberi kode 1

3. Kaki

: berdiri dengan kedua lutut sedikit tertekuk dan diberi kode 4

4. Beban

: kurang dari 10 kg dan diberi kode 1

Setelah menilai dan memberi kode pergerakan punggung, lengan, kaki dan
beban, maka dapat dinilai kondisi kerja responden saat mengambil bahan baku,
mencetak batu bata dan meletakkan hasil cetakan batu bata berdasarkan tabel

Universitas Sumatera Utara

penilaian postur kerja menurut OWAS. Angka yang ditebalkan/dihitamkan pada tabel
4.6 menunjukkan penilaian/kode setiap postur kerja.
Tabel 4.6 Penilaian Sikap Kerja (Postur Tubuh Pada Saat Bekerja) Menurut
OWAS
B A
A R
C M
K

1

3

2

4

6

5

7

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1
1 2
3
1
2 2
3
1
3 2
3
1
4 2
3

1
1
1
2
2
3
1
2
2
2
3
4

1
1
1
2
2
3
1
2
2
3
3
4

1
1
1
3
3
4
1
3
3
3
4
4

1
1
1
2
2
2
1
1
1
2
2
2

1
1
1
2
2
2
1
1
1
2
3
3

1
1
1
3
3
3
1
1
1
3
4
4

1
1
1
2
2
3
1
1
2
2
3
3

1
1
1
2
3
3
1
1
3
2
3
3

1
1
1
3
3
3
2
2
3
3
4
4

2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
4

2
2
2
3
4
4
3
4
4
4
4
4

2
2
3
3
4
4
3
4
4
4
4
4

2
2
2
3
3
4
4
4
4
4
4
4

2
2
2
3
4
4
4
4
4
4
4
4

2
2
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4

1
1
1
2
3
4
1
3
4
4
4
4

1
1
1
2
3
4
1
3
4
4
4
4

1
1
1
2
4
4
1
3
4
4
4
4

1
1
1
2
2
2
1
1
1
2
2
2

1
1
1
3
3
3
1
1
1
3
3
3

L
E
G
S
L
O
A
D

1
1
1
3
4
4
1
1
1
4
4
4

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dapat diketahui bahwa analisa kondisi kerja
responden/perajin pada saat mengambil bahan baku dan meletakkan hasil cetakan
batu bata termasuk ke dalam katagori 3 yaitu kondisi kerja yang berisiko terhadap
cedera muskuloskeletal dan perlu dilakukan perbaikan secepat mungkin. Sedangkan
analisa kondisi kerja saat mencetak batu bata termasuk dalam katagori 1 yaitu kondisi
kerja yang aman dan tidak perlu dilakukan perbaikan.

Universitas Sumatera Utara

Pada tabel 4.7 diketahui distribusi frekuensi analisa kondisi kerja sebelum
intervensi. Pada kelompok kontrol saat mengambil bahan baku, 31 orang (73,8%)
responden termasuk ke dalam katagori 2 yaitu kondisi kerja yang berisiko terhadap
cedera muskuloskeletal dan perlu dilakukan perbaikan. 11 orang (26,2%) termasuk ke
dalam katagori 3 yaitu kondisi kerja yang berisiko terhadap cedera muskuloskeletal
dan perlu dilakukan perbaikan secepat mungkin. Saat mencetak batu bata, sebagian
besar responden (88,1%) termasuk ke dalam katagori 1 yaitu kondisi kerja yang
aman, hanya ada 5 orang responden (11,9%) yang termasuk ke dalam katagori 2.
Pada saat meletakkan hasil cetakan, 27 orang responden (64,3%) termasuk ke dalam
katagori 2 dan 15 orang responden (35,7%) termasuk ke dalam katagori 3.
Kondisi kerja pada kelompok perlakuan sebelum intervensi cenderung sama
dengan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan saat mengambil bahan baku, 24
orang responden (57,1%) termasuk ke dalam katagori 2 dan 18 orang (42,9%)
termasuk ke dalam katagori 3. Pada saat mencetak batu bata, 38 orang responden
(90,5%) termasuk ke dalam katagori 1 dan hanya 4 orang (9,5%) termasuk ke dalam
katagori 2. Saat meletakkan hasil cetakan batu bata, 28 orang (66,7%) termasuk ke
dalam katagori 2 dan 14 orang (33,3%) termasuk ke dalam katagori 3.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.7 Analisa Kondisi Kerja Berdasarkan Metode OWAS Sebelum
Intervensi
No
1

