Critical Review Analisa Lokasi dan Kerua (3)

Critical Review

STABILITY OF SPATIAL STRUCTURE OF URBAN
AGGLOMERATION IN CHINA BASED ON
CENTRAL PLACE THEORY
Chinese Geographical Science 2007 17(3) 193–202
DOI: 10.1007/s11769-007-0193-8

FANG Chuanglin1, SONG Jitao1, 2, SONG Dunjiang1,2
1. Institute of Geographic Sciences and Natural Resources Research, Chinese Academy of
Sciences, Beijing 100101, China
2. Graduate University of Chinese Academy of Sciences, Beijing 100049, China

GITA TORULI SIDAURUK
3614100044

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTASTEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2016


DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................................... 3
2.1 Konsep Dasar Central Place Theory (CPT) .......................................................................... 3
2.2 Asumsi Teori Christaler (Central Place Theory) ................................................................... 3
2.3 Hirarki dan Proses Central Place Theory .............................................................................. 4
2.4 Metode Centrality Index (CI) .................................................................................................... 5
2.5 Metode Dimensi Fraktal ............................................................................................................ 6
BAB III .................................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 7
3.1 Alasan Pemilihan Lokasi .......................................................................................................... 7
3.2 Faktor-Faktor Lokasi ................................................................................................................. 8
3.3 Implikasi Teori Terhadap Lokasi yang Dipilih........................................................................ 9
BAB IV.................................................................................................................................................. 11
PENUTUP ........................................................................................................................................... 11
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................................... 11
4.2 Critical Review ......................................................................................................................... 11
4.3 Saran untuk perbaikan ............................................................................................................ 12

4.4 Lesson Learned ....................................................................................................................... 12

ii

STABILITY OF SPATIAL STRUCTURE OF URBAN AGGLOMERATION IN CHINA
BASED ON CENTRAL PLACE THEORY
Chinese Geographical Science 2007 17(3) 193–202
DOI: 10.1007/s11769-007-0193-8
1

1, 2

FANG Chuanglin , SONG Jitao

, SONG Dunjiang

1,2

1. Institute of Geographic Sciences and Natural Resources Research, Chinese Academy of
Sciences, Beijing 100101, China

2. Graduate University of Chinese Academy of Sciences, Beijing 100049, China

BAB I
PENDAHULUAN
Pemahaman tentang lokasi pada dasarnya berkaitan dengan tempat, posisi, site,
tapak, dan ruang. Dalam kerangka perencanaan wilayah, yang dimaksud dengan ruang
adalah wadah pada lapisan atas permukaan bumi termasuk apa yang ada diatasnya dan
yang ada dibawahnya sepanjang manusia masih dapat menjangkaunya. Dengan kata lain,
lokasi menggambarkan “posisi” pada ruang tersebut (dapat ditentukan bujur dan lintangnya).
Makna dari teori lokasi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tata ruang (spatial
order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber
yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan
berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006).
Terdapat beberapa jenis teori lokasi dalam perkembangan perkotaan. Salah satunya
adalah Central Place Theory. Model ini dikemukakan oleh Christaller (1933). Teori ini
menyatakan bahwa suatu lokasi dapat melayani berbagai kebutuhan yang terletak pada
suatu tempat yang disebutnya sebagai tempat sentral. Tempat sentral tersebut memiliki
tingkatan-tingkatan tertentu sesuai kemampuannya melayani kebutuhan wilayah tersebut.
Bentuk pelayanan tersebut digambarkan dalam segi enam/heksagonal. Teori ini pada
prinsipnya bersifat statis dan tidak memikirkan pola


pembangunan di masa yang akan

datang akan tetapi dasar tentang hierarki suatu pusat pelayanan sangat membantu dalam
hal perencanaan pembangunan sebuah wilayah/kota.
Studi kasus yang terdapat dalam makalah ini membahas mengenai implikasi dari
Teori Central Place secara nyata dewasa ini. Dalam jurnal dibahas mengenai konsep Kota
China dalam melakukan aglomerasi perkotaan untuk menghasilkan stabilitas struktur
perkotaan. Stabilitas yang dimaksud berkaitan dengan kemampuan setiap kota untuk
melaksanakan fungsi dan kegiatannya secara optimal. Central Place Theory digunakan

