DANAU TOBA KONDISI KEKINIAN PERMASALAHAN

DANAU TOBA, KONDISI KEKINIAN, PERMASALAHAN DAN PENGELOLAANNYA
Jaya Arjuna
I. KONDISI KEKINIAN
1.

Pendahuluan

Salah satu kekayaan alam Sumatera Utara yang paling luar biasa adalah Danau
Toba. Danau Toba merupakan danau volkano tektonik. Letusan gunung Toba terjadi
sekitar 75.000 tahun lalu mengakibatkan terjadinya luncuran magma sebanyak 2.800
Km3, sehingga perut bumi menjadi kosong. Kulit bumi yang tidak mampu menahan
beban akibat beratnya sendiri, akhirnya patah dalam beberapa potongan. Potongan
terbesar menjadi Pulau Samosir. Berdasarkan kejadian ini, maka Pulau Samosir adalah
pulau bentukan yang kemungkinan besar belum sepenuhnya menyatu dengan bumi.
Rongga yang terdapat di bawah Pulau Samosir akan dapat berpindah sehingga terjadi
gempa runtuhan sekala ringan hingga sedang secara terus menerus sampai sekarang.
Bahagian lain dari patahan ini terisi air, maka terbentuklah Danau Toba sebagai danau
terluas di dunia. Danau ini terletak pada garis lintang dan garis bujur antara 98030′ BT;
3005′ LS dan 99020 BT’; 2040′ LS. Luas permukaan air danau adalah 1.130 Km2, daerah
tangkapan air 3.698 Km2, kedalaman 505 m, panjang 110 km dan lebar 30 km. Volume
air Danau Toba diperkirakan 1,18 triliyun meter kubik. Pulau Samosir yang merupakan

pulau dalam pulau terluas di dunia memiliki luas 630 km2. Luas seluruh daratan yang ada
dalam wilayah DTA adalah 4.311,58 Km2.
Letusan Gunung Toba dinyatakan sebagai letusan gunung berapi terdahsyat selama
25 juta tahun terakhir. Debu yang disemburkan pada kejadian letusan menyebar ke
seluruh bumi. Ketebalan debu yang jatuh di India mencapai 15 cm dan di sebahagian
Malaysia bahkan mencapai ketebalan 9 meter. Bumi mengalami penurunan temperature
±3,50C akibat bertahun-tahun tertutup debu, sehingga dinyatakan sebagai penyebab
terjadinya zaman es. Selain Pulau Samosir, dalam perairan Danau Toba terdapat Pulau
Pardapur yang lebih kecil dengan luas area 7 km2. Di atas pulau Samosir bahkan masih
terdapat sebuah danau kecil yang diberi nama Danau Sidihoni.
Kejadian pembentukannya yang maha dahsyat menciptakan Danau Toba sebagai
bentang alam yang maha indah. Potensi Danau Toba sebagai tujuan wisata alam sangat
besar. Hampir seluruh wilayah memiliki nilai keindahan yang luar biasa. Banyak misteri
dari berbagai sisi Danau Toba yang masih belum terungkap, atau bahkan sudah musnah
sebelum diketahui rahasianya. Daratan Samosir yang terbentuk dan awalnya tidak
terpisah dari daratan pulau Sumatera pasti memiliki keunikan fauna flora tersendiri. Kita
bahkan belum banyak mendapatkan data flora fauna endemik tersebut, padahal sebagian
besar wilayah hutan di daratan Samosir sudah rusak. Karena potensi unik yang
dimilikinya, Kawasan Danau Toba telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional,
yaitu sebagai kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan. Kawasan Danau Toba

juga sudah diusulkan untuk masuk menjadi salah satu anggota Global Geopark Network
(GGN) yang didirikan pada 1998 oleh UNESCO. Komitmen yang harus dipenuhi sebagai
anggota geopark adalah melakukan konservasi atas warisan taman geologi (geopark)
sekaligus mendorong penelitian dan pengembangan berkelanjutan oleh pemerintah dan
dari masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba. Sampai tahun 2012, tercatat ada 91

geopark yang terletak di 27 negara menjadi anggota dari GGN. Untuk menjadikan
kawasan Danau Toba bisa masuk menjadi salah anggota GNN, maka diperlukan
keseriusan dan komitmen dari pemerintah Pusat, Propinsi hingga Kabupaten dan seluruh
masyarakat untuk mengelolanya secara lestari. Kelestarian Danau Toba setelah dilakukan
pemulihannya tentu akan mendatangkan dampak positif ganda dari berbagai aspek fisik,
kimia dan biologi, terutama aspek sosial ekonomi.
2.

Wilayah Administrasi

Secara administrasi, Ekosistem Kawasan Danau Toba (EKDT) mencakup tujuh
wilayah kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang tediri atas 43 wilayah kecamatan.
Wilayah administrasi dari 43 kecamatan tersebut masuk dalam Kawasan Danau Toba
dengan luas masing-masing desa dan jumlah penduduk adalah seperti terlihat pada Tabel

1. Wilayah Kab. Samosir dan Toba Samosir hampir secara keseluruhan masuk ke dalam
wilayah DTA. Pembagian wilayah administrasi yang terdapat dalam Kawasan Ekosistem
Danau Toba dapat dilihat pada Gambar 1. Secara lengkap nama-nama Kecamatan dan
luas wilayah yang masuk KDT dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1: Peta Wilayah Administrasi Sebaran Tujuh Kabupaten yang masuk dalam Kaw asan
Danau Toba

Tabel 1: Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di DTA Danau

Sum ber : Kecamat an Dalam Angka (2007), BLHSU, Daya Tam pung Pencemaran Danau Toba 2012

3.

Topografi

Topografi DTA Danau Toba didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan
kelerengan lapangan terdiri dari datar dengan kemiringan (0 – 8 %), landai (8 – 15 %),
agak curam (15 – 25 %), curam (25 – 45 %), sangat curam sampai dengan terjal (> 45
%). Berdasarkan hasil kajian Teknis Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup Kawasan Danau Toba (KTPSDA & PLHDT) oleh Lembaga
Penelitian Institut Teknologi Bandung (LPITB) tahun 2001, kondisi kelerengan lapangan
pada DTA Danau Toba ini dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Pada bagian utara Kawasan Danau Toba merupakan bagian dari Tanah Karo, DTA
relatif sempit dan memiliki relief bergunung dengan lereng terjal, sedangkan arah tepi
danau memiliki relief berombak hingga berbukit yang sebagian digunakan untuk
budidaya pertanian. Pada wilayah yang terjal, kemiringannya mencapai > 75%
sedangkan pada daratan yang sempit, kemiringannya < 3%.
b. Daerah Timur dan Tenggara di Parapat-Porsea-Balige memiliki relief datar hingga
bergunung. Di sisi Timur dan Tenggara ke arah batas DTA terdapat dataran relatif
luas yang digarap masyarakat setempat sebagai lahan sawah. Tepi batas DTA
merupakan wilayah berbukit hingga bergunung dengan kemiringan lahan mencapai >
75%.
c. Bagian Selatan Kawasan Danau Toba merupakan dataran hingga wilayah berbukit ke
arah batas DTA. Pada daerah yang datar dengan kemiringan lahan < 3%, diusahakan
oleh masyarakat setempat sebagai lahan pertanian, sedangkan ke arah batas DTA
memiliki kontur relief berbukit hingga bergunung.
d. Di bagian Barat hingga Utara merupakan dataran dan perbukitan hingga bergunung,
dengan lereng terjal ke arah tepi danau, seperti di sekitar Tele, Silalahi dan Tongging.
Lereng terjal di wilayah ini mencapai kelerengan > 75%.

