Pemilihan Presiden dalam Islam dan Hukum (1)

Hukum Islam dalam Konstitusi di Iran dan Pakistan
Oleh : Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
A. Pendahuluan
Islam adalah way of life yang bersifat universal, ia tidak tersekat oleh gunung-gunung
batu di Jazirah Arabia, ia juga tidak tertahan oleh zaman di mana keledai dan onta menjadi
tunggangan. Islam senantiasa selaras dengan segala tempat dan zaman, di mana masih ada
manusia dan kehidupan di sana Islam akan senantiasa diamalkan. Ketika Islam dihadapkan
pada masyarakat tradisional ia akan hadir dengan sisi ketradisionalannya, demikian juga
ketika ia dihadapkan dengan masyarakat metropolitan maka Islam hadir elegan di tengah
masyarakat yang memiliki ketinggian peradaban. Demikianlah Islam, ia adalah jalan hidup
seluruh manusia yang bertakwa, Ia hadir di antara rimbunnya belantara, hingga di antara
gempita gedung pencakar langit kota.
Islam dengan sistem hukumnya juga telah masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan,
dari masalah remeh-temeh semisal urusan buang hajat, hingga masalah besar semisal urusan
negara dan pemerintahan. Hukum Islam ada pada masalah-masalah individual insan, ia juga
ada pada masalah-masalah kenegaraan dan pemerintahan. Sistem hukum Islam mengatur
seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk dalam masalah pemerintahan dan kenegaraan.
Sehingga ketika hukum Islam menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sebuah undang-undang
maka hal tersebut bukanlah suatu keanehan, bahkan sudah selayaknya sebagai sistem hukum
yang syamil wa kamil, hukum Islam menjadi pedoman dalam permasalahan negara dan
pemerintahan.

Realitas sejarah membuktikan bahwa hukum Islam telah mengatur permasalahan
kenegaraan, disepakatinya Piagam Madinah adalah bukti nyata bagaimana hukum Islam
menjadi basis bagi sebuah perundang-undangan sebuah negara berdaulat. Toleransi kepada
setiap penganut kepercayaan, hingga rasa kebangsaan diatur begitu sempurna dalam hukum
Islam. Hal ini menjadi pedoman bagi pemerintahan sesudahnya, dari mulai masa empat
Khulafa Ar-Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Keempat khalifah tersebut telah menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam
menjalankan roda pemerintahan1. Demikian pula masa-masa kerajaan setelahnya dari Dinasti
Ummayah, Dinasti Abbasiyah hingga Dinasti Utsmaniyyah semuanya menjadikan Islam
sebagai pedoman dalam mengurus negara dan pemerintahan. Mereka semuanya menjadikan
1

Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Rahiq Al-Makhtum, Kuwait : Jum’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami

hukum Islam sebagai norma dan sistem konstitusi negara. Norma-norma Islam terkodifikasi
dalam setiap rumusan perundang-undangan sebagaimana sistem hukum Islam menjadi
pedoman dalam setiap pengambilan keputusan.
Mempelajari sejarah umat Islam dengan sistem kenegaraannya yang didasarkan kepada
sistem hukum Islam memberikan satu hikmah yang sangat berharga, salah satu diantaranya
adalah bahwa sistem hukum Islam mencakup aturan-aturan yang berkenaan dengan negara

dan pemerintahan. Maka tidaklah mengherankan ketika umat Islam yang diwakili oleh para
ulama-nya senantiasa memperjuangkan Islam sebagai pedoman hidup dalam berbangsa dan
bernegara. Mereka mengorbankan harta, tenaga, pikiran dan nyawa untuk tegaknya
pemerintahan yang berlandaskan hukum Islam. Mereka telah mewariskan sistem hukum
Islam sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara, maka sudah selayaknya umat Islam
menyambut dan mengaplikasikan hasil jerih payah perjuangan pada pendahulu kita yang
shaleh dalam rangka menegakan izzul Islam wal muslimin.
Namun realitas yang terjadi adalah umat Islam tidaklah seluruhnya memahami dan
menerapkan warisan ini. Bisa jadi pengalaman dijajah oleh bangsa kolonial telah menjadikan
umat Islam merasa tidak nyaman, akibatnya banyak sekali negeri-negeri umat Islam yang
tidak menjadikan hukum Islam sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara. Negeri-negeri
ini lebih bangga dengan dasar negara yang digali dari nilai-nilai selain dari Islam, bahkan
sebagiannya bangga dengan sistem demokrasi yang dipasarkan oleh negara-negara bukan
Islam. Hanya beberapa negara di dunia ini yang berani dengan tegas mencantumkan hukum
Islam sebagai dasar negara atau konstitusi pemerintahan.
Di antara sedikit dari negara yang mencantumkan hukum Islam sebagai dasar
konstitusinya adalah Iran dan Pakistan. Keduanya telah menjadikan Islam sebagai dasar
negara dan mencantumkannya dalam konstitusi mereka. Apakah semuanya berjalan sesuai
dengan yang diharapkan? Fakta yang ada adalah bahwa Pakistan selalu dilanda konflik dan
kerusuhan, sementara Iran menjadi satu icon perjuangan umat Islam yang selalu berada di

tengah-tengah konflik antara sunni-syi’i. Kemudian, bagaimana sebenarnya masuknya hukum
Islam ke dalam konstitusi di Iran dan Pakistan? Apa saja yang melatarbelakangi terbentuknya
Republik Islam Iran (RII) dan Republik Islam Pakistan (RIP)? Bagaimana karakteristik
konstitusi masing-masing negara? Apakah keduanya memiliki persamaan dan perbedaan
dalam konstitusi mereka? makalah ini akan mengkaji mengenai eksistensi dan kontribusi
Hukum Islam dalam konstitusi di Republik Islam Iran (RII) dan Republik Islam Pakistan
(RIP).

