Kekuatan dan kelemahan tafsir al Quran

Farabi
ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264
Volume 13 Nomor 2 Desember 2016
Halaman 241-259
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

KEKUATAN DAN KELEMAHAN
TAFSIR AL-QUR’AN BI AL-SUNNAH
Oleh: Ahmad Khoirul Fata
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo
Email: cakfata@gmail.com
Abstract
Tafsir al-Qur'an bi al-Sunnah as part of tafsir bi al-ma'thur has an
important position in the process of understanding the meanings of the
Qur'an. Despite the differences in defining the meaning of the Sunnah or
Hadith, the Muslim scholars (Ulama) placed this interpretations as the
most authoritative interpretation among other interpretation models.
There are two forms of the Qur'an bi al-Sunnah tafsir as described
Abdullah Saeed: verbatim (direct) and fi'li (deeds, indirect). However, as
a form of tradition-based interpretation, such interpretation is
considered less has shortcomings in its limitations in reaching many

contemporary problems. That's because not all the verses of the Koran
described directly by the Prophet Muhammad. Herein lies the urgency of
developing ijtihad so that the verses of the Koran that can still be
understood better by staying pivot on the explanation of the Prophet
Muhammad or the verses of the Koran more.
Tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah sebagai bagian dari tafsir bi al-ma’thur
memiliki posisi penting dalam proses memahami makna-makna alQur’an. Meski terjadi perbedaan dalam mendefinisikan makna Sunnah,
para ulama’ memposisikan penafsiran model ini sebagai tafsir yang
paling otoritatif di antara tafsir-tafsir yang lain. Ada dua bentuk tafsir
al-Qur’an bi al-Sunnah seperti yang dijelaskan Abdullah Saeed: secara
verbatim (direct) dan secara fi’li (perbuatan, indirect). Namun sebagai
bentuk penafsiran yang tradition based, tafsir seperti ini dianggap
kurang memiliki kekurangan pada keterbatasannya dalam menjangkau
banyak masalah kontemporer. Hal itu karena tidak semua ayat-ayat al-

241

Ahmad Khoirul Fata

Qur’an dijelaskan secara langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Di

sinilah letak urgensi pengembangan ijtihad agar ayat-ayat al-Qur’an itu
tetap bisa dipahami secara baik dengan tetap berporos pada penjelasan
yang dilakukan Nabi Muhammad Saw atau ayat-ayat al-Qur’an lainnya.
Keywords:
Tafsir; Tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah; Tafsir bi al-Ma’thur;
Meaning; Sunnah; Hadith
Pendahuluan
Al-Qur’an menjadi pijakan pokok dalam berislam. Ia merupakan wahyu
yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat
Jibril, baik secara verbal maupun makna. Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur selama sekitar 23 tahun, dan berlaku tanpa mengenal
batas waktu. Tidak ada keraguan lagi terkait posisi sentral Kitab Suci ini
dalam Islam. Seluruh ulama’ telah bersepakat akan hal tersebut.
Ketiadaan batas waktu menuntut Kitab Suci ini senantiasa dalam kondisi
otentik untuk menjaga pesan-pesan Tuhan yang terkandung di dalamnya,
sehingga ummat bisa mempelajari kalam Tuhan yang genuine tersebut,
memahami dan mengamalkannya. Kondisi yang otentik dan genuine
tersebut telah dijamin oleh Allah sendiri (QS. Al-Hijr: 9), satu hal yang
tidak terdapat pada kitab-kitab suci lainnya.
Untuk dapat memahami pesan Allah swt dalam al-Qur’an para ulama

menegaskan pentingnya penafsiran yang berbasis pada riwayat; Dalam hal
ini diyakini bahwa tafsir yang paling otoritatif adalah penjelasan sebagian
ayat al-Qur’an atas sebagian yang lain. Selain itu juga Nabi Muhammad
Saw menjadi pihak yang sangat otoritatif dalam menjelaskan isi
kandungan al-Qur’an mengingat beliau merupakan pihak yang menerima
langsung wahyu tersebut. Tafsir al-Qur’an yang juga diyakini otoritatif
adalah penjelasan yang diberikan oleh para sahabat dan tabiin.
Tulisan ini mencoba membahas penafsiran al-Qur’an yang bersumber dari
riwayat tersebut, dengan fokus pada bahasan pada tafsir al-Qur’an oleh
Nabi Muhammad Saw karena bahasan lainnya (tafsir al-Qur’an bi alQur’an dan tafsir sahabat/tabiin) telah dibahas di kesempatan lain.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
242

