Memahami Teori Dasar dan Praktik Hak Asa

Memahami Teori Dasar dan Praktik Hak Asasi Manusia
Untuk bisa terlibat dalam kerja­kerja monitoring dan investigasi hak asasi manusia, seorang pembela hak asasi manusia harus terlebih dahulu
memahami sejarah dan teori dasar hak asasi manusia. Hal ini penting agar pembela hak asasi manusia tidak salah dalam mengidentifikasi dan
menganalisis   pelbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di wilayahnya. Selain itu dengan pemahaman hak asasi manusia yang kuat
seorang pembela hak asasi manusia akan mampu merumuskan langkah­langkah  advokasi penanganannya dengan tepat. Oleh karena itu bab ini
mengajak para pembaca mempelajari sejarah dan teori hak asasi manusia. Namun demikian agar tidak membosankan maka bagian ini akan
memulainya dengan menjawab pertanyaan­pertanyaan umum dan khusus yang kerap dilontarkan oleh banyak orang ketika sedang mempelajari
hak asasi manusia.
I.1.1 Sejarah Gerakan Hak Asasi Manusia Internasional dan Apa itu Hak Asasi Manusia
Darimana hak asasi manusia berasal dan hal­hal apa saja yang melatarbelakangi kemunculannya?
Pertanyaan diatas ini adalah pertanyaan lain yang kerap dilontarkan oleh banyak orang ketika mereka mencoba mencari tahu lebih dalam tentang
hak asasi manusia. Bahkan dalam banyak kasus pertanyaan ini kerap menjadi pertanyaan kunci bagai sejumlah pihak, terutama mereka­mereka
yang kepentingan ekonomi dan politiknya terganggu dengan hak asasi manusia­­untuk membuat orang menolak hak asasi manusia. Ada banyak
versi dan cara pandang yang berbeda dalam melihat asal muasal hak asasi manusia. Ada yang melihat bahwa asal muasal hak asasi manusia
adalah sebagai salah bentuk kesadaran tertinggi masyarakat internasional untuk mencegah terulangnya kembali pelbagai praktik kesewenang­
wenangan terhadap umat manusia. yang terus dipertontonkan oleh pemerintahan kolonial, pemerintahan otoriter, dan kelompok­kelompok non­
negara yang kekuatannya setara dengan negara di pelbagai tempat.  Pandangan lainnya adalah hak asasi manusia lahir sebagai salah bentuk hasil
dari negosiasi antara kelompok tertindas dengan para penguasa di masa ke masa. Namun ada juga pandangan yang mengatakan, terutama adalah
negara­negara dari kawasan Asia dan Afrika,   bahwa hak asasi manusia adalah lahir dari gagasan negara­negara barat yang diciptakan untuk
mengubah adat istiadat orang­orang timur (Asia) sehingga mempermudah negara­negara tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan
politik yang mereka inginkan.

Jika banyak pandangan yang berbeda­beda dalam melihat asal muasal hak asasi manusia, lantas mana yang harus diikuti? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut nampaknya kita harus melihat tabel di bawah ini agar mempermudah kita mencari jawaban yang tepat.

1

PERIODE

SITUASI DAN KONDISI 
EKONOMI POLITIK

Sebelum Masehi Raja   adalah   utusan   tuhan   di
dunia   sehingga   apa   yang
dikatakannya   adalah   hukum.
Akibat dari keadaan ini banyak
penduduk   sipil   yang   harus
menjadi   budak   dan
diperjualbelikan   seperti   baran;,
buruh  tanpa  ada   jam   kerja  dan
gaji   yang   tidak   layak;   petani
tidak   bertanah   dengan   uang

sewa   lahan   dan   pajak   yang
tinggi. 

RESPON 
MASYARAKAT 
SIPIL

HASIL

Kelompok   buruh   dan
petani   tidak   bertanah
melakukan   pelbagai
perlawanan,   seperti
melakukan mogok kerja
dan   berhenti   membayar
sewa   tanah   untuk
meminta
 
adanya
keadilan kepada raja dan

para
 
bangsawan
pendukungnya.

 hak untuk hidup
 Hak­hak

  kelompok

minoritas
 hak­hak perempuan
 hak­hak anak
 hak   untuk   tidak
ditahan   sewenang­
wenang

Munculah   konsep
pengakuan   hak   dalam
pelbagai   kitab   suci

agama­agama   di   dunia
dan   ketentuan   hukum
Piagam   Medina   dan
Kitab Hamuraby.
Setelah Masehi

Meskipun   telah   muncul
konsep   hak   dalam   kita   suci
agama­agama   di   dunia   dan
aturan   dalam   Hamuraby,





Kelompok   bu­
ruh,   petani   tak
bertanah   dan   bangsa­
bangsa   yang   terjajah


 1215

 ­Magna   Carta,
England
 1400
 ­Code   of

2

namun   kondisi   penindasan
dan   ekploitasi   umat   manusia
oleh kalangan raja masih terus
berlanjut.   Bahkan   praktik­
praktik   semacam   ini   terus
berlanjut   hingga   ke   semua
benua   karena   para   raja   terus
melakukan ekspansi ke benua
Amerika,   Afrika,   Asia   dan
Australia.


Praktek   diskriminasi
terhadap   perempuan   juga
kembali terjadi dan meluas ke
pelbagai belahan dunia

kembali   melakukan
perlawanan   atas
praktik   sewenang­
wenangan   para   raja
dan   bangsawan.
Dengan
membangkang   atas
aturan
 
yang
dikeluarkan   oleh   raja
mereka   menuntut
adanya   perubahan
tentang konsep negara
dan   perlindungan

warga   negara   dari
praktik   kesewenang­
wenangan. 

Buah   dari   per­
juangan   tersebut
munculkan   Magna
Charta   pada   1215.
Magna
 
Charta
memberikan   pemba­
tasan   kekuasaan   raja
terhadap   kepemilikan
atas   tanah   dan
pencabutan uang upeti
hasil pertanian kepada
raja.

Nezahualcoyotl,

Aztec
 1648  ­   Treaty   of
Westphalia,   Europe
 1689 ­ English Bill of

Rights, England
 1776  ­ Declaration of
Independence,   United
States
 1787  ­   United   States
Constitution
 1789
 ­French
Declaration   on   the
Rights of Man and the
Citizen, France
 1791  ­United   States
Bill of Rights
 1863  ­Emancipation
Proclamation,   United

States
 1864­Geneva
Conventions,
International   Red
Cross
 Konsep   hak   untuk
berpartisipasi   aktif

3

Pada   Abad   17,
terjadi
 
revolusi
Prancis
 
yang
mengakhir   kekuasaan
absolut   raja,   dan
selanjutnya buruh dan

rakyat
 
Prancis
membentuk   sebuah
pemerintahan   demo­
kratis   Prancis   dengan
nama
 
Republik
Prancis. Dalam hal ini
mulai
 
muncul
pengakuan   tentang
hak   penduduk   dari
negara.

