Globalisasi Pemuda dan Kesinambungan Bud

5
Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya
Ada pertanyaan yang kelihatannya remeh, tetapi tidak pernah
terjawab secara memadai: bahwa di tengah gelombang pasang globalisasi, di mana seyogyanya peran pemuda dalam
berbagai upaya pelestarian warisan budaya? Pertanyaan ini
terlihat remeh, oleh sebab terlanjur menjadi tipikal pertanyaan kontes muda-mudi yang menguji kecerdasan secara
setengah hati. Anda tidak perlu menjadi kampiun seminar
ilmiah yang berat-berat untuk sekadar mendapati pertanyaan
ini. Akan tetapi, seperti umumnya nasib pertanyaan
,
tidak pernah didapati jawaban yang benar-benar memadai.
Jawaban atas pertanyaan ya ’



acapkali tidak lebih berarti daripada arti penting pertanyaan
itu sendiri. Ini tragis, mengingat secara konteks dan substansi, ada kebutuhan yang mendesak untuk menjawab secara
memadai pertanyaan ini.
Adalah tujuan tulisan ini untuk secara singkat mendudukkan
kembali arti penting persoalan di atas; sambil secara sekaligus mencoba mengetengahkan jawaban yang lebih sesuai dengan problematika mendasarnya dewasa ini. Oleh karena itu,
selain menggarisbawahi arti penting persoalan dalam kaitan

pergeseran-pergeseran mendasar belakangan ini, tulisan ini
secara khusus mengemukakan bahwa reposisi mendasar peran kepemudaan perlu dilakukan terkait tantangan-tantangan
umum globalisasi dan kesinambungan budaya. Menjadi penting dalam kaitan ini ialah transformasi peran peziarah kultural kaum muda dalam peran-peran progresif renaissance

J. Susanto

budaya kolektif bangsa. Yang menarik, sejauh soal ini, kaum
muda Indonesia sebenarnya bukannya tanpa histori. Sebaliknya, secara impresif bahkan telah menjadi salah satu ciri paling mengesankan dari pergerakan kemerdekaannya di masa
lampau. Oleh karenanya, menyerukan transformasi progresifnya kembali dewasa ini selain kontekstual seharusnya juga
menyejarah. Untuk tujuan ini, secara berturut-turut dibahas;
sentralitas konsepsi manusia situasi dalam gagasan kesinambungan budaya; pengaruh atomisasi globalisasi bagi kemungkinan-kemungkinan krisis manusia situasi, serta peran yang
krusial diupayakan pemuda sebagai peziarah budaya.
Kesinambungan Budaya dan Konsepsi Manusia Situasi
Kesinambungan budaya atau cultural sustainability mungkin
bukan konsep yang populer seperti konsep pelestarian budaya atau cultural preservation. Akan tetapi, baik gagasan kesinambungan budaya maupun pelestarian budaya, sebenarnya
memiliki posisi dasar tidak jauh berbeda. Keduanya berbagi
kesamaan dalam melihat manusia sebagai mahkluk kontekstual, produk dari pergulatan situasi. Kalaupun akhirnya konsep kesinambungan budaya yang lebih banyak dipakai dalam
tulisan ini, itu disebabkan keyakinan bahwa penggunaannya
menyediakan lebih banyak keleluasaan tidak saja dalam menggarisbawahi posisi situasional manusia dalam aneka keterhubungan kultural tetapi juga karakter dinamis dus dialogis
posisi situasional itu dalam keterhubungan kultural lintas

generasi.
Sentral dalam tiap-tiap gagasan kesinambungan budaya adalah konsepsi manusia situasi atau situated-man. Secara harfiah ini adalah konsepsi yang memposisikan manusia sebagai
produk pergulatan situasi. Tetapi secara konsepsional, pe2

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

ngertian sebenarnya lebih kompleks dari itu. Dalam konsepsi
manusia situasi, individu bukan partikel sosial yang melayang
bebas, melainkan tertambat dalam jalinan rumit situasi. Oleh
sebab tiap-tiap situasi merupakan kerangka pengalaman dan
referensi yang unik, sebagai manusia situasi, tiap-tiap individu dihadapkan pada keterbatasan dan keleluasaan yang khas.
Dalam relasi-relasi yang berlangsung cateris paribus, kekhasan situasional tentu bukan merupakan masalah. Persoalannya,
relasi sosial tidak pernah berlangsung cateris paribus, tidak
pernah juga tumbuh dalam ruang hampa perubahan. Sebaliknya, relasi sosial kerapkali hadir sebagai persinggungan dan
pertukaran dinamis pelbagai dialektika situasi-agensi. Dalam
kekekalan rumusan dasar seperti, problem kesinambungan
antar situasi akhirnya menjadi persoalan sosial yang krusial.
Oleh karena konsepsi manusia situasi muncul dalam kaitan
realitas sosial yang hidup dan dinamis, maka menjadi sebuah
kesalahpahaman besar jika menganggap konsepsi manusia situasi sebagai konsepsi tentang keterhubungan sosial yang

statis, pasif dan linear. Meski memihak pada arti penting
elemen-elemen struktural dalam mendefinisikan dan memberi
makna tiap-tiap kondisi, konsepsi manusia situasi secara substansial mengakui ruang-ruang tiap individu untuk belajar,
melakukan interpretasi ulang atas situasi-situasi sosial yang
melingkungi, sembari pada saat yang hampir bersamaan men
transformasi diri menjadi struktur baru bagi pemaknaanpemaknaan ulang yang lebih berikut.
Kesinambungan budaya selaku konsep merupakan buah karya
modernitas yang secara mendasar menggarisbawahi arti penting gagasan manusia situasi ini. Meski secara praksis merupakan gagasan yang senantiasa hidup sepanjang sejarah, baik
pelestarian maupun kesinambungan budaya secara historiskonsepsional merupakan produk modernitas. Secara umum ia
3

