Gender dan Pendidikan dalam Pandangan Is

Gender dan Pendidikan dalam Pandangan Islam
Khusnul Khotimah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro
E-mail : Khusnulmoon1@gmail.com
Abstrak
Di dalam kehidupan nyata masyarakat khususnya umat Islam telah terjadi proses ketimpangan
dalam relasi gender yang berlawanan. Ketimpangan yang dimaksud yaitu seringkali di juruskan
oleh tafsir ajaran agama, sehingga untuk mengubahnya sangat diperlukan kemauan yang kuat dalam
mengubah pemikiran pendidikan agama Islam menuju kualitas gender yang lebih baik. Tulisan ini
berusaha mendeskripsikan beberapa strategi dalam memahami gender dan pendidikan secara lebih
dalam. Dan untuk kedepannya dengan menerapkan pendidikan Islam kepada setiap gender akan
menjadikan kehidupan yang lebih mulia akhlaknya serta dapat mempelajari mana hakikat atau
kewajiban yang harusnya dikerjakan melalui pendidikan yang disebutkan.
Kata kunci : Pendidikan Agama Islam, Gender Kesetaraan.
Abstrak
In real life people especially Muslims has been a process of inequality in gender relations
opposite. Inequality in question are often in step by interpretation of religion, so to change it is
indispensable a strong will to change the thinking of Islamic religious education towards a better
gender quality. This article tries to describe some of the strategies in the understanding of gender
and education are deeper. And for the future by implementing Islamic education to each gender will
make life more noble moral as well as be able to learn where the nature or liability that should be

done through education mentioned.
Keywords: Islamic Education, Gender Equality.
A. Pendahuluan
Pendidikan yang dahulunya adalah hal yang langka bagi penduduk Indonesia, sekarang semakin
diketahui urgensinya untuk kemajuan bangsa. Pendidikan sebenarnya adalah pengubah jiwa manusia
atau bias disebutkan sebagai memanusiakan manusia. Pendidikan pula yang mampu memberikan
bekal untuk manusia dalam memasuki dunia kerja atau juga dalam bermasyarakat. Ada beberapa
pengertian pendidikan menurut para ahli yang tercantum di dalam buku Filsafat Pendidikan karya
Yunus menurut Prof. Herman H. Horn, yang mengatakan bahwa “Pendidikan adalah proses abadi
1

dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisk dan mental yang
bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional
dan kemauan dari manusia.” Pendapat lain dikemukakan oleh M.J. Langeveld yangmenyatakan
“Pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan
lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.1
Setiap orang, baik orang tersebut laki-laki atau perempuan pada dasarnya dilahirkan sama tanpa
adanya perbedaan. Oleh karena itu, seharusnya mereka memiliki akses yang sama di setiap hal, di
antaranya yaitu : pendidikan, membuat sebuah keputusan, kesehatan, dan hal-hal penting lainnya.
Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah hak asasi manusia. Tetapi, untuk sekarang masih ada saja

pihak yang menganggap sebuah pendidikan belum termasuk sebagai hak asasi manusia, terutama
bagi para perempuan. Sering kali pihak perempuanlah yang menjadi sasaran tidak mendapatkan hak
asasinya. Sangat disayangkan, padahal dengan memiliki pendidikan manusia dapat terbebas dari
kemiskinan yang dapat menyulitkan kehidupannya kelak. Dengan masih adanya pembedaan
perlakuan antara laki-laki dan perempuan, maka dari itu pihak perempuan akan sulit terlepas dari
kemiskinan. Tanpa adanya akses pendidikan yang kuat maka, para perempuan hanya memiliki
sedikit peluang untuk mengatasi masalah kemiskinan dan yang lainnya dilingkungan masyarakat.
B. Pengertian Gender dan Pendidikan
Gender sering dimaknai dengan salah yaitu dengan pengertian "jenis kelamin" seperti halnya
seks. Dilihat dari artinya di dalam kamus tidak jelas perbedaan antara seks dan gender. Kata-kata ini
terbilang baru sehingga pengertiannya belum ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia.
Meskipun demikian, istilah tersebut sudah lazim dan banyak digunakan. Meskipun kata gender
belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan,
misalnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan "Jender" dengan diartikan
sebagai "interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yaitu laki-laki dan perempuan.
Yang biasanya digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang tepat bagi laki-laki dan Gender
secara terminologis cukup banyak ditemukan oleh pakar feminis dan pemerhati perempuan.2
Menurut Undang-undang No 12 tahun 2012 menyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
Harum Natasha, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab Dampak, Dan

