PARADIGMA PEMBELAJARAN FISIKA dan ASESME
PARADIGMA PEMBELAJARAN FISIKA dan ASESMEN OUTENTIK
UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI EMAS YANG KOLABORATIF, KOOPERATIF,
KOMPETITIF DAN BERKARAKTER1
Oleh: Prof. Dr. Festiyed, MS,
Email: festiyed@ymail.com Hp:08126742403
Universitas Negeri Padang
PENDAHULUAN
Generasi Emas adalah generasi masa depan sebagai sumber daya manusia (SDM)
yang perlu mendapat perhatian serius dalam era globalisasi saat ini karena generasi
emas mempunyai peran yang sangat strategis dalam mensukseskan pembanguan
nasional. Mutu generasi emas akan menjadi modal dasar bagi daya saing bangsa
terutama di era masyarakat berpengetahuan. Peningkatan mutu generasi emas hanya
dapat dilakukan melalui pendidikan yang bermutu dalam perspektif masa depan,
yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan
modern, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam
membangun pendidikan yang bermutu akan memberikan kontribusi besar pada
pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam konteks
demikian, pembangunan pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat
luas, yaitu dimensi sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Dalam perspektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar yang
mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam mobilitas
masyarakat. Dalam perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan
medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan
menanamkan etos dikalangan warga masyarakat. Oleh karena itu pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia
yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan
menghasilkan manusia-manusia yang andal untuk menjadi subyek penggerak
pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Oleh karena itu, pendidikan harus
mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai
teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis dan kecakapan hidup yang memadai.
Dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas
1 Disajikan pada Seminar Nasional dan Kuliah Umum , Universitas Sriwijaya
(UNSRI) Palembang 24-24 Oktober 2015
individu untuk menjadi warga negara yang baik (good citizen), yang memiliki
kesadaran akan hak dan tanggungjawab dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Karena itu, pendidikan harus dapat melahirkan individu
yang memiliki visi dan idealisme untuk membangun kekuatan bersama sebagai
warga masyarakat daerah Kabupaten/Kota dan bangsa Indonesia.
Paradigma
baru
dalam
keunggulan kemampuan
tersembunyi.
pendidikan
manusia
masa
sebagai
depan
generasi
mengisyaratkan aktualisasi
emas yang
kini
masih
Untuk mengaktualisasikannya ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan yaitu: Pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan
kemampuan manusia yang saling melengkapi,
1. Pengembangan sumber daya manusia atau Human Resource Development
(HRD), terutama terfokus pada keterampilan, sikap dan kemampuan produktif
ketenagakerjaan sehingga diperlakukan manusia sebagai “sumber untuk
dimanfaatkan” (yaitu sebagai obyek), dalam mencapai tujuan ekonomi, terutama
dalam jangka waktu pendek. Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam,
melainkan “diatur dari atas” sesuai kepentingan lingkungannya.
2. Pengembangan kemampuan manusia atau Human Capacity Development
(HCD) sepanjang hayat yang berhak dan mampu memilih berbagai peran dalam
meraih berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota masyarakat, sebagai
orang tua, atau sebagai pekerja dan konsumen, yaitu suatu perkembangan yang
arah dan sasarannya terutama terjadi dari dalam, namun disulut untuk
aktualisasinya. Karena itu, HCD menunjuk pada konstelasi keterampilan, sikap
dan
perilaku
dalam
melangsungkan
hidup
mencapai
kemandirian
(Levinger,1996), sekaligus memiliki daya saing tinggi dan daya tahan terhadap
gejolak ekonomi dunia. HCD bermutu adalah proses kontekstual melalui upaya
pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia menguasai pengetahuan dan
keterampilan yang cocok dengan tuntutan dunia kerja pada saat ini, melainkan
manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat, serta dilandasi
sikap, nilai,etik dan moral. HCD tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual,
tetapi kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan moral, dan
kecerdasan spiritual.