2

3

Analisa Kondisi
Kelompok
Kerja
N
Kondisi kerja Saat
Mengambil Bahan
Baku
- Aman
0
- Perlu Perbaikan
31
- Perbaikan Segera
11
- Perbaikan Sekarang
0
Total
42
Kondisi kerja Saat
Mencetak Batu Bata
- Aman
37
- Perlu Perbaikan
5
- Perbaikan Segera
0
- Perbaikan Sekarang
0
Total
42
Kondisi Kerja Saat
Meletakkan Hasil
Cetakan Batu Bata
- Aman
0
- Perlu Perbaikan
27
- Perbaikan Segera
15
- Perbaikan Sekarang
0
Total
42

Kontrol
%

Kelompok
N

Perlakuan
%

0
73,8
26,2
0
100,0

0
24
18
0
42

0
57,1
42,9
0
100,0

88,1
11,9
0
0
100,0

38
4
0
0
42

90,5
9,5
0
0
100,0

0
64,3
35,7
0
100,0

0
28
14
0
42

0
66,7
33,3
0
100,0

Berdasarkan distribusi frekuensi analisa kondisi kerja pada tabel 4.7, maka
sikap kerja responden dikatagorikan ke dalam sikap kerja baik dan tidak baik. Sikap
kerja baik yaitu bila analisa kondisi kerja termasuk ke dalam katagori 1 yaitu kondisi
kerja yang aman dan tidak perlu dilakukan perbaikan. Sedangkan sikap kerja tidak
baik yaitu bila analisa kondisi kerja termasuk ke dalam katagori 2,3 dan 4 yaitu

Universitas Sumatera Utara

kondisi kerja yang berisiko terhadap cedera muskuloskeletal sehingga perlu dilakukan
perbaikan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui distribusi frekuensi sikap kerja
responden pada kelompok kontrol dan perlakuan. Dari tabel 4.8 diketahui bahwa
seluruh responden pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan
sikap kerja yang tidak baik saat mengambil bahan baku dan meletakkan hasil cetakan.
Sedangkan saat mencetak batu bata, sebagian besar responden yaitu 37 orang (88,1%)
pada kelompok kontrol dan 38 orang (90,5%) pada kelompok perlakuan
menunjukkan sikap kerja yang baik
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Responden Sebelum Intervensi
No
1

2

3

Sikap Kerja
Sikap kerja Saat
Mengambil
Bahan Baku
- Baik
- Tidak baik
Total
Sikap kerja Saat
Mencetak Batu
bata
- Baik
- Tidak baik
Total
Sikap kerja Saat
Meletakkan Hasil
Cetakan Batu
Bata
- Baik
- Tidak baik
Total

Kelompok
N

Kontrol
%

Kelompok
N

Perlakuan
%

0
42
42

0
100
100

0
42
42

0
100
100

37
5
42

88,1
11,9
100

38
4
42

90,5
9,5
100

0
42
42

0
100
100

0
42
42

0
100
100

Universitas Sumatera Utara

4.3.1.5.2. Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Sesudah Intervensi
Sesudah dilakukan intervensi, kondisi kerja pada kelompok kontrol cenderung
sama dengan sebelum intervensi, sedangkan pada kelompok perlakuan kondisi kerja
berubah menjadi lebih baik. Berdasarkan tabel 4.9 diketahui pada kelompok kontrol
saat mengambil bahan baku, 29 orang responden (69,0%) termasuk ke dalam katagori
2 dan 13 orang (31,0%) termasuk ke dalam katagori 3. Sedangkan pada kelompok
perlakuan, tidak ada lagi kondisi kerja yang berisiko, semua responden yaitu 42 orang
telah berada dalam kondisi kerja yang aman (katagori 1). Pada saat mencetak batu
bata, sebagian besar responden baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan
termasuk ke dalam katagori 1 yaitu 38 orang (90,5%) pada kelompok kontrol dan 39
orang (92,9%) pada kelompok perlakuan. Saat meletakkan hasil cetakan, 31 orang
responden (73,8%) pada kelompok kontrol termasuk ke dalam katagori 2 dan 11
orang (26,2%) termasuk ke dalam katagori 3. Sedangkan pada kelompok perlakuan,
kondisi kerja seluruh responden (42 orang) termasuk ke dalam katagori 1.
Tabel 4.9 Analisa Kondisi Kerja Berdasarkan Metode OWAS Sesudah
Intervensi
No
1

