Sosialisasi dan Pembentukan Budaya Polit (1)

Tugas Makalah
Media & Perilaku Memilih

Political Psychology, Socialization, and Culture

disusun oleh

Anneila Firza Kadriyanti
1306348303

Magister Manajemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Jakarta

Berbicara tentang pemilihan umum pastinya memang harus membicarakan elemen-elemen
pengisi demokrasi secara keseluruhan: calon anggota legislatif, partai politik, hingga
kelompok pemilih. Namun yang paling terpenting adalah unit terkecil politik, yakni individu.
Baik individu sebagai pemilih, maupun individu yang menjadi ‘aktor politik’.
Setiap individu memiliki keunikan masing-masing, sehingga perilaku setiap orang tidak akan
pernah sama. Perilaku ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu tersebut

melakukan sosialisasi, apakah itu di lingkungan keluarga, masyarakat, agama, tempat kerja,
dan lainnya. Tiap-tiap lingkungan membentuk standar nilainya tersendiri, sehingga
membentuk preferensi unik di benak masyarakat, yang akhirnya mempengaruhi pola
perilakunya sebagai pemilih.1
Pada kesempatan kali ini, Penulis akan membahas tidak hanya dari level individu sebagai
partisipan politik, tapi juga melihat bagaimana lingkungan tempat individu bersosialisasi dan
juga menyerap nilai-nilai budaya politik.2
Apa yang Membentuk Keyakinan dan Perilaku Politik?
Sebagai mahluk biologis, sudah menjadi kodrat manusia untuk bertahan hidup dengan cara
memenuhi kepuasan lahir dan batin. Kepuasan tersebut bisa didapatkan hanya dengan
berinteraksi pada sesama manusia.
Kemampuan berinteraksi (sociability) ini meningkatkan keinginan tiap individu untuk
berkumpul dan membentuk sebuah asosiasi. Semakin sering individu berkumpul, maka akan
semakin kuat pula ikatan yang akan mereka rasakan. Akibatnya timbul dorongan untuk
terlibat dalam aktivitas politik demi mencapai tujuan bersama. 3
Ketika manusia saling berinteraksi, manusia akan berkomunikasi dengan cara menukarkan
simbol berupa bahasa, gambar, dan kode-kode tertentu yang maknanya sudah disepakati
bersama.
Simbol yang telah dimaknai inilah yang akan memberikan persepsi pada benak masingmasing individu ketika mereka memaknai sebuah tanda, hingga persoalan sosial. Simbolsimbol ini pula yang mengatur bagaimana individu harus berperilaku ketika dihadapkan pada
suatu situasi tertentu.4

Individu yang terlibat aktif dalam kegiatan politik akan memiliki sensitivitas yang lebih peka
terhadap setiap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Setiap individu ingin
memastikan, semua kebijakan yang dikeluarkan tersebut tidak boleh sampai merugikan diri
mereka, keluarga, dan kepentingan kelompok.

1 Sidney Verba., Kay Lehman Schlozman., Henry E. Brady. Voice and Equality: Civic
Vountarism in American Politics. (United States of America: Harvard University Press,
1995). Hal.38-40
2 Austin Ranney. GOVERNING: An Introduction to Political Science. Fourth Edition. (New
Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1987)
3 Renato Foschi., Marco Lauriola. Does Sociability Predict Civic Involvement and Political
Participation? (Journal of Personality and Social Psychology, Vol.6, No.2, 2014). Hal.340
4 John Fiske. Introduction to Communication Studies. 2nd Edition . (London: Routledge,
1990). Hal.41

Jika ada kebijakan yang dirasa merugikan, kelompok individu yang merasa dirugikan tersebut
akan membentuk sebuah grup penekan untuk mengoreksi aturan yang telah dikeluarkan
tersebut.
Simbol-simbol politik ini dimaknai oleh tiap individu sesuai dengan apa yang telah ia pelajari
dari lingkungannya. Itulah yang memberikan identitas bagi dirinya, sehingga individu dapat