Abad   18,   terjadi
revolusi   Amerika
dimana   penduduk

yang tinggal di benua
Amerika   mempro­
klamasikan   kemer­
dekaannya
 
dari
Kerajaan   Inggris
Raya.   Kemeredekaan
Amerika
 
juga
mendorong   bangsa
Canada,   Mexico,


dalam
 
proses
pengambilan
keputusan­keputusan
politik.
 Konsep   hak   untuk
menentukan   nasib
sendiri.

4

Brazil,   dan   Argentina
memerdekakan   diri
dari   Prancis,   Spanyol
dan Portugal.

Selain
 
itu
masyarakat   inter­
nasional
 
juga
membentuk   hukum
perang   internasional
sebagai   wujud   dari
penolakan mereka atas
strategi   kotor   yang
dipergunakan   oleh
bangsa­bangsa   eropa
untuk   memenangkan
perang.

Di   Amerika   dan
New   Zealand,   pada
1800   sekelompok
perempuan   berjuang
menuntut   hak   untuk
memilih
 
dalam
pemilu.   Kemenangan
pertama mereka dapat
Di   New   Zealand,
dimana   pada   1893
perempuan di wilayah
tersebut   mendapatkan

5

haknya untuk memilih
dalam pemilu.
Perang Dunia I

Praktik­praktik
penindasan   terhadap   kaum
buruh masih terjadi

Praktik­praktik
penjajahan   oleh   bangsa­
bangsa   Eropa     dan   Jepang
terhadap   bangsa­bangsa   di
Asia,   Afrika,   dan   Australia
masih juga berlanjut

praktik  diskriminasi  dan
kampanye   pemusnahan
terhadap   ras   masih   juga
berlangsung.

Praktek   diskriminasi
terhadap   perempuan   dan
pembatasan   hak   sipil   dan
politik perempuan masih terus
berlanjut


Masyarakat
internasional
membentuk
International   Labor
Organization   (ILO)
untuk
 
melawan
perdagangan   budak
dan   praktik­praktik
kejam terhadap buruh,
petani dan masyarakat
adat.  Selanjutnya ILO
memproduksi
sejumlah   Instrumen
hukum
 
tentang
perlindungan buruh

Masyarakat
internasional   juga
membentuk   Liga
Bangsa Bangsa (LBB)
untuk   mencegah
perang
 
yang
menggunakan   strategi
brutal.

Di   Inggris,
Amerika,   Australia,


 1919

 ­League   of
Nations Covenant
 1926
 ­Slavery
Convention:   Muncul
Konsep   hak­hak   para
buruh   yang   meliputi;
larangan   perbudakan;
kondisi   kerja   yang
baik;   upah   yang
memadai;   jam   kerja
yang   manusiawi;
pelarangan   buruh
anak; dan lain­lain 

6

dan
 
Finlandia
sejumlah   organisasi
perempuan   menuntut
hak   untuk   memilih
dan   dipilih   pada
1900an.    Selanjutnya
1902   dan   1906
pemerintah   Australia
dan
 
Finlandia
memberikan
perempuan
 
hak
pilihnya.   Selanjutnya
Pada   1920   Konggres
USA memberikan hak
memilih   kepada
perempuan   Amerika.
Pada   1928   parlemen
Inggris   memberikan
perempuan   Inggris
hak   memilih   dalam
pemilu. 
Perang Dunia II

Praktik­praktik
penindasan   terhadap   kaum
buruh masih terjadi

Praktik­praktik
penjajahan   oleh   bangsa­


Masyarakat
internasional
membentuk PBB

Masyarakat
internasional   melalui


 1945  ­United Nations

Charter,
 
San
Francisco
 1947 
­Mohandas
Gandhi   uses   non­

7

bangsa   Eropa     dan   Jepang
terhadap   bangsa­bangsa   di
Asia,   Afrika,   dan   Australia
masih juga berlanjut

praktik  diskriminasi  dan
kampanye   pemusnahan
terhadap   ras   masih   juga
berlangsung

PBB   membentuk
Deklarasi   Universal
Hak   Asasi   Manusia
(DUHAM)

Rakyat   India
melakukan
perlawanan   terhadap
pemerintahan   Inggris
pada   pertengahan
1920­an dan kemudian
membebaskan diri dari
pemerintahan   Inggris
pada 1942

Di   Indonesia,
sejak
 
1940an
pergerakan
pembebasan Indonesia
dari  Penjajah Belanda
terus   meluas   dan
kemudian   mencapai
puncaknya   pada
proklamasi
kemerdekaan   pada
1945.     Lima   tahun
kemudian Belanda dan
Sekutu   mengakui
kemerdekaan
Indonesia.

violent   protests
leading   India   to
independence.
 1948
 ­   Universal
Declaration of Human
Rights (December 10)
­American
Declaration   of   the
Rights   and   Duties   of
Man
 Genocide Convention
 1950
 ­European
Convention
 1951
 ­Convention
Relating to the Status
of Refugees
 1959  ­Declaration   on
the Rights of Children

8

Di Benua Afrika,
hal serupa juga terjadi,
meskipun
 
tidak
seluruhnya mengalami
kesuksesan   seperti
negara­negara di Asia.



Perang dingin

Kondisi   dunia   terbagi
dalam   dua   blok,   yakni   blok
Barat   dan   blok   Timur.   Blok
Barat di dukung oleh negara­
negara   seperti   USA,   Prancis,
Inggris,   Spanyol,   Jerman
Barat, dan negara­negara non­
komunis.   Sementara   blok
Timur didukung oleh negara­
negara   seperti   Uni   Soviet,
Yugoslavia,   Jerman   Timur,
China   dan   negara­negara
Eropa bagian Timur Lainnya.

Pertarungan   antara   blok
Barat   dan   Timur   melahirkan
pemerintahan­pemerintahan
otoriter   di   benua   Eropa,
Amerika,   Asia   dan   Afrika.
Baik   pemerintahan   otoriter


Di
 
Afrika
Selatan,   Nelson
Mandela   bersama­
sama
 
dengan
kelompok
 
pro
demokrasi   setempat
mulai
 
melawan
praktek   apartheid   di
negara   mereka   pada
1962. 

