Lelang Jabatan Peluang atau Ancaman Terh
Lelang Jabatan:
Peluang atau Ancaman Terhadap Struktur Birokrasi dan Sistem Karir
di Indonesia?
Pujianto1
170720120028
Magister Administrasi Publik
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
Pada hari Kamis, tanggal 27 Juni 2013 Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)
telah melantik 415 pejabat di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta diantaranya adalah
311 camat dan lurah hasil lelang jabatan yang proses seleksinya telah dimulai sejak bulan
April 2013 yang lalu2. Istilah lelang jabatan ini seolah melekat pada sosok seorang Jokowi
karena masyarakat luas beranggapan bahwa Jokowi merupakan orang yang pertama kali
melaksanakan ini di Indonesia, walaupun kenyataannya sudah ada beberapa instansi yang
pernah melakukan hal serupa seperti di Kabupaten Jembrana sejak tahun 2002, RRI tahun
2005, dan juga Kementerian Keuangan melalui Peraturan menteri Keuangan No.
75/PMK.01/2008 tentang Pengangkatan dalam Jabatan Struktural melalui Pencalonan
Terbuka di Lingkungan Departemen Keuangan3. Lelang Jabatan ala Jokowi ini mungkin
merupakan interpretasi dari konsep keterbukaan yang diusung oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melalui Surat Edaran Nomor 16
Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di
Lingkungan Instansi Pemerintah.
Ada tiga hal yang ingin saya kritisi dari hal-hal tersebut di atas yaitu, pertama lelang
jabatan ala Jokowi dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan, kedua lelang jabatan
dilihat dari sistem birokrasi, dan ketiga lelang jabatan dikaitkan dengan sistem karir PNS di
Indonesia.
Dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Sebagai Ibukota Negara
1
Staf Bagian Hukum dan Kepegawaian Badan Bahasa Kemdikbud; Mahasiswa S-2
Administrasi Publik UNPAD
2 http://www.voaindonesia.com/content/camat-dan-lurah-hasil-lelang-jabatan-2013dilantik. Diakses pada
1 Juli 2013
3 http://www.djkn.depkeu.go.id/content/kepmen/kesekretariatan/2.html. Diakses pada 1
Juli 2013
Kesatuan Republik Indonesia disebutkan bahwa Camat dan wakil camat diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur atas usul walikota/bupati sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-undang yang sama menyebutkan
Lurah dan Wakil Lurah diangkat dan diberhentikan oleh walikota/bupati berdasarkan
pendelegasian wewenang Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dilihat dari kedua pasal tersebut terlihat bahwa lelang jabatan ala Jokowi ini mengecilkan
makna kedua pasal tersebut dimana peran walikota/bupati dalam pengusulan camat dan
pengangkatan lurah tidak terlihat, selain itu camat dan lurah bertanggungjawab kepada
walikota/bupati, lazimnya yang mengangkat camat dan lurah adalah pejabat dimana meraka
bertanggungjawab kepadanya. Dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008
tentang Kecamatan lebih tegas disebutkan bahwa camat diangkat oleh bupati/walikota atas
usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal serupa juga tertuang pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
2005 tentang Kelurahan yang menyebutkan Lurah diangkat oleh bupati/walikota atas usul
camat dari pegawai negeri sipil. Walaupun memang kedua peraturan pemerintah tersebut
tidak berlaku untuk Provinsi DKI Jakarta karena kekhusussannya namun paling tidak ada
semangat yang sama dari Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 yaitu pembagian tugas dan
wewenang yang menunjukkan struktur birokrasi yang jelas. Dari segi pendanaan lelang
jabatan ini menelan biaya sampai 2 miliar rupiah4 yang sebagian besar merupakan honor
untuk 56 assessor yang terlibat dalam proses seleksi padahal dana tersebut tidak ada dalam
perencanaan anggaran. Dilihat dari segi output apakah lelang jabatan ala Jokowi ini bisa
menjamin bahwa pejabat yang lolos seleksi betul-betul yang terbaik? Sedangkan assessor
yang melakukan seleksi merupakan hasil penunjukan sepihak oleh pemerintah provinsi DKI
Jakarta.