menyebutkan ideologi politik yang dianutnya, apakah itu liberal, konservatis, sosialis, atau
mungkin komunis.5
Ketika individu telah memiliki identitas mengenai ideologi yang diyakininya, selanjutnya ia
akan memilih partai/kandidat yang sesuai dengan landasan ideologinya. Individu tersebut
dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik partai dengan cara menjadi pengurus aktif, ikut
berkampanye, atau sekedar menjadi simpatisan.
Namun ada pula pemilih yang tidak memaknai simbol-simbol politik secara dalam, sehingga
ia tidak memiliki ideologi politik yang pasti. Akibatnya, individu tersebut juga tidak dapat
mengidentifikasi partai apa yang sesuai bagi dirinya.
Karena itu, pemilih yang seperti itu lebih melihat isu (berupa program) apa yang menjadi
fokus perhatian partai/kandidat. Individu didasarkan pada pemikiran rasional karena harus
menimbang untung-rugi program yang ditawarkan bagi kepentingan pribadinya.6
Keanggotaan Dalam Organisasi Sosial
Setiap individu tak hanya memiliki satu kelompok sosial dalam hidupnya. Justru jika yang
demikian yang terjadi, individu tersebut akan terisolasi dari lingkungan di sekitarnya. Itu
sebabnya, kemampuan bersosialisasi tersebut membuat individu dapat membaur dengan
kelompok manapun yang berbeda ideologi, hingga nilai yang dianut.
Keterlibatan individu dalam suatu organisasi sosial juga dibagi berdasarkan dua jenis, yakni
primary group dan “categoric” groups. Grup utama (primary) adalah kelompok tempat
individu sering melakukan interaksi tatap muka dengan anggota kelompok lainnya. Yang

termasuk dalam kelompok ini adalah keluarga, teman sekolah, serta rekan kerja.
Sedangkan grup kategorik (categoric) adalah kelompok yang diikuti sesuai dengan minat
atau pemikiran individu dalam mengembangkan dirinya. Contohnya seperti grup diskusi, atau
partai politik. Kelompok ini mampu memberikan pengaruh yang besar bagi diri individu,
terutama dalam membentuk preferensi politik individu.
Kelompok-kelompok sosial yang diikuti oleh individu ini turut pula memberikan identitas
bagi individu. Karena itu identitas yang melekat pada satu individu tidak pernah tunggal.
Identitas yang dipengaruhi oleh kelompok ini akhirnya menentukan haluan politik individu.
Verba, Schlozman, dan Brady melihat haluan politik yang dipengaruhi oleh kelompok ini
dilihat dari keadaan status sosial ekonomi, seperti etnis, tingkat pendidikan, dan keadaan
finansial.

5 Larry A. Simovar, et all. Communication Between Cultures. 7th Edition. (Boston:
Wadsworth, 2010). Hal.163
6 Jocelyn A.J. Evans. Voters & Voting: An Introduction. (Thousand Oaks, California: SAGE
Publications Ltd, 2004). Hal. 82-87

Kelompok yang menjadi minoritas dalam suatu sistem masyarakat cenderung untuk tidak
mau berpartisipasi dalam kegiatan politik karena merasa suara mereka tidak akan mampu
mengalahkan keputusan kelompok mayoritas.

Namun sesama anggota minoritas yang berbagi pengalaman yang sama justru akhirnya
terdorong untuk mengakhiri kondisi mereka agar tak lagi terabaikan. Akhirnya orang-orang
dari kalangan minoritas ini saling bersatu dan membentuk grup penekan sendiri.7
Dalam suatu organisasi yang terdiri dari begitu banyak opini pribadi masing-masing anggota,
wajar jika suatu saat terjadi perbedaan dan pertentangan. Namun dalam membuat keputusan,
terkadang mayoritas anggota mengabaikan kemungkinan keputusan yang salah karena
merasa kelompok memiliki superioritas yang tak mungkin memutuskan dengan salah.
Dari sekian banyak anggota, pasti ada beberapa yang tidak sepaham dengan keputusan
kelompok. Namun demi menjaga kestabilitasan kelompok, anggota yang berbeda pendapat
tersebut akhirnya mengikuti keputusan bersama. Karena jika ia membangkang, anggota
kelompok lain akan memberinya sanksi berupa pengucilan kelompok. 8
Sosialisasi Politik
Sosialisasi pendidikan politik pertama yang diterima oleh individu berasal dari lingkungan
keluarganya, dan dimulai sejak masih berusia balita. Namun pola sosialisasi politik di
keluarga juga berbeda, tergantung kultur masyarakat di negara tempat dia tinggal.
Di Amerika Serikat, setiap keluarga telah memiliki identitas partai yang begitu kuat dengan
menyebut diri mereka sebagai Republikan atau Demokrat. Identitas partai ini diturunkan
kepada generasi selanjutnya (anak), sehingga dalam usia empat tahun pun, seorang anak juga
telah mengidentifikasi identitas partainya seperti yang ia tiru dari orang tuanya.
Namun di Perancis, urusan politik adalah urusan orang dewasa saja. Orang tua tidak mau