Analisa Kondisi
Kerja
Kondisi Kerja Saat
Mengambil Bahan
Baku
- Aman
- Perlu Perbaikan
- Perbaikan Segera
- Perbaikan
Sekarang
Total

Kelompok
N

Kontrol
%

Kelompok
N

Perlakuan
%

0
29
13
0

0
69,0
31,0
0

42
0
0
0

100,0
0
0
0

42

100,0

42

100,0

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.9 Lanjutan
2

3

Kondisi Kerja Saat
Mencetak Batu Bata
- Aman
- Perlu Perbaikan
- Perbaikan Segera
- Perbaikan Sekarang
Total
Kondisi Kerja Saat
Meletakkan Hasil
Cetakan Batu Bata
- Aman
- Perlu Perbaikan
- Perbaikan Segera
- Perbaikan Sekarang
Total

38
4
0
0
42

90,5
9,5
0
0
100,0

39
3
0
0
42

92,9
7,1
0
0
100,0

0
31
11
0
42

0
73,8
26,2
0
100,0

42
0
0
0
42

100,0
0
0
0
100,0

Dari tabel 4.10 diketahui bahwa sesudah dilakukan intervensi, terjadi
perbaikan sikap kerja pada seluruh responden pada kelompok perlakuan yaitu
sebanyak 42 orang. Responden yang diberikan fasilitas kerja yang ergonomis
(kelompok perlakuan) selama ±1 bulan telah menunjukkan sikap kerja yang baik pada
saat mengambil bahan baku, mencetak dan meletakkan hasil cetakan, sedangkan
responden yang tidak diberikan fasilitas kerja (kelompok kontrol) masih
menunjukkan sikap kerja yang tidak baik saat mengambil bahan baku dan meletakkan
hasil cetakan.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Responden Sesudah Intervensi
No
1

2

3

Sikap Kerja
Sikap Kerja Saat
Mengambil
Bahan baku
- Baik
- Tidak baik
Total
Sikap Kerja Saat
Mencetak Batu
Bata
- Baik
- Tidak baik
Total
Sikap Kerja Saat
Meletakkan
Hasil Cetakan
Batu Bata
- Baik
- Tidak baik
Total

Kelompok Kontrol
N
%

Kelompok
N

Perlakuan
%

0
42
42

0
100
100

42
0
42

100
0
100

38
4
42

90,5
9,5
100

39
3
42

92,9
7,1
100

0
42
42

0
100
100

42
0
42

100
0
100

4.3.1.6. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal
4.3.1.6.1. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Sebelum
Intervensi
Dalam penelitian ini, pengukuran keluhan muskuloskeletal dilakukan dengan
menggunakan Nordic Body Map Questionaire yang meliputi 28 bagian otot-otot
skeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri. Dalam penilaian keluhan digunakan
skoring dengan skala likert sehingga akan diperoleh skor individu terendah adalah 28
dan tertinggi adalah 112. Keluhan muskuloskeletal dibagi menjadi 4 tingkatan
berdasarkan total skor yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Universitas Sumatera Utara

Sebagian besar responden pada kelompok kontrol sebelum dilakukan
intervensi mengalami keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang yaitu
sebanyak 29 orang (69%). Responden yang mengalami keluhan dengan tingkat
keluhan ringan hanya sebanyak 6 orang (14,3%) dan tingkat keluhan berat sebanyak 7
orang (16,7%).
Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden pada
kelompok

perlakuan

sebelum

dilakukan

intervensi

mengalami

keluhan

muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang yaitu sebanyak 29 orang (69%).
Responden yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan ringan hanya sebanyak
4 orang (9,5%) dan tingkat keluhan berat sebanyak 9 orang (21,4%).
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan
Total Skor Sebelum Intervensi
No
1
2
3

