EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI P

EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PELAKSANA
KEKUASAAN KEHAKIMAN
(Dalam Perspektif Perbandingan Indonesia dan Korea Selatan)
Sofyan Hadi, Tomy M Saragih
Abstrak
Berubahnya sistem pembagian kekuasaanmenjadi sistem pemisahan kekuasaan berimbas
pada kekuasaan kehakiman. Perubahan ini menghasilkan Mahkamah Konstitusi sehingga
keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sama halnya dengan Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan yaitu berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan konsekuensi dari pemerintahan
otoriter menuju reformasi konstitusi.
Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, pembagian kekuasaan, pemisahan kekuasaan.
Kekuasaan
kehakiman
adalah
lembaga yang memiliki peranan yang
sangat
penting
dalam
sistem
ketatanegaraan suatu negara. Kekuasaan
kehakiman ditujukan untuk menciptakan

checks and balances diantara lembaga
negara lainnya terutama dalam penegakan
hukum dan melindungi hak asasi warga
negara yang berpotensi untuk dilanggar
oleh perbuatan pemerintahan. Kekuasaan
kehakiman memegang peranan yang
penting untuk menjadikan hukum supaya
tidak
menjadi
alat
pelanggengan
kekuasaan. Oleh karena itu, dibutuhkan
kekuasaan kehakiman yang bersifat
merdeka, mandiri dan independen.
Sebelum
UUD
1945
diubah,
kekuasaan kehakiman hanya dilakukan
oleh Mahkamah Agung sebagai badan

peradilan tertinggi bagi peradilan di
bawahnya seperti peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha
negara, dan peradilan militer. Sedangkan
pasca perubahan UUD 1945, kekuasaan
kehakiman tidak hanya dilakukan oleh
Mahkamah Agung, tetapi dibentuk
lembaga
baru
yaitu
Mahakamah
Konstitusi.
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 pasca
perubahan menentukan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di
bawahnya
dalam
lingkungan


A. Pendahuluan
Dengan diubahnya Undang-Undang
Dasar 1945 menyebabkan perubahan
sistem pemerintahan di Negara Indonesia,
dari
sistem
pembagian
kekuasaan
(distribution of power) menjadi sistem
pemisahan kekuasaan (separation of
power). Suatu negara hanya akan hidup
dan bergerak dinamis jika dijalankan oleh
lembaga-lembaga
negara
sebagai
pemegang kekuasaan negara. Sedangkan
kekuasaan negara itu dijalankan oleh
lembaga-lembaga negara pada tingkat
pusat maupun oleh lembaga negara pada

tingkat lokal atau daerah. Kekuasaan
negara dibagi kepada lembaga-lembaga
negara
yang
menurut
Miriam
Budiardjo(Hamdan Zoelfa, 2012)dapat
dibagi dalam dua cara, yaitu secara
vertikal (pembagian kekuasaan menurut
tingkatannya dan dalam hal ini yang
dimaksud adalah pembagian kekuasaan
antara bebarapa tingkat pemerintahan).
Pembagian kekuasaan ini nampak jelas
dapat kita saksikan kalau kita bandingkan
antara negara kesatuan, negara federal dan
negara konfederasi. Secara horisontal
(pembagian
kekuasaan
menurut
fungsinya), dimana pembagian ini

menunjukkan pembedaan antara fungsifungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang
lebih dikenal dengan trias politica.