J. Susanto

bagian dari upaya besar Barat membangun jem-batan kultural yang mempertautkan modernitas dengan tradisi dus kearifan masa lampau. Berbeda dengan upaya primitif proyek
penjembatanan serupa sebelumnya, upaya-upaya ini sejak semula tidak pernah didesain sebagai proyek copycat yang
linear dan statik, melainkan sebuah proyek renaissance yang
hidup, dinamis dan multi-interpretatif.
Kecenderungan perujukan masa lampau secara hidup, dinamis dan interpretatif ini tidak hanya dijumpai dalam estetika
agung karya-karya Leonardo da Vinci, melainkan lebih jauh
lagi dijamaki dalam suasana kebatinan umum pergulatan akbar pasca Revolusi Perancis yang secara fundamental meletakkan dasar-dasar bagi standar etika masyarakat modern

sejauh ini. Banyak orang mungkin berhenti pada Edmund
Burke, yang ajaran-ajaran konservatismenya mengilhami pendefinisian ulang modernitas dalam hubungannya dengan tradisi. Akan tetapi, jangkauan pengaruh proyek renaissance etis
ini sesungguhnya lebih luas dari itu. Tidak hanya konservatisme, nasionalisme dan liberalisme secara sekaligus sesungguhnya memuat semangat renaissance serupa.
Kaitan nasionalisme dengan gagasan manusia situasi dan
kesinambungan budaya sudah bukan rahasia lagi. Dalam versi
nya yang orthodok, nasionalisme bahkan mengambil pola kejayaan masa lampau dan rekonstruksi situasi sebagai gramatika dan aksentuasi utama. Nasionalisme Jerman di era Third
Reich, misalnya, dirumuskan dalam suatu kesinambungan
yang hidup dengan kejayaan Prusia yang mendahuluinya. Begitu juga dengan Republik Kelima Perancis atau yang sejenisnya. Tetapi kaitan yang seperti ini tidak terlalu mengesankan.
Yang lebih kontekstual di sini ialah menggarisbawahi kembali
fakta bahwa nasionalisme sebagai pemikiran etis pada dasarnya merupakan gagasan progresif –bukan orthodox- yang
4

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

menemukan posisi kuatnya dalam arti penting kesinambungan budaya dan konsepsi manusia situasi.
Adalah Herder (1744-1803) bukan Dante atau Mazzini, yang
meletakkan dasar bagi progresifitas ini. Dalam konsepsinya
tentang nationalismus, Herder --yang juga merupakan kampiun historisisme dan romantisisme ini-- berbicara tentang
arti penting sebuah kolektivitas budaya. Setiap masyarakat,
singkatnya, melekat pada sebuah budaya. Sementara setiap

budaya memiliki kontribusi yang unik dan tak tergantikan
bagi kemajuan umat manusia, maka perjumpaan dan kesinambungannya menjadi kebutuhan yang laten dan krusial.
Nasionalisme sebagai konsepsi merupakan kerangka kolektif
yang diperlukan bagi kebutuhan perjumpaan dan kesinambungan kultural ini.1
Selaras dengan Herder, kajian-kajian kontemporer nasionalisme dalam dua dasawarsa terakhir ini semakin memperlihatkan keterkaitan fitrah manusia situasi dan kesinambungan
budaya. Lebih maju lagi, keterkaitan kesinambungan budaya
dan fitrah manusia situasi secara lebih canggih direvitalisasi
dalam suatu konsep turunan yang kuat, yakni right to culture
atau hak atas budaya . Mengutip Yael Tamir, pembicara paling lantang konsep ini, right to culture atau hak atas budaya harus dipahami sebagai hak untuk mengakui bahwa
budaya dan keanggotaannya adalah sebuah persoalan komunal --bukan individual; selain secara sekaligus juga hak atas
suatu ruang publik yang memungkinkan individu-individu
berbagi bahasa, mengenang masa lalu, menyapa para pahlawan, serta menggelorakan suatu kehidupan kolektif nasional
1


,’
’ ’ ’
,’
’Three Critics of
the Enlightenment: Vico Hamman, Herder, London: Pimlico, 2000, pp.

168-242.
5

J. Susanto

yang saling mengisi.2 Sampai di sini, right to culture atau
hak atas budaya sebagai konsepsi tidak hanya merevitalisasi
kaitan erat nasionalisme dan liberalisme, tetapi secara sekaligus juga menempatkan kembali semangat renaissance kultural yang hidup, dinamis dan interpretatif modernitas dalam
kaitan erat konsepsi kesinambungan budaya dan fitrah manusia situasi.

Globalisasi, Atomisasi dan Krisis Manusia Situasi
Bila kesinambungan budaya secara konseptual menemukan
akar tunjangnya dalam arti penting konsepsi manusia situasi,
globalisasi yang menjadi penjelasan umum perubahan sosial
dewasa ini secara ironis justru mengantarkan umat manusia
pada
’ krisis manusia situasi . Penjelasan terbaik untuk
ini ditemukan dalam kecenderungan umum globalisasi untuk
berkembang sebagai kekuatan atomisasi.
Bertentangan dengan citra umumnya yang integratif, globalisasi pada dasarnya menyimpan kecenderungan mengudar

melalui kekuatan atomisasi. Dalam sebuah penjelasan yang
berpengaruh, salah seorang pendukung utama gagasan globalisasi, Anthony Giddens3, mengakui globalisasi sebagai perubahan sosial yang menantang tradisi dus secara sekaligus
mengakselerasi arti penting otonomi aksi. Disebut mengakselerasi oleh sebab secara historis prosesnya sudah dimulai
sejak zaman pencerahan atau Enlightenment period: tepatnya
2

Yael Tamir, Liberal Nationalism, New Jersey: Princeton University Press,
1993, p. 8.
3

,’
,’
’Runaway World: How
Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books, 2002, pp.
36-50.
6

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

ketika modernitas --melalui berbagai introdusi sistem ketatanegaraan modern misalnya-- mulai secara langsung menantang otoritas tradisi di ruang-ruang publik. Akan tetapi, ketidakmampuan modernitas untuk merangsek masuk ke ruang-ruang pribadi, menurut Giddens4, membuat tradisi tidak

sepenuhnya runtuh. Sebaliknya justru bertransformasi dalam
aneka persenyawaan baru yang mengadopsi pola-pola kekerabatan keluarga ataupun komunitas sebagai model. Meski
tidak disebutkan secara eksplisit, nasionalisme yang mengadopsi kosmopolitanisme terbatas di satu sisi namun masih
mempertahankan model kekerabatan komunitas di sisi lain
merupakan contoh.
Dalam globalisasi, otonomi aksi semakin merasuki ranah
privasi, --atau ranah keintiman menurut bahasa Giddens. Keluarga yang merupakan benteng terakhir tradisi dihadapkan
pada krisis kontrol keanggotaan yang serius. Perlahan tapi
pasti aneka pranata dan praktek kehidupan sehari-hari diudar
dari simpul tradisi. Sementara masyarakat-masyarakat yang
masih bertahan dalam keterikatan tradisi secara perlahan
kian tertradisionalisasi. Secara umum, dalam globalisasi, dunia tengah bergerak ke arah apa yang disebut Giddens5 sebagai kemunculan impresif masyarakat kosmopolitanisme
global .
Seperti namanya, masyarakat kosmopolitanisme global ditegakkan di atas supremasi individu atas komunalisme ikatanikatan sosial. Seperti kata Nussbaum6, satu-satunya ketundukan kosmopolitanisme adalah pada komunitas umat manusia yang mendunia. Selebihnya kosmopolitanisme mem4