e. Pulau Samosir memiliki dataran yang relatif luas disekeliling tepian Danau Toba
dengan kemiringan < 3%. Ke tengah pulau reliefnya bergunung dan berlereng terjal
dengan kemiringan lahan antara 30,5 hingga > 75%. Dataran yang terdapat di bagian
Barat dan Selatan pulau ini yang relatif lebih luas dibanding di sisi Utara dan Timur.
Pada bagian sebelah Barat terdapat Danau Sidihoni.
Kondisi topografi di Kawasan Danau Toba mengakibatkan kawasan ini kurang
dapat menyimpan air hujan karena aliran permukaan cenderung tinggi, laju erosi tinggi
dan potensi longsor juga tinggi, terutama daerah-daerah yang sangat curam sampai terjal
pada tebing-tebing pinggiran danau. Rendahnya potensi resapan/menyimpan air kawasan
ini telah diindikasikan oleh banyaknya sungai-sungai kecil yang mengalir pada kawasan
yang bersifat intermitten, dimana sungai-sungai ini mengalir pada waktu hujan dan
mengering ketika tidak turun hujan.
Indikasi dari tingginya laju erosi pada kawasan ini adalah dengan banyaknya
lahan yang mempunyai lapisan yang sangat tipis terutama pada daerah-daerah perbukitan
dengan lereng yang curam, bahkan di beberapa lokasi yang muncul di permukaan hanya
berupa batuan pembentuk tanah tanpa adanya lapisan tanah. Keberadaan semak belukar
dan alang-alang/padang rumput yang cukup luas pada kawasan ini juga merupakan
indikasi dari tingginya laju erosi sehingga lahan yang telah terbuka sulit untuk dapat
membentuk formasi hutan alam kembali karena lapisan tanahnya relatif tipis. Proses


pembentukan lapisan tanah secara alamiah yang terjadi tidak mampu mengimbangi
proses penipisan lapisan tanah karena proses erosi.
Berdasarkan hasil kajian LP-ITB (2001) diketahui bahwa lahan yang berupa
semak belukar dan padang alang-alang/rumput ini mencapai 27 % dari luas total daratan
pada Kawasan Danau Toba. Selain kondisi topografi yang berat maka laju erosi yang
cukup tinggi pada kawasan ini juga disebabkan karena jenis tanah yang terbentuk pada
kawasan ini sebagian besar merupakan jenis tanah Litosol dan Regosol yang sangat peka
terhadap erosi. Luas jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi ini mencapai lebih
kurang 40 % dari total luas daratan Kawasan Danau Toba.
Kondisi topografi pada Kawasan Danau Toba ini relatif tidak berubah, sehingga
pengaruhnya terhadap KDT juga tetap, namun kondisi topografi semacam ini akan rentan
terhadap perubahan penggunaan lahan/penutupan maupun kegiatan manusia lainnya
yang dapat berpengaruh nyata terhadap kuantitas dan kualitas perairan Danau Toba.
4.

Jenis Tanah dan Tingkat Bahaya Erosi

Berdasarkan Klasifikasi Tanah menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Tanah (BRLKT) Wilayah I, Medan 1987, DTA Danau Toba di bagian timur merupakan
jenis tanah Kompleks Litosol dan Regosol yang sangat peka terhadap erosi, bagian

tenggara jenis Podsilik Coklat (peka erosi), sedangkan di Pulau Samosir jenis tanahnya
sebagian besar merupakan jenis tanah Brown Forest (agak peka erosi). Tanah di Kawasan
Danau Toba terdiri dari (tujuh) jenis dan 96,8% didominiasi oleh tanah yang peka hingga
sangat peka terhadap erosi.
Tabel 2. Jenis-jenis Tanah di Daerah Tangkapan Air Danau Toba
No.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jenis Tanah

Litosol
Padsolik coklat kelabu,
Padsol, Tanah diatomea

Litosol/ Podsolik/ Regosol
Padsolik Coklat, Regosol
Alluvial Regosol, Organosol
Podsilik Coklat Kekuningan
Podsolik Coklat Kelabu,
Podsolik Coklat

% terhadap
Luas DTA
36,4

13,8
3,5
18,7
3,2
2,7
21,6

Variasi Bentuk
Lahan

Daerah Curam
Datar dan
Berombak
Daerah Curam
Bergelombang,
Curam
Datar

Datar dan
bergelombang
Datar dan
bergelombang

Kepekaan Terhadap Erosi

Sangat Peka
Peka – Sangat Peka
Peka –Sangat Peka
Peka – Sangat Peka
Tidak peka

Peka
Peka

Sum ber : Dit jen RRL Depart em en Kehut anan – LP, IPB, 1990.

Masalah erosi merupakan kajian penting untuk dijadikan masukan dalam
pengelolaan Kawasan Danau Toba karena merupakan hambatan dalam pembentukan
hutan. Erosi menyebabkan tanah lapisan atas selalu terkikis secara terus menerus
sehingga tidak mendukung pertumbuhan pohon. Rendahnya tingkat pertumbuhan pohon
akan menyulitkan program penghijauan di Ka wasan Danau Toba. Danau Toba terdiri
atas 26 daerah Sub DAS yang secara keseluruhan bermuara ke Sungai Asahan. Sebagian

besar (46,95%) daerah Sub DAS Daerah Tangkapan Air Danau Toba memiliki tingkat
erosi yang berat hingga sangat berat. Hanya 22,70% yang tingkat erosinya sedang, dan
30,34% tingkat erosi ringan dan sangat ringan. Pada Tabel 3 di tampilkan tingkat bahaya
erosi masing-masing Sub DAS serta besare persentasenya terhadap luas DAS Asahan.
Tabel.3 Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Per Satuan Sub DAS DTA Danau Toba
Sub DAS

A. Sigumbang

A. Haranggaol
Situnggaling
Naborsahon
Tongguran
Gopgopan
M andosi
A. Bolon
Simare
Halian
Sitobu
Siparbue
Pulau Kecil
Silang
Bodang
Perembakan
Tulas
A. Ringgo
Simala
B. Sigum bang

B. Bolon
Silabung
Guluan
Arun
Simaratuang
Sitiung-tiung
Total

Sangat
Ringan
2.462
3.391
407
2.606
1.260
1.409
1.941
5.020
3.463
2.687
344
2
538

340
331
803
338
1.469
2.680
2.554
3.589
5.803
4.592
1.883
2.144
62.056

Tingkat Bahaya Erosi (Ha)
Ringan Sedang
Berat

374
601
1.571
567
531
2.165
533
95
11
38
137
74
180
378
412
358
412
331
2.275
3.058
2.255
518
16.874

2.626
1.028
374
135
680
1.307
1.843
1.285
2.664
785
1.607
5.349
1.031
5.193
5.533
2.990
745
90
252
342
1.370
1.328
257
243
59.057

1.595
1.096
1.382
2.876
2.662
2.354
1.582
1.762
3.708
4.466
2.822
3.049
171
8.726
1.859
1.870
2.891
999
1.636
2.365
790
765
1.672
1.465
2.198
1.521
58.282

Sangat
Berat
2.102
2.059
1.764
3.377
2.606
2.882
4.064
1.802
938
4.066
3.017
1.580
524
3.454

6.048
2.208
5.364
2.849
1.260
1.960
1.382
1.184
761
779
2.077
3.755
63.862

Total
(Ha)

% dari
Sub DAS
Asahan

9.159
8.175
3.553
10.804
7.230
7.856
21.059
10.960
9.394
13.978
6.979
6.238
695
38.105
9.415
9.676
14.771
7.554
5.522
7.453
5.390
6.211
11.881
11.222
8.670
8.181
260.131

3,52
3,14
1,37
4,15
2,78
3,02
8,10
4,21
3,61
5,37
2,68
2,40
0,27
14,65
3,62
3,72
5,68
2,90
2,12
2,87
2,07
2,39
4,57
4,31
3,33
3,14
100,00

Sumber : Review Rencana Teknik Lapangan Rehabilit asi Lahan dan Konservasi Tanah Sub DAS Asahan

5.