B. Pengertian Hukum Islam dan Konstitusi
1. Hukum Islam
Sebelum mengkaji mengenai hukum Islam dalam konstitusi, maka terlebih dahulu kita
harus memahami apa yang dimaksud dengan hukum Islam. Hukum Islam dalam wujudnya
terdiri dari syariah, fiqh dan qanun. Ketiganya memilik karakteristik masing-masing yang
saling berdiri sendiri, walaupun demikian ketiga istilah ini tercakup dalam Hukum Islam
yang dipahami saat ini. M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan “Istilah hukum Islam
walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari
Fiqh Islam atau Syariat Islam”.2 Dalam pandangan beliau, hukum Islam dipahami sebagai
fiqh dan syariah Islam. Tentu saja pemahaman ini tidaklah salah karena term hukum Islam
memang tidak dikenal dalam khazanah Islam Timur Tengah.3
Bila merujuk kepada kata syariah maka menurut bahasa adalah ‫الوارد‬


(al-warid) yang

berarti jalan, dikatakan pula ‫ نااوحاااا الاااماااء‬yaitu tempat keluarnya (mata) air.4 Al-Raghib
menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang. Dikatakan : ‫شرعت له‬
‫( نهجا‬aku mensyariatkan padanya sebuah jalan),‫ الشريعة‬al-syari'ah bisa pula bermakna sebuah
tempat di tepi pantai. Manna' Khalil Al-Qathan mencatat bahwa syariat pada asalnya menurut
bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orangorang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu karena
tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan keselamatan/kesehatan badan, demikian
juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkankan manusia kepada kebaikan, padanya ada
kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka5 Lafadz "syariah" terdapat dalam beberapa
ayat Al-Qur'an yaitu QS Al-Jatsiyah: 18, QS Asy-Syura: 13, dan QS Al-Syura: 21
Secara terminologi/istilah, syariat adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalahmasalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan
sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang
disyariatkan Allah kepada para hambaNya.6 Pendapat ini selaras dengan yang disampaikan
oleh Ibnu Mandzur:
‫والشريعةة والررشررعةة ما س رأن الله من الرردين وأ أأمر به كالصوم والصلة والحج والزكاة وسائر أأعمال البررر‬

2


M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986. hlm. 44.
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.
4
Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII, hlm. 86
5
Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah
Wahbah, 2001, hlm. 13.
6
Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith, hlm. 732.
3

Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti puasa,
shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.7
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa
syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan
oleh utusan/RasulNya kepada para hambanya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal,
hukumNya dinamakan syar'an.8 Mahmud Syalthut mendefinisikan syariah dengan "Sebuah
nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk
ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan
Allah dan antar sesama manusia."9

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum Islam dalam literatur klasik adalah syariah
Islam, yaitu "Seluruh peraturan dan tata cara kehidupan dalam Islam yang diperintahkan oleh
Allah ta'ala yang termaktub di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah". Kemudian seiring dengan
perkembangan zaman ia juga bermakna fiqh Islam yang berarti bagian-bagian Islam yang
mengkaji mengenai peribadahan hamba kepada Allah ta’ala. Selanjutnya seiring penerimaan
negeri-negeri muslim terhadap konsep pemerintahan Eropa maka munculah istilah qanun
(perundang-undangan), sehingga saat ini hukum Islam juga mencakup perundang-undangan
yang mengandung nilai-nilai Islam (Qanun Al-Islami).
2. Konstitusi Negara
Konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa perancis “Constituer” yang artinya
membentuk. Dalam kaitan ini, konstitusi diartikan sebagai pembentuk negara. Dalam Bahasa
Belanda Konstitusi disamakan dengan istilah Grundwet. Pengertian konstitusi juga bisa
diartikan sebagai peraturan dasar yang mengikat. Kata ini dalam bahasa latin adalah
gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti
“bersama dengan.....”,sedangkan Statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja
pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat
sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”.Dengan demikian bentuk tunggal
“contituio” berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak
“constutisiones” berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Pengertian konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada pengertian UUD,

tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik
istilah Contitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturanperaturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara7

Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.
Manna' Khalil Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa manhajan, hlm. 14.
9
Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
8

cara bagaimana sesuatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat.10 Maka dapat
disimpulkan bahwa konstitusi adalah seperangkat peraturan yang bersifat mendasar yang
diberlakukan dan dipedomani oleh seluruh warga negara tertentu.
C. Sejarah Republik Islam Iran
Bangsa Iran berasal dari Ras Arya yang merupakan salah satu ras Indo-European.
Migrasi bangsa Arya ke berbagai belahan bumi seperti ke Asia kecil dan India dimulai pada
2.500 SM. Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM, pada masa itu terdapat 2
kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran. Pada abad 550, Cyrus
the Great berhasil merebut dua kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil
memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid
hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander the Great menaklukkan Dinasti Achaemenid.