Giddens, p. 42
Ibid., p. 43
6
’ .’
5


,’





Love of Country?, Boston: Beacon Press, 2002, pp. 2-17.
7

,’

’For

J. Susanto

bebaskan individu-individu untuk menikmati otonomi aksi
dan kebebasan berekspresi terlepas dari keterkungkungan
patriotisme ataupun tradisi. Sebagai konsepsi, pemikiran seperti ini sebenarnya tidak selalu berkaitan dengan globalisasi.
Kosmopolitanisme telah berkembang sejak era Stoics, Yunani

Kuno, jauh sebelum dikenal istilah globalisasi. Oleh karena
itu, kemunculannya kembali sebagai gagasan populer dewasa
ini tak lepas dari momentum suatu era yang menurut John

’ ’
Ralston Saul7 dicirikan oleh
terhindarkan di mana peradaban direformasi menurut pers’

.’

’globalisasi hadir
bersama supremasi kosmopolitanisme ekonomi, maka seluruh
tatanan peradaban dan ragangan perjumpaan kultural pun
terdesak dalam keniscayaan yang sama.
Kosmopolitanisme yang muncul sebagai kelanjutan perkembangan global mode ekonomi ini menyimpan kekuatan dahsyat bagi atomisasi, --sebuah proses pembebasan individu
dari keterikatan komunitas dan tradisi. Untuk lebih mengklarifikasi persoalan ini, kontribusi Manuel Castells menyediakan jembatan krusial. Merekam pergeseran-pergeseran
yang terjadi dalam dunia materiil, dalam teknologi, kemudian
mode produksi, Manuel Castells8 mengetengahkan konsep
masyarakat jejaring atau network society dan konsep ekonomi informasi atau informational economy. Dalam globalisasi,
menurut Castells, perekonomian semakin terorganisir tidak

dalam karakteristik keunggulan tanah atau geografi sebagai
faktor produksi yang bersifat tetap melainkan dalam karakteristik keunggulan tenaga kerja yang mobile terkait pengua7

John R. Saul, the Collapse of Globalism and the Reinvention of the
World, London: Atlantic Books, 2005, p. 19
8
Manuel Castells, the Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell
Publishers Ltd, 1996, Ch. 2.
8

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

saan infrastruktur-teknologi. Sebagai akibat dari perubahan
ini, suatu bentuk, interaksi, kontrol dan perubahan sosial
baru muncul dan mengorganisir diri dalam ragangan kemasyarakatan baru yang disediakan informasionalisme ekonomi.
Oleh karena yang terakhir ini lebih bersifat networking, fleksibel, dan koordinatif, maka tipe masyarakat yang kemudian
muncul adalah masyarakat jejaring atau network society.
Dalam network society ini, pola-pola keterhubungan sosial
lebih banyak diorganisir dalam arti penting networking, fleksibilitas dan koordinasi; meninggalkan model klasik sistem organisasional ketat, tata kelola kaku dan otoritas intruksional.
Yang krusial, menyusul arti penting networking, fleksibilitas
dan koordinasi itu ialah memudarnya batas-batas kaku keanggotaan, terindividualisasinya pola-pola keterhubungan sosial, serta tereduksinya keterikatan kolot pada kerja, ruang
dan waktu. Akibatnya, otonomi lembaga, organisasi dan sistem-sistem komunikasi mencair. Dunia menjadi semakin terlalu luas dan terlalu longgar untuk dikontrol oleh aktor-aktor
tradisional. Ketika keterikatan terhadap tempat dan waktu
tak lagi kaku, arti penting momen historis yang melekat pada
nya pun terdekonstruksi.
Pada titik inilah proses atomisasi secara sosio-kultural membawa akibat-akibat yang khas. Mengikuti kategorisasi Adam
K. Webb9, prosesnya mungkin dapat digambarkan sebagai
bersendikan dua hal: detachment dan homogenity, kurangnya
keterikatan dus transendensi. Jika keterikatan menempatkan
individu sebagai produk sosial situasi alias manusia situasi,
transendensi membuka ruang bagi pencarian yang terus menerus. Sebaliknya dengan kecenderungannya untuk bergerak
ke arah detachment dan homogenity, atomisasi mengudar in9

Adam K. Webb, Beyond the Global Culture War, New York: Routledge,
2006, pp. 19-20
9

J. Susanto

dividu dari keterikatan-keterikatan sosial pada ruang dan
waktu sementara pada saat yang sama bergerak homogen ke
arah masyarakat kosmopolitanisme global.
Yang krusial, proses ini bukannya tanpa krisis. Konsekuensikonsekuensi dari meningkatnya atomisasi dalam globalisasi
membawa ketegangan-ketegangan dalam relasi individu dan
sistem sosial. Sebagaimana tesis Castells10 bahwa dalam masyarakat jejaring konstruksi politik dan aksi-aksi sosial menjadi kian terorganisir dalam identitas-identitas primer, perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan subyek, serta upaya-upaya untuk mengu-kuhkan eksistensi personalitas yang
mampu melintas ruang dan waktu. Pertarungan pun menghangat dalam perebutan wilayah primer, yakni wilayah yang







.’ Suatu pertempuran identitas yang menurut Castells11,

.’ ’ ’
’ re’
’ ’
’ vs
presentasi kekuatan yang muncul sebagai hasil atomisasi,’ ’
’ w ’





f
atasnya. Celakanya, globalisasi bukan sebuah kekuatan netral
dalam pertempuran ini. Alhasil, ketika globalisasi melalui
kekuatan atomisasi membuka ruang lebih leluasa pada per’ ’
, pada saat yang sama justru membawa
krisis pada keberlangsun ’ ’
.
Krisis yang menyangkut

di atas adalah krisis yang


’ secara umum. Sebagaimana telah
diulas di bagian sebelum,

adalah individu
yang senantiasa terikat pada tradisi, produk dari interaksi individu dalam kombinasi unik ruang dan waktu. Proses atomisasi merelatifkan keterikatan erat ruang dan waktu, melong10