Di   Amerika
Latin,   kelompok   pro
demokrasi   di   negara­
negara   tersebut mulai
melakukan
perlawanan   terhadap
pemerintahan   otoriter
pada awal 1970­an. 

Di   Asia,   pada


 1965

 ­International
Convention   on   the
Elimination   of   All
Forms   of   Racial
Discrimination
 1966
 ­International
Covenant on Civil and
Political   Rights
­International
Covenant
 
on
Economic, Social, and
Cultural Rights
 1969 
­American
Convention
 
on
Human Rights
 1973 
­International
Convention   on   the
Suppression   and
Punishment   of   the

9

pro   Timur   dan   pro   Barat
mengekang   kehidupan   sipil,
politik,   ekonomi,   sosial,   dan
budaya   penduduknya   demi
memenangkan   perang   dingin.
Pemerintahan otoriter ini juga
memberlakukan   praktik­
praktik
 
penculikan,
pembunuhan,   penyiksaan   dan
praktik   hukuman   kejam   dan
tidak   manusiawi   terhadap
lawan   politik   ataupun
kelompok pro demokrasi

Praktek   diskriminasi
terhadap
 
kelompok
perempuan   juga   masih
berlanjut  di  Asia,  Afrika  dan
Amerika Latin.

Eksploitasi   terhadap
kaum   buruh,   petani   tidak
bertanah   dan   kaum   miskin
kota   masih   terus   berlanjut   di
negara­negara   Eropa,   Asia,
Afrika, dan Amerika. 

pertengahan   1980­an
kelompok
 
pro
demokrasi   di   negara­
negara   Asia   juga
sedang
 
gencar­
gencarnya   melakukan
perlawanan   terhadap
pemerintahan   otoriter.
Mereka   mendorong
adanya   reformasi   dan
menuntut   adanya
pertanggungjawaban
atas
 
kejahatan­
kejahatan   hak   asasi
manusia   oleh   rezim
otoriter 

Di   Indonesia
gerkan   ini   sendiri
berlangsung   sejak
pertengahan 70­an dan
baru
 
berhasil
meruntuhkan   rezim
otoriter   pada   1998   .
Namun   sayangnya
hingga kini belum ada
satu   pun   pelaku

Crime of Apartheid
­International
Convention   on   the
Elimination
 
of
Discrimination
Against   Women
diadopsi oleh PBB
 1984 
­Konvensi
Internasional
Menentang
Penyiksaan, Hukuman
Keji     tidak   manusiwi
dan   merendahkan
martabat   diadopsi
oleh PBB
 1986 ­African Charter
on   Human   and
People's   Rights
diadopsi   oleh   THE
AFRICAN
COMMISSION   ON
HUMAN   AND
PEOPLES' RIGHTS 
 
 1979 

10

kejahatan   hak   asasi
manusia   di   masa   lalu
yang   dijebloskan   ke
penjara.

pada   awal   1980
organisasi­organisasi
perempuan   kembali
memperjuangkan
tentang   pelarangan
praktik­praktek
kekerasan
 
dan
pelecehan seksual baik
di   dalam   rumah
tangga maupun tempat
bekerja. 
Setelah Perang 
Dingin Berakhir

Negara­negara   komunis
runtuh   dan   kemudian
menimbulkan
 
pelbagai
peristiwa   kekerasan   antar
etnis di sejumlah tempat. 

Selain   itu   pelbagai
peristiwa
 
kelaparan,
kemiskinan,   pengangguran,
anak   putus   sekolah   dan
serangan   penyakit   berbahaya


Memasuki

  1990
terjadi   gelombang
reformasi
 
dan
penyelidikan   atas
kejahatan   hak   asasi
manusia rezim otoriter
di   Benua   Afrika,
Amerika   Latin   dan
Asia.   Kelompok   pro
demokrasi
 
dan

 1983   Convention   on

the Elimination of All
Forms
 
of
Discrimination
against   Women
(CEDAW)
diberlakukan   secara
hukum
 1989 
­International
Convention   on   the

11

juga terjadi di pelbagai negara
eks komunis,.

Akibat
 
kegagalan
program   pembanggunan
ekonomi oleh bank dunia dan
negara­negara   pro   barat   di
benua   Afrika   menyebabkan
pelbagai   krisis   politik   dan
ekonomi   di   kawasan   tersebut
yang   kemudian   melahirkan
Peristiwa kelaparan, serangan
penyakit
 
berbahaya,
pengangguran,   anak   putus
sekolah   dan   semakin
bertambahnya
 
jumlah
penduduk   yang   masuk
kategori orang miskin.

Praktek   diskriminasi
terhadap
 
kelompok
perempuan   juga   masih
berlanjut  di  Asia,  Afrika  dan
Amerika Latin.

Eksploitasi   terhadap
kaum   buruh,   petani   tidak
bertanah   dan   kaum   miskin
kota   masih   terus   berlanjut   di
negara­negara   Asia,   Afrika,
dan Amerika. 

pembela   hak   asasi
manusia   menyerukan
adanya
pertanggungjawaban
atas   praktik   kejahatan
hak   asasi   manusia
oleh   rezim   otoriter   di
selidiki.
pada   awal   1990
organisasi­organisasi
perempuan   di   seluruh
benua
 
kembali
memperjuangkan
gerakan   menentang
praktik­praktek
kekerasan
 
dan
pelecehan seksual baik
di   dalam   rumah
tangga maupun tempat
bekerja. 

Rights of the Child

 1990­Konvensi

Internasional
Perlindungan   Buruh
Migran
 
dan
Keluarganya   diadopsi
oleh PBB
 1998,
 
the
International Criminal
Tribunal   for   Rwanda
dibentuk   oleh   PBB
dan   selanjutnya
memasukkan
kejahatan   perkosaan
sebagai   elemen
kejahatan
 
dari
geoncida   dalam
hukum internasional. 
 2003 The Protocol to
the African Charter on
Human   and   Peoples’
Rights   on   the   Rights
of Women in Africa
 2006,
  Konvensi
Internasional
perlindungan   semua
orang   dari   praktik
penghilang   paksa

12

Eksploitasi
 
dan
perdagangan   manusia   dan
buruh migran terus meningkat
dan meluas ke seluruh benua.
Laporan   tentang   Praktik
kekerasan   dan   pelecehan
seksual terhdap buruh migran
terus meningkat dan menelan
korban yang tidak sedikit



diadopsi oleh PBB
  Konvensi   hak­
hak   orang   dengan
keterbatasan   fisik
permanen   dan   non­
permanen diadop oleh
PBB