Pada masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) menjalin hubungan dengan Cina dan Roma
yang dikenal dengan perdagangan sutranya (Silk Road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid
mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian.
Setelah peperangan selama 4 abad, seiring dengan memudarnya Kerajaan Romawi,
Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil
menyebarkan agama Islam. Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan
Arab, Turks dan Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti
Samanid. Pada abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan
dalam bidang kerajinan dan pembuatan karpet.11
Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim Khan
Zand yang mendirikan Dinasti Zand di Selatan. Di sebelah Utara, Suku Qajar berhasil
mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar hingga abad 19 dengan Rajanya
yang terakhir bernama Ahmad Shah. Pada tahun 1921, terjadi kudeta militer yang dipimpin
oleh Reza Shah Pahlevi yang kemudian menjatuhkan Ahmad Shah dan mengangkat dirinya
sebagai Raja Iran. Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta hingga
terjadi Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada 1979. Sejak saat
itulah Iran mendakwakan negaranya menggunakan konstitusi berdasarkan hukum Islam.

D. Hukum Islam dalam Konstitusi di Republik Islam Iran
10

11

Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hal. 95.
http://ekoteguh23.blogspot.com/2010/10/sejarah-singkat-negara-iran.html akses 06 Desember 2012

Revolusi Iran yang dipimpin oleh Imam Khumaini pada tahun 1979 menjadi titik awal
bagi penerapan hukum Islam di Iran. Munculnya ideologi negara berdasarkan Agama Islam
Madzhab Syi’ah Imam 12 (Ja’fari) menjadi fenomena yang mendapat perhatian dunia
internasional. Untuk melaksanakan hukum Islam secara kaafah diciptakan sistem Velayat-e
Faqih atau Wilayatul Faqih (supremasi kaum ulama) di mana seorang pemimpin agama
memiliki hak untuk memberikan fatwa keagamaan dan sekaligus memegang kekuasaan
tertinggi dalam masalah ketatanegaraan. Marja-e Taqlid (ulama senior) memiliki wewenang
untuk memberikan fatwa hukum kepada seluruh warga negara yang tersebar di berbagai
wilayah. Jumlah Marja-e Taqlid di Iran sebanyak 8 orang, Imam Khomeini yang merupakan
Pemimpin Revolusi Islam Iran 1979 kemudian dikukuhkan dalam Konstitusi sebagai
Ayatollah Uzma yang berkedudukan sebagai Rahbar yang berkuasa di bidang politik
sekaligus bidang keagamaan (sebagai Marja-e Taqlid). Hukum tertinggi adalah Konstitusi
Republik Islam Iran yang disahkan pertama kali oleh Majelis Ahli tanggal 15 November 1979
dan diamandemen pada Juli 1989. Konstitusi inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan
berbagai kebijakan kenegaraan Republik Islam Iran.

Catatan paling awal yang menceritakan penulisan rumusan UUD RII disebutkan oleh
Sayyid Sadegh Thabathabai. Ia termasuk keluarga dekat Imam Khomeini dan salah seorang
aktivis pergerakan mahasiswa di luar negeri. Ia menyebutkan: ”Pada akhir musim gugur dan
pada awal musim dingin tahun 1358 H.S, pada malam yang dingin, Imam Khomeini
memanggil saya, DR. Habibi dan Ayatullah Muhammad Baghir Thabathabai. Selain
menyampaikan masalah penting dan keharusan penulisan UUD, Imam Khomeini juga
memberikan perintah untuk menuliskan rumusannya. Untuk itu, penulisan ini dilimpahkan
kepada DR. Habibi (karena pengetahuannya tentang hukum lebih dari yang lain) dan
Ayatullah Muhammad Baghir Thabathabai dengan alasan pikiran-pikiran fikihnya dekat
dengan cara pandang Imam”.
“Beberapa pekan setelah perintah tersebut, secara kontinyu siang dan malam, penulisan
rumusan UUD akhirnya selesai. Dan setelah melakukan diskusi dan negosiasi dengan Imam
dalam masalah rumusan UUD akhirnya pandangan umum Imam Khomeini termuat di
dalamnya. Rumusan UUD kemudian diperlihatkan kepada sejumlah marja’ (mujtahid) di
Iran. Naskah lainnya diberikan kepada para tokoh agama dan partai-partai politik yang ada.
Diharapkan dari naskah yang ada, dilakukan pengkajian lebih lanjut.”
Sayyid Sadegh Thabathabai, menceritakan peristiwa bersejarah tersebut yang
merupakan titik awal perumusan konstitusi Iran menuju negara baru. Saat itu, pasca revolusi,
Imam Khomeini mengeluarkan perintah tentang perlu dan keharusan adanya Undang-Undang