1

sebagai literature dasar dalam menentukan hirarki perkotaan dan kestabilan masing-masing
perkotaan yang ada di China.
Peneliti menggunakan metode Centrality index (CI) untuk menentukan hirarki dan
intensitas/jangkauan spasial setiap node dalam wilayah studi. Metode ini menekankan
kekuatan komprehensif dari masing-masing kota (node) melalui kohesi internal. Selain itu,
terdapat pula metode fraktal (Fractal Dimension) yang digunakan sebagai parameter untuk
mengukur jumlah grid, penambahan node, dan penghitungan dimensi fractal sehingga

diperoleh kisaran kegiatan distribusi yang terjadi sesuai dengan pengelompokan perkotaan
yang ada. Sebelum penilaian, K = 4 dipilih sebagai parameter untuk menghitung indeks
sentralitas dan dimensi fraktal (K merupakan hubungan kuantitatif antara kota dan
kabupaten di Central Place Theory). Kemudian dilanjutkan dengan menentukan jumlah
node, jenis tata ruang, tata ruang alokasi node dengan hirarki yang berbeda mempengaruhi
stabilitas struktur spasial.

Dalam analisis, ditemukan bahwa faktor utama yang

mempengaruhi nilai centrality index (CI) dan dimensi fraktal adalah skala populasi dan
tingkat pertumbuhan kota yang kemudian akan mempengaruhi stabilitas/kemampuan
kelompok perkotaan (node) di China.
Jurnal ini pada intinya mengedepankan konsep Central Place Theory sebagai
landasan dari konsep stabilitas aglomerasi perkotaan, hingga disimpulkan kerangka acuan
untuk menunjukkan hubungan simbiosis, hierarki, dan efektifitas konsep perkotaan di China.

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Central Place Theory (CPT)
Central Place Theory (CPT) adalah salah satu teori keruangan wilayah yang
dikemukakan oleh Walter Christaller (Jerman) pada tahun 1933. Christaller meneliti pola
ekonomi masyarakat di daerah selatan Jerman dan menganalisis aktivitas ekonomi mereka.
Ia berasumsi bahwa suatu daerah dapat dikatakan sebagai tempat sentral jika mampu
memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat di sekitar tempat sentral tersebut. CPT memiliki
2 konsep utama yaitu:
1) Threshold

: jangkauan batas minimal kegiatan ekonomi tempat sentral

2) Range

: jangkauan maksimum masyarakat yang mampu menjangkau tempat

sentral

Gambar 1. Ilustrasi Range dan Threshold
2.2 Asumsi Teori Christaler (Central Place Theory)
Teori Cristaller berdasar pada sebuah asumsi dimana model tersebut tidak dapat

diterapkan pada situasi yang realistis. Asumsi yang digunakan yakni:
1. Permukaan bumi datar, tak terbatas, dan memiliki sumber daya yang homogen
dimana tersebar secara merata atau dengan kata lain tidak terdapat perbedaan
kondisi geografis.
2. Tidak terdapat batasan administrasi dan politis yang dapat menyimpangkan
perkembangan permukiman
3. Tidak terdapat eksternal ekonomi yang mengganggu pasar
4. Populasi tersebar secara merata diseluruh area dan tidak terdapat pusat
permukiman
5. Banyak pedagang kecil menawarkan produk yang sama dan tidak ada keragaman
produk
6. Semua pembeli memilik daya beli yang sama

3

7. Biaya transportasi sama ke semua arah dan ragamnya sebanding dengan jarak
8. Pembeli membayar biaya transportasi produk atau layanan
9. Tidak ada akomodasi untuk inovasi atau kewirausahaan.
2.3 Hirarki dan Proses Central Place Theory
Teori Christaller menyarankan bahwa barang dan jasa dapat dikategorikan menjadi

