T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya dan Persepsi Orang Dameka terhadap Gangguan Jiwa T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia memiliki tiga komponen utama sehingga disebut
makhluk yang utuh dan berbeda dengan mahkluk lainnya.
Ketiga komponen tersebut adalah fisik atau raga, roh atau
nyawa dan jiwa. Komponen-komponen ini merupakan kesatuan
yang tidak dapat terpisahkan, tetapi juga memiliki dimensi yang
spesifik. Komponen jiwa misalnya, ketika kita membicarakan
tentang komponen ini, maka kita tidak sedang membicarakan
raga ataupun roh, melainkan dimensi spesifik dari komponen
jiwa seperti perilaku, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan,
daya tilik diri, emosi, persepsi, dan sebagainya (Kusnadi, 2015).
Pandangan di atas seirama dengan definisi dari keadaan
sehat bahwa sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa,
dan sosial. Hal ini didukung dengan pernyataan Notosoedirjo
(2005) dan UU Kesehatan no 36 tahun 2009, sehat terkait
dengan persoalan sejahtera dan keadaan yang sempurna baik
dari psiko sosial, serta fisik, yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis, bukan hanya
terbebas dari penyakit dan cacat.


1

2
Berbicara tentang kesehatan yang berhubungan dengan
jiwa yaitu kondisi seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuannya sendiri, produktif, dapat mengatas
tekanan hidupnya, , juga mampu memberikan kontribusi untuk
lingkungan sekitarnya (UU Kesehatan Jiwa No.18 tahun 2014).
Pendapat lain dari Videback (2008), menjelaskan bahwa
kesehatan jiwa adalah kondisi sehat emosional, psikologis dan
sosial

yang

terlihat

dari


hubungan

interpersonal

yang

memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang
positif dan kestabilan emosional.
Sedangkan gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau pola
perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan
dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan
pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia (Keliat, 2011).
Sedangkan gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000), adalah
suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya
gangguan pada fungsi jiwa, yang menyebabkan adanya
penderitaan pada individu dan hambatan untuk melaksanakan
peran sosial.
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami
peningkatan yang sangat signifikan, dengan kata lain terjadi
peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa di berbagai


3
belahan

dunia.

Data

dari

WHO

dalam

Yosep

(2013),

menyatakan bahwa sebanyak 450 juta orang diseluruh dunia
menderita gangguan mental, dan sepertiganya tinggal di negara

berkembang. Selain itu sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan
mental yang ada tidak mendapatkan perawatan yang tepat.
Riskesdas tahun 2013 yang menyebutkan bahwa terdapat
4,6% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat dan
11,6% yang mengalami gangguan jiwa emosional. Data
Riskesdas 2013 terkait prevalensi gangguan jiwa berat menurut
lokasi menyatakan bahwa angka kejadian psikosis/skizofrenia di
daerah pedesaan memiliki jumlah lebih tinggi dibanding daerah
perkotaan. Di daerah pedesaan, rumah tangga dengan kurang
lebih salah satu anggota rumah tangga yang mengalami
gangguan jiwa berat dan 18.2 % pernah dipasung dan di daerah
perkotaan, jumlahnya hanya mencapai 10,7%.
Berdasarkan RISKESDAS (2007) pada hampiran teoritis
Ranimpi (2009) mengatakan di provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) prevalensi gangguan jiwa di perkotaan sebanyak 8,7%
sedangkan di pedesaan sebanyak 16,0%. Hal tersebut
memberikan penguatan bahwa tekanan hidup yang dialami
penduduk pedesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan,
khususnya meski tidak selalu tekanan terkait adalah kesulitan
ekonomi (Riskesdas, 2013). Gangguan jiwa dapat mengenai


4
setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status
sosial-ekonomi,

gangguan

jiwa

bukan

disebabkan

oleh

kelemahan pribadi (Prabowo, 2014).
Secara spesifik Riskesdas (2013) menyebutkan prevalensi
gangguan jiwa di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 14.5%
atau diperkirakan mencapai sekitar 4000-5000 orang. Sumba
Tengah memiliki jumlah penduduk terendah di NTT yaitu

sebanyak 66.314 jiwa dan memiliki 5 kecamatan, satu
diantaranya adalah kecamatan katikutana selatan (BPS, 2014).
Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa di Sumba
Tengah sebanyak 2.7% (RISKESDAS, 2013).
Hingga saat ini masih banyak ada kepercayaan atau mitos
mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan
jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh
bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas
dosanya.