Namun untuk mewujudkan generasi emas tentu dihadapkan dengan sejumlah
tantangan dan peluang, yang tentunya berbeda dengan zaman sebelumnya. Guna
mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan dan dinamika
perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung,
Badan Standar Nasional
Pendidikan (BNSP), pada tahun 2010 telah berupaya mengkonsepsikan pendidikan
Indonesia untuk abad ke-21. Konsepsi pendidikan tersebut dimulai dari proses
pembelajaran bercirikan : 1) Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa,
2) Dari satu arah menuju interaktif, 3) Dari isolasi menuju lingkungan jejaring, 4) Dari
pasif menuju aktif-menyelidiki, 5) Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata, 6)
Dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim, 7) Dari luas menuju perilaku khas
memberdayakan kaidah keterikatan, 8) Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi
ke segala penjuru, 9) Dari alat tunggal menuju alat multimedia, 10) Dari hubungan
satu arah bergeser menuju kooperatif, 11) Dari produksi massa menuju kebutuhan
pelanggan, 12) Dari usaha sadar tunggal menuju jamak, 13) Dari kontrol terpusat
menuju otonomi dan kepercayaan, 14) Dari pemikiran faktual menuju kritis, 15) Dari
penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan.
Begitu juga Kementerian Pendidikan Nasional (2010) mengembangkan grand
design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan
pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and
emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa
(Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi
pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design
tersebut.
Untuk bisa diimplementasikan, diperlukan kerjasama yang harmonis dan terus
menerus antara seluruh insan pendidikan, pemerintah, pemerintah daerah,
organisasi yang bergerak di dunia pendidikan dalam meningkatkan kualitas
pendidikan, sehingga akan dapat diwujudkan generasi emas yang berkarakter,
cerdas, dan kompetitif. Salah satu usaha lansung yang dapat dilakukan oleh
organisasi yang bergerak di dunia pendidikan untuk melahirkan generasi emas
adalah melalui pembelajaran kolaboratif, kooperatif, kompetitif dan berkarakter
(empat pilar). Masalahnya bagaimanakah empat pilar tersebut terintegrasi dalam
pembelajaran dan penilaiaan (asesmen) serta dikembangkan secara simultan?
PERGESERAN PARADIGMA PENDIDIKAN
Paradigma
diartikan
sebagai
cara
pandang
seseorang
terhadap
diri
dan
lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat
asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas
kepada sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
Sehingga paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami
pendidikan, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalahmasalah pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan
tersebut.
Di era globalisasi semua yang ada cepat berubah, maka dunia pendidikan juga
harus berubah, sehingga dunia pendidikan menjadi relevan dengan tantangan dan
peluang yang terjadi di kehidupan nyata. Dalam dunia kerja saat ini kemampuan
yang diminta adalah kemampuan untuk bekerja sama dalam team, kemampuan
pemecahan masalah, kemampuan untuk mengarahkan diri, berpikir kritis, menguasai
teknologi serta mampu berkomunikasi dengan efektif. Kemampuan-kemampuan
tersebut diatas disebut sebagai kemampuan abad ke-21, dan harus mampu
dikembangkan secara sistematis dalam dunia pendidikan, proses pembelajaran
harus mampu mendorong terciptanya kemampuan tersebut. Jadi selain kemampuan
akademis maka dunia pendidikan harus mampu menciptakan manusia yang
mempunyai kemampuan belajar, beradaptasi dan berinovasi.
Pergeseran paradigma pendidikan mencakup beberapa hal pokok yaitu :
1.
Kebijakan
pendidikan,
kebijakan
pendidikan
harus
menunjukkan arahan yang jelas mengenai tujuan dan target yang ingin dicapai
serta cara untuk mencapainya. Kebijakan harus tetap fleksibel dan bisa
diterapkan sesuai kondisi lokal. Kurikulum sebagai acuan dalam pengembangan
pembelajaran dan sistem penilaian harus sudah mengarah pada pola
pemblajaran abad 21 yang lebih berpusat pada siswa.
2.
Pengembangan kompetensi Guru, guru sebagai motor
terdepan dalam perubahan harus menjadi pihak pertama yang siap dalam
proses perubahan ini. Guru harus mampu mengubah proses pembelajarannya
dari yang tradisional berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa
3.