1

peradilan
umum,
lingkungan
peradilan
agama,
lingkungan
peradilan
militer,
lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.

prinsip negara hukum yaitu adanya
pembatasan terhadap kekuasaan sehingga

tidak menjadi absolut. Kekuasaan harus
benar-benar dibatasi oleh hukum sehingga
tidak menjadi sewenang-wenang. Hukum
harus benar-benar memberikan jaminan
bahwa kekuasaan itu dijalankan sesuai
dengan hukum (rule of law). Dalam
konteks ini, Mahkamah Konstitusi
diharapkan untuk mampu menjadi
penyeimbang dan pengawas dari sudut
hukum sehingga pemerintah tidak
melanggar hukum dalam melaksanakan
fungsinya, khususnya terhadap konstitusi
sebagai hukum dasar (basic law of the
land).
Firmansyah Arifin, Lilis Mulyani,
dan RM Mihradi (Kunthi Diaw Wardani,
2007:150), mengatakan:
“Pada umumnya latar belakang
dibentuknya Mahkamah Konstitusi
di beberapa negara dipengaruhi oleh

perkembangan dinamika politik
hukum dan dorongan kuat untuk
menegaskan kontrol serta jaminan
terhadap hak asasi manusia. Studi
kasus di beberapa negara yang baru
mengadopsi lembaga Mahkamah
Konstitusi memperlihatkan bahwa
Mahkamah Konstitusi dijadikan
momentum membangun masyarakat
demokratis dan negara hukum. Pada
akhirnya, Mahkamah Konstitusi
dibentuk dengan tujuan untuk
menegakkan
konstitusi
dan
mencegah penafsiran berdasarkan
kepentingan penguasa sekaligus
menjaga pelaksanaan mekanisme
checks and balances antar lembaga
negara.”

Keberadaan Mahkamah Konstitusi
merupakan fenomena ketatanegaraan
modern abad XXI. Biasanya, lembaga ini
didirikan untuk merubah sistem politik
yang
otoriter
sehingga
lebih
demokratis(Jimly Asshidiqqie, 2002). Hal
ini menandakan bahwa, Mahkamah
Konstitusi memiliki peranan yang sangat
penting di dalam menciptakan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih

Beradasarkan pasal tersebut, pasca
perubahan UUD 1945 telah dibentuk dua
badan peradilan tertinggi (bifurcation
system) yang merdeka dan independen.
Kedua
peradilan

tersebut
adalah
Mahkamah Agung sebagai puncak
peradilan dalam perkara biasa dan
Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan
ketatanegaraan. Kedua pengadilan tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda dalam
penyelesaian kasus-kasus yang akan
ditangani, karena keduanya juga memiliki
kewenangan yang berbeda.
Tulisan ini ditulis dalam perspektif
perbandingan
yakni
dengan
cara
membandingkan eksistensi Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dengan
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan.
Korea Selatan dipilih karena adanya
kesamaan sejarah atau latar belakang

pembentukan Mahkamah Konsitusi di
kedua negara baik di Indonesia maupun di
Korea Selatan yakni sama-sama didasari
oleh suatu reformasi konstitusi akibat
pemerintahan sebelumnya yang sangat
otoriter.
B. Pembahasan
Reformasi konstitusi yang terjadi
pada tahun 1999 sampai tahun 2002 telah
merubah sistem ketatanegaraan Indonesia
secara
besar-besaran.
Hal
ini
dilatarbelakangi oleh keinginan bangsa
Indonesia untuk menciptakan sistem
berbangsa dan bernegara yang demokratis,
berkeadilan, dan melindungi hak-hak asasi
warganya yang didasari oleh konstitusi.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal

tersebut maka lahirlah sebuah lembaga
negara yang sangat baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yaitu Mahkamah
Konstitusi (constitutional court).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi
pada hakikatnya didasari oleh prinsip2