Dasar. Akhirnya di godoklah pembuatan konstitusi oleh ulama ahli hukum Islam dan
intelektual yang ahli dalam hukum modern, sehingga selesailah lima buah draft UUD. Kelima
buah draft tersebut masing-masing ditulis oleh Dewan Garda, oleh pemerintahan sementara
Iran, oleh sekelompok ahli hukum yang dipimpin oleh DR. Naser Katuziyan, oleh Dewan
Revolusi, dan terakhir oleh Dewan Pakar. Anehnya, kelima draft UUD tersebut tidak satupun
yang memuat kata wilayah al-faqih, yang sejak awal merupakan cita-cita politik Imam
Khumaini. Tetapi lebih anehnya lagi, Imam Khumaini yang dinobatkan sebagai penguasa
tertinggi tidak memberikan komentar negatif atas fenomena tersebut, dan tidak menggunakan
wewenangnya untuk mengebiri draft tersebut agar diarahkannya pada konsep wilayah alfaqih, padahal beliau mengkritisi hampir tiap bait susunan UUD tersebut yang menurut beliau
tidak sesuai dengan cita-cita politik Islam. Bahkan, Dewan Revolusi (shura enqelabi) yang
beranggotakan ulama pendukung teras Revolusi Islam, seperti Sayid Husaini Beheshti,
Bahonar, Ali Akbar Rafsanjani, Sayid Ali Khamanei, juga tidak memberikan catatan untuk
memasukkan Wilayatul Faqih sebagai fondasi Negara Iran. Hal itu berlanjut sampai tahap
final perumusan draft untuk disahkan menjadi UUD.
Salah seorang penulis draft UUD tersebut, Sahabi, menginformasikan bahwa sebelum
pembukaan sidang penetapan UUD RII pada Dewan Pakar penetapan UUD dan dalam
pertemuan anggota Dewan Pakar dengan Imam Khomeini di Qom tidak ada disinggung
tentang masalah wilayah al-faqih. Tidak dimasukkannya wilayat al-faqih pada kelima draft
rancangan UUD RII menimbulkan asumsi di masyarakat luas bahwa Wilayatul Faqih
bukanlah dasar dari Republik Islam Iran.
Fenomena itu sedikit mengalami perubahan setelah salah satu draft tesebut diumumkan
di media cetak dan diedarkan untuk menampung berbagai komentar, kritikan, dan masukan
dari para ulama, pakar, ataupun masyarakat luas yang peduli pada Revolusi Iran. Selama satu
bulan pengumuman itu dimuat, ternyata menghasilkan tanggapan yang serius dari berbagai
kalangan, sebagai wujud partisipasi politik mereka. Salah satu yang terpenting adalah
komentar ulama besar Syiah, Ayatullah Golpaygani, yang menyayangkan tidak adanya
pembahasan Wilayatul Faqih di dalam draft UUD. Untuk itu, sembari mengingatkan
perjuangan Islam, ia menekankan pentingnya dimasukkan Wilayatul Faqih sebagai salah satu
dasar Negara Iran yang dijamin dalam konstitusi (UUD).
Salah satu alasan mengapa rumusan pertama UUD RII tidak dicantumkan kata wilayat al
faqih sebagai salah satu prinsip dalam UUD disebutkan oleh DR. Habibi karena menurut para
penulis draft UUD, pada hakikatnya Dewan Garda adalah institusi yang mengamalkan
pandangan-pandangan wilayat al-faqih, atau setidak-tidaknya sebagai penggantinya dalam

UUD. Memang, secara umum banyak ulama, terutama yang mendukung perjuangan Imam
Khumaini, menganggap Wilayatul Faqih merupakan hal yang aksiomatik dan secara inheren
menyatu dalam Republik Islam. Akan tetapi, tanpa landasan UUD, hal itu akan menjadi siasia dikarenakan tidak adanya pengakuan resmi yang memiliki kekuatan hukum yang legal
dalam sebuah Negara.
Kondisi ini sama saja dengan masa-masa Syah, karena jika hanya mengharapkan
pengakuan masyarakat akan kedudukan ulama sebagai pemimpin umat terutama dalam
bidang keagamaan, sudah lazim dalam tradisi syiah meskipun mendapatkan tekanan dari
setiap pemerintahan yang tiranik. Konsep marja’iyyah telah membuktikan hal itu. Namun hal
itu tidaklah cukup, sebab marja’iyyah hanya berhubungan dengan persoalan fikih dan ritual
peribadatan dalam Islam. Sedangkan Wilayatul Faqih menyangkut keseluruhan dimensi
ajaran Islam yang bersifat individual maupun sosial-kemasyarakatan. Selain itu, marja’iyyah
juga hanya berkaitan dengan keputusan mujtahid yang disebut fatwa yang hanya mengikat
para muqallid-nya saja. Sedangkan Wilayatul Faqih berhubungan dengan persoalan hukum
yang mengikat seluruh kaum muslimin (yang syiah). Untuk itu jaminan konstitusional mutlak
diperlukan sebagai dasar hukum fundamental bagi Wilayatul Faqih yang mengikat semua
elemen dalam Negara yang berdaulat.
Terdapat empat prinsip dasar yang harus ditegakkkan dalam konsep Wilayatul Faqih
Pertama, Allah Ta’ala adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua,
kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyah) yang mewujudkan kepemimpinan Allah Ta’ala
di muka bumi ialah kenabian dengan peraturan Allah Ta’ala yang disampaikan kepada umat
manusia melaui para Nabi. Ketiga, garis imamah menunjukan garis kelanjutan dari para Nabi
dalam memimpin umat. Menurut paham Syi’ah terdapat dua belas Imam yang ma’shum atau
terjaga dari kesalahan dan dosa. Dua belas imam tersebut sekarang dalam keadaan ghaib
besar. Suatu saat akan hadir kembali sebagai imam Mahdi al-Muntazhar. Keempat, pada saat
imam dalam keadaan ghaib besar, kepemimpinan nubuwah dilanjutkan oleh para faqih.
Fuqaha adalah pengganti para imam, pada mereka dipercayakan kepemimpinan (wilayah)
atas umat.
Wilayatul Faqih yang ditawarkan Khomeini adalah bentuk pemerintahan rakyat dengan
sumber hukum dan kedaulatan yang tetap berpegang teguh pada Tuhan. Oleh sebab itu
konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat dan
Negara harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera pada Al-Quran, hadist, maupun
ijtihad para faqih atau ulama. Abul A’la Maududi menyebut sistem pemerintahan yang
terkonsep oleh Khomeini tersebut dengan “teokrasi” atau “kerajaan Tuhan”. Akan tetapi tentu