Manuel Castells, the Power of Identity, Oxford: Blackwell Publisher,
1997, p. 7
11
Castells, op. cit., the prologue.
10

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

garkan individu dari kewajiban sosial, memudarkan daya tarik
nilai-nilai kebajikan publik atau virtu, memburamkan romantika sosial terhadap memori-memori kolektif, dan pada akhirnya mendesakralisasi penghormatan terhadap tradisi serta upaya-upaya untuk menghadirkan masa lalu ke masa kini. Di
hadapan goncangan perubahan mendasar seperti itu, individu-individu kian terdesak dalam situasi krisis identitas. Terlanjur tercerabut dari akar sosial setempat tetapi tak kunjung
mendapatkan alternatif sumber identitas baru yang sepadan
di tingkat global. Dua kemungkinan kemudian terjadi: terperangkap dalam situasi defensif pembelaan identitas-tradisi
atau terperangkap dalam situasi global anomie. Jika yang pertama ditemui dalam gejala fundamentalisme, yang terakhir
dijumpai dalam apa dikenal sebagai vagabondisme.
Apabila fundamentalisme dipahami tidak terbatas persoalan
agama tetapi persoalan tradisi secara umum, kemunculannya
yang marak beberapa dekade terakhir dapat dipahami secara
lebih baik dalam kaitan globalisasi. Lebih dari sekadar reaksi
umum terhadap globalisasi, fundamentalisme adalah reaksi
defensif pembelaan tradisi dalam globalisasi. Sebagaimana
dikemukakan Anthony Giddens12, fundamentalisme adalah
reaksi tradisi yang terkepung. Sebuah tradisi yang mengalami
krisis akibat berpendarnya titik-titik referensi. Alih-alih mengupayakan titik temu, fundamentalisme merevitalisasi kesakralan teks-teks dan tradisi dasar melalui pemahaman serba-literal. Ketika globalisasi mendesak setiap tradisi untuk semakin
kosmopolit, fundamentalisme justru merituskannya sebagai
kebenaran tunggal.
Dalam kaitan ini, meski berbagi pandangan tentang sentralitas tradisi, fundamentalisme berbeda secara mendasar de12

Giddens, ibid., 48-49
11

J. Susanto

ngan tradisionalisme. Jika tradisionalisme berhenti sebatas
purifikasi tradisi, fundamentalisme bergerak lebih jauh lagi,
memberi vitalitas baru pada kontekstualitas puritanisme tradisi. Ini dimungkinkan berkat keberhasilannya mengetengahkan prakarya ulang yang kreatif atas nilai-nilai pokok suatu
tradisi. Di sini fundamentalisme pada taraf tertentu merupakan persoalan kesinambungan budaya. Hanya saja, jika kesinambungan budaya melakukannya melalui perjumpaan terbuka kontekstualitas masa lalu dengan tantangan mutakhir
masa kini, fundamentalisme melakukannya melalui inferensi
tertutup dan satu arah. Jika dalam kesinambungan budaya
korespondensi masa lalu adalah sebuah upaya kontekstualisasi akar, dalam fundamentalisme ia merupakan upaya kontekstualisasi dasar. Jika kontekstualisasi akar berbuah pendefinisian, konteks-tualisasi dasar berbuah dalil-dalil semesta
alam. Adalah dalam hubungan klaim terhadap dalil semesta
alam ini, fundamentalisme tidak hanya mewarisi misi universal globalisasi, tetapi secara sekaligus mewariskan problem
identitas yang rumit atasnya.
Akan tetapi, fundamentalisme bukan satu-satunya problem
identitas dalam globalisasi. Selain fundamentalisme dunia kini
dijangkiti virus vagabondisme. Jika fundamentalisme mengkonfirmasi situasi defensif pembelaan tradisi, vagabondisme
mengkonfirmasi situasi global anomie . Dalam sebuah analisis
yang menarik tentang globalisasi, Zygmunt Bauman13 menggambarkannya sebagai tragedi dari tourisme ke vagabondisme. Seperti dalam tourisme, globalisasi menjanjikan Kenyamanan petualangan tanpa batas, tetapi alih-alih menyediakan
itu, ia lebih sering jatuh dalam alter-egonya: vagabondisme.
Vagabondisme istilah yang kurang dikenal, tetapi vagabonds
13

Zygmunt Bauman, Globalization: the Human Consequences, New York:
Columbia University Press, 1998, pp. 77-102
12

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

–para gembel—dijumpai di mana-mana. Meski sama-sama
soal pengelanaan, tourisme dan vagabondisme berbeda. Dalam tourisme, seseorang berkelana karena keinginan sendiri;
sementara dalam vagabondisme, seseorang berkelana karena
tidak punya pilihan. Yang khas dari seorang vagabond –
seorang gembel—ialah tercerabutnya identitas yang didefinisikan dalam kaitan suatu tempat. Seorang tourist bagaimana
pun adalah seorang yang mampu kembali ke rumah, tetapi
vagabond tidak lagi memiliki tempat kembali. Bertentangan
dengan tourist, vagabond tidak memiliki identitas, asal, dan
tujuan yang terdefinisi. Seorang vagabond adalah seorang

.’
Sejauh menyangkut identitas, globalisasi merupakan transformasi manusia situasi menjadi vagabond, bukan tourist. Globalisasi menghadirkan pengelanaan seringkali bukan sebagai
pilihan tetapi keterpaksaan yang muncul sebagai konsekuensi
atomisasi. Sejauh menyangkut identitas, globalisasi tidak saja
menarik individu keluar dari sarang tradisi tetapi lebih jauh
menjadikannya tempat yang kurang bermartabat sebagai
rumah untuk kembali . Celakanya, keluar dari tradisi bukan
berarti eksodus ke tanah terjanji. Globalisasi tidak memiliki
tanah terjanji atau promised land, karena sekali-kali ia bukan
konsep tentang tempat, place atau territory. Dalam globalisasi, konsepsi tentang tempat telah direduksi menjadi sekadar
ruang, space, atau tempat singgah yang oleh karena sifatnya
tidak cukup kuat menjadi sumber identitas. Sebagai akibatnya, dalam globalisasi, banyak orang kian terdesak dalam
situasi kehilangan jatidiri. Seperti vagabond, dalam globalisasi
banyak orang kian berada dalam situasi anomie, --sebuah
situasi yang paling dihindari oleh setiap manusia situasi .