Sumber Air Danau Toba

Danau Toba merupakan genangan air dalam cekungan dengan sumber air berasal
dari sungai-sungai yang mengalir dari daratan Pulau Sumatera dan Daratan Pulau
Samosir. Berdasarkan hasil survey Bapedalda Provinsi Sumatera Utara tahun 2007,
terdapat 205 sungai yang bermuara ke Danau Toba dengan perincian 63 sungai berasal
dari Pulau Samosir dan 142 sungai berasal dari daratan Pulau Sumatera. Sebagian besar
sungai yang bermuara ke Danau Toba adalah sungai yang bersifat intermitten, yaitu

sungai yang hanya berair pada saat hujan saja. Karena banyaknya sungai yang hanya
bersir pada saat hujan, maka data yang lain menyebutkan bahwa jumlah sungai yang
masuk ke Danau Toba adalah 289 sungai. Dari Pulau Samosir adalah 112 sungai dan dari
Daerah Tangkapan Air lainnya adalah 177 sungai.
Dari 289 sungai itu, 57 diantaranya mengalirkan air secara tetap dan sisa 232
sungai lagi adalah sungai musiman (intermitten). Pada kondisi hujan normal masukan air
dari sungai-sungai tersebut berkisar antara 41,613 m3/detik pada bulan Juli (puncak
musim kemarau) sampai dengan 124,914 m3/detik pada bulan Nopember (puncak musim
hujan). Pada tahun kering 1997 debit aliran masuk kedalam danau dari sungai-sungai
tersebut berkisar antara 8,56 m3/detik pada bulan Januari sampai dengan 62,39 m3/detik
pada bulan April. Sedangkan pada tahun basah 1999, debit aliran masuk kedalam danau
dari sungai-sungai tersebut, berkisar antara 83,535 m3/detik pada bulan Agustus sampai
dengan 493,812 m3/detik pada bulan Mei. Pada kondisi hujan normal tahun 1991
masukan air yang berasal dari curah hujan langsung kedalam danau berkisar antara 1,1
mm pada bulan Pebruari sampai dengan 8,2 mm pada bulan Mei. Pada tahun kering 1997
jumlah air masuk kedalam danau dari curah hujan langsung berkisar antara 1,1 mm pada
bulan April sampai dengan 5,5 mm pada bulan Desember. Sedangkan pada tahun basah
1999 jumlah jumlah air masuk kedalam danau dari curah hujan langsung berkisar antara
1,0 mm pada bulan Pebruari sampai dengan 2,9 mm pada bulan September dan
Nopember. Dari 57 buah sungai yang mengalirkan air secara tetap terdapat 19 buah
sungai besar yang mengalir dan bermuara ke Danau Toba yaitu (1) Sungai Sigubang, (2)
Sungai Bah Bolon, (3) Sungai Guluan, (4) (5) Sungai Arun, (6) Sungai Tomok, (7)
Sungai Sibandang, (8) Sungai Halian, (9) Sungai Simare, (10)Sungai Aek Bolon, (11)
Sungai Mongu, (12) Sungai Mandosi, (13) Sungai Gopgopan, (14) Sungai Kijang, (15)
Sungai Silabung, (16) Sungai Ringo, (17) Sungai Prembakan, (18) Sungai Sipultakhuda
dan (19) Sungai Silang.
Rekayasa dilakukan terhadap Lau Renun dengan 11 anak sungainya yang semula
mengalir ke pantai Barat Sumatera, sekarang dialihkan masuk ke Danau Toba. Aliran air
Lau Renun digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik. Dengan masuknya Lau
Renun, maka debit air rmasuk Danau Toba mengalami perubahan dari kondisi alaminya.
Penambahan ini mencapai 10-13 m3/detik. Selain dari aliran sungai, Danau Toba juga
menampung secara langsung air hujan yang jatuh pada wilayah perairannya. Kawasan
Danau Toba mengalami 2 (dua) puncak hujan sepanjang tahun yaitu bulan April dan
Nopember. Komponen iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban) sangat mempengaruhi
neraca air danau yang tergantung kepada aliran debit sungai dan curah hujan yang
langsung ke permukaan danau. Debit aliran sungai ditentukan oleh kondisi penggunaan
dan bukaan lahan pada Daerah Tangkapan Air. Makin tinggi bukaan lahan, makin sedikit
curah hujan yang meresap ke tanah, dan alirannya akan langsung masuk ke sungai yang
bermuara ke Danau Toba. Aliran air ini membawa sedimen dan bahan organic lain yang
dapat menurunkan kualitas dan fungsi danau.
6.

Debit Aliran Masuk dan Keluar Danau Toba

Debit aliran masuk dari seluruh kawasan tiap bulan diketahui dari debit aliran
masuk, ditambah hujan yang langsung ke danau dan dikurangi defisit air karena
penguapan. Pelepasan air (outflow) melalui Sungai Asahan rata-rata tahunan 98,9

m3/detik. Rata-rata debit pelepasan air bulanan dari Danau Toba berkisar antara 85,47
m3/det (bulan November) sampai dengan 94,59 m3/det (bulan April). Sedangkan debit
pelepasan air maksimum bulanannya berkisar antara 107,6 m3/det (bulan November)
sampai dengan 183,1 m3/det (bulan April). Debit pelepasan air minimum bulannya
berkisar antara 21,1 m3/det (bulan Agustus) sampai dengan 41,7 m3/det (bulan
September). Sebelum tahun 1982 tinggi muka air Danau Toba berada diatas angka 904,3
meter, bahkan pada tahun 1977 dan 1978 pernah mencapai lebih besar dari 906 meter
diatas muka laut.
Pada bulan Juli 1998 permukaan air Danau Toba mengalami penurunan sampai
dengan 902,28 m. Dari data tinggi muka air rata-rata bulanan Danau Toba, terlihat bahwa
angka terendah terjadi mulai dari pertengahan tahun 1997 hingga awal tahun 1999 yang
pada saat bersamaan secara umum di Indonesia terjadi musim kering panjang sebagai
akibat dari Anomali Elnino. Setelah tahun 1999 permukaan air Danau Toba kembali naik
diatas 904 meter pada bulan Oktober 1999. Debit air yang diambil pada periode tengah
tahun kedua 1997 sebesar lebih dari 100 m3/detik secara tetap tanpa mengenal musim
untuk keperluan memutar turbin, berakibat muka air Danau Toba menurun. Pelepasan air
bahkan dilakukan pada periode masukan air terendah sebesar 21 hingga 47 m3/detik.
Pada kondisi ini neraca air Danau Toba menjadi minus, sehingga terjadi pengurangan
volume air secara terus menerus hingga mencapai titik terendah 902,28 m dpl. Tahun
1999 muka air berangsur-angsur meningkat dan debit yang dilepas meningkat lebih dari
50 m3 / detik.
Tabel 4 : Debit Air Sungai dan Debit Air dari Curah Hujan sepanjang tahun yang masuk
Danau Toba.