Tingkat Keluhan Kelompok Kontrol
N
%
Ringan
6
14,3
Sedang
29
69,0
Berat
7
16,7
Total
42
100

Kelompok Perlakuan
N
%
4
9,5
29
69,0
9
21,5
42
100

4.3.1.6.2. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Sesudah
Intervensi
Sesudah

dilakukan

intervensi,

keluhan

muskuloskeletal

dan

tingkat

keluhannya cenderung sama dengan sebelum dilakukan intervensi pada kelompok
kontrol, dimana sebagian besar responden yaitu 30 orang (71,4%) masih merasakan
keluhan dengan tingkat keluhan sedang. Keluhan dengan tingkat keluhan ringan

Universitas Sumatera Utara

dirasakan oleh 6 orang responden (14,3%) dan tingkat keluhan berat dirasakan oleh 6
orang (14,3%).
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan
Total Skor Sesudah Intervensi
No

Tingkat Keluhan

1
2
3

Ringan
Sedang
Berat
Total

Kelompok Kontrol
N
%
6
14,3
30
71,4
6
14,3
42
100

Kelompok Perlakuan
n
%
22
52,4
15
35,7
5
11,9
42
100

Sesudah dilakukan intervensi, terlihat ada perbedaan tingkat keluhan yang
dirasakan responden pada kelompok perlakuan dimana sebagian besar responden
merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan ringan yaitu sebanyak 22
orang (52,4%). Hanya 5 orang responden (11,9%) yang masih merasakan keluhan
dengan tingkat keluhan berat, sedangkan yang mengalami keluhan dengan tingkat
keluhan sedang juga berkurang menjadi 15 orang (35,7%).
4.4. Analisis Bivariat
4.4.1. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal pada Kelompok Kontrol
Sebelum dan Sesudah Intervensi
Dari tabel 4.13 diketahui skor rata-rata keluhan muskuloskeletal sebelum
intervensi 62,95 dengan standar deviasi 8,900 dan standar error 1,373. Sesudah
intervensi, skor rata-rata keluhan muskuloskeletal 62,98 dengan standar deviasi 8,764
dan standar error 1,352. Skor rata-rata keluhan sebelum dan sesudah intervensi
tersebut termasuk ke dalam katagori tingkat keluhan sedang. Perbedaan keluhan

Universitas Sumatera Utara

muskuloskeletal pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat
pada tabel 4.13 di bawah ini.
Tabel 4.13 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal Sebelum dan Sesudah
Intervensi pada Kelompok Kontrol
Variabel
Tingkat Keluhan
1. Sebelum Intervensi
2. Sesudah Intervensi

Mean

SD

SE

P value

62,95
62,98

8,900
8,764

1,373
1,352

0,895

Setelah dilakukan uji statistik pada tingkat kepercayaan 95% dengan
menggunakan uji t- berpasangan didapat nilai probability (p) sebesar 0,895. Nilai ini
lebih besar dari nilai α (0,05) atau p > α. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat
kepercayaaan 95%, tidak terdapat perbedaan tingkat keluhan muskuloskeletal pada
kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi.
4.4.2. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal pada Kelompok Perlakuan
Sebelum dan Sesudah Intervensi
Pada kelompok perlakuan, terlihat perbedaan skor rata-rata keluhan
muskuloskeletal sebelum dan sesudah intervensi. Sebelum intervensi, skor rata-rata
keluhan 62,81, standar deviasi 8,852 dan standar error 1,366. Sesudah intervensi, skor
rata-rata keluhan 45,81, standar deviasi 14,772 dan standar error 2,279. Skor rata-rata
keluhan sebelum intervensi termasuk ke dalam katagori tingkat keluhan sedang
sedangkan sesudah intervensi skor rata-rata keluhan tersebut termasuk dalam katagori
tingkat keluhan ringan. Perbedaan keluhan muskuloskeletal pada kelompok kontrol
sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada tabel 4.14 di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.14 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal Sebelum dan Sesudah
Intervensi pada Kelompok Perlakuan
Variabel
Tingkat Keluhan
1. Sebelum Intervensi
2. Sesudah Intervensi