rangkaian tingkatan dari kekhususan rendah atau orde dasar (seperti produk pangan)
sampai orde tinggi atau memiliki kekhususan tinggi (seperti sebuah tingkatan layanan
kesehatan atau tingkatan alat-alat rumah tangga maupun kendaraan).
Menurut teori ini, tempat pusat/sentra secara hierarki dapat dibedakan menjadi 3
jenis :
1. Tempat sentral yang berhirarki 3 ( K=3 )
Merupakan pusat pelayanan yang berupa pasar yang senantiasa menyediakan
barang-barang bagi daerah sekitarnya, memudahkan kebutuhan pelayanan seluas
mungkin atau disebut juga dengan „kasus pasar optimal‟.
2. Tempat sentral yang berhirarki 4 ( K=4 )
Merupakan situasi lalu lintas yang optimum. Maksudnya, daerah tersebut dan daerah
sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan
jalur lalu lintas yang paling efisien. Prinsipnya adalah bagaimana meminimumkan
jarak penduduk untukmendapatakan pelayanan fungsi di tempat pusat.
3. Tempat sentral yang berhirarki 7 ( K=7 )
Merupakan situasi administratif yang optimum. Maksudnya, tempat sentral ini
mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya. Prinsipnya adanya
kemudahan dalam rentang kendali pengawasan pemerintahan.

A


B

Gambar 2 (A dan B). Konsep Hirarki perkotaan Central Place Theory

4

Dalam jurnal, peneliti menggunakan hirarki K=4 sebagai parameter
untuk melakukan analisis kestabilan struktur perkotaan. Peneliti menjelaskan bahwa
China menggunakan pendekatan optimal pada situasi lalu lintas untuk mendukung
efektifitas node di kota-kota inti dan kota pendukung. K=4 juga menggambarkan
hubungan kuantitatif antara kota dan kabupaten di China.

Gambar 3. Bentuk Heksagon CPT mengisi ruang secara efisien
Proses Central Place Theory :
1) Mula-mula terbentuk area pelayanan berupa lingkaran-lingkaran. Setiap
lingkaran memiliki lingkaran pusat dan menggambarkan threshold. Lingkaranlingkaran ini tidak tumpah tindih (gambar A)
2) Antara lingkaran-lingkaran berupa range dari pelayanan tersebut, terdapat
lingkaran yang tumpang tindih (gambar B)
3) Range yang tumpah tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan

sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh dataran
yang tidak lagi tumpah tindih (gambar C)
4) Tiap pelayanan berdasarkan tingkat ordernya memiliki heksagonal sendirisendiri. Dengan menggunakan k=3, pelayanan orde I lebar heksagonalnya
adalah 3 kali heksagonal orde II. Pelayanan orde II lebar heksagonal adalah
3 kali heksagonal pelayanan orde III dan seterusnya. Tiap heksagonal
memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal
tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih tetapi
antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih
(gambar D)
2.4 Metode Centrality Index (CI)
Metode Indeks sentralitas yang terdapat dalam jurnal dimaksudkan untuk
mengetahui struktur/hierarki pusat-pusat pelayanan yang ada dalam masing-masing nodes.
Metode CI juga digunakan untuk mengetahui stabilitas perencanaan pembangunan,
seberapa banyak fungsi yang ada, berapa jenis fungsi dan berapa jumlah penduduk yang

5

dilayani serta seberapa besar frekuensi keberadaan suatu fungsi yang ada pada setiap
kelompok perkotaan di China.
Frekuensi keberadaan fungsi menunjukkan jumlah fungsi sejenis yang ada dan

tersebar di setiap node, sedangkan frekuensi kegiatan menunjukkan tingkat pelayanan yang
mungkin dapat dilakukan oleh suatu fungsi tertentu yang mencakup suatu kelompok
perkotaan di China.
2.5 Metode Dimensi Fraktal
Fraktal berasal dari kata fractus (pecah), yaitu geometri yang dibangun oleh
pengulangan dan perangkaian bentuk primitif geometri tersebut. Pada dasarnya fraktal
merupakan geometri sederhana yang digandakan berulangkali dan digabungkan satu sama
lain dalam skala yang beragam. Fraktal memiliki sifat-sifat self-similarity, self-affinity, selfinverse, dan self-squaring. Sifat self-similarity menunjukkan bahwa fraktal terdiri dari bagianbagian yang berbentuk serupa satu sama lain. Self-affinity menggambarkan bahwa fraktal
disusun atas bagian-bagian yang saling terangkai satu sama lain. Self-inverse artinya suatu
bagian dari bangun fraktal dapat merupakan susunan terbalik dari susunan lainnya,
sedangkan self-squaring dapat diartikan bahwa suatu bagian dari bangun fraktal merupakan
peningkatan kerumitan (secara matematis: pengkuadratan) dari bagian terdahulu.
(Kusumayudha, 2005)
Fraktal selalu didahului dengan proses chaos. Proses ini, lama kelamaan akan
membentuk suatu keteraturan tertentu; yakni self-silimilarity, self-affinity, self-inverse dan
self-squaring yang merupakan konsep dasar dari geometri fraktal (Caneva dan Smirnov,
2004). Kesebangunan diri dibentuk oleh proses chaos yang terjadi berulang-ulang sehingga
membentuk suatu keteraturan; yang disebut dengan fraktal.
Dalam jurnal, metode fraktal digunakan untuk menentukan pengelompokan
perkotaan dan kisaran kegiatan distribusi serta jangkauannya. Terdapat 4 step dalam
analisis menggunakan metode fraktal yang terdapat dalam jurnal:
1. Membentuk partisi jaringan (menggunakan GIS)
2. Menambahkan node (simpul) baru
3. Menghitung kemungkinan dan dimensi informasi
4. Menghitung dimensi fraktal.