Solusi”, Marwah, vol. XII, no. 1 (2013).
2 Mardliyah, “Isu Gender Dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, vol. 25, no. 2
(2015).
1

2

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Dari pengertian dari Undang-Undang diatas dapat diartikan bahwa pendidikan
adalah sebuah usaha atau sebuah ambisi agar setiap orang mampu menempatkan dirinya di segala
suasana kehidupan. Dari sebuah pendidikan tersebut orang tersebut diharapkan mempunyai
keahlian, keterampilan juga akhlak yang dapat menjadi bekal untuk kehidupannya. Suatu saat orang
tersebut akan menjadi panutan sebagai orang tua, dan mampu mendidik anak-anak menjadi suatu
generasi yang baik lagi kedepannya.
“Proses pembelajaran pendidikan akhlak diberikan sebagian besar dengan metode, hafalan,
ceramah, dan mencatat sehingga peserta didik mengalami kejenuhan dalam proses pengajaran.
Materi pembelajaran yang begitu banyaknya hanya disampaikan ringkasannya saja oleh guru
sehingga kadang peserta didik justru bingung memahmi sebuah meteri pembelajaran3”
C. Permasalahan Gender Dan Pendidikan

Sementara, fakta dari UNICEF menyatakan bahwa data dari Departemen Pendidikan terdapat
kesenjangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Dari 10 anak yang putus sekolah di
tingkat Sekolah Dasar terdapat enam anak perempuan dan empatanaklaki-laki. Sedangkanpada
tingkat Sekolah Menengah Pertama dari 10 anak yang putus sekolah terdapat 7 anak perempuan dan
3 anak laki-laki.4 Data tersebut jelas membuktikan bahwa adanya ketidakseimbangan tingkat
pendidikan antara anak perempuan dan anak laki-laki. Ketidaksetaraan gender yang telah terjadi di
lingkungan sekolah di sering kali tidak disadari oleh pengajar atau guru, ataupun orang tua dan
murid-murid. Pada umumnya seorang guru merasa telah memperlakukan murid perempuan dan
murid laki-laki secara adil tanpa membeda-bedakannya. tetapi mereka tidak memperhatikan dan
memahami apakah buku-buku yang murid-muridnya pelajari adalah diwajibkan dengan adanya
keadilan gender.
Apakah kurikulum yang diterapkan termasuk ekstra kurikuler telah diberlakukan secara adil.
Pembedaan perlakuan antara murid perempuan dengan murid laki-laki juga terjadi pada upacaraupacara yang digelar di sekolah. Kita ambil contoh anak laki-laki selalu dipilih sebagai pemimpin
upacara karena suara anak laki-laki lebih keras dari perempuan. Mereka tidaklah menyadari bahwa
murid perempuan juga ada yang suaranya keras dan lantang yang pantas sebagai pemimpin upacara.
3 Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan Program
Prezi.
4 Harum Natasha, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab Dampak, Dan

Solusi”, Marwah, vol. XII, no. 1 (2013).

3

Dan dapat disimpulkan bahwa hal tersebut sudah dianggap wajar, sehingga akses untuk murid
perempuan menjadi seorang pemimpin upacara menjadi tersingkirkan karena dianggap bahwa murid
laki-laki sajalah yang pantas menjadi seorang pemimpin.
Perempuan dan pendidikan dapat dikaji sevara struktur fungsional. Secara umum, para analis
fungsional, melihat fungsi dan pelaksanaan yang positif pendidikan dalam memelihara atau
mempertahankan keberlangsungan sistem sosial. Para pengikut materi ini menyatakan bahwa
pendidikan merupakan pelatihan guna meningkatkan modal manusia secara individual, yakni
keahlian dan kecakapan yang kita peroleh. Sekolah, menurut Durkhiem (Haralambos, 2004),
mempunyai tugas dan fungsi untuk menanamkan nilai-nilai yang bermanfaat guna mempertahankan
sistem sosial. Sekolah adalah representasi (miniatur) dari masyarakat 5. Untuk itu, norma-norma yang
berlaku di masyarakat juga ditanamkan di sekolah melalui proses sosialisasi. Sebagaimana kita
ketahui, di dalam masyarakat, perempuan diposisikan sebagai “orang kedua” dalam struktur
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang sama
pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik di lingkungan
keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Sehingga diperlukan jalur alternatif
untuk studi atau penelitian tentang gender di masa mendatang dengan memperhatikan peran
perempuan di Indonesia baik dari segi budaya, sosial, maupun ekonomi dan bermasyarakat, maka