Sumber : LTEM P tahun 2013

7.

Tinggi Muka Air Danau Toba

Tinggi muka air Danau Toba dipengaruhi oleh debit air masuk dari sungai, curah
hujan langsung ke permukaan danau, penguapan yang terjadi akibat sinar matahari serta
air yang mengalir keluar Danau Toba melalui Sungai Asahan. Tahun 1977 dan 1978,
tinggi muka air Danau Toba adalah 906 m. Tahun 1983 Danau Toba berubah statusnya
menjadi bendungan alami terluas di dunia dengan dioperasikannya bendungan pengatur

di Siruar, sehingga tinggi muka air Danau Toba dapat dikontrol secara mekanis.
Bendungan pengatur di Siruar dapat mengatur efektif tinggi muka air Danau Toba mulai
dari 901 m dpl hingga hingga ketinggian 905,8m dpl. Upaya menjaga kestabilan debit air
masuk ke turbin dilakukan dengan mengeruk Sungai Asahan sepanjang 13,6 km mulai
dari Porsea hingga ke bendungan Siruar. Pengerukan dasar sungai Asahan menyebabkan
terjadinya perubahan luas penampang laluan air, sehingga kapasitas aliran air semula 75
m3/detik (905 m) dapat menjadi 153 m3/det (902,4 m).
Pada waktu bendungan Siruar dioperasikan tinggi muka air Danau Toba adalah
904,3 m dpl. Pada tahun 1987, terjadi curah hujan di bawah normal, sementara
operasional turbin menghendaki aliran air masuk harus stabil. Muka air Danau Toba
menurun hingga 902,66. Muka air dibawah 903 m terjadi pada tahun 1990 (902,91m),
1998 ( 902,28m) dan 1999 (902,87m). Pada tahun 2009, curah hujan kembali normal dan
bahkan di atas normal karena adanya fenomena La Nina. Muka air Danau Toba sudah
mencapai 905,3 m. Dengan masuknya Lae Renun ke Danau Toba (debit minimum 10
m3/detik), maka kesetimbangan alami Danau Toba sudah terganggu. Tidak akan terjadi
lagi penurunan muka air Danau Toba karena selalu berada di atas masukan alaminya.
Kondisi ini berdampak terhadap pengendalian bendungan sebagai pengatur jumlah air
yang bisa dilepas, dan muka air maksimal yang mampu ditahan agar tidak
menenggelamkan tanah-tanah di pinggiran Danau Toba. Pertimbangan utama lainnya
adalah terhadap dampak peningkatan secara tetap tekanan yang diterima bendungan.
Fluktuasi muka air Danau Toba selama sepuluh tahun terakhir adalah seperti terlihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Tinggi Rata-rata Muka Air Danau Toba
Tahun
Tinggi Muka
Air (m. dpl.)

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

903,99

904,88

904,71

904,16

903,69

904,19

904,9

905,3

904,03

903,85

904,32

Sumber : Otorita Asahan 2013
8.

Saluran Keluar Air Danau Toba

Bila aliran masuk Danau Toba mencapai 205 sungai, maka saluran keluarnya
hanya satu yaitu Sungai Asahan yang hulunya di Porsea dan mengalir serta bermuara ke
Pantai Timur Sumatera Utara. Sungai Asahan sebagai satu-satunya outlet Danau Toba
memiliki debit air alami 87,9 m/detik s.d. 105.4 m/detik. Dengan beda ketinggian yang
cukup besar, aliran sungai Asahan memiliki kandungan energi yang sangat potensial
untuk membangkitkan tenaga listrik.
Total potensi perkiraan listrik yang bisa
dibangkitkan dari aliran Sungai Asahan adalah 1.202 MW. Saat ini aliran Sungai Asahan
sudah efektif termanfaatkan untuk pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 4 x 71,5
MW (Si Gura-Gura) dan 4 x 79,2 MW (Tangga). Seluruh listrik ini dipergunakan untuk
peleburan aluminium yang pabriknya dioperasikan PT Inalum di Kuala Ranjung.

9.

Iklim

Kondisi iklim (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan evaporasi) sangat
mempengaruhi neraca air danau. Suhu udara dan kelembaban akan menentukan besarnya
laju evaporasi dari permukaan danau. Laju evapotranspirasi dari kawasan Danau Toba
akan mempengaruhi jumlah air yang mampu disimpan di dalam tanah dan merupakan
cadangan pasokan air ke dalam danau selama musim kemarau (periode tidak hujan).
Kondisi iklim dapat berubah sebagai akibat perubahan penutupan lahan dan penggunaan
lahan pada Kawasan. Peningkatan suhu pada Kawasan dapat meningkatkan suhu udara
dan menurunkan kelembaban udara yang akhirnya akan meningkatkan laju
evapotranspirasi dari daratan dalam kawasan maupun evaporasi dari permukaan danau.
Kondisi iklim jugaberpengaruh terhadap upaya pemanfaatan lahan, terutama untuk usaha
pertanian, perikanan dan kehutanan. Peningkatan suhu akibat perubahan penggunaan
lahan akan dapat merubah pola hujan sehingga akan mempengaruhi masukan air ke
dalam danau.
a. Type Iklim
Menurut Klasifikasi lklim Oldeman maka Ekssistem Kawasan Danau Tsba termasuk
ke dalam tipe Bl , C1, C2, D2, dan E2. Dengan demikian bulan basah (curah hujan ≥
200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini bervariasi antara kurang dari 3 bulan
sampai dengan 7-9 bulan, sedangkan bulan kering (curah hujan ≤ 100 mm/bulan)
berturut-turut antara 2-3 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Scmidth dan
Ferguson maka Ekosistem Kawasan Danau Toba ini termasuk ke dalam tipe iklim A,
B dan B.
b. Curah Hujan
Dari tujuh stasiun penakar hujan yang terdapat di Ekosistem Kawasan Danau Toba
Parapat, Sidamanik, Situnggaling, Balige, Siborong-borong, Dolok Sanggul dan
Pangururan) diketahui bahwa curah hujan tahunan di Kawasan Danau Toba berkisar
antara 2.200 sampai dengan 3.000 mm/tahun. Puncak musim hujan terjadi pada
bulan Nopember-Desember dengan curah hujan antara 190-320 mm/bulan.
Sedangkan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni-Juli dengan curah
hujan berkisar antara 54-151mm/bulan.
c. Suhu, Kelembaban Udara dan Evaporasi
Suhu udara bulanan di Ekosistem Kawasan Danau Toba berkisar antara 18-19,7oC di
Balige dan antara 20-210 C di Sidamanik. Suhu udara selama musim kemarau
cenderung agak lebih tinggi dibandingkan dengan selama musim hujan. Sedangkan
angka kelembaban tahunannya berkisar antara 79-95%. Pada bulan-bulan musim
kemarau kelembaban udara cenderung agak rendah dibandingkan pada bulan-bulan
musim hujan. Evaporasi bulanan di Ekosistem Kawasan Danau Toba berkisar antara
74 – 88 mm/bulan. Angka Evaporasi selama musim-musim kemarau cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan.