demokratis dengan berfungsi sebagai
pengawas dan penyeimbang terhadap
lembaga negara yang lain. Di samping itu
juga, Mahkamah Konstitusi sangat
berperan
di
dalam
memberikan
perlindungan terhadap hak asasi warga
negara yang berpotensi untuk dilanggar
oleh negara melalui kebijakan yang
dikeluarkan.
Ini
berarti
bahwa,
pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat
berkaitan erat dengan upaya untuk
menegakkan kedaulatan yang dimiliki oleh
rakyat dan dijamin oleh konstitusi. Karena
pada hakikatnya pengingkaran terhadap
kedaulatan rakyat adalah pengingkaran
terhadap konstitusi.
Pembentukan
Mahkamah
Konstitusi
dalam
konteks
ketatanegaraan Indonesia didasarkan
pada alasan faktual, bahwa(Janedjri M.
Gaffar, 2009:8):
1). Sebagai konsekuensi dari perwujudan
dari negara hukum yang demokratis dan
negara demokrasi yang berdasarkan
atas hukum;
2). Pasca perubahan kedua dan ketiga
UUD 1945 telah merubah relasi
kekuasaan dengan menganut sistem
pemisahan kekuasaan (separation of
power) dengan memakai prinsip checks
and balances;
3). Kasus pemakzulan terhadap mantan
Presiden Abdurrahman Wahid pada
tahun 2001 sehingga diperlukan jalur
hukum yang sesuai.
Menurut
Abdul
Rasyid
Thalib(Abdul Rasyid Talib, 2006:167),
secara filosofis, ide dasar pembentukan
Mahakamah Konstitusi adalah untuk
menciptakan
sebuah
sisem
ketatanegaraan di Indonesia yang
menganut asas pemisahan kekuasaan
(separation of power) secara fungsional
dan menerapkan “checks and balances”
untuk menggantikan secara bertahap
penggunaan
asas
pendistribusian
kekuasaan “distribution of power” dan
paham integralisme dari lembaga tinggi
negara, dengan alasan bahwa:

1) Negara Indonesia adalah negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, bertujuan untuk mewujudkan tata
kehidupan berbangsa dan negara yang
tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
2) Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman
mempunyai peranan yang penting
dalam usaha menegakkan konstitusi dan
prinsip negara hukum sesuai dengan
tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan oleh UUD 1945.
Sedangkan menurut Firmansyah
Arifin(Nur
Syamsiati,
2009:22-23),
pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga hal
yaitu:
1) Alasan
filosofis
artinya
bahwa
Mahkamah Konstitusi dihadirkan untuk
menegaskan bahwa tidak ada lagi
supremasi parlemen atau eksekutif
tanpa adanya kontrol dari hukum;
2) Alasan politis artinya dinamika
perkembangan
politik
telah
menimbulkan banyak persoalan yang
sebagian tidak mampu ditampung oleh
UUD 1945;
3) Alasan sosio-historis yakni kebutuhan
akan
Mahkamah
Konstitusi
sesungguhnya sudah lama ada.
Melihat latarbelakang pembentukan
Mahkamah Konstitusi yang dikemukakan
oleh beberapa ahli di atas, dapat
memberikan
pembuktian
bahwa
Mahkamah Konstitusi memegang peranan
yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan demokrasi yang berkualitas.
Peranan tersebut berkaitan dengan fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution), penegak konstitusi, penafsir
konstitusi (the sole interpreter of
constitution), dan sebagai penjaga hak
asasi manusia (the protector of human
right)(Nikmatul Huda, 2007:138).
Pasca perubahan UUD 1945,
pelaksanaan kekuasaan tidak hanya
dilakukan oleh Mahkamah Agung tetapi
dibentuk juga suatu badan yang dikenal

3

dengan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24
UUD 1945 pasca perubahan menentukan:
1) Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan;
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan
peradilan
agama,
lingkungan
peradilan
militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;
3) Badan-badan lain yang yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.
Ketentuan di atas mempunyai arti
bahwa pasca perubahan UUD 1945, ada
dua lembaga pelaksana kekuasaan
tertinggi dalam kekuasaan kehakiman
yaitu selain Mahkamah Agung sebagai
peradilan biasa juga terdapat Mahkamah
Konstitusi sebagai peradilan tatanegara
(bifurcation
system)(Nur
Syamsiati,
2009:19). Ini artinya bahwa kedua
lembaga tersebut mempunyai kedudukan
yang setara dan sederajat sebagai lembaga
negara. Dilihat dari teori kelembagaan
negara, maka Mahkamah Konstitusi bisa
disebut
sebagai
main
organ
(constitutional entrusted power)(Nikmatul
Huda, 2007:167) yang mempunyai
kedudukan yang penting dan mendapat
kewenangan secara atributif
karena
kedudukanya diatur di dalam konstitusi.
Mahkamah Konstitusi setara dengan
Mahkamah Agung. Keduanya adalah
penyelenggara tertinggi dari kekuasaan
kehakiman(Abdul Latif, 2009:50). Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa dengan
adanya perubahan UUD 1945, maka selain
Mahkamah Agung puncak pelaksana
kekuasaan kehakiman dari lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya, juga
terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara
fungsional juga sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, namun tidak
mempunyai hubungan struktural dengan
Mahkamah Agung. Kedua lembaga