Kepercayaan

ini

menyebabkan

penderita

dan


keluarganya yang mengalami gangguan jiwa tidak mendapat
pengobatan secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005). Masih
ada masyarakat yang menganggap bahwa gangguan jiwa tidak
dapat disembuhkan, sehingga penderita diperlakukan tanpa
perikemanusiaan.
Persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbedabeda di setiap daerah atau kebudayaan. Dalam budaya

5
tertentu,

orang-orang

secara

sukarela

mencari

bantuan


pengobatan dari orang profesional untuk mengobati gangguan
jiwanya. Sebaliknya dalam kebudayaan yang lain, gangguan
jiwa sering diabaikan sehingga penanganan akan menjadi
kurang, atau di sisi lain masyarakat dan keluarga kurang
antusias untuk mencari bantuan agar gangguan jiwanya
teratasi. Bahkan gangguan jiwa dianggap memalukan atau
membawa aib bagi keluarga. Kedua hal inilah yang biasanya
terjadi dikalangan masyarakat saat ini. Model kesehatan Barat
memandang gangguan jiwa sebagai suatu hal yang harus
disembuhkan (Maulana, 2014).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti pada tanggal 30 November-13 Desember 2015,
diketahui di desa Dameka, kecamatan Katikutana Selatan,
kabupaten Sumba Tengah provinsi Nusa Tenggara Timur,
terdapat 3 orang yang mengalami gangguan jiwa salah satunya
dipasung,

dan

diperlakukan


tanpa

perikemanusiaan

(Contohnya: dipukul atau dicaci maki) oleh keluarga bahkan
masyarakat

sekitar,

karena

mengganggu

tetangga

dan

masyarakat desa. Berdasarkan wawancara yang peneliti
lakukan dengan salah satu petugas Puskesmas, ternyata tidak

ada pengobatan khusus yang dilakukan oleh pihak puskesmas

6
selain pemberian obat-obatan untuk penyakit umum seperti
sakit kepala, batuk, pilek, maag, dan luka-luka.
Berdasarkan

uraian

di

atas,

penelitian

ini

penting

dilakukan, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti “Bagaimana

Budaya dan Persepsi Masyarakat Desa Dameka, Kecamatan
Katikutana Selatan, Kabupaten Sumba Tengah terhadap
Gangguan Jiwa”.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan
permasalahan

penelitian

yaitu

“Bagaimana

Persepsi

Masyarakat Desa Dameka ditinjau dari perspektif budaya?”.
1.2 Tujuan Penelitian
Mengetahui Perspektif Budaya yang Melandasi Persepsi
Masyarakat

di

Desa

Dameka,

Kec.Katikutana

Selatan,

Kab.Sumba Tengah Terhadap Kejadian Gangguan Jiwa.
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Bagi Profesi dan Praktik Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk tambahan
ilmu pengetahuan bagi perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami
gangguan jiwa.

7
1.3.2 Bagi Kurikulum Keperawatan
Sebagai

bahan

referensi

pengembangan

ilmu

pengetahuan dan wawasan dalam bidang keperawatan
khususnya
Transkultural/

Antropologi

kesehatan,

Transcultural

of

Keperawatan
Nursing,

dan

Keperawatan Jiwa.
1.3.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi
atau data awal untuk mengembangkan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan budaya, persepsi,
dan gangguan jiwa
1.3.4 Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Tengah
Memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan
pencegahan dan penanggulangan masalah gangguan
jiwa secara komprehensif di wilayah kerjanya.
1.3.5 Puskesmas Malinjak Kecamatan Katikutana Selatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh puskesmas,
agar kasus mengenai gangguan jiwa dapat terdeteksi
secara dini, serta pelayanan kesehatan jiwa dapat
dijangkau oleh masyarakat setempat.

8
1.3.6 Masyarakat
Bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai masukan dan
evaluasi untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan
terutama kesehatan jiwa.
1.3.7 Keluarga
Bagi Keluarga dapat dijadikan sebagai masukan untuk
membantu

proses

penyembuhan

memberikan dukungan yang tepat.

dan

untuk