Mean

SD

SE

P value

62,81
45,81

8,852
14,772

1,366
2,279

0,000

Dengan melakukan uji statistik pada tingkat kepercayaan 95% dengan uji tberpasangan, didapat nilai p sebesar 0,000 (p < α). Hal ini menunjukkan bahwa pada
tingkat kepercayaan 95%, terdapat perbedaan yang signifikan tingkat

keluhan

muskuloskeletal antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan,
dimana sesudah intervensi tingkat keluhan muskuloskeletal yang dirasakan
responden berkurang dari tingkat keluhan sedang menjadi tingkat keluhan ringan.
4.4.3. Perbedaan Tingkat Keluhan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan Sebelum Intervensi
Sebelum dilakukan intervensi, skor rata-rata keluhan muskuloskeletal pada
kelompok kontrol 62,95 dengan standar deviasi 8,900 dan standar error 1,373. Pada
kelompok perlakuan, skor rata-rata keluhan 62,81 dengan standar deviasi 8,852 dan
standar error 1,366. Skor rata-rata keluhan pada kelompok kontrol dan perlakuan
termasuk ke dalam katagori tingkat keluhan sedang.

Perbedaan skor keluhan

muskuloskeletal antara kelompok kontrol dan perlakuan sebelum intervensi dapat
dilihat pada tabel 4.15 di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.15 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal antara Kelompok Kontrol
dan Perlakuan Sebelum Intervensi
Variabel
Kelompok
1. Kontrol
2. Perlakuan

Mean

SD

SE

P Value

N

62,95
62,81

8,900
8,852

1,373
1,366

0,941

42
42

Dengan uji t-tidak berpasangan pada tingkat kepercayaan 95% didapat nilai p
sebesar 0,941 (> 0,05) atau p > α, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95%, tidak terdapat perbedaan yang signifikan tingkat keluhan
muskuloskeletal antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
4.4.4. Perbedaan Tingkat Keluhan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan Sesudah Intervensi
Sesudah dilakukan intervensi, skor rata-rata keluhan muskuloskeletal pada
kelompok kontrol yaitu 62,98, standar deviasi 8,764 dan standar error 1,352. Skor
rata-rata keluhan ini termasuk ke dalam katagori tingkat keluhan sedang. Sedangkan
pada kelompok perlakuan, skor rata-rata keluhan 45,81, standar deviasi 14,772 dan
standar error 2,279. Skor rata-rata keluhan ini termasuk ke dalam katagori tingkat
keluhan ringan. Perbedaan skor keluhan muskuloskeletal antara kelompok kontrol
dan perlakuan sesudah intervensi dapat dilihat pada tabel 4.16 di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.16 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal antara Kelompok Kontrol
dan Perlakuan Sesudah Intervensi
Variabel
Kelompok
1. Kontrol
2. Perlakuan

Mean

62,98
45,81

SD

SE

8,764
14,772

P Value

1,352
2,279

0,000

N

42
42

Dengan uji t-tidak berpasangan pada tingkat kepercayaan 95% didapat nilai p
sebesar 0,000 (< 0,05) atau p < α, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat
kepercayaan

95%,

terdapat

perbedaan

yang

signifikan

tingkat

keluhan

muskuloskeletal antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok
perlakuan, sikap kerja baik dan dapat menurunkan tingkat keluhan muskuloskeletal
yaitu dari tingkat keluhan sedang menjadi ringan, dan pada kelompok kontrol, sikap
kerja tidak baik dan keluhan muskuloskeletal yang dirasakan tetap dalam tingkat
keluhan sedang. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh sikap kerja
terhadap keluhan muskuloskeletal pada perajin di bagian pencetakan batu bata di
Kecamatan Darussalam Aceh Besar.