13

J. Susanto

Pemuda, Peziarahan dan Kesinambungan Budaya
Setelah menggarisbawahi problematika persoalan kesinambungan budaya dalam globalisasi, bagaimana lantas peran
pemuda harus didefinisikan dalam kaitan ini? Untuk sampai
pada jawaban memadai atas persoalan ini, telaah perlu dilakukan terhadap arti penting pemuda dalam kaitan integral
dengan arti penting peziarahan kultural dan kesinambungan
budaya. Tentu saja istilah pemuda di sini tidak hanya merujuk pada gender tertentu, melainkan kaum muda secara
umum sebagai sebuah eksponen budaya.
Dalam banyak konsepsi budaya, pemuda dan kemudaan
adalah sebuah konsep dan siklus krusial dalam busur kehidupan. Sebuah konsepsi yang memuat tidak saja periode paling kritis pencarian jatidiri tetapi juga fase paling aktif peziarahan budaya. Tentu saja muda di sini tidak terbatas persoalan usia, --sebuah salah paham umum yang masih sering
ditemui. Meski banyak disalahartikan sebagai penanda terpenting kemudaan, melekatnya usia pada kemudaan sesungguhnya




.’

yang muncul sebagai konsekuensi –bukan penyebab—pengertian umum kemudaan sebagai periode transisi dari kekanakan menuju kedewasaan. Dalam banyak tradisi, kekanakan merujuk pada tahapan kehidupan yang belum lengkap
yang didalamnya menyangkut pula pengertian secara fisik; sementara kedewasaan secara umum merujuk pada satu tahap
kesempurnaan hidup. Tidak seperti konsepsi kekanakan, konsepsi kemudaan secara definisi tidak mengindikasikan kebelumsempurnaan jasmani melainkan mental-spiritual. Jika kedewasaan adalah konsepsi mental-spiritual tentang kesempurnaan hidup, kemudaan adalah konsepsi mental-spiritual
tentang bagaimana memperjuangkannya.

14

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

Sebagai transisi mental-spiritual, kemudaan adalah sebuah
tikungan hidup yang krusial, yang didalamnya yang memuat
tidak saja periode paling kritis pencarian jatidiri tetapi juga
fase paling aktif peziarahan budaya. Kemudaan, dalam pemahaman seperti ini, adalah sebuah periode Bima dan Dewaruci dalam mitologi klasik pewayangan. Sebuah periode yang
ditandai dengan pencarian terhadap hakikat persoalan hidup,
pendefinisian situasi yang melingkungi, dan penentuan posisi
diri dalam kaitan persoalan dan situasi terdefinisi. Yang menarik, dalam banyak tradisi, upaya pencarian jati diri pemuda
dilekatkan dalam suatu penerimaan umum terhadap arti penting peziarahan kultural, --sebuah konsep yang menggambarkan proses pencarian yang open-ended, terbuka, dan menggarisbawahi keyakinan pada arti penting dialektika dan perjumpaan lintas budaya. Dalam budaya tradional Jawa, kemudaan secara sekaligus adalah penanda suatu masa –meski
secara umum masih terbatas pada kaum laki-laki-- untuk bepergian dari rumah, mengunjungi seorang guru, atau terlibat
dalam suatu proses ngangsu kawruh yang lebih terbuka.
Sementara dalam tradisi Melayu --juga tradisi-tradisi lain
yang berbasis budaya pesisir—masa kemudaan kerap dilekatkan dalam periode yang saling bertukar dengan masa dimulainya kehidupan rantau.
Layaknya sebuah tikungan, lebih jauh, kemudaan menyediakan momentum sekaligus energi yang multi-peluang, kendati
pada saat yang sama juga berarti multi-risiko. Tidak mengherankan jika sejak zaman purbakala kemudaan menjadi wilayah paling diperebutkan dalam pertempuran demagogis ataupun pertempuran ideologis. Seperti penguasaan terhadap
daerah jantung dalam doktrin geopolitik Harfold Mackinder,
penguasaan terhadap alam pikiran kemudaan suatu masa
berarti juga penguasaan terhadap unsur paling dinamis bagi
perubahannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
15

J. Susanto

tiap-tiap gagasan perubahan sosial senantiasa berlomba untuk mendapatkan perhatian kaum muda. Tidak mengheran
pula bila kaum muda senantiasa ada dalam setiap fenomena
sosial yang merepresentasi zamannya. Dalam kaitan dengan
kebutuhan-kebutuhan sosial yang membutuhkan banyak tenaga, tidak ada yang lebih menjanjikan selain melibatkan
orang-orang muda dalam perwujudannya.
Kaitan fundamentalisme dan kemudaan dalam globalisasi
mengkonfirmasi kecenderungan ini. Sebagai gagasan radikal
pembelaan tradisi, fundamentalisme membutuhkan banyak
energi. Dan sejauh ini, realitas di lapangan menunjukkan bahwa persoalan fundamentalisme telah berkembang lebih kompleks dari sekadar persoalan tradisi versus globalisasi. Lebih
jauh dari itu, fundamentalisme dalam prakteknya telah menggarisbawahi persoalan umum kemudaan dalam hubungannya
dengan identitas dan tradisi. Celakanya, banyak orang terlambat menyadari problematika ini. Ketika penyelidikan FBI
menggambarkan pelaku serangan bunuh diri ke menara kembar WTC sebagai sekelompok fundamentalis usia belasan
atau duapuluhan tahun --yang seharusnya disibukkan dengan
musik hip-hop dan permainan basket, banyak warga Amerika
Serikat dan juga warga dunia terkejut-kejut. Keterkejutan
yang mengingatkan orang pada sekelompok pemuda tanggung yang menjadi eksekutor pembantaian etnik di Rwanda,
memukul mundur pasukan Amerika Serikat di Somalia, hingga menggelorakan pengadilan jalanan terhadap kapitaliskapitalis sekolah dalam Revolusi Kebudayaan China. Demikianlah, di seluruh dunia, banyak orang terbukti tidak cukup
siap mengetahui bahwa bukan orang Amerika, orang Tutsi,
atau kaum kapitalis China yang sebenarnya menjadi target
sekaligus korban utama pertarungan tradisi versus globalisasi;
melainkan orang-orang muda sebagai eksponen budaya pada
umumnya.
16