perlu dilakukan penilaian kebutuhan di tingkat individu, maupun di tingkat lembaga, untuk
mengetahui apa yang dibutuhkan perempuan, dan lembaga-lembaga/institusi pelaksana di masingmasing wilayah, sehingga diharapkan kebijakan akan menjadi lebih tepat, dan direspons oleh
perempuan.
Kondisi ini tentu saja memprihatinkan dan menjadi perhatian di kalangan pendidik sehingga
menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi seperti ini juga terdapat dalam buku-buku yang digunakan
di perguruan tinggi. Namun demikian penelitian Dewiki dan Mutiara (2008) mendeskripsikan bahwa
bahan ajar cetak sebagian besar (76,19%) dapat dikatakan netral dan tidak mengistimewakan salah
satu gender. Selain itu persentase terbesar (44,10%) dari semua ilustrasi yang dibuat adalah netral,
atau tidak mengacu ke bentuk manusia secara eksplisit. 6 Sebagaimana pada beberapa bahan ajar
cetak penggambaran laki-laki sebagai subjek dalam ilustrasi lebih diunggulkan dibandingkan
Rakhmat Hidayat, “Studi tentang Perbandingan Prestasi Akademik Siswa Laki-laki dan Perempuan di
SMA 12 Bekasi”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 17, no. 4.
6 Ismanto, “Evaluasi Pembelajaran Perspektif Kesetaraan Gender Dalam Sistem Pendidikan Nasional”,
Palastren, vol. 8, no. 2 (2015).
5

4

dengan perempuan. Keterbatasan perolehan pendidikan bagi perempuan tidak seleluasa
sebagaimana laki-laki mencari pendidikan. Ketidakleluasaan perolehan pendidikan tersebut

berlangsung sejalan dengan anggapan ketidakumuman pendidikan bagi perempuan yang terbatasi
oleh permasalahan sexisme dalam perempuan.
Secara garis besar teori-teori gender dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama
adalah kelompok teori-teori nature yang mengatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan
perempuan ditentukan oleh faktor biologis.7 Anatomi laki-laki, dengan sederet perbedaannya,
dengan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin. Lakilaki menjalankan peranperan utama dalam masyarakat karena secara umum dianggap lebih
potensial, lebih kuat, dan lebih produktif. Kedua, adalah kelompok teori-teori nurture yang melihat
bahwa perbedaan karakter dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan lebih ditentukan oleh
faktor sosial-budaya. Perspektif ini menyimpulkan bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan dikonstruksikan oleh
budaya, yakni relasi kuasa (power relation) yang secara turun-temurun dipertahankan oleh laki-laki.
Pandangan ini didukung oleh teori-teori konflik dan teori-teori feminis.
Dalam hukum islam seorang ibu jauh lebih berhak terhadap pemeliharaan anak dari seorang
ayah. Seorang perempuan lebih didahulukan tentang masalah pemeliharaan baru berikutnya orang
laki-laki. Oleh karena itu hak pemeliharaan didahulukan kepada orang-orang perempuan dari
mahram anak, ditinjau dari segi nasab, kemudian baru kepada perempuan mahram dari selain
ashabah. Dengan kata lain lebih diutamakan keluarga yang terdekat dan seterusnya guna menjaga
rasa belas kasih terhadap si kecil.
Dari dampak negative yang kemudian berangsur positif yang ditimbulkan dari pengasuhan
orang tua setelah perceraian menyebabkan timbulnya perilaku yang membawa manfaat khususnya

kepada hubungan kekeluargaan anak terhadap keluarga ibu dimana anak lebih banyak
berkomunikasi, maka manfaat lain yang diperoleh adalah anak lebih memahami dan lebih mengerti
situasi orangtuanya terutama ibu, sehingga mereka kebanyakan tidak memberikan respon negative
bahkan tidak menimbulkan problem yang ekstrim kepada ibu dan keluarga besarnya seperti yang
ditunjukkan anak-anak broken home biasanya. Penyebab utama keadaan seperti tersebut adalah
pengasuhan yang melekat terutama didalam pembinaan ibadah dan mental anak oleh ibu dan
keluarga besar ibu. Faktor lain adalah lingkungan tempat mereka tinggal yang memberikan
kontribusi positif didalam memandang kehidupan dan realita kehidupan yang harus mereka jalani.
Marhumah, “Konstruksi Gender, Hegemoni Kekuasaan, Dan Lembaga Pendidikan”, Karsa, vol. 19,
no. 2 (2011).
7