 2006

 
Dari paparan tabel diatas dapat kita ketahui bahwa hak asasi manusia itu berasal dari nilai­nilai perjuangan menentang penindasan terhadap umat
manusia yang digelorakan oleh banyak orang di pelbagai belahan dunia. Oleh karena itu keliru besar jika ada orang yang berfikiran bahwa hak
asasi manusia itu adalah berasal dari nilai­nilai barat, karena faktanya dia merupakan buah pemikiran dari banyak nilai dan manusia untuk
mengangkat kehidupan dan martabat manusia.
Apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia?
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan pertama yang kerap dilontarkan oleh banyak orang pada saat pertama kali mendengar istilah hak asasi
manusia. Hak asasi manusia itu sangatlah luas cakupan dan bentuknya sehingga tidak ada upaya dari para pakar hukum internasional untuk
mencoba mendefinisikan hak asasi manusia. Selain untuk menghindari penyempitan cakupan dan bentuknya, upaya untuk tidak mendefinisikan
hak asasi manusia sebagai salah satu cara bagi para pakar hukum internasional untuk membuat hak asasi manusia berkembang sesuai dengan
kebutuhan zaman. Namun untuk memudahkan orang awam dalam memahaminya sejumlah pakar hukum internasional mencoba merumuskan
apa itu hak asasi manusia dari pelbagai sudut pandang namun saling menguatkan (Nowak: 2003). Berikut ini adalah sejumlah rumusan pakar
hukum internasional tentang apa itu yang dimaksud dengan hak asasi manusia:
1) Hak­hak dasar yang memberdayakan manusia untuk membentuk kehidupan mereka sesuai dengan kemerdekaan, kesetaraan, dan rasa
hormat pada martabat manusia

13

2) Hak­hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kolektif yang tertuang dalam pelbagai instrumen hak asasi manusia internasional,
regional dan serta dalam konstitusi setiap negara
3) Satu­satunya sistem nilai yang diakui secara universal dalam hukum internasional saat ini dan terdiri dari elemen liberalisme, demokrasi,
partisipasi populer, keadilan sosial, berkuasanya hukum dan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Berangkat dari rumusan­rumusan tersebut dapat kita katakan bahwa hak asasi manusia memiliki fokus perhatiannya terhadap kehidupan dan
martabat manusia. Artinya adalah hak asasi manusia dibentuk untuk melindungi kehidupan dan martabat manusia dari praktik­praktik sewenang­
wenangan dari negara, penguasa kolonial dan atau kelompok­kelompok non­negara yang memiliki kekuatan setara dengan negara terhadap
penduduk sipil. 
Apakah hak asasi manusia bertentangan dengan agama, nilai­nilai budaya dan adat istiadat lokal?
Sejarah   telah   menunjukkan   bahwa   agama­agama   besar   di   dunia   merupakan   sumber   awal   dari   pemikiran   tentang   hak   asasi   manusia.   Para
perumus hukum Hak asasi manusia mengakui bahwa perkembangan hak asasi manusia selalu merujuk pada seluruh kitab suci agama­agama
samawi (Islam, Katholik, Ptotestan, Budha, dan Hindu) dan agama­agama lainnya. Oleh karena itu para perumus hak asasi manusia tidak melihat
adanya pertentangan antara agama­agama di dunia dengan konsep hak asasi manusia. Bahkan adanya pandangan dominan di sejumlah negara
yang menyebutkan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan kitab suci umat Islam adalah pandangan yang keliru. Karena bagaimanapun
juga   hukum   hak   asasi   manusia   secara   eksplisit   menyebutkan   bahwa   kebebasan   untuk   memeluk   agama,   keyakinan   tertentu   adalah   hak
fundamental sehingga tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.1 
Adanya   pandangan   dominan   di   kalangan   pemerintahan­pemerintahan   dimana   islam   merupakan   agama   mayoritas   bahwa   hukum   hak   asasi
manusia bertentangan dengan hukum sharia'a. Pandangan ini mereka ungkapkan sebagai bentuk respon atas kritik dan kecaman para pengamat,
pekerja, dan ahli hukum hak asasi manusia (terutama yang berasal dari kalangan barat dan sekuler) terhadap buruknya praktik hak asasi manusia
di negara islam. Namun pandangan dominan ini adalah pandangan yang keliru dan salah menempatkan kritik para pengamat, pekerja dan ahli
hukum hak asasi manusia sebagai bukti dari argumen mereka ini. Pada dasarnya kritik para pengamat, pekerja dan ahli hukum hak asasi manusia
bukan diarahkan untuk mengatkan bahwa islam dan hukum shari'a bertentangan dengan hukum hak asasi manusia. Kritik mereka pada dasarnya
diarahkan untuk mengecam pemerintahan­pemerintahan itu sendiri yang cenderung otoriter, anti hak asasi manusia dan dalam tataran tertentu
1

Lihat, Komentar Umum No.22 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Para 1-5.

14

kerap   menggunakan   hukum   sharia'a   sebagai   tameng   untuk   menghindar   dari   tanggungjawab   yang   dibebankan   hukum   hak   asasi   manusia
internasional kepada mereka (Badaawi: 2002).   
Demikian pula dengan nilai budaya dan adat istiadat lokal, hak asasi manusia tidak melihat adanya sebuah pertentangan. Para perumus hak asasi
manusia melihat bahwa adanya praktik­praktik budaya dan adat istiadat yang dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia adalah hal yang
kurang   tepat.   Karena   secara   jelas   disebutkan   dalam   hukum   hak   asasi   manusia   internasional   bahwa   pilihan­pilihan   setiap   individu   ataupu
kelompok untuk menjalankan aktivitas budaya dan adat istiadatnya tidaklah ditentang malah sebaliknya justru dilindungi. Hukum hak asasi
manusia hanya melarang dan mengecam praktik­praktik budaya ataupun ritual yang dijalankan dengan cara dipaksakan kepada orang­orang
yang tidak percaya ataupun tidak meyakini praktik­praktik tersebut.2  
Apakah hak asasi manusia bertentangan dengan konsep kedaulatan negara? 
Pada dasarnya hak asasi manusia mengakui dan menghormati kedaulatan negara. Adanya pandangan­pandangan yang menyebutkan bahwa hak
asasi   manusia   mengganggu   kedaulatan   negara   adalah   hal   yang   keliru   dan   mengada­ada.   Bagaimanapun   juga   Piagam   PBB   Pasal   2   (1)
menyatakan dengan jelas bahwa kesetaraan dan kedaulatan negara sebagai prinsip dasar hukum internasional. Selanjutnya Pasal 2 (7) kembali
menegaskan   adanya   semangat   non­intervensi   dalam   masalah   dalam   negeri.   Oleh   karena   itu   hak   asasi   manusia   secara   jelas   mengakui,
menghormati dan melindungi kedaulatan negara. Bahkan dalam tataran tertentu hukum hak asasi manusia lebih memberikan tanggungjawab
utama terhadap otoritas nasional.  Tak heran jika kemudian prosedur­prosedur pencarian fakta, pelaporan, penerimaan pengaduan individu oleh
Komisi HAM PBB dan tindakan­tindakan yang mengikat yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB, bukanlah dalam rangka menghilangkan
kedaulatan negara( Nowak: 2003). Langkah­langkah ini disusun oleh seluruh anggota PBB dan masyarakat internasional sebagai salah bentuk
kesadaran bersama bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan kepedulian komunitas internasional. 
Selain itu, bahwa prosedur­prosedur yang ada di Komisi HAM dan Dewan Keamanan PBB tidak dapat diambil jika negara yang bersangkutan
tidak memberikan izin atau tidak mengundang. Sehingga dalam banyak kasus prosedur­prosedur tersebut tidak dapat bekerja dengan optimal dan
efektive   karena   banyak   negara­negara   anggota   yang   tidak   memberikan   izin   atau   mengundang   komisi   penyelidik,   pelapor   khusus   ataupun
menolak tuduhan­tuduhan yang dilaporkan oleh warga negaranya kepada Komisi.
2