kekuatan dan kelemahan tafsir al-qur’an bi al-sunnah

Tafsir bi al-Ma’tsur
Secara historis Subhi as-Shalih menjelaskan, penafsiran terhadap alQur’an terjadi semenjak Rasulullah Saw masih hidup dan menjadi penafsir
tunggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ada beberapa sebab kenapa di era
Nabi Muhammad Saw masih hidup para sahabat tidak aktif melakukan

kegiatan penafsiran al-Qur’an, yaitu:
1. Keberadaan Rasulullah Saw di tengah-tengah umat Islam dan
keterlibatan langsung beliau dalam memberikan penjelasan atas
hal-hal penting dalam al-Qur’an. Ini sesuai dengan tugas beliau
sebagai penjelas al-Qur’an (QS. Al-Nahl: 44).
2. Para sahabat terlibat langsung dalam proses dakwah Islam, dan itu
berarti mereka juga turut mengalami proses turunnya wahyu,
sebab-sebabnya, dan perkembangannya kemudian, sehingga
mereka secara umum merasa menguasai makna-makna wahyu.
3. Kenyataan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa para sahabat
sendiri sehingga mereka jarang menemukan kesulitas dalam
memahaminya.
4. Bekal pengalaman dalam proses turunnya wahyu yang berbahasa
Arab itu membuat mereka lebih memahami tujuan, struktur bahasa,
tema, retorika dan segala aspek bahasa al-Qur’an.
5. Kenyataan al-Qur’an turun secara berangsur-angsur, tidak
sekaligus, sesuai dengan situasi, kondisi, sebab, dan proses tahapan
penerapan syariat. Ini membuat belum diperlukannya sebuah
gerakan keilmuan untuk menafsirkan Kitab Suci yang belum tuntas
itu.

6. Al-Qur’an diturunkan di tengah umat yang tidak akrab dengan
tradisi baca-tulis dan tidak memiliki satu kemajuan budaya untuk
memberikan penjelasan ilmiah.1
Baru pasca beliau wafat, kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan alQur’an dipegang oleh para sahabat yang mendalami dan mengetahui alQur’an dengan tetap menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai rujukan.
Ada banyak ahli tafsir di kalangan sahabat, di antaranya terdapat 10 orang
1
Abdullah Abus Su’ud Badr, Tafsir Aisyah Ummul Mukminin, terj. M
Syamsuddin PT (Jakarta: Darul Falah, 1422 H), 30-32.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 
243

Ahmad Khoirul Fata

yang paling terkenal, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
Dan di antara sepuluh pakar tafsir itu Abdullah bin Abbas yang dinilai
paling otoritatif. Tentang Ibnu Abbas ini banyak riwayat yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw semasa hidup pernah mendoakannya

agar diberi pemahaman yang mendalam tentang agama dan diberi
pengetahuan tentang ta’wil. Para sahabat lain yang juga dikenal sebagai
pakar tafsir adalah Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar,
Jabir bin Abdullah, dan Aisyah.2
Di kemudian hari penafsiran al-Qur’an berkembang ke berbagai daerah
seiring dengan laju perluasan daerah kekuasaan Islam. Daerah-daerah
yang dikenal sebagai pusat ahli tafsir saat itu adalah Makkah, Madinah,
dan Iraq (Kufah). Pakar tafsir dari kalangan tabiin yang terkenal di Makkah
adalah Mujahid, Atha’ bin Abi Rayyah, Ikrimah mawla-nya Ibnu Abbas,
Sa’id bin Jubair, dan Thawus. Mereka ini belajar pada Ibnu Abbas.
Sementara di Madinah adalah Abdurrahman bin Zaid dan Malik bin Anas.3
Sementara di kalangan tabi’ al-tabi`in yang terkenal sebagai ahli tafsir
adalah Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjaj, Yazid
bin Harun, serta Ibnu Hamid.4
Ada beberapa sumber yang biasa digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, yaitu bi al-manqul (bi al-ma’tsur), bi al-ra’yi, dan isyari. Di
antara ketiganya, penafsiran al-Qur’an melalui riwayat (tafsir bi alma’tsur) dinilai yang paling otoritatif dan menyelamatkan.5 Hal itu
dikarenakan ia merupakan penyampaian sahih yang berisi pengertian dari
pernyataan-pernyataan yang lurus dan pemahaman yang bersih. Karena