Dengan adanya lelang jabatan ini yang juga patut dikhawatirkan adalah mengenai
struktur birokrasi di indonesia yang semakin tidak jelas, bupati dan gubernur dengan
otonomi daerahnya seringkali menentang kebijakan dari pemerintah pusat, hal ini
dikarenakan bupati dan gubernur dipilih langsung oleh rakyat sehingga mempunyai
keegoisan tersendiri dan tidak jarang sikap yang ditunjukkan merupakan sikap partai politik
yang mengusungnya. Soal kebijakan pemerintah mengenai keniakan harga bahan bakar
minyak (BBM) misalnya, paling tidak ada 7 orang bupati/gubernur yang secara terang4
http://www.merdeka.com/jakarta/lelang-jabatan-ala-jokowi-habiskan-anggaran-rp-2m.html. Diakses pada 1 Juli 2013
terangan menolak kenaikan harga BBM bersubsidi yaitu Walikota Malang, Walikota Solo,
Walikota Surabaya, Gubernur Bali, Bupati Tulungagung, Bupati Bangkalan, dan Bupati
Ponorogo, bahkan beberapa diantaranya memimpin langsung aksi demonstrasi 5. Tidak
jarang pula bupati yang “mbalelo” terhadap gubernurnya. Dengan adanya lelang jabatan ini
saya khawatir akan menambah kesemrawutan struktur birokrasi di Indonesia. Mungkin
lurah tidak lagi perlu terlalu patuh sama camat atau walikota/bupati karena mereka menjadi
lurah atas usaha mereka sendiri dan yang mengangkat mereka adalah gubernur. Camatpun
demikian mungkin tidak perlu terlalu patuh sama walikota/bupati karena tidak ada
keterlibatan walikota/bupati dalam upaya dirinya menjadi camat dan yang mengangkat
merekapun adalah gubernur.
Lebih jauh lagi dilihat dari sistem pembinaan karir pegawai negeri sipil, adanya
interpretasi sempit atas konsep keterbukaan menjadi “lelang jabatan” ini bisa jadi menjadi
sebuah kemunduran. Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan Atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 17 Ayat (2)
disebutkan bahwa Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan
berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja dan jenjang
pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat objektif lainnya tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, agama, ras dan golongan. Penjelasan dari pasal tersebut yang dimaksud
dengan syarat objektif lainnya antara lain adalah disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian,
pengalaman, kerjasama dan dapat dipercaya. Sayangnya dalam surat edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2012 tidak
menyebutkan penjelasan tentang syarat obyektif lainnya tersebut. Lelang jabatan terkesan
hanya menekankan pada kompetensi dan prestasi kerja yang diukur melalui serangkaian
seleksi yang dilakukan secara terbuka. Padahal syarat lain yang termuat dalam penjelasan
tersebut tidak kalah pentingnya, dan hal tersebut hanya bisa diketahui apabila ada satu
sistem pembinaan dan pengembangan karir pegawai yang jelas, yaitu manajemen karir yang
terbuka secara keseluruhan proses dan bukan hanya terbuka pada saat lelang jabatan,
sehingga nilai kedisiplinan, kesetiaan, pengabdian, kerjasama, dan dapat dipercaya dapat
terekam dengan jelas selama proses manajemen karir. Syarat-syarat lain tersebut tidak bisa
hanya dibuktikan melalui kelengkapan syarat administrasi berupa bukti kehadiran dan
sebagainya, hasil tes psikologi mungkin akan bisa memberi gambaran mengenai hal
5
http://m.merdeka.com/peristiwa/beranikah-gamawan-pecat-kepala-daerah-ini.html
Diakses pada 1 Juli 2013
tersebut, namun saya yakin juga tidak bisa secara akurat memberikan nilai untuk syaratsyarat lain tersebut.
Di satu sisi sistem lelang ini akan membawa dampak positif karena PNS akan
mempunyai peluang yang lebih banyak untuk menduduki jabatan struktural seperti dikatakan
oleh Kepala BKD DKI Jakarta I Made Karmayoga bahwa Bisa dibilang ini lompat galah
untuk karier PNS, karena dulu sangat kecil kemungkinan PNS dari bidang lain menjadi camat
atau lurah, diketahui bahwa salah seorang yang lolos menjadi seorang camat adalah seorang
dokter gigi yang sebelumnya menjabat sebagai kepala puskesmas6. namun di sisi lain
menuntut pegawai untuk merencanakan serta menggapai kariernya secara mandiri dengan
mencari peluang karir di berbagai tempat yang menurut dia mungkin, inilah yang disebut oleh
Constant D. Beugré7 sebagai protean career atau karir yang bermacam-ragam atau karir yang
berubah-ubah. Walaupun mempunyai dampak positif namun protean career menyimpan
banyak jebakan karena jalur karir yang tidak linier dan bahkan bisa menjadi kacau balau.