Ibid.,

15

Bagaimana cara masyarakat dunia memastikan hak asasi manusia itu dapat dinikmati oleh setiap umat manusia?
Setidaknya sejak Perang Dunia Kedua, komunitas internasional membangun standar­standar hukum yang mengikat secara internasional untuk
memastikan setiap manusia di dunia dapat menikmati hak asasi manusia. Setidaknya hingga saat ini, komunitas internasional telah berhasil
membuat sejumlah besar naskah hukum hak asasi manusia baik di tingkat internasional dan regional. Selain itu mereka juga telah membangun
sebuah mekanisme pemantauan dan badan­badan pemantauan internasional dan regional. Bahkan mekanisme dan badan­badan pemantauanya
dilengkapi dengan mandat dan kewenangan untuk melakukan pemantauan dengan pelbagai macam cara, seperti: meminta negara­negara anggota
memberikan laporan secara periodik dan atau jika diminta;  menerima pengaduan antar negara­negara anggota; menerima laporan individu; dan
mengirimkan pelapor khusus ke negara­negara anggota secara reguler.Berikut ini adalah sejumlah instrumen hukum dan badan pemantau hak
asasi internasional dan regional: 
LEVEL

INSTRUMEN

Internasional Sidang rutin tahunan 
Universal Periodic Review
Prosedur Khusus 1503

BADAN PEMANTAU
Dewan   Hak   Asasi
Manusia

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
(Sudah ada 164 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Hak   Asasi
Manusia

Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 
(ICESCR)
(Sudah ada 160 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Hak   Ekonomi,
Sosial, dan Budaya

Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk 
Diskriminasi Rasial (CERD)
(Sudah ada 173 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Penghapusan
Diskriminasi Rasial

Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan(CAT)
(Sudah ada 146 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Menentang
Penyiksaan

16

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap 
Perempuan (CEDAW)
(Sudah ada 185 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Penghapusan
Diskriminasi   Terhadap
Perempuan

Konvensi Hak Anak (CRC)
(Sudah ada 193 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite Hak Anak

Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya 
(ICMWR)
(Sudah ada 41 Negara Pihak, Indonesia belum meratifikasi)

Komite   Perlindungan
Buruh   Migran   dan
Keluarganya

Konvensi Hak­Hak Difabel/Penyandang Cacat (CRPD)
(Sudah ada 51 Negara Pihak, Indonesia sudah tanda tangan 
tetapi belum meratifikasi)

Komite
Difabel

 

Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa Belum ada
(Baru ada 10 Negara Pihak, bisa berlaku bila sudah ada 20 
(Menunggu
Negara Pihak, Indonesia belum meratifikasi)
ratifikasi)
Benua Eropa Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR)
Pengadilan HAM
Pengaduan Antar­Negara
Pengaduan Individual

Hak­Hak

 

20

Dewan Eropa

Piagam Sosial Eropa

Komite Para Menteri

Konvensi Eropa untuk Pencegahan Tindak Penyiksaan (ECPT)

Komite   Eropa   untuk
Pencegahan   Penyiksaan
dan   Perlakuan   atau
Hukuman   yang   Tidak
Manusiawi
 
atau
Merendahkan Martabat

17

Konvensi Kerangka Kerja Eropa untuk Perlindungan Kelompok Komite   Para   Menteri
Minoritas Nasional
dan   dibantu   oleh
Komite Pakar
Piagam Eropa untuk Bahasa Regional dan Minoritas

idem

Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Biomedis

Sekretaris   Jenderal
Dewan   Eropa   dan
Pengadilan HAM Eropa
sebagai penasihat

Badan­badan di luar perjanjian





Benua
Amerika

Komisaris  
Eropa untuk 
HAM 
Komisi Eropa 
Menentang 
Rasisme dan 
Intoleransi 
(ECRI)

Piagam Organisasi Negara Negara Amerika (OAS)

Dewan OAS

Pengaduan Individu

Pengadilan HAM 
Negara Negara Amerika

Konvensi HAM Negara Negara Amerika

Komisi HAM Negara 
Negara Amerika

18

Benua
Afrika

Indonesia

Perjanjian Afrika Terhadap Hak Asasi Manusia dan Rakyat 
(Piagam Banjul)
 Prosedur pelaporan negara
 prosedur pengaduan individu
 prosedur pengaduan antar negara





Komisi Hak 
Manusia dan 
Bangsa Negara 
Negara Afrika
Pengadilan 
Afrika Hak 
Asasi Manusia 
dan Bangsa

Piagam Afrika Tentang Hak Asasi Manusia

Komisi Afrika 
Mengenai Hak Hak 
Manusia dan Bangsa 
Bangsa

Piagam Afrika Tentang Hak dan Kesejahteraan Anak

Komite Ahli Hak Asasi 
Manusia dan 
Kesejahteraan Anak

UUD 1945 Amandement ke II

Tidak ada

UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Komnas HAM

UU No.40/2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial

Komnas HAM 

UU No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM

Komnas HAM, 
Kejaksaan Agung dan 
Pengadilan HAM

UU Ratifikasi:

Tidak ada

19




UU No.11/2005 Tentang Ratifikasi ICESCR
UU No.12/2005 Tentang Ratifikasi ICCPR

Namun demikian perlu untuk diketahui bahwa upaya­upaya komunitas internasional untuk memastikan bahwa seluruh standar dan mekanisme
pemantauan   hak   asasi   manusia   ini   masih   terus   berlanjut   hingga   saat   ini.   Masih   banyaknya   kelemahan­kelemahan   dari   setiap   standar   dan
mekanisme pemantauan menjadi dasar bagi komunitas internasional untuk terus menguatkan seluruh standar dan mekanisme tersebut, termasuk
disini mengembangkan standar­standar baru yang relevan dengan perkembangan ekonomi politik internasional, regional dan nasional.
I.1.2. Teori Dasar Hak Asasi Manusia
Hingga saat ini masih banyak orang­orang di pelbagai tempat, termasuk orang­orang Indonesia, yang melihat hak asasi manusia tak ubahnya
seperti macan ompong. Standar­standar hukum internasional dan nasional hanya menjadi tumpukan dokumen, tanpa bisa menjawab masalah
ketidakadilan yang masih terus dirasakan oleh banyak orang di pelbagai tempat. Namun apakah skeptisme sebagian besar orang­orang ini sudah
berada   pada   tempatnya?   Jawabannya   adalah   tidak   sepenuhnya   benar.   Karena   praktik   penegakan   hak   asasi   manusia   yang   dilakukan   oleh
pemerintahan, termasuk pemerintah Indonesia, tidak sepenuhnya mengikuti teori dasar dan praktik dari hak asasi manusia. Oleh karena itu untuk
dapat menguji seberapa jauh negara­negara di dunia telah secara konsekuen menjalankan hak asasi manusia, ada baiknya jika kita terlebih
dahulu melihat ulang teori dasar dan aplikasi hak asasi manusia. 
Apa saja prinsip dasar hak asasi manusia?
Pada dasarnya aplikasi hak asasi manusia harus merujuk pada tiga prinsip dasar yang telah digariskan oleh para pakar hukum internasional.
Tanpa ketiga prinsip dasar tersebut maka bisa dipastikan bahwa standar­standar hak asasi manusai internasional, regional dan nasional tidak
dapat diaplikasikan atau kalau pun diaplikasi pasti praktiknya akan menyimpang dari teori dasarnya. Para pakar hukum hak asasi manusia
internasional merumuskan tiga prinsip dasar yaitu,  prinsip universal dan tidak dapat dibagi; saling bergantung dan terkait; setara dan non­
diskriminasi.   
Universal dan tidak dapat dibagi maksudnya adalah bahwa hak asasi manusia itu berlaku secara menyeluruh atau dengan kata lain hak asasi
manusia itu harus tetap dilindungi dan dimajukan di setiap negara tanpa memandang sisitem politik, ekonomi, budaya, kekhususan nasional dan

20

regional.3 Oleh karena itu pandangan bahwa hak asasi manusia adalah produk barat atau produk negara­negara kapitalisme atau bertentangan
dengan nilai­nilai ketimuran sudah terbantahkan. 
Selanjutnya prinsip dasar kedua adalah saling terkait dan bergantung. Prinsip kedua ini mensyaratkan bahwa seluruh standar hak asasi manusia
(instrumen) berikut dengan hak­hak yang diakuinya harus dijalankan secara bersamaan. Karena antara instrumen yang satu dengan yang lainnya
serta   antara   hak   yang   satu   dengan   hak   yang   lainnya   itu   saling   terkait   dan   bergantung. 4  Tidak   dibenarkan   praktik­praktik   pengutamaan
penikmatan   instrumen   ataupun   hak   oleh   suatu   negara   dengan   dalih   apapun.   Misalnya   penikmatan   hak   ekonomi,   sosial,   dan   budaya   tidak
dipenuhi jika hak sipil dan politik tidak bisa dinikmati. Demikian halnya dengan penikmatan hak­hak perempuan, anak­anak dan kelompok
minoritas,   kelompok­kelompok khusus ini tidak dapat menikmati hak­hak khusus mereka jika hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya
mereka dibatasi atau dihilangkan. 
Kemudian hak asasi manusia juga memiliki  prinsip setara dan non­diskriminasi, maksudnya adalah bahwa hak asasi manusia itu adalah hak
setiap orang, tanpa memandang latarbelakang ras, suku, agama, bahasa, budaya, jenis kelamin, warna kulit dan afiliasi politik. 5 Oleh karena itu
tidak seorang pun atau kelompok manapun atau pemerintahan model apapun yang dapat menghilangkan hak setiap manusia yang tinggal di
jagad raya ini untuk menikmati hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya dengan dalih apapun dan atau dalam keadaan apapun.    
Siapa yang berkewajiban untuk memastikan hak asasi manusia dapat dinikmati oleh setiap orang?
Dengan pejabaran ketiga prinsip dasar hak asasi manusia ini jelaslah sudah bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, saling bergantung dan
terkait serta menjunjung asas kesetaraan dan non­diskriminasi. Lantas pertanyaan selanjutnya adalah siapa pihak yang berkewajiban untuk
memastikan setiap manusia menikmati hak asasi dan kebebasan dasarnya? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut mari kita lanjutkan
pembahasan kita denggan topik pemangku kewajiban dari pemenuhan penikmatan hak asasi manusia di bawah ini.
Ketika   membicarakan   tentang   siapa   yang   berkewajiban   untuk   memenuhi   penikmatan   hak   asasi   manusia   banyak   pihak,   terutama   pihak
pemerintahan di banyak negara termasuk Indonesia, selalu mencoba mengaburkan pertanyaan tersebut dengan melontarkan pernyataan “bahwa
3

Lihat., Apa itu Hak Asasi Manusia di http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx, diakses 8 April 2009
Ibid.,
5
Ibid.,
4

21

pihak yang berkewajiban mememuni hak asasi manusia adalah semua orang.” Pernyataan ini biasanya mereka lontarkan bukan karena mereka
tidak   memahami   konsep   kewajiban   negara   dalam   hukum   hak   asasi   manusia.   Akan   tetapi   merupakan   bagian   dari   strategi   mereka   untuk
menghindar dari kewajiban­kewajiban mereka atas praktik pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di wilayah teritori mereka. 
  