10. Pengunaan Lahan
Penggunaan lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba terdiri atas tanah sawah,
tanah kering dan tanah terbuka. Tanah sawah berada pada daerah yang relative datar
dan sebagian besar berada di Kabupaten Toba Samosir. Lahan kering umumnya
dimanfaatkan untuk tanaman semusim yaitu tanaman budidaya seperti palawija,
jagung, singkong dan sayur-sayuran seperti cabai, terong, bawang, tomat, bayam
dll. Lahan kering yang dimanfaatkan sebagian besar pada daerah datar dan sebagian
kecil pada lereng yang curam. Lahan Terbuka dimanfaatkan untuk pemukiman,
bangunan seperti hotel, rumah, pasar dan sebagian berbentuk padang alang dan
hamnparan rumput.
Tabel 6: Jenis Penggunaan Lahan di DTA Danau Toba
Jenis Penggunaan Tanah (Ha)
No
Kabupaten
Tanah
Bangunan/
Tanah Sawah
Lainnya
Kering
Pekarangan
1 Samosir
5.011,60
63.820
2.037
56.424,3
2 Toba Samosir
12.267
20.232,3
2.623,4
24.866,9
3 Simalungun
1.258,25
31.368,75
2.348,50
8.021,50
4 Tapanuli Utara
860
4.308
184
2.623,00
5 Humbang Hasundutan
1.071
60
75
0
6 Dairi
239
1.465
252
5.040,00
7 Karo
827
5.801
63
5.860,00
Jumlah
21.533,85
127.055,05
7.582,90
107.374,40
Sumber : Kecamatan dalam angka Tahun 2007

II. TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN
Danau Toba sebagai Danau terbesar dan proses pembentukannya sangat dahsyat
memiliki potensi yang sangat menguntungkan bila dikelola dengan baik. Fakta lapangan
menunjukkan bahwa saat ini terdapat 123 pemukiman masyarakat di pinggir danau
daratan Pulau Sumatera dan 71 lokasi pemukiman di daratan Pulau Samosir yang terkait
langsung dengan perubahan muka air Danau Toba. Sebagai danau terluas dan terdalam di
dunia, Danau Toba mengalami berbagai tekanan baik secara permanen maupun tidak.
Sebagian dampak dari tekanan kegiatan terhadap Danau Toba belum dapat diketahui, dan
sebagian lain dampaknya sudah permanen dan sulit untuk dipulihkan. Berbagai masalah
yang diterima Danau Toba sebagai akibat dari pemanfaatannya yang tidak memiliki
perencanaan baik terutama dari aspek kelestarian lingkungannya adalah:
1. Perubahan Fluktuasi Muka Air Danau yang Ekstrim.
Catatan tentang tinggi muka air Danau Toba menunjukkan tahun 1977 tinggi muka
air Danau Toba adalah 906 m. Tahun 1983 sebagai tahun perubahan status danau
menjadi dam alami, tinggi muka air Danau Toba adalah 904,3 m dpl. Pada tahun
1987, muka air Danau Toba menurun hingga 902,66. Penurunan muka air dibawah
903 m sampai pada titik terendah tahun 1998 ( 902,28m) dan 1999 (902,87m).
Penurunan ini bukan terjadi secara alami, karena sudah mengalami rekayasa dengan
pengerukan yang membuka penampang danau yang lebih luas oleh pihak PT Inalum.
Pada saat debit air masuk menurun, proses air keluar dari Danau Toba tetap dijaga
stabil, sehingga volume air Danau Toba terus berkurang dan tinggi muka airnya
menurun. Penurunan sedalam ± 2 meter ini berlangsung kurang lebih selama dua
tahun yang menyebabkan terjadinya perubahan ekologis danau dan keseimbangan
hidrologis danau. Pada kondisi ini Danau Toba diduga telah kehilangan puluhan
spesies hayatinya. Sejak tahun 2003, tinggi muka air danau relatif stabil pada ± 904
meter. Kembali terjadi perubahan ekologis danau. Sayang sekali perubahan ini tidak
diamati, terutama yang menimbulkan dampak terhadap biota air.
2. Perubahan Keseimbangan Hidrologis.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera Utara, PLN telah membangun PLTA
Lae Renun dengan mengalihkan aliran air sebelas anak sungai Singkil dari Pantai
Barat Sumatera ke Danau Toba. Perubahan aliran air sungai ini menyebabkan
terjadinya penambahan debit air masuk Danau Toba sebanyak 10 -13 m3/detik.
Dampak perubahan masuknya aliran air Lae Renun ini mulai terlihat dengan
ketidakmampuan PT Inalum mengatur debit air yang dikeluarkan dari bendungan
Siruar. Agar tinggi muka air Danau Toba bisa stabil, volume air yang masuk ke
Danau Toba harus harus diimbangi dengan pengeluaran air dengan volume yang
sama dari bendungan Siruar. Ketidakseimbangan ini telah menyebabkan muka air
Danau Toba makin lama makin tinggi sehingga dapat menenggelamkan daerah
pertanian rakyat pada dataran sempadan danau. Hal yang paling perlu dicermati
adalah makin tingginya muka air danau akan menyebabkan bertambahnya tekanan air
pada bendungan. Lemahnya pengelolaan Sei Asahan oleh PT Inalum menyebabkan
daerah hilir Sei Asahan mengalami sedimentasi yang cukup parah. Pada saat muka air
Danau Toba makin tinggi, sebenarnya dapat dikurangi dengan membuka katup

bendungan Siruar. Namun bila hal ini dilakukan, akan terjadi banjir pada bahagian
hilir Sei Asahan. Bagaimanapun masalah ini harus segera diatasi kerena muka air
Danau Toba akan terus naik.
3. Sempadan Danau
Pada saat ini terdapat 194 pemukiman di pinggiran Danau Toba baik di daratan Pulau
Sumatera maupun Daratan Pulau Samosir. Pemerintah Daerah Sumatera Utara
melalui Perda No. 1 tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba telah
melarang berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan gangguan berupa pencemaran
atau kerusakan terhadap lingkungan. Bila diamati perilaku para leluhur di Danau
Toba, mereka tidak pernah membangun pemukiman di sempadan danau. Kearifan ini
coba ditangkap oleh Pemerintah Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat dengan
menerbitkan aturan tentang pemanfaatan sempadan danau dan larangan yang tidak
boleh dilakukan untuk mejaga kelestarian danau. Pasal 7 ayat 1 Perda No. 1 tahun
1990 menyatakan larangan bagi masyarakat untuk melakukan perladangan berpindah,
merambah dan membakar hutan, membuang limbah padat, cair maupun gas ke danau,
menangkap ikan dengan peledak, listrik dan zat kimia, penguasaan tanah timbul dan
mengganggu lokasi pembiakan ikan. Bahkan Perda ini juga mengatur agar pemilik
lahan tepi danau tidak membiarkan pertumbuhan enceng gondok serta tidak boleh
membiarkan tanahnya terlantar. Secara tegas Pasal 9 ayat 1 Perda melarang
mendirikan bangunan 50 meter dari tepi pantai ke arah darat termasuk membeton,
memagar, menimbun dan mengeruk perairan danau. Hampir secara keseluruhan
pasal-pasal yang mengatur penggunaan sempadan danau ini tidak dipatuhi oleh
masyarakat, dan juga terjadi pembiaran oleh pemerintah daerah atas
pelanggarannnya. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional juga melakukan penguatan bahwa pada sempadan danau
tidak dibenarkan adanmya bangunan. Bangunan yang didirikan di sempadan sungai
selain akan merusak pemandangan keindahan danau juga dapat jadi sumber
pencemaran.
4. Keramba Jaring Apung
Teknologi Keramba Jaring Apung berasal dari Vietnam. Pengembangannya
dilakukan oleh para peneliti dari ITB dan memanfaatkan fasilitas laboratorium
perikanan air tawar di Bogor. Uji coba pembudidayaan ikan menggunakan Keramba
Jaring Apung dilakukan di Danau Lido pada 1979. .Penemuan Keramba Jaring
Apung pada awalnya dianggap suatu keberuntungan karena teknologinya sederhana,
mudah dibuat, dan berbiaya murah namun menghasilkan panen yang menguntungkan.
Sekarang, hampir semua danau di Indonesia permukaannya dipenuhi sebaran
Keramba Jaring Apung. Investor terbesar dalam dunia usaha pembudidayaan KJA DI
Danau Toba dilakukan oleh perusahaan dari Swiss yang memasarkan produknya ke
Amerika dan Eropa. Air yang bersih dari danau yang dikatagorikan sebagai danau
sangat dalam merupakan penentu bagi kualitas ikan yang dibesarkan dalam Keramba
Jaring Apung di perairan Danau Toba. KJA mulai diperkenalkan pada masyarakat
Danau Toba tahun 1996 di Desa Haranggaol. Saat ini booming KJA telah berbalik
menjadi boomerang karena mnulai disadari bahwa keberadaannya menurunkan
kualitas lingkungan. Selain merusak kualitas air sehingga fungsinya menurun, dari