“Despite its positive impact, the protean career has some pitfalls. Not all individuals
will fare equally well in the protean career. Most employees are in a weaker bargaining
position in the employment relationship than employers (Van Buren III, 2003). The path
of a protean career is not linear; it can even be chaotic. What then would explain the
extent to which some employees strive in the protean career, whereas others fail?”
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tepat model protean career ini diterapkan untuk
pengembangan karir PNS di Indonesia? Padahal kegagalan seorang PNS dalam membangun
karirnya sangat dipengaruhi oleh peran organisasi, yang artinya kegagalan pegawai dalam
membangun karirnya juga merupakan kegagalan organisasi dalam hal human resource
development.
Menurut Gary Dessler8, dalam pengembangan karir pegawai ada tiga hal yang saling
berhubungan dan saling terkait satu sama lain yaitu individu pegawai, pimpinan, dan
organisasi dimana masing-masing mempunyai peran dalam pengembangan karir pegawai.
Peran pimpinan diantaranya adalah memberikan dukungan dan penilaian pengembangan karir,
6
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/27/083491662/Lompat-Galah-Karier-PNSLewat-Lelang-Jabatan
7 Chapter VI of E-Human Resources Management, Human Resource Portal and the
Protean Career: A Three Factor Model, Hershey, London, Melbourne, Singapore: Idea
Group Publishing, 2005.
8 Manajemen Sumber Daya Manusia, (terj. oleh. Benyamin Molan), Jakarta:
Prenhallindo, 1998.
melakukan diskusi dan memberikan dukungan rencana pengembangan karir, sedangkan peran
organisasi diantaranya adalah memberikan peluang pendidikan/pelatihan dan pengembangan karir,
memberikan informasi karir dan program karir, serta menawarkan beberapa pilihan karir yang sesuai
untuk pegawai yang bersangkutan. Jadi dalam pola karir pegawai tidak bisa organisasi dan
pimpinan lepas tangan sama sekali dalam pengembangan karir pegawainya dan membiarkan
pegawainya mengembangkan karirnya sendiri. Bagi sebagian besar PNS bisa jadi lelang
jabatan ini bagaikan masuk dalam sebuah ruangan yang gelap gulita dimana mereka akan
bingung untuk melangkah, walaupun bagi sebagian lain ini merupakan peluang dimana
mereka akan dengan leluasa menentukan tujuan mereka, bahkan banyak pilihan untuk mereka
menduduki suatu jabatan dengan mengikuti berbagai lelang jabatan.
Ada beberapa poin yang ingin saya simpulkan di sini yaitu pertama, konsep
keterbukaan sebagaimana dicanangkan oleh Kementerian PAN-RB dan juga amanat Undangundang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian hendaknya tidak diterjemahkan secara sempit
hanya pada saat seleksi/lelang jabatan tetapi konsep keterbukaan ditujukan pada keseluruhan
proses manajemen karier. Kedua, birokrasi memang harus dijauhkan dari anggapan “berteletele”, lama, dipersulit, dan sebagainya namun hendaknya tidak mengacaukan struktur
birokrasi yang telah diatur menurut undang-undang. Ketiga, idealnya pengetahuan dan
ketrampilan seseorang berbanding lurus dengan pendidikan seseorang oleh karena itu dalam
penerimaan CPNS dicantumkan syarat jenis dan jenjang pendidikan untuk menduduki jabatan
tertentu, demikian juga dalam jabatan struktural hendaknya ada jenis dan jenjang pendidikan
juga harus menjadi syarat yang menentukan seseorang untuk menduduki jabatan struktural
tertentu. Jika semua jenis pendidikan bisa menduduki semua jabatan struktural, dalam
penerimaan CPNS-pun seharusnya juga menganut hal yang sama.