Pada dasarnya konsep pemangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dalam hukum hak asasi manusia internasional sangatlah jelas yaitu
adalah “negara”. Hampir seluruh instrumen hukum hak asasi manusia internasional, regional, dan nasional selalu menyebutkan di bagian awal
bahwa negara adalah pihak yang memangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia. Penunjukkan oleh hukum hak asasi manusia ini semata­
mata didasari oleh teori hukum internasional yang menempatkan negara sebagai pihak utama dan menentukan dalam keberhasilan penikmatan
hak asasi manusia di seluruh dunia. Bagaimanapun juga negara adalah institusi yang secara politik dan hukum legitimate untuk mengerahkan
seluruh alat­alat kenegaraan guna memastikan seluruh rakyatnya dapat menikmati hak asasi dan kebebasan dasarnya. 6 Selain itu, teori hukum
internasional lainnya juga menyebutkan bahwa agar hukum internasional tidak merusakan kedaulatan sebuah negara, maka hukum internasional
menempatkan negara sebagai pihak yang berkewajiban memastikan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dapat dinikmati semua rakyatnya.7 
Apa saja kewajiban­kewajiban utama negara? 
Pada dasarnya konsep tiga kewajiban ini merujuk pada teori status dari Georg Jellinek, yang mana menjelaskan tentang kewajiban negati dan
kewajiban positif (Nowak: 2003). Kewajiban negatif ini adalah bahwa negara tidak boleh mancampuri atau melakukan intervensi atas hak­hak
sipil warga negara. Sedang kewajiban positif adalah bahwa negara harus mengambil langkah­langkah aktif atau layanan positif terhadap hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Namun demikian sejalan dengan perjalanan waktu tersebut, para pakar hukum internasional melihat bahwa teori
tersebut   sudah   ketinggalan   zaman   atau   tidak   mampu   lagi   mengikuti   dinamika   ekonomi   politik   internasional,   regional,   dan   nasional   yang
mempengaruhi penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar. Dengan mempelajarai pelbagai hambatan penegakan hak asasi manusia seperti kasus
kekerasan   dalam   rumah   tangga,   praktik­praktik   pelanggaran   oleh   pihak   non   negara   (pihak   ketiga),   para   pakar   hukum   internasional
memformulasikan ulang teori kewajiban negara tersebut (Nowak: 2003). Dengan mengatakan bahwa pemisahan kewajiban negatif dan positif
oleh negara saat menjalankan kewajiban yang dibebankan hukum hak asasi manusia membuat banyak orang masih terlanggar hak asasi dan
kebebasan   dasarnya,   para   pakar   kemudian   merumuskan   ulang   kewajiban   tersebut   menjadi  negara   berkewajiban   untuk   menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia secara menyeluruh. (Lihat, Nowak: 2003). Rumusan ini menjadi semakin menguat ketika konsep
6

Lihat Piagam PBB Pasal 2 (1) & (7)
Ibid.,

7

22

ketakterpisahan dan saling bergantung hak asasi manusai telah mendapatkan pengakuan dari 171 negara­negara anggota PBB pada Konferensi
Dunia di Wina 1993, dengan wujud Deklarasi Wina 1993 Dan Program Aksi.   
Apa yang dimaksud dengan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi?
Untuk melihat batasan dari tiga kewajiban tersebut kita memiliki banyak rujukan. Rujukan yang pertama adalah instrumen hukum hak asasi
manusia. Hampir setiap instrumen hak asasi manusia mencantumkan tentang apa yang dimaksud dengan kewajiban menghormati, melindungi
dan memenuhi. Sumber kedua adalah Komentar Umum ataupun Rekomendasi Umum yang dibuat oleh Badan­badan pemantauan perjanjian.
Hampir setiap badan perjanjian selalu membuat penjelasan lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan tiga kewajiban yang dijelaskan di
dalam perjanjian. Penjelasan ini mereka buat agar negara tidak menafsirkan pasal­pasal tersebut sekehendak hatinya. Contohnya adalah baru­
baru   ini   Komite   Hak   Asasi   Manusia   mengeluarkan   Komentar   Umum   No.31   Kovenan   Internasional   Hak   Sipil   dan   Politik   tentang   Sifat
Kewajiban Hukum Umum Negara­negara Pihak pada Kovenan. Dengan menggantikan Komentar Umum No 3, Komite Hak Asasi Manusia
menjelaskan tentang konsep kewajiban negara dalam hal menghormati, melindungi dan memenuhi yang juga harus menyertakan kewajiban
positif dan negatif dalam mengambil tindakan­tindakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak asasi manusia. Sumber ketiga adalah
yurisprudensi   yang   dibuat   oleh   badan­badan   pemantau   perjanjian   ataupun   piagam.   Biasanya   badan­badan   ini   juga   membuat   penjelasan­
penjelasan lebih lanjut tentang tiga kewajiban dasar negara tersebut. Dan sumber yang terakhir adalah pendapat para ahli hukum internasional.
Sejumlah pakar hukum internasional terpercaya diketahui juga kerap membuat rumusan­rumusan tentang kewajiban negara dalam menjalankan
isi perjanjian. Contohnya Limburg dan Prinsip Prinsip Maastrich. 
Dengan merujuk pada sumber­sumber tersebut dapat kita rumuskan tentang apa itu kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi sebagai
berikut:
KEWAJIBAN BATASAN DAN MAKSUD

CONTOH PELAKSANAAN

Menghormati Kewajiban   ini   mengharuskan Untuk hak untuk hidup negara berkewajiban untuk
negara   untuk   menghindari tidak melakukan pembunuhan. 
tindakan­tindakan   intervensi
negara   atau   mengambil Untuk   hak   untuk   mendapatkan   pekerjaan   negara

23

Melindungi

kewajiban negatif

berkewajiban   untuk   tidak   menyingkirkan   orang
dari pasar tenaga kerja

Sedangkan   untuk   kewajiban
melindungi,   negara   harus
mengambil kewajiban positifnya
untuk   menghindari   pelanggaran
hak asasi manusia

Hak untuk hidup, negara harus mencabut produk
undang­undang   yang   masih   membenarkan
hukuman mati

Sementara untuk hak atas pekerjaan negara harus
mencabut   produk   hukum   nasional   yang
Kewajiban   untuk   melindungi membenarkan   penyingkiran   orang   dari   pasar
termasuk pula kewajiban negara tenaga   kerja,   termasuk   disini   membuat   produk
untuk   melakukan   investigasi, hukum baru jika belum memilikinya
penuntutan/penghukuman
terhadap   pelaku,   dan   pemulihan Selain   itu   negara   juga   harus   memastikan   bahwa
bagi   korban   setelah   terjadinya institusi­institusi   tersebut,   termasuk   lembaga
suatu tindak pidana (human righs judisial dapat mengambil tindakan­tindakan yang
abuse)   atau   pelanggaran   HAM diperlukan   guna   mencegah   praktek­praktek
kejahatan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang
(human rights violation)
mana   dapat   membuat   penikmatan   hak   menjadi
terganggu atau terkurangi
Kegagalan   negara   untuk   mengungkap   suatu
kebenaran   (right   to   know),   penuntutan   dan
penghukuman   terhadap   pelaku   (right   to   justice),
dan pemulihan bagi korban (right to reparation)