segi estetika keberadaan Keramba Jaring Apung juga sangat merugikan. Daerah
wisata yang tadinya diminati pengunjung akhirnya menjadi sepi karena airnya
berubah menjadi amis. Pertumbuhan sangat pesat dari KJA di Danau Toba dapat
dilihat pada Tabel .
Tabel 7 : Pertumbuhan Unit Usaha KJA di Danau Toba tahun 2005 dan 2007
2005*)
2007**)
Kabupaten
Unit
Unit
No.
1 Toba Samosir
878
1,732
2 Samosir
1,105
2,180
3 Tapanuli Utara
24
47
4 Humbahas
45
89
5 Dairi
65
128
6 Karo
75
148
7 Simalungun
653
1,288
Jumlah
2,845
5,612
Sumber : *) BPS Kabupaten di EKDT, 2006
**) Laporan Survey Bapedaldasu, 2007
Tabel di atas menunjukkan bahwa dalam waktu dua tahun, pertumbuhan unit
Keramba Jaring Apung di Danau Toba telah mencapai dua kali lipat. Tahun 2009
jumlah Keramba Jaring Apung di kawasan Danau Toba telah berjumlah 6.269 unit
dengan luasan 6.169 Ha, tersebar pada 51. Data Bapedalda Sumut (2008) mencatat di
kecamatan Pangunguran, Desa Parsaoran terdapat lebih kurang 600 unit jala apung
milik rakyat, di kecamatan Simanindo, desa Cintadame terdapat 450 unit milik rakyat,
sedangkan di desa Tomok terdapat 150 unit milik rakyat dan 85 unit milik perusahaan
(PT. Aqua Farm Nusantara). Sedangkan di kecamatan Dolok Pardamean terdapat
200 unit keramba jala apung milik rakyat dan 360 unit milik perusahaan (PT. Sentral
Windu Pertala). Di Kecamatan Girsang terdapat 100 unit milik masyarakat dan 180
unit milik PT. Aqua Farm Nusantara dan 78 Unit milik PT. S. Batubara. Dalam
laporan kajian Daya Tampung Beban Pencemaran Danau Toba Tahun 2012 oleh
BLH Provinsi Sumatera Utara dinyatakan bahwa Keramba Jaring Apung milik
masyarakat secara pribadi maupun perusahaan sudah mencapai 8.428 unit, dan milik
PT Aqua Farm sebanyak 484 unit dengan total produksi ikan sebanyak 54.935,5
ton/tahun. Makin luasnya ekspansi KJA di permukaan Danau Toba menyebabkan
masyarakat mulai merasa resah, karena walaupun keramba mampu memberikan
keuntungan dari segi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja tetapi disisi lain juga
memberikan dampak negative dari segi kenyamanan, kebersihan dan kesehatan
lingkungan.
Konsentrasi keberadaan keramba jaring apung di Dolok Pardamean berada di Desa
Tigaras. Panjang pantai pada desa ini lebih kurang 15 km. Jika lebar pinggiran
danau yang dipergunakan untuk budidaya rata-rata 50 meter maka luas lahan perairan
yang dapat dimanfaatkan untuk pemasangan keramba jaring apung ini lebih kurang
750.000 m2 atau 75 ha. Karena perairan danau ini merupakan perairan yang tenang
sehingga pencemaran limbah yang diakibatkan oleh penggunaan pakan dan obatobatan pada keramba-keramba ini terkonsentrasi pada kawasan perairan selebar lebih

kurang 50 meter sepanjang pantai yang digunakan untuk penempatan keramba. Jika
daya dukung perairan yang dapat digunakan untuk keramba adalah 1 % dari luas
kawasan perairan dan limbah terkonsentrasi hanya pada daerah keramba ditempatkan,
maka setara dengan 0,75 ha atau 7.500 m2. Jumlah keramba apung masyarakat di
desa ini tercatat 200 unit dengan luas masing-masing keramba 1 m2, jadi luas total
keramba milik masyarakat di desa ini 200 m2. Di perairan desa ini juga terdapat
keramba jaring apung milik perusahaan PT. Sentral Windu Pertala sebanyak 360
unit, dengan luas masing-masing keramba 25 m2, sehingga luas total keramba milik
perusahaan ini 9.000 m2. Luas total keramba milik masyarakat dan perusahaan ini
adalah 9.200 m2. Luasan keberadaan keramba ini telah melebihi daya dukung
perairannya.
Dengan cara pendekatan yang sama, maka keberadaan keramba jaring apung di desa
Parsaroan, kecamatan Pangunguran, desa Cintadame dan Tomok, kecamatan
Simanindo juga telah mendekati daya dukung perairannya. Limbah pakan ikan yang
digunakan pada daerah-daerah konsentrasi keramba jaring apung ini dapat
menimbulkan pencemaran perairan setempat dengan bahan organik dengan hasil
rombakannya terutama unsur N, P dan K yang dapat menimbulkan penyuburan
perairan danau terutama di kawasan perairan di sekitar lokasi keramba jaring apung.
Penyuburan perairan oleh limbah pakan ikan ini mendorong terjadinya proses
eutrofikasi dan menambah beban pencemaran karena adanya sisa-sisa pakan yang
tidak habis dikonsumsi ikan. Proses eutrofikasi yang terjadi di sekitar lokasi-lokasi
budidaya keramba jaring apung, mendorong tumbuh berkembangnya tumbuhan air
eceng gondok dan ganggang. Walaupun kualitas air Danau Toba saat ini masih
tergolong baik, namun pengembangan keramba jaring apung akan menambah beban
perairan danau oleh karena sisa pakan ikan, akan mencemari perairan.
Masyarakat yang tinggal pada permukiman-permukiman di sekitar lokasi keramba
juga memanfaatkan air danau sebagai air bersih. Pencemaran perairan danau oleh
limbah pakan ikan ini akan menyebabkan air danau kurang atau tidak layak lagi
dikonsumsi untuk air minum, karena beberapa sifat kimia seperti pH, kandungan
nitrat, nitrit, pospat, sulfat, kalium, sifat fisik seperti bau dan rasa telah melebihi
ambang batas baku mutu air untuk air minum. Dimasukkannya berbagai jenis ikan
budidaya seperti mujair, nila sebagai bibit pada perairan terbuka Danau Toba yang
disiapkan untuk cadangan produksi perikanan tangkap maupun perikanan budidaya
telah menyebabkan semakin langkanya berbagai jenis ikan endemik pada Danau Toba
ini, terutama jenis Ikan Batak (Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro).
Berbagai jenis ikan yang didatangkan dari luar (jenis eksotik) ini mempunyai sifat
adaptasi yang tinggi, cepat tumbuh dan berkembang sehingga secara ekspansif
menguasai habitat yang ada. Pada tahun 2004, pemerintah memasukkan ikan bilih
yang berasal dari Danau Singkarak ke Danau Toba Masuknya ikan eksotik ini
mengakibatkan jenis-jenis endemik tertekan pertumbuhan dan perkembangannya. Di
Danau Toba Ikan Bilih dikenal dengan sebutan ikan Pora-pora. Ikan Pora-pora saat
ini berkembang menjadi sumber mata pencaharian baru oleh masyarakat nelayan
tangkap. Produksi ikan pora-pora yang terbanyak adalah di Desa Bakara Kecamatan
Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan dan Desa silalahi Kecamatan Silahi