6

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Alasan Pemilihan Lokasi
Jurnal yang dikaji membahas mengenai konsep aglomerasi perkotaan di China
dalam upaya menstabilkan struktur spasial perkotaan. Kestabilan yang diinginkan adalah
tercapainya efektifitas perkotaan dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Salah satu
fungsi yang dimaksud dalam jurnal adalah distribusi dalam kota dan antar kota di China.
Untuk itu, alasan dilakukannya aglomerasi perkotaan di China

adalah sebagai

berikut:
1. Dapat menentukan pola optimal distribusi infrastruktur
Pengelompokan kegiatan mempermudah distribusi dan pelayanan infrastruktur. Hal
ini juga memungkinkan terjadinya pemerataan pelayanan fasilitas bagi seluruh
penduduk yang berada dalam cakupan/jangkauan suatu kelompok perkotaan.
2. Menjelaskan pola aktual arus pelayanan dan jasa
Hal ini dapat terjadi karena pengelompokan perkotaan telah menghasilkan suatu
pola / bentuk perkotaan dengan hierarki yang jelas, sehingga pola pelayanan dapat
terlihat dengan jelas dan aktual.
3. Efisiensi lahan perkotaan
Pertumbuhan penduduk di China yang tinggi menuntut penggunaan lahan yang
semakin besar. Dengan adanya konsentrasi pada suatu kawasan, maka masyarakat
akan tertarik untuk melakukan aktivitas dekat dengan pusat kota. Hal ini dapat
menguntungkan China karena dapat mengoptimalkan fungsi suatu kawasan dan
menghemat penggunaan lahan.
4. Mempermudah monitoring terhadap aktivitas yang terjadi di setiap kelompok
perkotaan
Aglomerasi perkotaan mempermudah pemerintah China dalam mengontrol aktivitas
yang terjadi dalam perkotaan karena pusat kegiatan sudah terbagi dengan jelas.
5. Dapat memberi kontribusi pada pemahaman interrelasi spasial
Adanya kegiatan yang terpusat pada suatu kawasan telah menciptakan interaksi
antar kota, sehingga kota-kota dalam suatu kelompok perkotaan memiliki suatu relasi
yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kerjasama antar kota.
6. Memacu perekonomian suatu kawasan (node)
Dengan adanya interaksi antar perkotaan, secara tidak langsung akan meningkatkan
kerjasama antar kota yang dapat berefek positif pada meningkatnya perekonomian
kawasan.

7

Berikut merupakan bentuk aglomerasi perkotaan di China beserta hirarki masingmasing perkotaan:

3.2 Faktor-Faktor Lokasi
Beberapa faktor yang menyebabkan terdapat pembagian lokasi aglomerasi
perkotaan di China adalah sebagai berikut:
1) Menurut BBC Indonesia (Juli 2015), China merupakan negara dengan populasi
terbanyak di dunia. Pertumbuhan penduduk yang pesat mengakibatkan ketersediaan
lahan semakin berkurang, namun permintaan akan lahan bertambah tinggi.