5

Banyak orang beranggapan bahwa masalah perempuan adalah masalah kecil, berbeda dengan
pendapat Husain bahwa masalah dunia perempuan, yaitu ketidakadilan terhadap perempuan dan
subordinasi kepadanya adalah masalah besar. Baginya perempuan adalah bagian dari manusia.
Ketika dijadikan nomor dua, maka ini sebenarnya adalah masalah besar bagi kemanusiaan
(Nuruzzaman, 2005: 195)8.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki

dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa
dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap
persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat
yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan
semata, te-tapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan
sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan
untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran
sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan da-pat mendorong perubahan
kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Bias gender ialah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam kehidupan sosial atau
kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan
satu jenis kelamin ter-tentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender. 9

Berbagai bentuk

kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan ma-syarakat, terpresentasi juga
dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam
mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai
ketimpangan gender dalam masyarakat. Sedangkan ketimpangan pada hasil pendidikan adalah
perbedaan akhir pendidikan. Ketimpangan pada hasil pendidikan menunjukkan ada-nya perbedaan

antara laki-laki dan perempuan pada prestasi pendidikan. Prestasi di antara mereka tidak sepadan.
Prestasi laki-laki lebih tinggi atau lebih baik dari pada perempuan. Ketimpangan akses pendidikan
dapat berdampak pada feminisasi dalam pendidikan.
Apa yang telah terpaparkan dalam lembar sejarah pendidikan, pada kenyataannya bertolak
belakang dengan apa yang terjadi di masa sesudahnya dan masa kini. Catatan sejarah yang berisikan
capaian pendidikan perempuan seolah terabaikan di banyak negara Islam. Apa yang kita dapati
sekarang adalah fakta bahwa pendidikan perempuan, acap kali tidak mendapatkan perhatian.
Zumrodi, “Pendidikan Sensitif Gender dalam Islam: Telaah Paradigmatis dalam Sejarah
Intelektualisme Islam Indonesia”, Palastren, vol. 8, no. 2 (2015).
9 Mad Sa’i, “Pendidikan Islam Dan Gender”, Islamuna, vol. 2, no. 1 (2015).
8

6

Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai
kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga
berkualitas. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.

Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan
politik terhadap satu jenis kelamin tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka
memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan
adil dari pembangunan.
Sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama
dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka
dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan dengan tuntutan zaman, yaitu kualitas
yang memiliki kaimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati, dan
menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan,
dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik,
terbuka pada hal-hal baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, dan bisa
meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan
kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
D. Solusi Permasalahan Gender Dan Pendidikan
Sehubungan dengan itu, sebuah jalur pendidikan yang berawal dari rumah yang menjadi
starting level bagi seorang anak untuk memiliki potensi seperti target Undang-Undang yang tadi
disebutkan diatas. Oleh karena itu, seorang perempuan yang suatu saat nanti pasti akan menjadi
seorang ibu harusnya memiliki potensi yang baik agar dapat mendidik anaknya kelak dengan baik
dan berkembangnya kemampuan dan keterampilan seorang anak. Maka, pendidikan bagi perempuan
adalah sebuah kemestian. Keberhasilan suatu bangsa tergantung kepada wanitanya. Wanita-wanita
yang cerdas tentu akan melahirkan anak-anak penerus bangsa yang cerdas pula. Bahwa pendidikan
bagi seoran perempuan merupakan hal yang krusial demi mewujudkan bangsa yang lebih baik.
7