Peluang atau Ancaman Terhadap Struktur Birokrasi dan Sistem Karir
di Indonesia?
Pujianto1
170720120028
Magister Administrasi Publik
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
Pada hari Kamis, tanggal 27 Juni 2013 Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)
telah melantik 415 pejabat di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta diantaranya adalah
311 camat dan lurah hasil lelang jabatan yang proses seleksinya telah dimulai sejak bulan
April 2013 yang lalu2. Istilah lelang jabatan ini seolah melekat pada sosok seorang Jokowi
karena masyarakat luas beranggapan bahwa Jokowi merupakan orang yang pertama kali
melaksanakan ini di Indonesia, walaupun kenyataannya sudah ada beberapa instansi yang
pernah melakukan hal serupa seperti di Kabupaten Jembrana sejak tahun 2002, RRI tahun
2005, dan juga Kementerian Keuangan melalui Peraturan menteri Keuangan No.
75/PMK.01/2008 tentang Pengangkatan dalam Jabatan Struktural melalui Pencalonan
Terbuka di Lingkungan Departemen Keuangan3. Lelang Jabatan ala Jokowi ini mungkin
merupakan interpretasi dari konsep keterbukaan yang diusung oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melalui Surat Edaran Nomor 16
Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di
Lingkungan Instansi Pemerintah.
Ada tiga hal yang ingin saya kritisi dari hal-hal tersebut di atas yaitu, pertama lelang
jabatan ala Jokowi dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan, kedua lelang jabatan
dilihat dari sistem birokrasi, dan ketiga lelang jabatan dikaitkan dengan sistem karir PNS di
Indonesia.
Dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Sebagai Ibukota Negara
1
Staf Bagian Hukum dan Kepegawaian Badan Bahasa Kemdikbud; Mahasiswa S-2
Administrasi Publik UNPAD
2 http://www.voaindonesia.com/content/camat-dan-lurah-hasil-lelang-jabatan-2013dilantik. Diakses pada
1 Juli 2013
3 http://www.djkn.depkeu.go.id/content/kepmen/kesekretariatan/2.html. Diakses pada 1
Juli 2013
Kesatuan Republik Indonesia disebutkan bahwa Camat dan wakil camat diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur atas usul walikota/bupati sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-undang yang sama menyebutkan
Lurah dan Wakil Lurah diangkat dan diberhentikan oleh walikota/bupati berdasarkan
pendelegasian wewenang Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dilihat dari kedua pasal tersebut terlihat bahwa lelang jabatan ala Jokowi ini mengecilkan
makna kedua pasal tersebut dimana peran walikota/bupati dalam pengusulan camat dan
pengangkatan lurah tidak terlihat, selain itu camat dan lurah bertanggungjawab kepada
walikota/bupati, lazimnya yang mengangkat camat dan lurah adalah pejabat dimana meraka
bertanggungjawab kepadanya. Dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008
tentang Kecamatan lebih tegas disebutkan bahwa camat diangkat oleh bupati/walikota atas
usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal serupa juga tertuang pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
2005 tentang Kelurahan yang menyebutkan Lurah diangkat oleh bupati/walikota atas usul
camat dari pegawai negeri sipil. Walaupun memang kedua peraturan pemerintah tersebut
tidak berlaku untuk Provinsi DKI Jakarta karena kekhusussannya namun paling tidak ada
semangat yang sama dari Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 yaitu pembagian tugas dan
wewenang yang menunjukkan struktur birokrasi yang jelas. Dari segi pendanaan lelang
jabatan ini menelan biaya sampai 2 miliar rupiah4 yang sebagian besar merupakan honor
untuk 56 assessor yang terlibat dalam proses seleksi padahal dana tersebut tidak ada dalam
perencanaan anggaran. Dilihat dari segi output apakah lelang jabatan ala Jokowi ini bisa
menjamin bahwa pejabat yang lolos seleksi betul-betul yang terbaik? Sedangkan assessor
yang melakukan seleksi merupakan hasil penunjukan sepihak oleh pemerintah provinsi DKI
Jakarta.