Sabungan Kabupaten Dairi. Dari desa tersebut rata-rata dihasilkan empat ton ikan
pora-pora perhari.
Gambar 2: Peta sebaran lokasi Keramba Jaring Apung dan Pelabuhan Ferry serta

5. Penebangan Hutan
Walaupun sudah dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Nasional dan bahkan
diajukan sebagai Anggota Geopark Global, penjarahan hutan di Kawasan Danau
Toba terus terjadi. Para penjarah hutan telah membuat penegak hukum tidak berdaya
dan bahkan seakan melindungi perbuatan menghancurkan tegakan pohon. Kasus
terbaru adalah pengembalian hadiah Kalpataru dan penghargaan lainnya oleh para
penerima karena kecewa atas ketidakmampuan pemerintah mengentikan penjarahan
hutan di Tele. Pemerintah Kabupaten Samosir telah memberikan Izin lokasi dan IPK
seluas 800 Ha kepada PT Gorga Duma Sari (GDS). Padahal hanya pada areal hutan
itulah tegakan pohon alami yang masih tersisa di Kabupaten Samosir. Penjarahan
hutan ini dilakukan tanpa memiliki izin lingkungan. Hutan ini merupakan induk
sungai dan anak sungai ke Lae Renun, Lae Combi, Lae Ordi yang seharusnya dijaga
dan dilestarikan karena terkait dengan keberadaan PLTA Lae Renun yang memakan
biaya puluhan milyar rupiah. Sementara hasilnya adalah berupa pemasukan ke kas
Negara sebesar Rp. 973.593.764,-. Modus sama dilakukan para penjarah hutan pada
areal Kawasan Strategis Nasional yang diharuskan agar luas hutan tidak boleh di
bawah 30% luas wilayah dan bagi wilayah yang hutannya di atas 30% harus tetap
mempertahankan luasan hutan tersebut.

Saat ini, ±1500 Ha kawasan hutan Sicil.e-Cike yang merupakan Taman Wisata Alam
di Hutan Lindung Adian Tinjoan telah dirusak. Demikian juga dengan kawasan
hutan milik negara yang dikelola BKSDA Provinsi Sumatera Utara seluas 575 Ha
dirusak. Di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban ]ulu Kabupaten Toba
Samosir terdapat hutan-hutan reboisasi milik negara yang beralih fungsi menjadi
lahan milik perorangan Penjarahan kayu juga terjadi di Hutan Register 9L, Desa Aek
Natolu ]aya, Kecamatan Lumban Julu. Kasus lainnya adalah penebangan pohon
kawasan areal reboisasi di Desa Hutapining, Kecamatan Ajibata, yang dilaporkan
oleh masyarakat, namun pihak yang berwajib datang setelah kawasan tersebut sudah
habis. Kasus lain adalah Penebangan pohon pinus secara illegal seluas ± 60 Ha di
Desa Ujung Bawang Kabupaten Simalungun. Pengrusakan kawasan hutan register
dan berbagai kawasan hutan lindung lainnya terjadi tanpa dapat dicegah yang akan
berdampak terhadap kelestarian Danau Toba.
Menurut Laporan Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara tahun 2012, luas hutan di
DTA Danau Toba tahun 1985 adalah 78.558,18 Ha (28,14% dari luas DTA). Tahun
1997 dan tahun 2001, luas hutan ini menyusut menjadi 22,15% dan 13,47%. Suatu
penyusutan yang luar biasa hanya dalam selang waktu 15 tahun. Walaupun sudah
diketahui, namun penjarahan hutan dalam DTA Danau Toba terus berlangsung mulus
tanpa ada hambatan. Berdasarkan hasil analisa satelit tahun 2012 luas hutan di DTA
Danau Toba hanya tinggal 12,6%. Dari jenis lahan dan luas tutupannya di DTA
Danau Toba dapat diklasifikasi atas 22% (57.604,88 Ha) sebagai status hutan
walaupun saat ini faktanya hanya 12,6%. Pertanian 31,2 % (81.918,23 Ha), Padanag
Rumput 38,4% (100.590,47 Ha) dan sawah 8,4% (22.100,03 Ha. Berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, luas hutan DTA Danau Toba minimal
harus 30% dari luas area. Kondisi Tutupan lahan dalam DTA Danau Toba tahun 2012
dapat dlihat pada Tabel 7.
Tabel 7: Jenis Lahan dan Luas Penutupan Lahan DTA Danau Toba tahun 2012

6. Limbah rumah tangga, pariwisata dan transportasi air, perikanan budi daya,
perternakan dan pertanian.
Hasil survey BLH Sumut tahun 2007, pada pinggiran Danau Toba baik di sisi Pulau
Sumatera maupun di sisi Pulau Samosir terdapat 147 pemukiman dengan jumlah
penduduk sebanyak 390.251 jiwa. Hampir secara keseluruhan menggunakan air
Danau Toba sebagai sumber air baku minuman. Sesuai dengan peruntukkannya
berdasarkan PP No. 82 tahun 2001, Pemerintah Daerah Sumatera Utara telah
menetapkan Baku Mutu Air Danau Toba sebagai sumber air Kelas Satu (Pergub No.
1 tahun 2009). Tiga PDAM beroperasi mengolah air Danau Toba untuk disalurkan ke
masyarakat yaitu PDAM Balige, PDAM Laguboti dan PDAM Pangururan. Selain
mengambil air Danau Toba sebagai air baku, semua masyarakat membuang limbah
cairnya kembali ke Danau Toba tanpa diolah. Termasuk dalam limbah ini adalah
yang berasal dari rumah tangga, hotel, dan restauran seperti tinja, sampah dan limbah
tin jau. Limbah transportasi air mencemari Danau Toba dengan ceceran oli, minyak,
bahan bakar, limbah padat dan cair dari toilet di kapal. Sumber pencemaran kegiatan
perikanan berasal dari kegiatan pemeliharaan keramba jaring apung yang sampai saat
ini sudah berjumlah sebanyak 8.428 unit milik masyarakat dan 484 unit milik
perusahaan Aqua Farm. Potensi pencemar yang sangat potensial merusak Danau
Toba adalah limbah perternakan babi PT Alegrindo Nusantara di Tiga Runggu,
Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. PT Alegrindo Nusantara memelihara 30
s.d 40 ribu ekor babi. Kotoran babi yang dapat menjadi media perantara pembawa
virus hepatitis E. Volume limbah ternak babi ini baik dalam bentuk padat maupun
cair mencapai 1200 ton, dibuang ke Sungai Silali yang melalui Desa Urung Pane dan
akhirnya masuk ke Danau Toba. Kegiatan perternakan babi PT Alegrindo Nusantara
sudah beroperasi selama ± 16 tahun pada lahan seluas 46,8 Ha yang masuk pada
register 44. Kegiatan pertanian yang secara tidak langsung menimbulkan pencemaran
dan beban kerusakan adalah residu pupuk dan pestisida yang terbawa air hujan ke
perairan. Pupuk dan berbagai limbah perternakan dan perikanan menyebabkan
perairan danau semakin kaya dengan nutrient atau phospat yang belebihan.
Dampaknya dapat dilihat dari air yang berbau tidak sedap dan kekeruhannya
meningkat. Indikator biologis peningkatan kandungan phospat dalam air antara lain
dari penurunan kandungan Oksigen dalam air dan makin meluasnya tutupan enceng
gondok di perairan. Absennya oksigen dalam air mengakibatkan gangguan terhadap
kehidupan biota air sehingga ekosistem air jadi terganggu.
III.