Universitas Sumatera Utara

BAB 5
PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin
Batu Bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar
Sikap tubuh dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, susunan
dan penempatan peralatan serta perlengkapan kerja (Suma’mur, 2009).
Sikap kerja yang tidak alamiah dan cara kerja yang tidak ergonomis dalam
bekerja harus dihindarkan karena dapat menyebabkan nyeri otot pada daerah-daerah
tubuh tertentu (Ramandhani, 2008).
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergelangan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya.
Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi
pula terjadinya keluhan musculoskeletal. Di Indonesia, sikap kerja yang tidak alamiah
lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun
kerja dengan ukuran tubuh pekerja (Tarwaka, 2010).
Berdasarkan observasi dan penilaian analisa kondisi kerja dengan
menggunakan metode OWAS diketahui bahwa sikap kerja seluruh perajin di bagian
pencetakan batu bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar pada saat mengambil
bahan baku dan meletakkan hasil cetakan menunjukkan sikap kerja yang tidak baik
(tidak alamiah) karena perajin selalu melakukan gerakan membungkuk akibat tidak

Universitas Sumatera Utara

tersedianya fasilitas kerja yang memadai. Sikap kerja perajin sebelum intervensi
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 5.1 Sikap Kerja saat Mengambil
Bahan Baku Sebelum
Intervensi

Gambar 5.2 Sikap Kerja saat
Mencetak Batu Bata
Sebelum Intervensi

Gambar 5.3 Sikap Kerja saat Meletakkan Hasil
Cetakan Sebelum Intervensi
Sikap kerja membungkuk merupakan salah satu sikap kerja yang tidak
nyaman untuk diterapkan dalam melakukan pekerjaan karena dapat menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

ketidakstabilan tubuh. Kondisi ketidakstabilan ini dapat memberikan tekanan berlebih
pada syaraf-syaraf di sekitar tulang belakang terutama pada L5 dan S1 sehingga
menyebabkan terjadinya kenyerian umum akibat dari ketegangan otot dan ligamen
pada masing-masing vertebrae tersebut. Kenyerian ini terjadi pada saat tulang
belakang membungkuk satu arah terlalu jauh, membungkuk secara berulang atau
membungkuk dengan membawa beban (Tarwaka, 2010). Kenyerian yang terjadi
secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan cedera
atau penyakit pada tulang belakang. Penyakit tulang belakang yang paling sering
dijumpai yaitu hernia pada discus intervertebralis yaitu keluarnya inti intervertebral
yang disebabkan oleh rusaknya lapisan pembungkus pada intervertebral disk.
Dari hasil observasi pada perajin di bagian pencetakan batu bata di Kecamatan
Darussalam Aceh Besar, diketahui bahwa sebagian besar perajin yaitu 69,0%
merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang, tingkat keluhan
berat 19,0% dan tingkat keluhan ringan dirasakan oleh 11,9% perajin. Keluhan
tersebut dirasakan pada otot-otot di seluruh tubuh dan keluhan yang paling berat
dirasakan yaitu pada otot bahu, lengan, tangan, punggung dan pinggang.
Pada penelitian ini dilakukan intervensi dengan pemberian fasilitas kerja yang
ergonomis berupa meja kerja dan tempat meletakkan hasil cetakan. Pemberian
fasilitas kerja ini dimaksudkan untuk memperbaiki sikap kerja perajin menjadi lebih
baik. Untuk melihat perbandingan tingkat keluhan maka perajin dibagi ke dalam 2
kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol
tidak ada perubahan sikap kerja karena tidak diberikan fasilitas kerja baru, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

pada kelompok perlakuan terjadi perubahan sikap kerja karena diberikan fasilitas
kerja baru.
Sebelum intervensi diketahui bahwa tidak terlihat adanya perbedaan tingkat
keluhan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Sebagian besar perajin
(69%) baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan merasakan keluhan
muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang. Dengan uji t-independent (tidak
berpasangan), didapat nilai p sebesar 0,895 (> 0,05) atau p > α, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan sebelum intervensi.
Sesudah intervensi dengan penerapan fasilitas kerja yang ergonomis selama
±1 bulan, terdapat 2 (dua) kelompok perajin yang menunjukkan 2 (dua) sikap kerja
yang berbeda yaitu sikap kerja baik dan tidak baik. Pada kelompok perlakuan, sikap
kerja perajin menjadi lebih baik. Perajin melakukan pekerjaan dengan sikap kerja
berdiri pada saat mengambil bahan baku, mencetak batu bata dan meletakkan hasil
cetakan. Sikap kerja berdiri yang baik yaitu bila tulang belakang tetap dalam keadaan
netral seperti lumbar lordosis sehingga tekanan pada disk vertebral akan
didistribusikan secara merata dan ketegangan pada ligament tulang belakang dapat
diminimalkan (Tarwaka, 2010). Sikap kerja perajin pada kelompok perlakuan
sesudah intervensi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.4 Sikap Kerja saat Mengambil Bahan Baku Sesudah Intervensi