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

Keterlambatan memahami bahaya yang mengancam kaum
muda ini typical dan sedikit banyak mudah dimengerti dalam
kaitan kecenderungan umum yang berlaku endemik dan men
dasar yang mendahului. Sejak revolusi bunga
’9
,’
generasi baby boomers dunia memang lebih banyak muncul
sebagai konsumen komersialisasi budaya pop dunia ketimbang produsen perlawanan-perlawanan terhadap kapitalisme
budaya. Perlawanan Teologi Pembebasan Amerika Latin 1980an yang mencoba menghidupkan kembali progresivitas politik
kaum muda 1960an tidak juga memberi perubahan selain
menambah lebih banyak kaos bergambar Che Guevara dalam
pengunjung konser-konser mereka, --yang seringkali juga
hasil produksi Warner Bross atau industri-industri kreatif
sejenis. Secara umum, radikalisme kaum muda berhenti setelah gelombang pasang akhir 9
’ ’

’ w ’
1970 an di Amerika Serikat. Dalam latar belakang seperti itu,
agak sulit membayangkan bahwa kegalauan umum tengah
melanda kaum muda dan membuka kemungkinan keterlibatan masif mereka dalam gerakan radikal resistensi budaya.
Keterlibatan masif kaum muda kosmopolit yang secara kontradiktif tampil dengan telepon genggam di tangan dan kartu
kredit di saku sambil meneriakkan seruan anti-kapitalisme
dan globalisasi di Seatlle 1999 sesungguhnya sebuah symptom, tetapi dalam prakteknya terbukti tidak cukup kuat
menyadarkan dunia tentang realitas kontemporer kegamangan ideologis kaum muda yang akut serta keterperangkapan
umum mereka dalam krisis budaya.
Padahal riset menunjukkan bahwa dalam globalisasi, posisi
kemudaan secara umum tengah terperangkap dalam sebuah
loop siklus global produksi dan konsumsi di satu sisi serta resistensi parokhial bagi keadilan dan kesetaraan anti-imperial

17

J. Susanto

di sisi yang lain ,14 sebuah situasi yang sejajar dengan keterperangkapan dalam sebuah loop
’ ’
di satu sisi
dan

di sisi yang lain, atau sebuah loop konflik
akselerasi atomisasi di satu sisi dan manusia situasi di sisi
yang lain. Tentang keterperangkapan ini di bagian sebelum
telah diulas secara cukup detil. Yang penting untuk diungkapkan di sini ialah fakta bahwa situasi loop yang melanda
kemudaan dewasa ini sesungguhnya bukan yang pertama
dalam sejarah politik dan kemudaan dunia. Seratus tahun
yang lampau, situasi keterperangkapan serupa di jumpai
dalam posisi canggung anak-anak muda Asia –dan juga
Afrika--dalam struktur budaya kolonial akhir abad kesembilan
belas dan awal abad kedua puluh. Sebagaimana dikemukakan
Benedict Anderson dalam Imagined Communities yang
monumental, bahwa dalam kehidupan politik dan kultural
koloni-koloni Eropa di Asia yang rasialis dan diskriminatif,
kemudaan berarti generasi pertama anak-anak muda yang
menikmati gaya dan standar pendidikan Eropa, berbicara
dalam cara dan gaya yang secara bahasa dan budaya berbeda
dengan orang tua mereka, tetapi secara psiko-kultural
tertancap secara kuat dalam kemalangan struktur pribumi
yang melahirkan mereka serta ketidakmampuan struktur
kolonial Eropa dalam menyerap keahliannya.15
Yang berbeda, di tengah keterperangkapan politiko-kultural
seratus tahun lampau, kaum muda kolonial Asia –dan juga
Afrika-- keluar dengan solusi otentik yang secara umum
mengkonfirmasi kontribusi penting mereka yang bersejarah
,’

,’

:’Y

,’
,’

,’

’ .’
-Orozco dan D. B. QinHilliard (ed.), Globalization: Culture and Education in the New
Millennium, Berkeley and Los Angeles: University of California Press,
2004, pp. 203-234.
15
Benedict Anderson, Imagined Communities, London: Verso, 1991, p. 119.

14

18

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

dalam memadukan arti penting perziarahan kultural dan kesinambungan budaya. Alih-alih menerima begitu saja struktur
kolonial yang melahirkan mereka atau kembali pada struktur
feodal yang melahirkan orang tua mereka, kaum muda Asia
dan Afrika seratus tahun lampau memilih untuk tidak memilih keduanya, melainkan secara distingtif mengembangkan
suatu proyek politiko-kultural impresif yang memuarakan
sisi-sisi dinamis perziarahan kultural mereka dalam gagasangagasan progresif kesinambungan budaya. Secara umum ini
merupakan fenomena khas yang secara brilian dicatatkan
Anderson sebagai salah satu elemen penting yang tidak saja
membedakannya dari proyek politiko-kultural serupa di
Eropa sebelumnya, tetapi juga yang secara historis menandai
kemunculan


, di mana
Indonesia merupakan salah satu kasus terpentingnya.16
Kaitan kontribusi kemudaan dalam memecah kebuntuan historis merupakan sejarah emas dalam historiografi Indonesia.
Dalam karya penting yang lain, misalnya, Anderson yang juga
ahli Indonesia ini percaya bahwa watak khas dan arah revolusi Indonesia pada permulaan-nya sebagian ditentukan oleh

. 17 Meski Anderson hanya menuliskan
periode sekitar revolusi fisik pasca kemerdekaan, secara umum keyakinannya menjelaskan posisi tipikal kemudaan dalam sejarah Indonesia. Dari Soempah Pemoeda 1928, Aksi
Tritura 1966, hingga Reformasi 1988, sejarah Indonesia pada
titik-titik paling kritisnya senantiasa menemukan elemen paling dinamisnya dalam peran menentukan kaum muda. Tidak
hanya itu, pada titiknya yang paling dasar, Indonesia sebagai
16
17

Anderson, ibid., pp. 113-140
Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan
Perlawanan di Jawa 1944-1946, terjemahan Jiman Rumbo, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1988, p. 15.
19