RESPON PENGELOLAAN KAWASAN DANAU TOBA

1. Pemerintah Daerah Sumatera Utara bersama dengan pihak swasta telah melakukan
berbagai upaya untuk mengendalikan kerusakan dan pemulihan kualitas serta
pelestarian Danau Toba. Menyadari bahwa pengelolaan Danau Toba harus dilakukan
secara bersama dan terpadu pada arah yang tepat, maka pemerintah merangkul semua
pihak yang berkepentingan dan terkait dengan pelestarian Danau Toba. Pemerintah
mengembangkan pendekatan pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba dengan
menyusun dokumen Pedoman Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba
(LTEMP) sebagai pedoman bagi para Pemangku Amanah dalam mengelola
ekosistem kawasan Danau Toba. Lake Toba Ecosystem Management Plan merupakan

upaya kolaboratif untuk mengembangkan pendekatan pengelolaan ekosistem kawasan
Danau Toba secara berkelanjutan dan komprehensif. LTEMP juga sudah membentuk
Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (BKPEKDT) yang
melibatkan berbagai pihak melalui pertemuan dan menyerap partisipasi publik.
Sampai saat ini BPEKDT telah melakukan inventarisasi berbagai aspek menyangkut
komponen dan indikator serta Parameter lingkungan Danau Toba. Seharusnya data
dan informasi yang diperoleh sudah dapat dijadikan masukan bagi penyusun
kebijakan serta pengambil keputusan bagi pelaksana pencegahan kerusakan maupun
pemulihan untuk kelestarian Danau Toba. Berdasarkan kenyataan lapangan,
diperlukan perbenahan yang cukup mendasar terutama bila melihat pencapaian target
yang sudah dipatok pada pedoman pengelolaan ekosistem Danau Toba.
2. Dari beberapa kegiatan atau dampak kegiatan yang berpotensi besar memberi tekanan
atau ancaman terhadap kelestarian Danau Toba adalah masalah keseimbangan
hidrologis. Besar kecilnya volume aliran air masuk Danau Toba akan mempengaruhi
tinggi muka air danau. Termasuk faktor penentu tingginya muka air ini adalah
volume air yang keluar melalui Sungai Asahan dan proses evapotranspirasi pada
wilayah DTA. Penebangan hutan akan meningkatkan erosi dan juga air larian masuk
ke Danau Toba. Kasus terakhir adalah penjarahan hutan Tele seluas 800 Ha yang
belum dihentikan oleh berbagai kebijakan dan keputusan setingkat provinsi. Makin
meningkatnya luasan tutupan Danau Toba oleh Enceng Gondok juga merupakan
penyebab tingginya proses penguapan air dari permukaan Danau Toba. Hal lain yang
jadi jadi pertimbangan adalah masuknya aliran air Lae Renun ke Danau Toba
memang menyebab volume air yang masuk lebih tinggi dari kondisi alaminya.
Masalah keseimbangan hidrologis ini belum dapat dicarikan program
penyelesaiannya, baik dari perubahan tinggi muka air danau maupun dari dampaknya
terhadap kehidupan biota air.
3. Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan duri dalam daging bagi upaya pengelolaan
Danau Toba. Di satu sisi ada yang mengklaim bahwa KJA menghasilkan PAD dan
menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan. Di sisi lain ternyata KJA telah
mendatangkan masalah bagi lingkungan baik estetika maupun fisika dan kimia.
Kegiatan KJA telah merampas wilayah wisata seperti Haranggaol dan juga berbagai
tempat lain yang berubah menjadi konsentrasi usaha KJA. Sampai saat ini belum ada
upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kehadiran KJA yang menutup
permukaan air Danau Toba serta menurunkan kualitas airnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kandungan BOD, COD dan Phospor pada sebagian besar lokasi
sudah melewati baku mutu. Penataan kehadiran KJA ini baik dari segi distribusi,
beban bagi lingkungan yang dapat meminimalisir dampak negatifnya terhadap
lingkungan belum dapat dilakukan. Belum ada keputusan dan bahkan kebijakan yang
menentukan posisi keberadaan KJA di Danau Toba. Perlu pertimbangan matang
dalam penentuan Danau Toba sebagai pusat tujuan wisata dan warisan kekayaan
dunia dengan kegiatan usaha ekonomi yang berasal dari pemeliharaan ikan dengan
dampak negatif penurunan kualitas air Danau Toba. Berbagai pertimbangan sudah
teridentifikasi sebagai masukan bagi pengambilan keputusan seperti pembatasan
jumlah dan zona distribusi, pertimbangan ekonomi dan ekologi, pelet dan obatobatan yang akrab lingkungan dan juga alternatif murni menjadi objek wisata alam.
Perlu keberanian pemerintah dalam menetapkan pilihan akapah akan

mengembangkan KJA atau menjadikan danau kembalisebagai kawasan konservasi
atau wisata alam.
4. Isu terakhir upaya pengelolaan Danau Toba adalah dengan menempatkan sebagai
Taman Dunia. Bila konsep ini diterima, maka semua kegiatan di seluruh kawasan
DTA Danau Toba harus mengacu pada kegiatan yang akrab lingkungan. Diperlukan
komitmen pemerintah dan juga partisipasi masyarakat untuk menwujudkannya.
Pemerintah dan masyarakat dalam kawasan danau harus bersatu tekad dan usaha
menjadikan Danau Toba sebagai daerah tujuan wisata yang bersih, nyaman dimata,
nyaman di hati nyaman di perasaan baik bagi masyarakat lokal, terutama bagi
pengunjung regional dan global. Fakta menunjukkan bahwa dengan kebijakan dan
sistem pengelolaan yang diberlakukan sekarang, ternyata Danau Toba tidak mampu
memberikan manfaat banyak bagi masyarakatnya, sementara kualitasnya terus
menurun tanpa berdaya untuk dihentikan.
5. Faktor budaya yang dikenal dengan Poda Na Lima atau pesan yang lima mencakup
bersihkan hatimu, bersihkan badanmu, bersihkan pakaianmu, bersihkan rumahmu dan
bersihkan lingkunganmu ternyata hanya menjadi kata tanpa makna di berbagai
dinding tanpa merubah perilaku. Mungkin pemahamannya perlu disosialisaikan
hingga efektif mendukung program menjadikan Danau Toba sebagai Taman Dunia
yang menarik kunjungan wisatawan karena lingkungan fisik-kimia yang baik dan
lingkungan biologi yang kaya spesies endemik yang lestari, serta budaya masyarakat
yang kaya dan bermartabat.
Medan, 2013