Teknologi,
integrasi
teknologi
dalam
proses
belajar
merupakan sebuah keniscayaan, siswa harus diarahkan dan diberikan
kesempatan yang sebesar-besarnya dalam mencari informasi sesuai dengan
target pembelajaran. Pembelajaran dengan teknologi sebetulnya sama dengan
proses bekerja dalam kehidupan nyata yang selalu bersinggungan dengan
teknologi, yang artinya proses pembelajaran menjadi relevan dengan proses
kerja.
4.
Riset dan evaluasi, setiap proses apapun membutuhkan
umpan balik untuk menyempurnakan sistemnya,
oleh karena itu evaluasi
menjadi penting untuk melihat dampak keberhasilan dari setiap kebijakan. Riset
menjadi penting agar kita selalu dalam kondisi aktual dalam pengembangan
dunia pendidikan.
Pergeseran paradigma pendidikan terjadi diberbagai tingkatan baik dari satuan
terkecil di satuan pendidikan yaitu sekolah, perguruan tinggi maupun di tingkat
pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai nasional. Saat ini Indonesia sudah
menuju perubahan dengan terbitnya kurikulum 2013 untuk pendidikana dasar, dan
kurikulum berdasarkan deskripsi kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI)
(Peraturan Pemerintah No.8 tahun 2012) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi
(SNPT) (Permendikbud NO.49 Tahun 2014) untuk perguruan tinggi.
Apakah Kolaboratif, Kooperatif, Kompetitif dan karakter?
Suksesnya lembaga pendidikan meningkatkan mutu lulusan sangat bergantung
pada keberhasilan lembaga tersebut memfasilitasi peserta didik belajar lebih
kolaboratif, kooperatif, kompetitif dan karakter. Masalahnya bagaimana kolaboratif,
kooperatif, kompetitif dan karakter dalam model dan pendekatan pembelajaran
dikembangkan secara simultan? Strategi kunci membangun kompetensi tersebut
bagaikan meninggikan menara yang memerlukan empat penopang utama yang
saling menguatkan satu sama lain dan masingmasing memerlukan teknik
pengembangan yang berbeda. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kolaborasi
Kolaborasi merupakan filosofi yang mendasari interaksi dan pola prilaku hidup
sesorang yang menempatkan kerja sama sebagai bagian penting dari disain
strukur interaksinya yang memfasilitasi pencapaian tujuan atau hasil akhir.
Belajar berkolaborasi (Collaborative learning)adalah filosofi yang mendasari
keyakinan seseorang dalam belajar dengan cara kerja sama, tidak hanya
sekedar teknik belajar dalam kelas. Dalam seluruh rangkaian kegiatan orang
orang diintegrasikan dalam kelompok. Dalam kesatuan itu orang menghargai
kemampuan individu sebagai aset yang dapat berkontribusi pada kelompok. Ada
pembagian tanggung jawab di dalamnya sehingga kekuatan kolektif itu menjadi
lebih besar dibandingkan dengan keuatan sendirisendiri. Premis dasar
pembelajaran kolaboratif adalah membangun konsensus dalam kerja sama
kelompok. Dan, kekuatan kolektif melebihi keuatan sendirisendiri. Dengan
demikian kolaborasi merupakan filosofi yang diterapkan secara praktis untuk
menyatukan orangorang dalam kerja sama agar mencapai tujuan yang lebih
besar.
Belajar berkolaborasi dapat dipandang pula sebagai metode belajar mengajar
yang menempatkan siswa bekerja berkelompok, berdiskusi, bereksplorasi,
berelaborasi, memecahkan masalah, mengembangkan kreasi dalam
menyelenggarakan proyek, mempresentasikan, berdebat, serta kegiatan lain
yang memungkinkan siswa berkerja sama sehingga setiap individu dapat
berkembang optimal dalam kerja sama kelompok. Dijelaskan lebih jauh bahwa
belajar berkolaborasi pada dasarnya mengembangkan kegiatan dalam kerja
sama kelompok.