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
karena masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar
pengabdiannya (QS. al-Nahl : 97). Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal (QS. al-Hujurât : 19). Kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki seperti
suami lebih tinggi di atas isteri, laki-laki pelindung perempuan, laki-laki memperoleh warisan lebih
banyak dan diperkenankannya laki-laki berpoligami, tidak serta merta menyebabkan laki-laki
menjadi hamba-hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam
kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial “lebih”3 ketika
ayat-ayat al-Qur’ân tersebut diturunkan.10
Solusi permasalahan gender yang kebanyakan terjadi bahwa pendidikan biasanya membedakan
antara laki-laki dan perempuan yaitu dengan cara jangan membandingkan antara laki-laki dan
perempuan apalagi dizaman modern seperti sekarang. Karena dizaman modern perempuan sudah
sama seperti laki-laki, dan malah banyak yang melebihi laki-laki. Contohnya Ibu Megawati
Soekarno Putri beliau adalah seorang perempuan yang memimpin negara.
Seharusnya di dalam dunia pendidikan seorang guru pun memberikan kesempatan untuk murid
perempuan belajar menjadi seorang pemimpin di upacara, tidak hanya memandang jika perempuan
itu lemah dan tidak tegas. Malah sebaliknya murid perempuan yang diberi kesemppatan mereka
akan berfikir bahwa mereka bisa menjadi seorang pemimpin dan termotivasi untuk menjadi yang
terbaik.
E. Simpulan
Ketidaksetaraan gender yang masih saja berkembang terutama di negaranegara berpenghasilan
rendah menjadikan perempuan tidakmemiliki kesamaan kesempatan bila dibandingkan dengan
kaum laki-laki. Ketidaksetaraan gender yang terjadi diberbagai bidang kehidupan khususnya di
Indonesia, seyogianya saling berkaitan satu sama lain. Kesenjangan yang terjadi dibidang
pendidikan, ekonomi, sosial, serta budaya membuat kaum perempuan tidak mampu berkembang dan
mengembangkan diri untuk menunjukkan aktualisasi diri mereka. Ketidaksetaraan gender terjadi
disebabkan oleh berbagai macam faktor yang pada dasarnya berasal dari pemikiran yang ortodok
dan parsial. Pemahaman patriakat yang tertanam dikalangan masyarakat kita bahwa wanita hanya
bisa mengurus rumah saja menyebabkan keengganan bagi kaum perempuan untuk melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan pernikahan dan masalah biaya menjadi sebuah alasan
untuk meninggalkan bangku sekolah. Hal ini banyak banyak terjadi di daerah pedesaan dan tempat10 Mohammad

Muchlis Solichin, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender”, Tadris, vol.

1, no. 1 (2006).
8

tempat terpencil. Sayangnya kesenjangan yang ada membuat dampak yang buruk bagi
perkembangan bangsa dan negara. Rendahnya pendidikan kaum perempuan menjadikan mereka
merasa tidak mampu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, serta demi meningkatkan taraf
kehidupan mereka. Yang terburuk adalah, adanya ketidaksetaraan gender berarti lemahnya sebuah
pemerintahan negara.[.]

REFERENSI
Hidayat, Rakhmat, “Studi tentang Perbandingan Prestasi Akademik Siswa Laki-laki dan Perempuan di
SMA 12 Bekasi”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 17, no. 4.
Ismanto, “Evaluasi Pembelajaran Perspektif Kesetaraan Gender Dalam Sistem Pendidikan Nasional”,
Palastren, vol. 8, no. 2, 2015.
Mardliyah, “Isu Gender Dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, vol. 25, no. 2, 2015.
Marhumah, “Konstruksi Gender, Hegemoni Kekuasaan, Dan Lembaga Pendidikan”, Karsa, vol. 19, no.
2, 2011.
Natasha, Harum, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab Dampak, Dan Solusi”,
Marwah, vol. XII, no. 1, 2013.
----, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab Dampak, Dan Solusi”, Marwah,
vol. XII, no. 1, 2013.
Sa’i, Mad, “Pendidikan Islam Dan Gender”, Islamuna, vol. 2, no. 1, 2015.
Solichin, Mohammad Muchlis, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender”, Tadris, vol. 1,
no. 1, 2006.
Wahyudi Dedi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan
Program Prezi.
Zumrodi, “Pendidikan Sensitif Gender dalam Islam: Telaah Paradigmatis dalam Sejarah
Intelektualisme Islam Indonesia”, Palastren, vol. 8, no. 2, 2015.

9