8

Pemusatan aktivitas di beberapa kota dalam satu kawasan akan menghemat
penggunaan lahan sehingga dapat tercipta efisiensi lahan di China.
2) Upaya

pemerintah

dalam

mengelompokkan

kawasan

sesuai

dengan

karakteristiknya.
Beberapa kawasan perkotaan yang berdekatan memiliki konsentrasi yang sama
sehingga menjadi ciri khas kota tersebut. Sebagai contoh: aglomerasi Changjiang
River Delta memiliki ciri khas sebagai kawasan perkembangan ekonomi karena antar
kotanya memiliki kerjasama dalam bidang industri dan komersial. Selain itu, kawasan
Changchun memiliki karakteristik sebagai kawasan pendidikan karena memiliki
Universitas-universitas besar dan bangunan ristek di China.
3) Pemerintah ingin melakukan optimalisasi pada situasi lalu lintas.
Aglomerasi perkotaan menciptakan adanya pola distribusi yang jelas antar kota di
China, sehingga dapat mendukung efektifitas node (simpul / titik-titik aktivitas)
tertentu di kota-kota inti dan kota pendukung.
4) Kebijakan pemerintah China yang ingin memusatkan aktivitas perkotaan di China
dalam beberapa kelompok perkotaan.
Contoh: Penerapan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di kawasan Shenzen dan
sekitarnya.
Dalam perkembangannya sejak didirikan tahun 1980an Senzhen Special Economic
Zones mampu mendongkrak iklim investasi dan pemusatan klaster industri berikut
fasilitas penunjangnya. Diperkirakan saat ini Senzhen memiliki lebih 10 juta
penduduk yang awalnya hanya sebuah desa kecil. Resep Senzhen adalah formula
kesuksesan penerapan aglomerasi dan telah dapat membentuk sistem sosioekonomi sendiri akibat ledakan migrasi sosial dan praktik institusionalisme. Tak
hanya itu, beberapa KEK di sepanjang pantai timur China dibangun secara simultan.
Di medio tahun 1990an China menerapkan kebijakan ekspansi klaster KEK ke
negara-negara Afrika yang mereka sebut kebijakan “going out” (zou chuqu) atau
“going global”. Kebijakan tersebut menyertakan penemuan pasar baru untuk barang
dan jasa China, membangun merek, dan memutar roda (ratcheting up) investasi
China.
3.3 Implikasi Teori Terhadap Lokasi yang Dipilih
Dari kajian teori yang digunakan pada penelitian dalam jurnal, teori lokasi yang
mendasari adalah Central Place Theory dengan didukung oleh metode sentralitas indeks
dan dimensi fraktal. Teori central place cocok digunakan karena jurnal tersebut secara
tersirat menyampaikan keinginan China dalam meningkatkan efektifitas lalu lintas
perkotaannya melalui pengelompokan (aglomerasi) kota. Pengelompokan kota yang terjadi

9

di China jika dikaitkan dengan teori central place maka memiliki hirarki dengan K= 4
(mengoptimalkan situasi lalu lintas). Melalui analisis dengan menggunakan metode
sentralisasi indeks dan dimensi fraktal, maka ditemukan beberapa kelompok perkotaan
dengan kelasnya masing-masing.
Dari analisis struktur spasial menggunakan kedua metode tersebut, ditemukan
kenyataan bahwa skala populasi suatu kota (scale of population) berbanding terbalik dengan
tingkat perkembangan perkotaan (Development degree of cities).
Contohnya, Shanghai adalah pusat kota dalam kelompok perkotaan Changjiang
River Delta, namun skala populasinya hanya mencapai 29,5 pada tahun 2004 (populasi
terkecil dibandingkan dengan kota lain). Sementara tingkat perkembangan kotanya
mencapai 148 (tertinggi diantara kota-kota lain). Shouzou merupakan kota lain yang
berlokasi sejajar dengan Shanghai. Skala populasi di Shouzou mencapai 71,4 ; sedangkan
tingkat perkembangan kotanya mencapai 106,2.
Maka dapat disimpulkan bahwa jarak (range) dalam aglomerasi perkotaan
memegang peranan penting berhubungan dengan kemampuan stabilitas struktur perkotaan.
Hal ini berdampak pada perbedaan skala populasi dan tingkat perkembangan suatu kota.
Skala populasi akan semakin tinggi pada kota-kota kecil (pendukung pusat kota), sementara
tingkat perkembangan perkotaan akan didominasi oleh kota yang menjadi inti suatu
kawasan (pusat kota).
Selain itu, dari analisis korelasi antara stabilitas dan jumlah node (simpul)
pada aglomerasi perkotaan ditemukan bahwa stabilitas untuk jenis kelompok perkotaan
terletak pada alokasi node dengan hirarki yang berbeda. Kelompok perkotaan dengan
jumlah nodes terbanyak memiliki kestabilan paling tinggi, dan sebaliknya.
Jika dikaitkan dengan alasan penentuan lokasi dan faktor-faktor lokasi yang
telah disebutkan dalam sub-bab sebelumnya, maka teori central place sudah sesuai dengan
keinginan dan rencana China dalam menerapkan konsep aglomerasi perkotaan untuk
mendukung kestabilan struktur perkotaannya. Hal ini dikarenakan teori central place mampu
mendasari analisis peneliti dan menghasilkan beberapa output sesuai dengan yang
diharapkan (mampu menjelaskan dan mengevaluasi konsep aglomerasi perkotaan yang
terjadi di China).