tersebut adalah memiliki fungsi yang sama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,
namun dibedakan dalam yurisdiksinya
atau kompetensinya.
Dari pendapat tersebut, dapat
diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung merupakan
lembaga peradilan yang berbeda secara
kompetensi dan yurisdiksi. Hal ini
membuktikan di antara kedua lembaga
negara tersebut, secara fungsional adalah
berbeda, dan Mahkamah Konstitusi
merupakan bukan bagian dari Mahkamah
Agung (unity jurusdiction) tetapi keduanya
terpisah satu dengan yang lain (duality of
jurisdiction).
Menurut Jimly Asshiddiqie, kedua
lembaga
tersebut pada hakikatnya
memiliki karakteristik yang berbeda.
Mahkamah Agung lebih pada pengadilan
keadilan (court of justice), sedangkan
Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan
dengan lembaga pengadilan hukum (court
of law) (Abdul Latif, 2009:49).
Pendapat ini tidak mutlak seratus
persen, karena keduanya merupakan
lembaga peradilan dimana masyarakat
mencari keadilan. Namun, perlu juga
disadari seperti dijelaskan sebelumnya
bahwa kedua peradilan memiliki karakter
yang berbeda terhadap objek yang
disengketakan di kedua peradilan ini.
Mahkamah Konstitusi lebih ke kasus
pengujian
norma-norma
abstrak,
sedangkan Mahkamah Agung mengadili
kasus–kasus konkrit. Akan tetapi keduanya
bermuara pada terciptanya keadilan.
Sebagai
lembaga
pemegang
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi
memiliki peran dan fungsi yang sangat
penting dalam menciptakan keadilan
melalui pelaksanaan kewenangannya.
Mahkamah
Konstitusi
menjalankan
wewenang tersebut untuk menegakkan
konstitusi untuk mewujudkan negara
hukum yang demokratis, sekaligus
menjalankan fungsi dari Mahkamah
Konstitusi
sebagai
pelindung
dan
pengawal konstitusi untuk menciptakan
4

legal juctice dan social justice (Abdul
Latif, 2009:125). Mengenai kewenangan
Mahkamah Konstitusi, Pasal 24 huruf C
UUD 1945 menentukan:
1) Mahkamah
Konstitusi
berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
tarakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang
Dasar,
memutus
sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang
Dasar,
memutus
pembubaran
partai
politik,
dan
memutus perselisihan tentang hasil
pemilu;
2) Mahkamah
Konstitusi
wajib
memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.
Secara
terperinci,
wewenang
Mahkamah Konstitusi diatur dalam
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU No. 24-2003). Pasal 10
UU No. 24-2003 menentukanMahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a) menguji
undang-undang
terhadap
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b) memutus
sengketa
kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c) memutus pembubaran parta politik; dan
d) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Dari dua ketentuan pasal di atas,
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat)
wewenang dan 1 (satu) kewajiban. Terkait
dengan hal tersebut, wewenang Mahkamah
Konstitusi pada intinya adalah untuk
menjaga agar konstitusi dilaksanakan
sesuai dengan kehendak rakyat, cita-cita
rakyat, dan negara hukum serta