membicarakan politik di depan anak-anak mereka. Dengan demikian, setiap anggota keluarga
bisa jadi memiliki preferensi politik yang berbeda-beda nantinya.
Ketika seseorang memasuki usia sekolah, ia akan mendapat pendidikan politik yang lebih
tinggi dibandingkan dari apa yang ia dapatkan di rumah. Ia akan diajarkan tentang sistem
negara, filosofi negara, sejarah negara, dan menghafal nama-nama presiden.
Individu pun akhirnya memasuki masa dewasa. Pada fase ini, ia telah memperoleh hak untuk
memberikan suara pada pemilihan umum. Interaksi dengan lingkungan pun semakin
kompleks, karena satu individu bisa jadi mengikuti banyak kegiatan dan banyak organisasi.
Pada akhirnya, tiap organisasi yang ia ikuti akan memberikan kontribusi unik yang dapat
mempengaruhi preferensi politiknya.
Saat individu sudah mulai memasuki masa senja, kesehatan dan daya pikir mulai menurun.
Meskipun pola pikir dan pertimbangan politik juga semakin matang karena kaya dengan
7 Robert E. Denton, Jr. Political Communication Ethics: An Oxymoron? (Westport: Preager
Publishers, 2000). Hal.79
8 (Teori Pemikiran Kelompok dari Irving Janis yang terinspirasi dari gagalnya perintah
penyerangan John F. Kennedy ke Teluk Babi ketika ingin menangkap Fidel Castro).
Stephen W. Littlejohn., Karen A. Foss. Encyclopedia of Communication Theory.
(California: SAGE Publications, Inc, 2009). Hal. 460-461

pengalaman, sumber daya yang dimiliki untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik juga

berkurang.
Oleh karena itu, negara juga cukup banyak membantu para individu lanjut usia (lansia) ini
agar tetap dapat terlibat dalam kegiatan politik, terutama pada saat pemungutan suara, dengan
cara menyediakan fasilitas agar para lansia dapat dengan mudah melakukan voting.
Budaya Politik
Budaya politik adalah pandangan dan cara berpikir tentang bagaimana seharusnya politik dan
sistem pemerintahan dibangun. Caranya dilihat dari penyelesaian konflik politik, atau apa
yang melandasi pembuatan kebijakan publik.
Austin Ranney melihat budaya politik dari dua komponen utama, yakni:




Factual Beliefs, adalah kepercayaan terhadap sistem politik (termasuk proses
pembuatan kebijakan). Kepercayaan ini didukung oleh seberapa besar individu
mendapatkan informasi tentang keadaan politik. Semakin tinggi informasi yang
diterima, semakin tinggi kepercayaan terhadap sistem politik.
Political Preferences, adalah pandangan masyarakat terhadap sistem politik.
Masyarakat memang mempercayai sistem politik, namun bukan berarti percaya secara
penuh. Individu memiliki preferensi tersendiri sehingga bisa membuat skala prioritas

(benar-salah, penting-tidak penting).