2. Kooperatif (cooperative)
Konsep kooperasi “cooperation” lebih menekankan pada produk daripada
proses. Jadi belajar pada konsep ini lebih mementingkan tujuan, menempatkan
hasil kegiatan sebagai tujuan utama. Pembelajaran koopperatif (Co-operative
learning) berkembang baik di Amerika yang merujuk pada filosofi yang
dikembangkan oleh John Dewey yang menekankan pada kedewasaan sosial.
Dewey menegaskan bahwa belajar merupakan proses interaksi sosial dalam
bentuk kerja sama untuk mencapai target (Ted Panitz: 1996)
Tradisi cooperative
learning menggunakan
pendekatan
kuantitatif
dalam
mempelajari pencapain kinerja belajar siswa yang diukur dengan produk belajar
yang dapat siswa wujudkan. Belajar Kooperatif (Cooperative learning) adalah
seperangkat proses yang membantu siswa berinteraksi dalam kelompok untuk
mencapai tujuan bersama. Tujuan disepakati bersama dengan targettarget yang
spesifik. Kegiatan kooperatif lebih mengarah pada tujuan yang khusus
dibadingkan dengan pada sistem kolaborasi. Dalam kegiatan kooperatif berbagai
mekanisme analisis kelompok lebih berpusat pada guru sedangkan pada
pendekatan kolaboratif lebih berpusat kepada siswa. Struktur pendekatan belajar
kooperatif (coopertive learning) lebih difokuskan pada kreasi, analisis, dan
aplikasi struktur secara sistematis atau lebih bebas dalam menyampaikan materi
dalam kelas melalui interaksi organisasi sosial dalam kelas. Oleh karena itu
kegiatan dalam kelas terbagi dalam pentahapan sesuai dengan pentahapan
pencapaian tujuan.
3. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran kolaboratif
Kesamaan konsep kooperatif dan kolaboratif menegaskan pada pendekatan
pembelajaran melalui kerja sama kelompok. Keduanya menetapkan pekerjaan
yang spesifik, dan keduanya menegaskan pentingnya curah pendapat dan
membandingkan prosedur dan kesimpulan dalam akhir pertemauan. Yang
membedakan keduanya dalam fakta bahwa istilah cooperative lebih
mencerminkan ilmu pengetahuan yang populer dalam jaman kolonial sedangkan
kolaboratif lebih menegaskan keterkaitannya dengan gerakan konstruktivisme
sosial sebagai dampak dari perubahan ilmu pengetahuan yang dramatis dalam
abad ini.
Persamaan pembelajaran kooperatif dan kolaboratif adalah siswa sama-sama
belajar dalam kelompok kecil dengan struktur aktivitas yang spesifik dan dalam
keduanya siswa mencurahkan potensinya setiap individu untuk berkontribusi
pada prestasi kelompok.
4. Kompetisi
Definisi belajar kompetitif (competitive learning) yang ekstrim dinyatakan oleh
Johnson&Johnson (1991) yang menyatakan hanya ada satu siswa yang
mencapai tujuan dan semua yang lainnya belum berhasil. Kompetisi dapat
berjalan antara individu maupun antar kelompok. Kompetisi bisa dalam bentuk
mutu proses belajar, hasil belajar, maupun penggunaan waktu belajar.
Sekali pun pada definisi tersebut tidak ada yang salah, namun tak urung juga
mendapat sorotan banyak ahli. Masalahnya persaingan yang ketat hanya
menempatkan satu siswa yang berhasil, sedangkan yang lainnya gagal dapat
menimbulkan beban mental bagi sebagian besar siswa. Mewadahi pemikiran
yang lebih kompromis maka dalam berkompetisi siswa diberi garis finis. Siswa
yang berhasil melewati garis finis bisa satu atau beberapa orang dalam waktu
yang sama. Karenanya yang dapat meraih garis finis bisa lebih dari satu orang.
Dengan sistem ini memungkinkan lebih banyak siswa yang jadi juara asalkan
mereka memenuhi kriteria. Pembelajaran kompetitif secara empirik dapat
meningkatkan motivasi siswa baik dalam ruang lingkup kegiatan kurikuler
maupun
dalam
kegiatan
ekstra.