J. Susanto

bangsa secara tak terbantahkan merupakan proyek politikokultural kaum muda.
Adalah orang-orang muda yang berada di balik transformasi
menentukan makna Indonesia sebagai terminologi. Sampai
setidaknya kuarter pertama abad dua puluh, dunia hanya
mengenal Indonesia sebagai sebuah ekpresi geografis. Berkat
tangan dingin Hatta bersama kolega-kolega muda yang lain,
konsepsi tentang Indonesia ditransformasi menjadi nama tentang sebuah cita-cita politik, sebuah proyek politiko-kultural
yang menghimpun seluruh upaya penentuan nasib sendiri
pribumi Hindia-Belanda dalam satu tujuan bersama. Hatta
belum genap





Nama Indo



,’


hanya beberapa tahun lebih tua ketika



.’
Akan tetapi, kemudaan yang melahirkan Indonesia, memiliki
pengertian yang lebih luas dari sekadar soal usia. Seperti
telah disinggung sebelumnya, lebih jauh kemudaan merupakan kategori sosiologis dari se
’ peziarah kultural yang melancong bebas di antara kekakuan sistem
feodal pribumi dan sistem kolonial Hindia Belanda. Orangorang seperti Soekarno dan Hatta adalah sedikit di antara
pemuda yang mengenyam gaya dan cara pendidikan kolonial
kendati terlahir sebagai bangsawan pribumi, meski hanya
bangsawan tingkat menengah. Posisi unik ini memungkinkannya melakukan penjelajahan kultural ulang-alik di antara
kedua struktur kaku tersebut. Tetapi justru dalam posisi




,’


krisis muncul sebagai akibat ketidak-mampuan kedua sistem
politiko-kultural dalam menyerap secara sempurna sisi-sisi
dinamis mereka yang khas. Pada saat yang sama, sistem
terpusat pendidikan kolonial dan sistem kelas yang dikem20

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

bangkan pemerintah Hindia Belanda secara tidak sengaja
menyatukan mereka tidak saja dalam satu pusat perziarahan
kultural melainkan juga dalam kolektivitas nasib bersama.
Seperti digambarkan Anderson bahwa,



perziarahan pemuda Hindia Belanda waktu itu adalah Batavia: bukan Singapura, Bukan Manila, Bukan Rangoon, bukan
pula bahkan ibukota kerajaan Jawa di Jogjakarta dan
18
.
Meski lahir dari generasi muda pertama yang terdidik secara
kolonial, Indonesia sebagai proyek politiko-kultural bukan
kepanjangan dari sistem kolonial Hindia Belanda; meski
bukan pula berarti kepanjangan sistem feodal pribumi yang
memayungi generasi yang lebih tua. Sebaliknya, secara impresif Indonesia sebagai gagasan politik sejak awal dimaksudkan sebagai anti-tesis sistem kolonial Hindia-Belanda yang
rasial dan diskriminatif; serta anti-tesis sistem feodal pribumi
yang kolot dan tidak demokratis. Meski begitu, sisi-sisi
modern administrasi pemerintahan Hindia-Belanda tetap dipertahankan sementara nilai kultural yang relevan dalam
sistem pemerintahan feodal pribumi direvitalisasi. Kasus
pengadopsian model kontinental dalam sistem hukum dan revitalisasi nilai-nilai gotong-royong dalam sistem politik merupakan contoh. Akan tetapi, di atas semua itu, keberhasilan
menyepakati bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan bukti yang menggarisbawahi keinginan kuat kaum
muda untuk melahirkan Indonesia yang kosmopolit, civic, dan
demokratis paling tidak secara bahasa –bahasa Jawa yang
diucapkan separuh lebih penduduk Hindia-Belanda diyakini
sebagai tidak demokratis bahkan oleh Soekarno sendiri-tanpa harus terjebak pada pilihan mengadopsi bahasa kolonial yang lebih modern dan lebih berstatus pada masanya, -18

Anderson, op. cit., p. 121
21

J. Susanto

suatu pilihan yang gagal diwujudkan dalam gerakan kebangsaan sejenis di India.
Sampai di sini, solusi kolektif yang dipilih generasi muda dalam kaitan situasi-situasi khas ketegangan politiko-kultural
kolonial yang melahirkannya membawa mengemuka tidak
saja keberhasilan kaum muda dalam mengembangkan proyek
politiko-kultural impresif yang memuarakan sisi-sisi dinamis
perziarahan kultural mereka dalam gagasan-gagasan progresif
kesinambungan budaya; tetapi juga kemampuan mengesankan mereka untuk keluar dari jebakan atomisasi dan krisis
manusia situasi di zamannya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, terdapat kesejajaran yang penting -- kendati dalam
intensitas berbeda—antara dilema politiko-kultural kemudaan seratus tahun lampau dan perkembangan kontemporernya dewasa ini: dua-duanya berada dalam krisis identitas
yang sistemik. Bedanya, jika dilema kemudaan dewasa ini
muncul sebagai konsekuensi globalisasi, seratus tahun yang
lampau ia muncul sebagai konsekuensi imperialisme.
Perbedaan ini membuat variasi tetapi tidak secara mendasar
memupuskan harapan untuk menarik pelajaran berarti.
Seperti globalisasi, imperialisme Barat membawa serta virus
modernitas ke dalam struktur politiko-kultural pra-kolonial
yang tradisional. Prosesnya tidak harus berdarah-darah tetapi bisa jadi mengalir lembut melalui perluasan sistem pendidikan yang melibatkan kalangan pribumi yang lebih luas.
Akan tetapi, sekali sistem pendidikan modern kolonial diperluas, sekelompok generasi muda pribumi yang tercerabut
dari akar tradisionalnya pun muncul. Apabila sistem kolonial
cukup luwes untuk menyerap sisi paling progresif dari
generasi baru ini, ketegangan mungkin bisa ditunda. Tetapi
bila tidak, suatu situasi atomisasi modernitas yang berujung
krisis identitas muncul dan menuntut penyaluran radikal di
22