saja system pemerintahan tersebut berbeda dengan teokrasi yang diterapkan di Eropa. Noor
Arif Maulana dalam buku Revolusi Islam Iran menyebutnya dengan istilah baru, yakni
system pemerintahan demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena di bawah system “teodemokratis” tersebut orang-orang

melaksanakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh

kedaulatan Tuhan.
Jejak hukum Islam dalam konstitusi di Iran dapat dilihat pada bagian pembukaan
konstitusi tersebut. Pada bagian Pembukaan dituliskan : “Rencana pemerintah Islam yang
berdasarkan Wilayatul Faqih yang diwakili oleh Ayatullah Khomeini“. Selanjutnya
ditulisakan “Berdasarkan prinsip-prinsip Wilayat Al-’Amr dan kepemimpinan yang terus
menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan
oleh faqih.”
Selanjutnya pada Pasal 2 konstitusi 1979 tertulis : “Republik Islam Iran sebagai suatu
tatanan yang berdasarkan keyakinan pada (1) Tauhid, kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya
hanyalah milik-Nya semata-mata serta kewajiban menaati perintahnya;(2) Imamah dan
kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan Republik Islam.
Pasal 5 UUD Republik Islam Iran. “Selama ketidakhadiran imam yang keduabelas (semoga
Allah mempercepat kedatangannya) dalam Republik Islam Iran, wilayat dan kepemimpinan
umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih (ahli hukum agama) yang adil dan takwa,
mengenal zaman, pemberani, giat, berinisiatif yang dikenal dan diterima oleh mayoritas umat
sebagai imam (pemimpin) mereka. Apabila faqih semacam itu, suatu dewan pimpinan yang
terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas akan memegang
tanggung jawab itu”.
Melihat pasal di atas secara seksama, jelas kekuasaan tertinggi Republik Islam Iran
berada di tangan imam atau pemimpin spiritual. Besarnya kekuasaan imam atau pemimpin
spiritual terlihat jelas dalam sejumlah wewenang yang dimilikinya, hal tersebut menampakan
secara jelas, konsep Wilayatul Faqih gagasan Khomeini. Para alim-ulama yang berhak
menjadi penguasa dalam sebuah Negara Islam adalah lelaki yang mempunyai kecerdasan dan
kepandaian yang luas sehingga mampu mengerahkan potensi masyarakat. Seorang fuqaha
berfungsi sebagai pewaris nabi, oleh karenannya mempunyai tugas dan kewajiban untuk
mempergunakan angkatan bersenjata dan aparat politik demi pelaksanaan hukum-hukum
Tuhan, serta membentuk suatu sistem pemerintahan demi kemakmuran bangsa. Membentuk
pemerintahan atau negara Islam, hukumnya wajib bagi setiap umat Islam khususnya para
alim ulama dimanapun mereka berada, karena hal tersebut merupakan bagian utama dari
akidah imamiyah. Negara atau pemerintahan Islam diperlukan demi tegaknya hukum-hukum

Islam. Di dalam Negara Islam, para wakil rakyat tidak berhak membuat undang-undang,
karena undang-undang atas dasar hukum(Islam) diperoleh lagsung dari Tuhan yaitu al_Quran
dan al-Hadist.
Pada Pasal 110 mengenai wewenang faqih “Faqih berwenang mengangkat dan
memberhentikan para fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shunye Negahban), Pejabat
Kehakiman Tertinggi Negara. Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi
Islam Nasional, mengangkat Komandan Ketiga Angkatan Bersenjata atas usulan Dewan
Tertinggi Pertahanan Nasional, menyatakan perang dan damai; dan mengesahkan serta
pemberhentian Presiden”
Pasal 107 konstitusi 1979 : Pasal 107 konstitusi 1979 secara eksplisit mengesahkan
Ayatullah Khomeini sebagai Wilayatul Faqih, Marja’i taqlid yang terkemuka dan
kepemimpinan revolusi” ditambah lagi dengan penegasan dalam pasal 107 yang secara
eksplisit menetapkan Khomeini sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala
Negara”. Perkembangan Wilayatul Faqih selanjutnya mengalami interpretasi baru sesuai
dengan perkembangan zaman. Khususnya, ketika pemerintan Iran jatuh di pihak golongan
reformis (Khatami), konsep Wilayatul Faqih tidak sepenuhya dihapuskan meskipun
pemikiran tersebut lahir dari golongan konservatif, golongan ulama. Wilayatul Faqih hanya
mengalami reinterpretasi yang berbeda khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan.
Kekuasaan lebih menekankan kedaulatan rakyat daripada otoritas dan kekuasaan kaum
ulama.
E. Sejarah Republik Islam Pakistan
Republik Islam Pakistan dahulu merupakan situs dari kebudayaan kuno seperti budaya
Neolitik, Mehrgarh dan Peradaban Lembah Sungai Indus. Wilayah ini merupakan bagian dari
sejarah Veda, Persia, Indo-Yunani, peradaban Islam, dinasti Turki-Mongol dan kebudayaan
Sikh melalui berbagai invasi. Sebagai akibatnya, tempat ini memiliki berbagai peninggalan
berbagai dinasti seperti dinasti Persia, Khalifah Ummayah, kekaisaran Maurya, kekaisaran
Mongol, kesultanan Mughal, kesultanan Sikh dan terakhir Imperialisme Inggris. Pakistan
memperoleh kemerdekannya dari Imperialisme Inggris pada tahun 1947 setelah gerakan
kemerdekaan yang dipimpin oleh Mohammad Ali Jinnah yang menginginkan negara merdeka
dari bagian barat dan timur Kemaharajaan Britania Raya yang didominasi oleh Islam. Setelah
mengadopsi konstitusi baru pada tahun 1956, Pakistan secara resmi menjadi negara Republik
Islam.