10

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep aglomerasi perkotaan berdasar pada Central Place Theory (CPT) untuk
menghasilkan stabilitas struktur perkotaan di China pada kenyataannya sudah sesuai
dengan keinginan China dalam upaya optimalisasi perkotaannya.
Dari hasil analisis berdasarkan Central Place Theory dan menggunakan metode
sentralisasi indeks dan dimensi fraktal, dapat disimpulkan:
1. Transportasi adalah aspek yang paling penting dalam membangun struktur ruang
kota yang stabil jika dibandingkan dengan aspek lain, yakni pasar (K=3) dan politik
(K=7).
2. Jumlah node (simpul), nilai indeks sentralistik dan dimensi fraktal adalah proporsi
yang sesuai untuk menentukan stabilitas struktur ruang di China.
3. Jumlah nodes (simpul) mempengaruhi kestabilan struktur ruang perkotaan. Semakin
banyak simpul dari suatu kelompok perkotaan, maka semakin stabil pula struktur
ruang di kawasan tersebut.
4. K=3 dan K=7 memberikan stabilitas yang berbeda, tergantung pada tujuan penilaian
stabilitas aglomerasi perkotaan di masa depan. Untuk itu, diperlukan ketepatan
dalam menentukan K yang sesuai dan kemudian menganalisisnya.

4.2 Critical Review
4.2.1 Kelebihan Jurnal
Jurnal ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu:


Penelitian yang digunakan merupakan penelitian berskala besar dan
kompleks karena menginformasikan mengenai seluruh aglomerasi perkotaan



yang ada di China.
Peneliti menggambarkan bentuk hubungan yang terjadi dalam masingmasing aglomerasi perkotaan di China sehingga pembaca dapat memahami
makna heksagonal dari teori lokasi secara nyata dan hubungan yang terjadi



antar kota dalam suatu kelompok perkotaan.
Pemilihan dasar teori lokasi yang tepat dan penentuan hirarki perkotaan
(K=4) sudah sejalan dengan tujuan dan konsep China dalam mewujudkan
aglomerasi perkotaan dengan struktur ruang yang stabil.

11



Pemilihan metode untuk melakukan analisis sudah sesuai karena mampu
memberikan

informasi

mengenai

kaitan

skala

populasi

dan

tingkat

perkembangan kota terhadap stabilitas struktur ruang perkotaan.
4.2.2

Kekurangan Jurnal


Pada

step

pertama

metode

dimensi

fraktal,

peneliti

mengatakan

menggunakan aplikasi ArcGis dalam membuat partisi grid. Namun, dalam
jurnal


tidak

output

dari

setiap

tahap.

Peneliti

hanya

mengilustrasikan step terakhir dalam metode dimensi fraktal.
Dalam jurnal tidak dicantumkan contoh penghitungan yang digunakan dalam
menghasilkan



dicantumkan

output dari masing-masing metode, sehingga pembaca

bingung karena menemukan angka (hasil) yang sudah tersedia.
Jurnal tidak memperhitungkan kelemahan teori central place, seperti contoh :
Pertumbuhan kota meningkat terus dan setelah sampai pada tingkat tertentu
hingga mereka tidak lagi memerlukan sumber daya (tenaga kerja, modal, dll)
yang didatangkan dari luar daerah. Kelanjutan ini hal ini tidak dapat
dijelaskan dalam pengertian permintaan barang dan jasa dari daerah
hinterland.