berdasarkan pada kedaulatan rakyat.
Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi bisa dikatakan sangat vital dan
penting untuk mewujudkan negara yang
demokratis.
Dalam tataran teoritis khususnya
mengenai teori kewenangan, maka
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang
atributif. Wewenang atributif merupakan
wewenang yang dimiliki oleh lembaga
negara dengan bersumber langsung dalam
konstitusi. Dengan konsep tersebut maka,
dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga negara utama.
Kedudukannya berada setara dengan
Mahkamah
Agung.
Kedua-duanya
merupakan
lembaga
negara
yang
menjalankan kekuasaan tertinggi dalam
bidang kehakiman (yudisial).
Latar belakang sejarah
yang
melatarbelakangi berdirinya Mahkamah
Konstitusi Indonesia hampir sama dengan
latar belakang terbentuknya Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan yakni sistem
pemerintahan yang sangat absolut dan
otoriter sehingga menimbulkan gelombang
demonstrasi dimasyarakat yang menuntut
diadakannya reformasi konstitusi. Pada
tanggal 29 Oktober 1997 konstitusi bari
disahkan melalui proses perubahan.
Melalui perubahan konstitusi ini, maka
diadopsilah
lembaga
baru
yakni
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan.
Selain
itu,
secara
kelembagaan,
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan juga
berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung
(bifurcation system). Sehingga kedudukan
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
setara dengan Mahkamah Agung Korea
Selatan.
Pengaturan
tentang
Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan dapat ditemukan
dalam Chapter VI Article 111 Section (1)
Constitution of the Republik of Korea dan
Article 41 Contitutional Act, yang
menentukan bahwa:
(1)The constitutional court shall have
jurisdiction over the following matters:
a. The contituonally of law upon the
request of the court;
5

b. Impeachment;
c. Dissolution of a political party;
d. Competence dispute between state
agencies, between state agencies and
local government , and between
local government;
e. Contitutional
complaint
as
prescribed by act.
Dari ketentuan di atas, bahwa
kewenangan
yang
dimiliki
oleh
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan tidak
jauh
berbeda dengan
kewenangan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Tapi
terdapat juga perbedaan yang sangat
penting dijadikan bahan kajian perubahan
UUD 1945 selanjutnya. Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan memiliki
wewenang antara lain:
a. Mengkaji konsstitutionalitas suatau
peraturan perundang-undangan yang
diajukan oleh pengadilan biasa atau
tingkat pertama. Kewenangan ini sangat
mirip dengan apa yang dikenal dengan
istilah constitutional question. Artinya
bahwa dalam sistem hukum Korea
Selatan yang berhak untuk menanyakan
konstitusionalitas
suatu
peraturan
perundang-undangan hanya terbatas
oleh pengadilan biasa, sehingga sistem
pengujian berasal dari kasus konkrit
yang terkait hukum mana yang akan
diterapkan oleh hakim biasa dalam
suatu kasus. Hal ini berbeda dengan
sistem yang dianut di Indonesia,
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No.
24/2003 yang berhak untuk mengajukan
judicial review yakni perorangan warga
masyarakat,
kesatuan
masyarakat
hukum adat, dan badan hukum publik
atau privat serta lembaga negara.
Sehingga di Indonesia pengujian
terhadap undang-undang lebih abstrak
karena tidak didasarkan kasus konkrit
sehingga
potensi
kerugian
konstitusional sudah bisa dijadikan
dasar untuk mengajukan permohonan
pengujian suatu undang-Undang ke
Mahkamah Konstitusi.
b. Melakukan impeachment
c. Pembubaran Partai Politik;