Dengan adanya lelang jabatan ini yang juga patut dikhawatirkan adalah mengenai
struktur birokrasi di indonesia yang semakin tidak jelas, bupati dan gubernur dengan
otonomi daerahnya seringkali menentang kebijakan dari pemerintah pusat, hal ini
dikarenakan bupati dan gubernur dipilih langsung oleh rakyat sehingga mempunyai
keegoisan tersendiri dan tidak jarang sikap yang ditunjukkan merupakan sikap partai politik
yang mengusungnya. Soal kebijakan pemerintah mengenai keniakan harga bahan bakar
minyak (BBM) misalnya, paling tidak ada 7 orang bupati/gubernur yang secara terang4
http://www.merdeka.com/jakarta/lelang-jabatan-ala-jokowi-habiskan-anggaran-rp-2m.html. Diakses pada 1 Juli 2013
terangan menolak kenaikan harga BBM bersubsidi yaitu Walikota Malang, Walikota Solo,
Walikota Surabaya, Gubernur Bali, Bupati Tulungagung, Bupati Bangkalan, dan Bupati
Ponorogo, bahkan beberapa diantaranya memimpin langsung aksi demonstrasi 5. Tidak
jarang pula bupati yang “mbalelo” terhadap gubernurnya. Dengan adanya lelang jabatan ini
saya khawatir akan menambah kesemrawutan struktur birokrasi di Indonesia. Mungkin
lurah tidak lagi perlu terlalu patuh sama camat atau walikota/bupati karena mereka menjadi
lurah atas usaha mereka sendiri dan yang mengangkat mereka adalah gubernur. Camatpun
demikian mungkin tidak perlu terlalu patuh sama walikota/bupati karena tidak ada
keterlibatan walikota/bupati dalam upaya dirinya menjadi camat dan yang mengangkat
merekapun adalah gubernur.
Lebih jauh lagi dilihat dari sistem pembinaan karir pegawai negeri sipil, adanya
interpretasi sempit atas konsep keterbukaan menjadi “lelang jabatan” ini bisa jadi menjadi
sebuah kemunduran. Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan Atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 17 Ayat (2)
disebutkan bahwa Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan
berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja dan jenjang
pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat objektif lainnya tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, agama, ras dan golongan. Penjelasan dari pasal tersebut yang dimaksud
dengan syarat objektif lainnya antara lain adalah disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian,
pengalaman, kerjasama dan dapat dipercaya. Sayangnya dalam surat edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2012 tidak
menyebutkan penjelasan tentang syarat obyektif lainnya tersebut. Lelang jabatan terkesan
hanya menekankan pada kompetensi dan prestasi kerja yang diukur melalui serangkaian
seleksi yang dilakukan secara terbuka. Padahal syarat lain yang termuat dalam penjelasan
tersebut tidak kalah pentingnya, dan hal tersebut hanya bisa diketahui apabila ada satu
sistem pembinaan dan pengembangan karir pegawai yang jelas, yaitu manajemen karir yang
terbuka secara keseluruhan proses dan bukan hanya terbuka pada saat lelang jabatan,
sehingga nilai kedisiplinan, kesetiaan, pengabdian, kerjasama, dan dapat dipercaya dapat
terekam dengan jelas selama proses manajemen karir. Syarat-syarat lain tersebut tidak bisa
hanya dibuktikan melalui kelengkapan syarat administrasi berupa bukti kehadiran dan
sebagainya, hasil tes psikologi mungkin akan bisa memberi gambaran mengenai hal
5
http://m.merdeka.com/peristiwa/beranikah-gamawan-pecat-kepala-daerah-ini.html
Diakses pada 1 Juli 2013
tersebut, namun saya yakin juga tidak bisa secara akurat memberikan nilai untuk syaratsyarat lain tersebut.
Di satu sisi sistem lelang ini akan membawa dampak positif karena PNS akan
mempunyai peluang yang lebih banyak untuk menduduki jabatan struktural seperti dikatakan
oleh Kepala BKD DKI Jakarta I Made Karmayoga bahwa Bisa dibilang ini lompat galah
untuk karier PNS, karena dulu sangat kecil kemungkinan PNS dari bidang lain menjadi camat
atau lurah, diketahui bahwa salah seorang yang lolos menjadi seorang camat adalah seorang
dokter gigi yang sebelumnya menjabat sebagai kepala puskesmas6. namun di sisi lain
menuntut pegawai untuk merencanakan serta menggapai kariernya secara mandiri dengan
mencari peluang karir di berbagai tempat yang menurut dia mungkin, inilah yang disebut oleh
Constant D. Beugré7 sebagai protean career atau karir yang bermacam-ragam atau karir yang
berubah-ubah. Walaupun mempunyai dampak positif namun protean career menyimpan
banyak jebakan karena jalur karir yang tidak linier dan bahkan bisa menjadi kacau balau.