4.3 Saran untuk perbaikan


Peneliti sebaiknya menlampirkan proses dan hasil partisi grid yang dilakukan
dalam metode dimensi fraktal dengan menggunakan aplikasi ArcGis agar



pembaca mengerti proses yang dilalui secara keseluruhan.
Setiap penghitungan sebaiknya melampirkan satu contoh dari studi kasus
agar pembaca memahami metode yang digunakan dan output dengan



perhitungan yang jelas dapat diuji kevalidannya.
Lebih baik apabila peneliti juga memperhitungkan segala kelemahan teori
central place sebagai dasar teori dalam pengaplikasian aglomerasi perkotaan
di China

4.4 Lesson Learned
Dari jurnal ini, pelajaran yang dapat diambil yaitu:
1. Teori asli Central Place yang dikemukakan oleh Christaller tidak dapat diterapkan
secara keseluruhan karena banyak asumsi yang tidak memungkinkan untuk
dipenuhi, seperti tidak adanya perbedaan kondisi geografis, populasi tersebar secara
merata, tidak adanya keragaman produk dalam perdagangan, dll.

12

2. Untuk

menentukan

kestabilan

aglomerasi

struktur

ruang

perkotaan

dapat

menggunakan analisis dengan metode sentral indeks dan dimensi fractal berbasis
teori lokasi central place.
3. Dalam menentukan hirarki yang akan digunakan (K=3, K=4, K=7), peneliti harus
mengetahui tujuan dari stabilitas aglomerasi perkotaan yang akan dinilai. Hal ini juga
disesuaikan dengan tujuan suatu kawasan yang akan diteliti, contoh : kebijakan dan
factor lokasi lainnya.
4. Metode Indeks sentralitas adalah metode yang berfungsi

untuk mengetahui

struktur/hierarki pusat-pusat pelayanan yang ada dalam perkotaan, perencanaan
pembangunan, seberapa banyak fungsi yang ada, berapa jenis fungsi dan berapa
jumlah penduduk yang dilayani serta seberapa besar frekuensi keberadaan suatu
fungsi yang ada pada perkotaan.
5. Metode dimensi fractal dapat digunakan untuk menentukan pengelompokan
perkotaan dan kisaran kegiatan distribusi serta jangkauannya.
6. Jumlah nodes (simpul) mempengaruhi kestabilan struktur ruang perkotaan. Semakin
banyak simpul dari suatu kelompok perkotaan, maka semakin stabil pula struktur
ruang di kawasan tersebut.
7. Jarak (range) dan threshold dalam aglomerasi perkotaan mempengaruhi stabilitas
struktur perkotaan.
8. Pada aglomerasi perkotaan yang berdasar Central Place Theory, skala populasi
akan semakin tinggi pada kota-kota kecil (pendukung pusat kota), sementara tingkat
perkembangan perkotaan akan didominasi oleh kota yang menjadi inti suatu
kawasan (pusat kota).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengujian stabilitas struktur ruang
melalui aglomerasi perkotaan dapat membantu kita untuk mengtahui lebih banyak tentang
distribusi spasial dan proses mencapai kondisi yang stabil. Meskipun teori central place tidak
sepenuhnya dapat diadaptasi karena beberapa kendala, namun teori ini masih dapat
digunakan untuk memilih lokasi yang benar sebagai pusat perkotaan dan daerah pasar
untuk mendapatkan keuntungan lebih sehingga tercapai stabilitas perkotaan yang dapat
dikembangkan dalam waktu dekat.

13

Referensi
Santoso, Eko B. (2012). Diktat Analisa dan Keruangan. Prodi Perencanaan Wilayah dan
Kota, FTSP, ITS.
Wang Shijun, Wang Yongchao, Wang Dan. 2014. Spatial Structure of Central Places in Jilin
Central Urban Agglomeration, Jilin Province, Chinese Geographical Science, 24(3):
375–383. doi: 10.1007/s11769-014-0684-3
BBC.com. 2015. Populasi India akan Lampaui Cina. 150731
(http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/07/150731_dunia_india_populasi)
Rinoza, Renal. 2014. Catatan Tentang Aglomerasi, Geospasial dan Masa Depan
Pembangunan: Refleksi atas Megaproyek MP3EI, KEK, MIFEE dan Kontradiksinya.
Tempo.co
(https://indonesiana.tempo.co/read/23042/2014/10/03/renal-%20martyr/catatan-tentangaglomerasi-geospasial-dan-masa-depan-pemba-ngunan-refleksi-atas-megaproyekmp3ei-kek-mifee-dan-kontradiksinya)

14