2
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 411-412. Lihat juga Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi
Ulum al-Qur’an (Damaskus: Mu’assasah al-Risalah al-Nasyirun, 2008), 783-784
3
Ibid., 412. Di buku tersebut al-Shalih tidak menyebut tokoh-tokoh tafsir di
Kufah. Di situ hanya disebut sahabat Nabi Saw yang menjadi guru di Kufah adalah
Abdullah bin Mas’ud.
4
Ibid., 413.
5
Abd Fattah Abu Sinnah, Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Shuruq, 1995), 149.
Lihat juga Tahir Mahmud Muhammad Ya`qub, Asbab al-Khatha’ fi Tafsir Juz I (Saudi
Arabia: Dar Ibn Jawzi, 1425 H), 91.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
244

kekuatan dan kelemahan tafsir al-qur’an bi al-sunnah


itulah Ya’qub pun menegaskan keharusan mendahulukan penafsiran ini
daripada tafsir dengan ra’yi.6
Dengan demikian tafsir dengan riwayat – atau yang biasa disebut dengan
tafsir bi al-ma’tsur – merupakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an lainnya, atau dengan penjelasan Nabi
Muhammad Saw, penjelasan para sahabat, dan tabiin.7 Atau dalam redaksi
lain tafsir bi al-ma’tsur didefinisikan sebagai: “Sesuatu yang datang dalam
al-Qur’an, atau Sunnah, atau perkataan sahabat sebagai penjelasan bagi
maksud Allah Swt sebagaimana yang termaktub dalam kitab-Nya (alQur’an).8
Di sini al-Suyuti membatasi tafsir bi al-Ma’tsur hanya pada penjelasan
dari al-Qur’an, Nabi Muhammad Saw, dan para sahabat saja, tanpa
melibatkan tabiin. Menurutnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama terkait dengan tafsir tabiin. Sebagian memasukkannya dalam
kategori tafsir bi al-ma’tsur mengingat mereka merupakan orang-orang
yang bertemu dan belajar pada sahabat. Sebagian lainnya
menggolongkannya ke tafsir bi al-ra’yi.9 Bahkan lebih dari itu, tafsir
sahabat pun masih diberi kategori oleh al-Hakim dalam Kitab alMustadrak-nya, “Tafsir sahabat yang menyaksikan tanzil-nya wahyu
dihukumi marfu,` jika tidak berarti mawquf.”10
Dengan demikian, meski penjelasan al-Qur’an yang bersumber dari
sahabat (dan tabiin) masuk dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur, namun

secara otoritas masih dianggap di bawah penjelasan dari al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw itu sendiri.11 Hal ini wajar saja mengingat

6

Ya’qub, Asbab, 91
Pengertian seperti ini banyak dijumpai dalam beberapa kitab. Lihat Uthman
Ahmad Abd Rahim, al-Tajdid fi al-Tafsir (Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan
Islam, tt), 10; dan Ibrahim Muhammad al-Jarami, Mu’jam Ulum al-Qur’an (Damascus:
Dar al-Qalam, 2001), 101.
8
Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuti, al-Dur al-Mantsur fi altafsir al-Ma’tsur Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), 11
9
Ibid., 12.
10
Ibid.
11
Al-Jarami, Mu’jam, 101.
7


Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 
245

Ahmad Khoirul Fata

Nabi Muhammad Saw dalam menafsirkan al-Qur’an selalu di bawah
bimbingan Allah Swt.12
Karena berpijak pada empat sumber itu lah maka Abdullah Saeed
menyebut tafsir model ini sebagai tradition-based tafsir yang dibangun
atas asumsi bahwa hanya mereka-mereka yang terdekat zamannya kepada
Nabi Muammad Saw, dan karenanya terdekat dengan pewahyuan, yang
dapat menafsirkan teks al-Qur’an secara otoritatif.13
Contoh tafsir bi al-ma’tsur dalam kategori tafsir al-Qur’an dengan alQur’an adalah penjelasan kata ‫ بظلم‬dalam surat al-An`am ayat 82:
∩∇⊄∪ tβρ߉tGôγ•Β Νèδuρ ß⎯øΒF{$# ãΝßγs9 y7Íׯ≈s9'ρé& AΟù=ÝàÎ/ ΟßγuΖ≈yϑƒÎ) (#þθÝ¡Î6ù=tƒ óΟs9uρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$#
yang ditafsirkan oleh Surat Luqman ayat 13 sebagai kesyirikan ( ‫ا الشر‬
‫ )لظلم عظيم‬14
Tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah
Secara bahasa kata ‫ السنة‬berarti jalan, mencakup yang baik atau pun yang
tidak baik.15 Terdapat perbedaan di antara para ulama mengenai makna alSunnah secara istilahi. Ulama’ ushul menetapkan al-Sunnah sebagai
perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad Saw. Sementara

sebagian yang lain menyatakan bahwa al-Sunnah itu mencakup perbuatan
sahabat Nabi Muhammad Saw, baik itu sesuai dengan yang ada di dalam
al-Qur’an, dengan perbuatan Nabi Muhammad Saw atau yang tidak,
seperti pengumpulan al-Qur’an dan pembukuannya.
Ulama fikih memahaminya sebagai sesuatu (perintah) yang berasal dari
Nabi Muhammad Saw, namun tidak bersifat wajib. Ia adalah salah satu
bagian dari lima hukum taklifi, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan
mubah. Seringkali juga kata sunnah digunakan sebagai lawan kata bid’ah.
Jumhur ulama hadits meluaskan pengertian al-Sunnah hingga mencakup
12

Lihat Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern,
terj. M Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), 87.
13
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London & New York: Routledge, 2006), 42.
14
Ibid.
15
Badran Abu al-`Aynayn Badran, al-Hadith al-Nabawi al-Sharif: Tarikhuh
wa Musthalahuh (Saudi Arabia: Muassasah Syabab al-Jami`ah, 1983), 6
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
246

kekuatan dan kelemahan tafsir al-qur’an bi al-sunnah

perkataan Nabi Saw, perbuatan, taqrir, sifat khalqiyah, sirah, peperangan,
dan sebagian kabar sebelum beliau diutus sebagai Nabi – seperti kebiasaan
belia ber-tahannuts di gua Hira’. Dan sunnah seperti ini menurut mereka
sinonim dengan pengertian hadits.16
Meskipun demikian ada ulama yang membedakan hadits dari sunnah
dengan menganggap hadits hanya terbatas pada perkataan Nabi
Muhammad Saw saja.17 Dalam tulisan ini pengertian sunnah digunakan
sebagai bentuk sinonim dari hadits mengingat penggunaan kedua term itu
sudah biasa dalam bentuk sinonim.
Sunnah memiliki posisi penting sebagai sumber hukum Islam setelah alQur’an al-Karim. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah Swt dalam berbagai
ayat, di antaranya:
(#θßγtFΡ$$sù çμ÷Ψtã öΝä39pκtΞ $tΒuρ çνρä‹ã‚sù ãΑθß™§9$# ãΝä39s?#u™ $tΒuρ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. AlHasyr: 7)
öΝÏδÌøΒr& ô⎯ÏΒ äοuzσø:$# ãΝßγs9 tβθä3tƒ βr& #·øΒr& ÿ…ã&è!θß™u‘uρ ª!$# ©|Ós% #sŒÎ) >πuΖÏΒ÷σãΒ Ÿωuρ 9⎯ÏΒ÷σßϑÏ9 tβ%x. $tΒuρ

∩⊂∉∪ $YΖÎ7•Β Wξ≈n=|Ê ¨≅|Ê ô‰s)sù …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ ⎯tΒuρ 3

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah
sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

16
Ibid., 6-7. Lihat juga Manna’ al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj.
Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), 28-29.
17
Ibid., 5

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 
247

Ahmad Khoirul Fata

’Îû ÷Λä⎢ôãt“≈uΖs? βÎ*sù ( óΟä3ΖÏΒ ÍöΔF{$# ’Í