Berdirinya Republik Islam Pakistan tidak lepas dari peran seorang pengacara muslim
Muhammad Ali Jinnah. Pada awalnya, berdirirnya Pakistan merupakan problem tersendiri,
terutama dalam mencari alasan atau raison d’etre Pakistan merdeka. Apakah The Founding
Fathers Pakistan bermaksud mendirikan Negara Islam atau tengah berupaya membangun
Tanah Air bagi orang Islam? Lebih dari itu, apakah kekhawatiran sebagai warga minoritas di
India yang mayoritas Hindu dapat dijadikan alasan berdirinya Pakistan merdeka. Dasar
pendirian "Republik Islam" ini, seperti terartikulasikan dalam gagasan pendiri-pendirinya
adalah kehendak komunitas muslim --sebagai bangsa terpisah di anak benua India-- untuk
membentuk negara di mana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras
dengan petunjuknya.
Berbagai teori telah dimunculkan tentang alasan-alasan pokok berdirinya Pakistan
sebagai sebuah negara dengan identitas Islam. Pada 23 Maret 1947 Liga Muslim India (All
Indian Moslem League) mengeluarkan resolusi yang terkenal dengan nama Resolusi
Pakistan. Dalam resolusi tersebut, kaum Muslim India dipimpin Muhammad Ali Jinnah, yang
juga Bapak Negeri Pakistan, berjanji memperjuangkan terbentuknya negara muslim.
Pendirian Liga Muslim mengawali munculnya gerakan nasionalisme India, pada
awalnya merupakan respon terhadap gerakan nasionalisme Hindu yang disuarakan Partai
Kongres Nasional India. Liga Muslim didirikan oleh sekelompok intelektual Muslim India
yang pada perkembangannya menuntut terbetuknya pemerintahan sendiri. Tokoh yang
terkenal dari organisasi ini adalah Muhammad Ali Jinnah. Di bawah kepemimpinan Jinnah,
ide negara Pakistan semakin berkembang dan pada tahun 1940 menjadikan pembentukan
Pakistan sebagai tujuan perjuangan. Tujuan itu menjadi kenyataan saat Pakistan
diproklamirkan sebagai negara merdeka pada 14 Agustus 1947, dan kenyataannya, Pakistan
merdeka sehari lebih cepat dari India yang dimerdekakan 15 Agustus 1947. Berdirinya
Pakistan didasarkan atas realitas bahwa masyarakat muslim yang meliputi wilayah Sind,
Punjab, Baluchistan, provinsi di Barat Laut dan Benggala merupakan sebuah bangsa yang
berhak atas wilayah mereka sendiri. Meskipun banyak yang meragukan klaimnya sebagai
sebuah bangsa, namun sesuatu yang pantas diberi nilai adalah kenyataan geografis Pakistan
yang merupakan anak benua India yang nyaris lepas dari peradaban induknya, yaitu India.
Pakistan dibentuk oleh elit-elit muslim yang memobilisasi sumberdaya Muslim India
Barat Laut untuk menentang kebijakan Inggris yang berseberangan dengan kepentingan
kelompok muslim. Kemungkinan lainnya adalah teori Francis Robinson yang menyatakan
terbentuknya Pakistan dari faktor ideologi terutama doktrin Ummah yang mendorong elit-elit
muslim mengupayakan perlindungan budaya muslim dan otonomi yang lebih besar bagi