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

sana-sini. Pada titik ini, nasionalisme kewargaan sebenarnya
bukan satu-satunya pilihan. Pada saat yang sama, sejauh
menyangkut pencarian identitas dan ketegangan kultural,
senantiasa ada godaan dari alternatif-alternatif parokhial atau
pun kosmopolitan. Dalam kasus Indonesia seratus tahun lalu,
Islamisme dan Komunisme hadir sebagai alternatif yang kuat.
Tetapi, sekali lagi pilihan pada keIndonesiaan yang civic dan
kewargaan terbukti menyediakan keseimbangan luwes kebutuhan-kebutuhan perziarahan kultural di satu sisi dan kebutuhan-kebutuhan kesinambungan budaya di sisi lain. Dan
sepanjang soal perziarahan kultural, tidak ada yang melebihi
arti strategis kaum muda sejauh ini.
Dalam globalisasi, proses pencerabutan identitas berlangsung
lebih intensif dan bervariasi, tetapi secara umum konsekuensi-konsekuensi umumnya tidak benar-benar baru. Telaah
persoalan kesinambungan budaya dalam kaitan tantangan
umum globalisasi membawa mengemuka isu atomisasi dan
krisis manusia situasi serupa. Oleh karena itu, seperti seratus
tahun yang lalu, sebuah reposisi dan reaktualisasi peranperan peziarah kultural kaum muda dalam muara-muara
penguatan identitas kolektif yang secara elegan mewadai
kebutuhan bagi perjumpaan kultural di satu sisi dan kesinambungan budaya di sisi yang lain secara kontekstual menemukan arti pentingnya kembali. Barangkali secara praktek
bentuknya tidak harus berupa gerakan nasionalisme seperti
seratus tahun yang lampau. Akan tetapi, di tengah bahaya
fundamentalisme dan vagabondisme, agak sulit menemukan
kolektivitas kultural yang se-elegan dan se-progresif nasionalisme. Adalah benar bahwa nasionalisme dalam bentuk yang
chauvinis pernah menjadi trauma bagi perjumpaan terbuka
budaya; akan tetapi, dalam kaitan kesinambungan ini,
nasionalisme dipahami dalam pengertian berbeda: bukan
sebagai kolektivitas etnik , melainkan


. Da23

J. Susanto

lam kaitan itu, reposisi untuk secara sekaligus mentransformasi peran-peran peziarah kaum muda dalam rangkaian
simultan dan kolektif upaya-upaya memperkuat dan memudakan –dalam pengertian progresif— visi kolektivitas budaya menemukan kontekstualitasnya kembali. Yang menarik,
terkait peran-peran renaissance budaya ini, kaum muda
Indonesia bukannya tanpa histori. Sebaliknya, secara impresif
bahkan merupakan kasus rujukan penting. Oleh karenanya,
transformasi peran peziarah kultural kaum muda dalam
peran-peran progresif renaissance budaya kolektif bangsa
selain kontekstual seharusnya juga menyejarah.
Kesimpulan
Bila kesinambungan budaya secara konseptual menemukan
akar tunjangnya dalam arti penting konsepsi manusia situasi,
globalisasi justru mengantarkan umat manusia pada kondisi


.’ Penjelasan terbaik untuk ini ditemukan dalam kecenderung-an umum globalisasi untuk
berkembang menjadi kekuatan atomisasi. Sementara itu, alihalih menjadi jawaban, fundamentalisme dan vagabondisme
yang marak dewasa ini justru menjadi bagian ekstrim dari
krisis manusia situasi. Dalam kaitan itu, rujukan kepada
tradisi menemukan arti penting tetapi tidak dalam sifatnya
yang statis, linear dan doktriner; tetapi dalam ciri dinamis,
multiinterpretatif, dan hidup. Melalui konsepsi kesinambungan budaya, arti penting hubungan dinamis, multiinterpretatif, dan hidup ini digarisbawahi. Oleh karena persoalan
tradisi adalah persoalan dialektika kultural lintas generasi,
tidak ada yang lebih penting dari membahas posisi unik dan
dinamis kemudaan dalam kaitan ini. Muda di sini bukan soal
usia, melainkan kategori sosiologis yang melekat pada suatu
generasi antara dengan perziarahan kultural menuju kedewa24

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya

saan sebagai ciri utama. Dalam kaitan peran-peran luwes
kemudaan dalam kaitan perziarahan kultural itu, globalisasi
tidak hanya menempatkan pemuda dalam posisi krisis identitas serupa, tetapi lebih jauh membuka peluang bagi peranperan pentingnya kembali. Menariknya telaah terhadap sejarah kemudaan seratus tahun yang lalu mencatat kegemilangan pemuda tidak saja dalam mengembangkan proyek politiko-kultural impresif yang memuarakan sisi-sisi dinamis
perziarahan kultural mereka dalam gagasan-gagasan progresif
kesinambungan budaya; tetapi juga kemampuan mengesankan mereka untuk keluar dari jebakan atomisasi dan krisis
manusia situasi di zamannya. Lebih menarik lagi, dalam
kaitan sejarah kegemilangan ini, kaum muda Indonesia bukan
hanya penonton, melainkan kasus rujukan yang penting. Dari
sini, transformasi peran peziarah kultural kaum muda dalam
peran-peran progresif renaissance budaya kolektif bangsa
selain kontekstual seharusnya juga menyejarah.
Keterangan untuk Kutipan:
Sumber: Joko Susanto, 2008.
,’
’ ’

,’


’ ed., Pemuda dan Nasionalisme: Modal Sosial bagi Pengembangan Propinsi Jawa Timur, Surabaya.
Joko Susanto adalah staf pengajar Departemen Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Airlangga. Sarjana Hubungan Internasional, Universitas
Airlangga, tahun 2000. Master Studi Politik Global, London School of

,’

.’


’ Globalisasi dan Imserta
,’


lisme ’
pe
pada Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga.

25

J. Susanto

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 1991, Imagined Communities, London: Verso.
-----------------------. 1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terjemahan Jiman
Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bauman, Zygmunt. 1998. Globalization: the Human Consequences,
New York: Columbia University Press.
,’
.’
.’
’ ’ ’
,’
’Three
Critics of the Enlightenment: Vico Hamman, Herder,
London: Pimlico.
Castells, Manuel. 1996. the Rise of the Network Society, Oxford:
Blackwell Publishers Ltd.
--------------------. Manuel. 1997. the Power of Identity, Oxford:
Blackwell Publisher.
Gi
,’
.’
.’
,’
’Runaway World: How
Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books.
,’
.’ 4’

:’Y

,’
,’ ’
,’

’ .’
Orozco dan D. B. Qin-Hilliard (ed.), Globalization: Culture
and Education in the New Millennium, Berkeley and Los
Angeles: University of California Press, pp. 203-234.
,’
’ .’
.’
’ ’
,’
dalam For Love of Country?, Boston: Beacon Press.
Saul, John Ralston. 2005. the Collapse of Globalism and the
Reinvention of the World, London: Atlantic Books.
Tamir, Yael. 1993. Liberal Nationalism, New Jersey: Princeton
University Press.
Webb, Adam K. 2006. Beyond the Global Culture War, New York:
Routledge.
--0--

26