Gambar 5.5 Sikap Kerja saat Mencetak Batu Bata Sesudah Intervensi

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.6 Sikap Kerja saat Meletakkan Hasil Cetakan
Sesudah Intervensi

Pada kelompok perlakuan dengan perbaikan sikap kerja, jumlah rata-rata batu
bata yang dapat dicetak oleh seorang perajin setiap harinya bertambah. Sebelum
intervensi, jumlah rata-rata batu bata dalam kisaran 600-800 buah, sedangkan sesudah
intervensi sebagian besar perajin dapat mencetak >800 batu bata setiap harinya.Hal
ini menunjukkan ada peningkatan produktivitas perajin dalam mencetak batu bata.
Suma’mur (2009) mengatakan bahwa perbaikan sikap badan saat kerja dan/atau cara
bekerja sehingga pekerjaan dilakukan lebih ergonomis ternyata mampu menaikkan
produktivitas sebesar 10%, bahkan suatu penelitian melaporkan kenaikan
produktivitas yang diukur dari peningkatan hasil kerja adalah sebesar 20%.
Sesudah intervensi diketahui bahwa ada perbedaan tingkat keluhan antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, sebagian besar
perajin (71,4%) masih merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan

Universitas Sumatera Utara

sedang, sedangkan pada kelompok perlakuan sebagian besar perajin (52,4%)
merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan ringan, tingkat keluhan
sedang menurun sebesar 33,3%, dan tingkat keluhan berat menurun sebesar 9,5%.
Hasil uji statistik dengan uji t-independent (tidak berpasangan) didapatkan nilai p
adalah 0,000 (< α 0,05) yang berarti bahwa pada α 5% terdapat perbedaan yang
signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara perajin yang sikap kerjanya baik
(kelompok perlakuan) dengan perajin yang sikap kerjanya tidak baik (kelompok
kontrol). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh sikap kerja
terhadap tingkat keluhan muskuloskeletal.
Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sukmawati
(2007) dalam penelitiannya yang mengatakan bahwa perbaikan kursi kerja dapat
menurunkan

keluhan

muskuloskeletal

sebesar

42,22%

dan

meningkatkan

produktivitas kerja sebesar 38,54% pada perajin destar di Desa Gerih.
Hal serupa juga didapat oleh Masrah (2009) dalam penelitiannya yang
menyatakan bahwa setelah diberikan alat bantu kerja berupa kereta beroda sederhana,
terjadi perbaikan postur kerja dan penurunan tingkat keluhan muskuloskeletal pada
pekerja industri pencetakan batu bata di desa Paya Lombang Kecamatan Tebing
Tinggi Kabupaten Serdang Begadai.
Selain itu, Suma’mur (2009) juga menyatakan bahwa bekerja pada kondisi
yang tidak ergonomis dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain nyeri,
kelelahan bahkan kecelakaan. Perbaikan sikap badan saat kerja atau cara bekerja

Universitas Sumatera Utara

sehingga pekerjaan dilakukan lebih ergonomis ternyata mampu mengurangi tingkat
keluhan muskuloskeletal pada pekerja.
5.2. Keterbatasan Penelitian
Pada saat penelitian, peneliti mengalami kesulitan saat melakukan
pengumpulan data karena responden tidak berada pada 1 lokasi pembuatan batu bata
melainkan di beberapa lokasi. Selain itu tidak semua pengelola usaha dan perajin di
bagian pencetakan batu bata mau bekerjasama dengan baik pada saat penelitian
dilakukan.
Keterbatasan biaya menyebabkan jumlah fasilitas kerja yang disediakan tidak
mencukupi

kebutuhan

seluruh

perajin

sehingga

perajin

harus

bergantian

menggunakan fasilitas kerja baru tersebut. Hal ini menyebabkan waktu penelitian
menjadi l