kaum muslim di Provinsi Kesatuan Barat Laut dan Bengal. Senada dengan Robinson, David
Taylor mengesankan terbentuknya Pakistan sebagai ekspresi politik muslim kelas atas (elit)
yang memahami kenyataan berbedanya identitas keagamaan dan sosial politik mereka dengan
kekuatan-kekuatan lainnya di anak benua India.
Tuntutan kaum elit ini menurutnya selain mewakili permasalahan kaum elit Pakistan,
juga didukung oleh kesadaran komunal akan pentingnya negara bagi komunitas Muslim.
Selain itu ia juga menemukan fakta dalam kasus-kasus tertentu yang melibatkan massa yang
menuntut pemenuhan kebutuhan asasinya sebagai orang Islam juga tidak bisa disepelekan.
Artinya, dalam waktu-waktu tertentu, tuntutan elit bisa senada dengan tuntutan arus bawah
muslim.
Pada tahun 1971, sebuah perang sipil terjadi di negara bagian Pakistan Timur yang
akhirnya membuat negara bagian tersebut berpisah menjadi negara baru bernama
Bangladesh. Pakistan merupakan negara federal dengan sistem parlemen yang terdiri dari 4
provinsi dan 4 daerah federal. Dengan penduduk lebih dari 170 juta orang, Pakistan menjadi
salah satu negara terpadat di dunia dan memiliki penduduk Muslim terbanyak di dunia
setelah Indonesia. Pakistan juga merupakan negara yang memiliki multi-etnis dan memiliki
variasi dari segi geografis. Di masa setelah kemerdekaan, Pakistan mengalami ketidakstabilan
dalam pemerintah dan konflik yang terus terjadi dengan negara tetangga terdekatnya, India.
Negara ini memiliki berbagai tantangan dan masalah, seperti kemiskinan, buta aksara,
korupsi serta serangan teroris.
F.

Hukum Islam dalam Konstitusi Republik Islam Pakistan
Konstitusi Pakistan berhasil dirumuskan pada tahun 1956 terhitung 9 tahun semenjak

kemerdekannya pada tahun 1956, kemudian disusul dengan konstitusi kedua dan
amandemennya. Dokumen konstitusi pertama Pakistan terdapat dalam “obyektivitas
resolution” yang merupakan hasil perundingan antara sang perdana menteri Liqayat Ali Khan
dengan Partai Liga Muslim pada tahun 1949. Hasil perundingan tersebut, di dalamnya berisi
pernyataan bahwa “Kedaulatan hanyalah milik Tuhan”.
Pengertian “Kedaulatan hanyalah milik Tuhan” adalah bahwa Tuhan mendelegasikan
kekuasaan atau otoritas-Nya kepada kepala negara Pakistan melalui rakyat untuk
dilaksanakan sesuai batas-batas yang telah ditentukan-Nya. Karena itu, umat Islam berhak
mengatur kehidupan individual maupun kolektif mereka sesuai dengan ajaran Islam.
Sementara itu, minoritas non-Muslim bebas memeluk dan mengamalkan agama serta

mengembangkan kebudayaan mereka. Garis-garis besar resolusi inilah, yang kemudian
dirumuskan dalam konstitusi pada 1956.
Hukum Islam yang ada dalam konstitusi 1956 antara lain dinyatakan dalam beberapa
bagiannya :
Pada Bab I Konstitusi Pakistan tertulis: “Nama negara adalah Republik Islam Pakistan”,
jelas sekali bahwa nama negara Pakistan disandarkan kepada Islam yang berarti Pakistan
adalah negara dengan prinsip dasar Islam. Hal ini ditegaskan dalam bagian Pendahuluan
disebutkan : Bentuk negara demokrasi yang berdasarkan prinsip Islam. Walaupun bentuk
negara Pakistan adalah demokrasi namun ia tetap didasarkan kepada nilai-nilai Islam,
sehingga terjadi
Bukti adanya hukum Islam berikutnya terdapat dalam syarat-syarat seseorang menjadi
kepala negara haruslah seorang muslim, hal ini tertulis dalam Pasal 32 : Kepala negara harus
beragama Islam. Maka kemusliman seseorang menjadi pondasi pokok dalam konstitusi
mereka.
Klimaks dari hukum Islam yang ada dalam konsitusi Pakistan adalah bahwa aturanaturan dalam bentuk undang-undang yang tidak sesuai dengan hukum Islam maka aturan
tersebut harus dibatalkan. Hal ini sebagaimana tertera dalam Pasal 198 : Repugnanci Clouse
(kata penolakan), yakni “tidak boleh ada undang-undang yang bertentangan dengan al-Quran
dan al-Sunnah.
Pada tahun 1962, term “al-Quran dan al-Sunnah” dalam Repugnanci Clouse diubah
dengan term “Hukum Islam”, tetapi pada tahun 1963 term “al-Quran dan al-Sunnah” dalam
Repugnanci Clouse diberlakukan kembali. Hal ini, terjadi pada zaman pemerintahan Ayyub
Khan (1958-1969) yang kemudian tampil pemerintahan berikutnya, yakni Presiden Zia ul alHaq (1977-1988). Pemerintahan yang terakhir ini, melancarkan program islamisasi, termasuk
di dalamnya Islamisasi hukum di Pakistan.
Ketika agitasi anti pemerintah (dipimpin oleh Persekutuan Nasional Pakistan yang
pemimpin-pemimpinnya menggunakan Islam untuk menggerakkan orang-orang melawan
pemerintahan Bhutto) pecah di pusat-pusat pertokoan utama, pemerintah berusaha untuk
mengakhiri keadaan ini dengan mengumumkan reformasi, “Islam” dengan menentukan
Jum’at dan bukannya Minggu sebagai hari libur umum mingguan dan mengumumkan
langkah-langkah yang melarang pemakaian alkohol, perjudian dan pacuan kuda. Manifesto
pemilihan Partai Rakyat Pakistan tahun 1977 juga memasukkan persetujuan partai untuk:
1. Menjadikan pengajaran al Quran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pendidikan umum.