d. Sengketa lembaga negara, lembaga
negara dengan pemerintahan daerah
atau antara pemerintahan daerah
e. Kewenangan
untuk
mememrikasa
constitutional complaint. Kewenangan
ini tidak diatur dalam sistem hukum di
Indonesia.
Sehingga
Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang untuk
memeriksa constitutional complaint.
C. Kesimpulan
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia merupakan konsekuensi dari
dianutnya supremasi konstitusi dalam
UUD 1945. Oleh karena itu, keberadaan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu upaya untuk tetap menjaga
pelaksanaan kekuasaan negara tetap
berada dalam koridor hukum, demokrasi,
dan konsitusi. Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman disamping Mahkamah Agung
(bifurcation system). Sehingga secara
teoritis, Mahkamah Konstitusi merupakan
organ utamadalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Mahkamah Konstitusi memiliki
wewenang sebagaimana diatur dalam
Pasal 24 huruf C UUD 1945 jo Pasal 10
UU No. 24-2003 yakni a) menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c)
memutus pembubaran parta politik; dan d)
memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum dan wajib memberikan
putusan DPR bahwa Presiden telah
melanggar ketentuan Pasal 7 huruf A UUD
1945.
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
juga lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman dan berdiri sendiri
di luar Mahkamah Agung Korea Selatan.
Hal ini sama seperti yang dianut oleh
sistem hukum Indonesia. Chapter VI
Article 111 Section (1) Constitution of the
Republik of Korea dan Article 41
Contitutional Act menentukan wewenang
6

yang dimiliki oleh Mahkamah Korea
Selatan yaknia) The contituonally of law
upon the request of the court; b)
Impeachment; c) Dissolution of a political
party; d) Competence dispute between
state agencies, between state agencies and
local government , and between local
government; e) Contitutional complaint as
prescribed by act.

TERIMA KASIH BANYAK
KEPADA
REDAKSI
JURNAL
ILMIAH GALUH JUSTISI. KAMI
BERHARAP KESUKSESAN TETAP
BERSAMA
EDAKSI
JURNAL
ILMIAH GALUH JUSTISI DAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
GALUH.

Daftar Bacaan

Biodata Penulis
1. Sofyan Hadi lahir di Pepao Timur
pada tanggal 7 Desember 1988.
Lulusan S1 FH Universitas
Mataram (2011) dan S2 FH
Universitas Airlangga (2013).
Bekerja sebagai dosen di FH
Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya. Dapat dihubungi di
sofianlaw@yahoo.com
2. Tomy M Saragih lahir di Surabaya
pada tanggal 12 Januari 1987.
Lulusan S1 FH Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya (2008), S2
FH Universitas Brawijaya (2011),
Dan sedang studi S3 FH
Universitas Brawijaya (2012).
Bekerja sebagai dosen di FH
Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya. Dapat dihubungi di
081333330187, 0819671079 dan
a_los_tesalonicenses@yahoo.com

Asshidiqqie, Jimly, 2002, Prinsip
Umum Judicial Review, (Makalah
disampaikan pada Diskusi Terbatas
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional,
Jakarta 28 Juni 2002).
Constitution of the Republic of
Korea
Constitutional Court Act of the
Republic of Korea.
Gaffar,
Janedjri
M,
2009,
Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah
Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia,(Makalah disampaikan pada
Diskusi Publik Universitas Sebelas Maret,
Surakarta 17 Oktober 2009).
Talib,
Abdul
Rasyid,
2006,
Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Implikasinya
Dalam
Sistem
Ketatanegaraan
Republik
Indonesia,
Bandung, PT Citra Adtya Bakti.
Syamsiati, Nur, 2009, Tinjauan
Umum Tentang Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, Jakarta,Tesis Magister Hukum
Universitas Indonesia.
Huda, Nikmatul, 2007,Lembaga
Negara
Dalam
Masa
Transisi
Demokrasi,Yogyakarta, UII Press.
Latif, Abdul Latif, 2009, Fungsi
Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan
Negara Hukum Demokrasi,Yogyakarta,
Kreasi Total Media.
Wardani,
Kunthi
Diah,
2007,Impeachment Dalam Ketatanegaraan
Indonesia, Yogyakarta, UII Press.
Zoelfa, Hamdan, Sistem Perwakilan
Rakyat di Indonesia, www. google.com,
diakses pada tanggal 12 Agustus 2013.

7