Dalam membangun konsep civic culture yang menjadi landasan budaya politik, Almond dan
Verba memusatkan penelitiannya terhadap dua hal, yakni orientasi individu dan objek politik.
Orientasi individu terbagi dalam tiga bentuk: (1) cognitive orientation (pengetahuan dan
kepercayaan terhadap sistem politik, peran para incumbent, input beserta output dari proses
politik), (2) affective orientation (perasaan terhadap sistem politik, peran serta performa para
aktor politik), (3) evaluational orientation (penilaian dan opini terhadap objek politik
berdasarkan standar nilai dan kriteria yang dimiliki).
Sedangkan objek politik meliputi empat hal pula, yaitu: (1) the “general” political system,
(2) the spesific roles or structures in the system (dalam hal ini birokrasi), (3) the incumbent of
roles (seperti penguasa monarki dan legislator), (4) public policies (ketetapan dalam
pengambilan keputusan).9
Almond dan Verba menyadari, variasi dalam orientasi politik ini pun pada akhirnya akan
menghasilkan tiga jenis budaya politik, yakni:10



Budaya Politik Parokial


Pada budaya politik parokial tidak terdapat perbedaan atau pemisahan antara struktur agama
dan struktur politis. Pemuka agama dapat sekaligus menjadi pemimpin politik. Masyarakat

9 Tommaso Pavone. Political Culture and Democratic Homeostasis: A Critical Review of
Gabriel Almond and Sidney Verba’s The Civic Culture . (Princeton.edu, 7 April 2014). hal.
1
10 Gabriel A. Almond., Sidney Verba. The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy
in Five Nations. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1963). Hal.16

yang tinggal dalam lingkungan dengan budaya politik seperti ini biasanya cenderung apatis,
dan terasing dari sistem politik. Mereka juga tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.


Budaya Politik Subjek

Masyarakat pada budaya politik ini bersikap aktif pada sistem politik yang sudah
terdiferensiasi secara struktural. Namun keaktifan ini hanya pada sisi output sistem,
sebaliknya malah bersikap pasif terhadap sisi input sistem.



Budaya Politik Partisipan

Dalam sistem budaya politik ini, masyarakat bersikap aktif dalam segala lini sistem politik,
baik input maupun output. Orientasi masyarakat telah terpusat pada keseluruhan sistem
politik.
Pada realitas budaya politik yang terjadi, tidak ada yang menerapkan budaya politik yang
murni parokial saja, atau benar-benar menerapkan partisipan. Sistem yang terbentuk selalu
merupakan gabungan, seperti partisipan-parokial, subjek-partisipan, subjek-parokial.
Kesimpulan
Miriam Budiardjo mengatakan, partisipasi politik merupakan cara untuk ikut serta
mempengaruhi kebijakan publik. Satu-satunya cara agar pemerintah mengakomodir
‘keinginan’ rakyat adalah, masyarakat pun harus ikut aktif dalam segala kegiatan politik.
Salah satunya adalah dengan memberikan suara pada pemilihan umum untuk memilih
pemimpin.11
Tanpa adanya partisipasi politik, budaya politik tidak akan terbentuk. Diperlukan keinginan
sukarela masyarakat agar mau terlibat dalam segala aktivitas politik. Dengan demikian,
sistem politik di suatu negara akan tetap berjalan.

11 Miriam Budiardjo. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994). Hal.183


DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel A., Sidney Verba. The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in
Five Nations. Princeton, NJ. Princeton University Press. 1963.
Budiardjo, Miriam. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 1994.
Denton, Jr, Robert E. Political Communication Ethics: An Oxymoron? Westport. Preager
Publishers. 2000.
Evans, Jocelyn A.J. Voters & Voting: An Introduction. Thousand Oaks, California. SAGE
Publications Ltd. 2004.
Fiske, John. Introduction to Communication Studies. 2nd Edition. London. Routledge. 1990.
Littlejohn, Stephen W., Karen A. Foss. Encyclopedia of Communication Theory. California.
SAGE Publications, Inc. 2009.
Pavone, Tomasso. Political Culture and Democratic Homeostasis: A Critical Review of
Gabriel Almond and Sidney Verba’s The Civic Culture. Princeton.edu. 7 April 2014.
Ranney, Austin. GOVERNING: An Introduction to Political Science. Fourth Edition. (New
Jersey. Prentice-Hall, Inc. 1987.
Foschi, Renato., Marco Lauriola. Does Sociability Predict Civic Involvement and Political
Participation? Journal of Personality and Social Psychology, Vol.6, No.2. 2014.
Simovar, Larry A., et all. Communication Between Cultures. 7th Edition. Boston. Wadsworth.
2010.
Verba, Sidney., et all. Voice and Equality: Civic Vountarism in American Politics. United
States of America. Harvard University Press. 1995.