2. Mengembalikan masjid ke tempat tradisionalnya selaku pusat terpenting masyarakat.
3. Mendirikan Akademi Ulama Negeri untuk mendidik Imam dan Khatib di masjidmasjid.
4. Menjadikan tempat keramat orang suci yang terhormat sebagai pusat pengajaran
Islam.
5. Meningkatkan fasilitas untuk orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
6. Memperkokoh Institut Penelitian Islam di Islamabad.
Akan tetapi program Islamisasi ini menurut Riaz Hassan tidak lebih hanya sekadar
respon untuk menenangkan kelompok urban yang menentang kebijakan ekonominya.
Program ini secara kasat mata tidak lebih pada pengakuan dan perbaikan aspek simbolis
Islam sebagaimana awal pendiriannya.
G. Hukum Islam dalam Konstitusi di Iran dan Pakistan
Hukum Islam sebagai satu sistem hukum yang universal telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam konstitusi di Republik Islam Iran dan Republik Islam Pakistan. Hal ini
terlihat dari pembukaan hingga penutupan konstitusi dua negara tersebut. Dalam pembukaan
konstitusi Iran disebutkan :
N
o
1

Hukum Islam
Nama negara

Konstitusi Iran
Chapter I - Article 1

Konstitusi Pakistan
Bab I: “Nama negara adalah

The form of government Republik Islam Pakistan”
of Iran is that of an PART I : Introductory : (1)
Islamic Republic

Pakistan shall be a Federal
Republic to be known as the
Islamic Republic of Pakistan,
hereinafter

2

Bentuk dan dasar negara

Chapter I - Article 1

Pakistan.
Pendahuluan

referred

to

as

(Introduction):

The form of government Bentuk negara demokrasi yang
of Iran is that of an berdasarkan prinsip Islam
Islamic Republic

PART I : Introductory : 2:
Islam to be State religion Islam
shall be the State religion of
Pakistan.

3

Agama negara

Chapter I Article 12

PART I : Introductory : 2:

The official religion of Islam to be State religion Islam
Iran is Islam and the shall be the State religion of
Twelver Ja'fari school Pakistan.
[in usual al-Din and
fiqh], and this principle
will
4

Eksistensi selain hukum Islam

remain

eternally

immutable.
Chapter I Article 2 : Pasal 198 : “Tidak boleh ada
The Islamic Republic is undang-undang

yang

a system based on belief bertentangan dengan al-Quran
in: The One God (as dan al-Sunnah.
stated in the phrase 227. Provisions relating to the
"There is no god except Holy Qur'an and Sunnah.
Allah"),

PART IX: Islamic Provisions
(1) All existing laws shall be
brought in conformity with the
Injunctions of Islam as laid
down in the Holy Quran and
Sunnah, in this Part referred to
as the Injunctions of Islam, and
no law shall be enacted which is

5

Persyaratan kepala negara

Chapter IX Article 115

repugnant to such Injunctions
Pasal 32 : Kepala negara harus

The President must be beragama Islam.
elected

from

among PART III The Federation of

religious and political Pakistan : Chapter 1. THE
personalities possessing PRESIDENT
the

:

41.

The

following President. (2) A person shall not

qualifications:

Iranian be qualified for election as

origin;

Iranian President unless he is a Muslim

nationality;

of not less than forty-five years

administrative capacity of age and is qualified to be
and resourcefulness; a elected

as

member

of

the

good

past-record; National Assembly.

trustworthiness

and

piety; convinced belief
in

the

fundamental

principles of the Islamic
Republic of Iran and the
official religion of the
country.
6
7
8
9
10

H. Kesimpulan
Kajian tentang hukum Islam dalam konstitusi yang ada di Iran dan di Pakistan dapat
disimpulkan sebagai berikut :

Referensi :
Akhmad Satori, 2012, Sistem Pemerintahan Iran Modern (Konsep Wilayatul Faqih Imam
Khomeini Sebagai Teologi Politik dalam Relasi Agama & Demokrasi), Yogyakarta :
Rausan Fikr.
Budiharjo, Miriam, 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Connolly. Peter, 2009. Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : LKiS.
Hefner. Robert W., 1999. Islam Pasar Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan
Demokrasi, Yogyakarta: LKiS.
Ibnu Taimiyah, 1989. Pedoman Islam Bernegara, Jakarta : Bulan Bintang.
Ishmatullah, Dedi dan Asep A. Sahid Gatara, 2007. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif,
Bandung : Pustaka Setia.
Koentjaraningrat, 2001. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia.
Koentjaraningrat, 2002. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta
Madjid. Nurcholish, 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.

Moleong. Lexy J., 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nasution. Harun, 1998. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan.
Roibin, 2009. Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN-Malang
Press.
Ghufran A. Mas’adi, 1998. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Suprayogo. Imam. Tobroni, 2001. Metodologi Penelitian Agama, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
http://indonesian.irib.ir/rahbar1 diakses 29 Nopember 2012
http://www.pakistani.org/pakistan/constitution/ diakses 29 Nopember 2012
Musthafa Abd. Rahman. 2003. Iran Pasca Reformasi. Jakarta : Kompas, 2003
Muhsin Labib,dkk. 2006. Ahmadinejad! David Di Tengah Angkara Goliath Dunia. Jakarta :
Mizan.
Noor Arif Maulana.2005. Revolusi Islam Iran. Yogayakarta: Kreasi Wacana.