24

merupakan   suatu   pelanggaran   HAM   yang   baru,
yang sering disebut sebagai impunitas (impunity).
Memenuhi

Untuk   Kewajiban   ini   negara
harus   mengambil   tindakan­
tindakan   legislatif,   administratif,
peradilan   dan   langkah­lain   yang
diperlukan   untuk   memastikan
bahwa   para   pejabat   negara
ataupun   pihak   ketiga   untuk
melaksanakan penghormatan dan
perlindungan hak asasi manusia

Negara   harus   melatih   institusi   kepolisian   dan
militer   tentang   bagaimana   melakukan   tindakan­
tindakan   dalam   melawan   para   pengunjuk   rasa
ataupun kriminal yang agresif secara profesional
dan effisien. 
Sedangkan untuk hak ekonomi, sosial dan budaya,
negara harus memastikan bahwa lembaga­lembaga
pemerintahan   harus   mampu   memberikan
pelayanan   yang   memadai   kepada   warga   negara
dan   warga   asing   dalam   hal   mengakses   fasilitas
kesehatan,   pendidikan,   dan   lapangan   pekerjaan
dengan mudah dan tidak ada diskriminasi.    

Selanjutnya untuk mengukur seberapa serius negara telah menjalankan kewajiban­kewajiban di atas, hukum hak asasi manusia menentukan
indikator­indikator ukuran dari keseriusan dari setiap negara anggota yaitu indikator struktur, proses dan hasil. Indikator­indikator tersebut
disusun untuk menghindari negara anggota yang menjalankan kewajiban utama mereka dengan setengah hati. Ketiga indikator inilah yang
kemudian  menjadi  alat  untuk menganalisis  apakah semua tindakan­tindakan  yang diambil  negara  telah  memenuhi  standar kewajiban  yang
ditentukan oleh hukum hak asasi manusia atau malah sebaliknya. Pertanyaan kemudian apa saja indikator struktur, proses dan hasil itu? Banyak
orang,  bahkan para  pembela  hak asasi manusia  sekalipun,  masih  belum  memahami  tentang  ketiga  indikator  ini.  Kebanyakan  dari mereka
mengira bahwa indikator ini hanya diberlakukan untuk menguji tindakan­tindakan negara dalam menjalankan penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Padahal dengan kembali berpijak pada konsep kewajiban menyeluruh dan keterkaitan antara
instrumen yang satu dengan yang lain, maka ketiga indikator ini juga berlaku terhadap aplikasi seluruh standar hak asasi manusia.  

25

Tapi kembali ke pertanyaan sebelumnya, apa saja indikator struktur, proses dan hasil itu dan bagaimana cara menggunakannya dalam mengukur
tindakan­tindakan negara telah sepenuhnya merujuk pada standar pelaksanaan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi. Untuk dapat
menjawab pertanyaan  tersebut kita perlu merujuk pada dokumen Dokumen Komentar Umum No 3 ICESCR dan Komentar Umum No.31
ICCPR. Kedua dokumen tersebut menjelaskan dengan cukup detail tentang ketiga indikator tersebut.
indikator struktur adalah menyangkut seberapa jauh tindakan­tindakan yang diambil negara pada di level kewajiban melindungi telah mencakup
langkah seperti memasukkan hak ke dalam konstitusi nasional; mengharmonisasi hukum nasional, dan memastikan bahwa hak­hak tersebut
dapat dituntut secara hukum.8  
Kedua dokumen itu juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan  indikator proses, yaitu sejumlah indikator untuk mengukur kualitas dari
tindakan­tindakan yang diambil negara terkait dengan kewajiban memenuhi, seperti apakah tindakan­tindakan tersebut telah mencakup tindakan
legislatif, administratif, peradilan dan tindakan­tindakan yang diperlukan guna memastikan hak asasi dan kebebasan dasar dilaksanakan.9 
Sedangkan untuk  indikator  hasil  adalah merupakan ukuran­ukuran kualitatif dan kuantitatif  atas hasil dari dua langkah sebelumnya, misal
apakah jika negara telah memenuhi indikator struktur dan proses, apakah indikator hasilnya menunjukkan adanya penurunan laporan pengaduan
dari masyarakat terkait dengan praktik pelanggaran yang dilakukan oleh aparatus negara atau pihak ketiga.10 
Untuk lebih jelasnya mari kita simulasikan indikator­indikator diatas seperti yang nampak pada tabel di bawah ini:  
Ilustrasi analisis atas pelaksanaan hak untuk bebas dari penyiksaaan 
Indikator  Menghormati
Struktur

Memenuhi

Melindungi


Apakah   negara   telah
memasukkan   hak   untuk
bebas dari penyiksaaan ke

8

Lihat. Komentar Umum No.31 ICCPR Para 13: Lihat juga Komentar Umum No 3 ICESCR, Para 6; lihat lebih jauh Komentar Umum No 9 ICESCR, Para 3
Lihat. Komentar Umum No.31 ICCPR Para 14-17: Lihat juga Komentar Umum No 3 ICESCR, Para 8; Lihat juga Komentar Umum No 9 ICESCR, Para 7
10
Lihat. Komentar Umum No.31 ICCPR Para 18-19: Lihat juga Komentar Umum No 3 ICESCR, Para 9-12; Lihat juga Komentar Umum No 9 ICESCR, Para 5-8
9

26

dalam konstitusi nasional?
Apakah   hak   asasi   dan
kebebasan   dasar   yang
masuk   dalam   konstitusi
juga
 
memasukkan
ketentuan   bahwa   hak­hak
tersebut   dapat   dituntut
melalui   mekanisme
hukum?
 Apakah   negara   telah
mengharmonisasi   seluruh
produk   hukum   nasional
dengan
 
hukum
internasional yang mereka
ratifikasi?
 dst


Proses

Apakah   negara   telah
menyelenggarakan
pelatihan   dan   pengarahan
kepada   seluruh   aparatus
untuk
 
menghindari
tindakan­tindakan lapangan
yang masuk dalam kategori



27

penyiksaan?
Apakah   negara   telah
menyediakan   buku   saku
hak   asasi   manusia   untuk
aparatus negara?

Apakah   negara   telah
membangun   mekanisme
pengawasan dan pengaduan
yang   effektif   dan   mudah
diakses oleh korban?

dst


Hasil

Apakah