“Despite its positive impact, the protean career has some pitfalls. Not all individuals
will fare equally well in the protean career. Most employees are in a weaker bargaining
position in the employment relationship than employers (Van Buren III, 2003). The path
of a protean career is not linear; it can even be chaotic. What then would explain the
extent to which some employees strive in the protean career, whereas others fail?”
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tepat model protean career ini diterapkan untuk
pengembangan karir PNS di Indonesia? Padahal kegagalan seorang PNS dalam membangun
karirnya sangat dipengaruhi oleh peran organisasi, yang artinya kegagalan pegawai dalam
membangun karirnya juga merupakan kegagalan organisasi dalam hal human resource
development.
Menurut Gary Dessler8, dalam pengembangan karir pegawai ada tiga hal yang saling
berhubungan dan saling terkait satu sama lain yaitu individu pegawai, pimpinan, dan
organisasi dimana masing-masing mempunyai peran dalam pengembangan karir pegawai.
Peran pimpinan diantaranya adalah memberikan dukungan dan penilaian pengembangan karir,
6
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/27/083491662/Lompat-Galah-Karier-PNSLewat-Lelang-Jabatan
7 Chapter VI of E-Human Resources Management, Human Resource Portal and the
Protean Career: A Three Factor Model, Hershey, London, Melbourne, Singapore: Idea
Group Publishing, 2005.
8 Manajemen Sumber Daya Manusia, (terj. oleh. Benyamin Molan), Jakarta:
Prenhallindo, 1998.
melakukan diskusi dan memberikan dukungan rencana pengembangan karir, sedangkan peran
organisasi diantaranya adalah memberikan peluang pendidikan/pelatihan dan pengembangan karir,
memberikan informasi karir dan program karir, serta menawarkan beberapa pilihan karir yang sesuai
untuk pegawai yang bersangkutan. Jadi dalam pola karir pegawai tidak bisa organisasi dan
pimpinan lepas tangan sama sekali dalam pengembangan karir pegawainya dan membiarkan
pegawainya mengembangkan karirnya sendiri. Bagi sebagian besar PNS bisa jadi lelang
jabatan ini bagaikan masuk dalam sebuah ruangan yang gelap gulita dimana mereka akan
bingung untuk melangkah, walaupun bagi sebagian lain ini merupakan peluang dimana
mereka akan dengan leluasa menentukan tujuan mereka, bahkan banyak pilihan untuk mereka
menduduki suatu jabatan dengan mengikuti berbagai lelang jabatan.
Ada beberapa poin yang ingin saya simpulkan di sini yaitu pertama, konsep
keterbukaan sebagaimana dicanangkan oleh Kementerian PAN-RB dan juga amanat Undangundang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian hendaknya tidak diterjemahkan secara sempit
hanya pada saat seleksi/lelang jabatan tetapi konsep keterbukaan ditujukan pada keseluruhan
proses manajemen karier. Kedua, birokrasi memang harus dijauhkan dari anggapan “berteletele”, lama, dipersulit, dan sebagainya namun hendaknya tidak mengacaukan struktur
birokrasi yang telah diatur menurut undang-undang. Ketiga, idealnya pengetahuan dan
ketrampilan seseorang berbanding lurus dengan pendidikan seseorang oleh karena itu dalam
penerimaan CPNS dicantumkan syarat jenis dan jenjang pendidikan untuk menduduki jabatan
tertentu, demikian juga dalam jabatan struktural hendaknya ada jenis dan jenjang pendidikan
juga harus menjadi syarat yang menentukan seseorang untuk menduduki jabatan struktural
tertentu. Jika semua jenis pendidikan bisa menduduki semua jabatan struktural, dalam
penerimaan CPNS-pun seharusnya juga menganut hal yang sama.