Dengan
semangat
kompetisi
dapat
meningkatkan kreativitas, daya juang, dan kerja sama dalam memecahkan
masalah. Dengan kompetisi juga dapat meningkatkan kecepatan siswa belajar
sehingga proses belajar menjadi lebih efisien. Model pembelajaran interaktif
seperti dalam kegaitan membaca, menyimak, mengeksplorasi teori, menerapkan
teori dalam bentuk keterampilan di dalam mapun di luar kelas dapat berkembang
lebih dinamis melalui model pembelajaran kompetitif.
5.
Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara. Sedang berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat,
bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang ia buat. Karakter terdiri dari tiga unjuk perilaku yang saling
berkaitan yaitu tahu arti kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berperilaku baik
(Lickona, 1991). Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada
kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter
dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik. Insan yang berperilaku
berkarakter hendaknya disertai tindakan yang cerdas dan perilaku cerdas
hendaknya pula diisi upaya yang cerdas. Karakter dan kecerdasan dipersatukan
dalam perilaku yang berbudaya. Kehidupan yang berkarakter tanpa disertai
kehidupan yang
cerdas akan menimbulkan
berbagai kesenjangan dan
penyimpangan serta ketidakefisienan.
Pendidikan berkarakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Dalam
pendidikan berkarakter di lembaga pendidikan, semua komponen pendidikan
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu: Isi
kurikulum, Proses pembelajaran, Penilaian, Penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, Pengelolaan sekolah, Pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-
kurikuler, Pemberdayaan sarana prasarana, Pembiayaan, dan Ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan
PEMBELAJARAN AUTENTIK DAN ASESMEN AUTENTIK
Pembelajaran autentik dengan penilaian autentik adalah suatu cara untuk
memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran yang kolaboratif, kooperatif,
kompetitif dan karakter. Asesmen autentik mengharuskan pembelajaran yang
autentik pula. Menurut Ormiston belajar autentik mencerminkan tugas dan
pemecahan masalah yang diperlukan dalam kenyataannya di luar sekolah. Asesmen
Autentik terdiri dari berbagai teknik:
1. Pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan
hasil jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja.
2. Penilaian atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja
yang kompleks.
3. Analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respon peserta didik atas
perolehan sikap, keteampilan, dan pengetahuan yang ada.
Dengan demikian, asesmen autentik akan bermakna bagi guru untuk menentukan
cara-cara terbaik agar semua siswa dapat mencapai hasil akhir, meski dengan
satuan waktu yang berbeda. Konstruksi sikap, keterampilan, dan pengetahuan
dicapai melalui penyelesaian tugas di mana peserta didik telah memainkan peran
aktif dan kreatif. Keterlibatan peserta didik dalam melaksanakan tugas sangat
bermakna bagi perkembangan pribadi mereka.
Dalam pembelajaran autentik, peserta didik diminta mengumpulkan informasi
dengan pendekatan saintifik, memahahi aneka fenomena atau gejala dan
hubungannya satu sama lain secara mendalam, serta mengaitkan apa yang
dipelajari dengan dunia nyata yang luar sekolah. Di sini, guru dan peserta didik
memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi. Peserta didik pun tahu apa yang
mereka
ingin
pelajari,
memiliki
parameter
waktu
yang
fleksibel,
dan
bertanggungjawab untuk tetap pada tugas. Asesmen autentik pun mendorong
peserta didik mengkonstruksi, mengorganisasikan, menganalisis, mensintesis,
menafsirkan,
menjelaskan,
dan
mengevaluasi
mengubahnya menjadi pengetahuan baru.
informasi
untuk
kemudian
Sejalan dengan deskripsi di atas, pada pembelajaran autentik, guru harus menjadi
“guru autentik.” Peran guru bukan hanya pada proses pembelajaran, melainkan juga
pada penilaian. Untuk bisa melaksanakan pembelajaran autentik, guru harus
memenuhi kriteria tertentu seperti disajikan berikut ini.
1.
Mengetahui bagaimana menilai kekuatan dan kelemahan peserta
didik serta desain pembelajaran.
2.
Mengetahui bagaimana cara membimbing peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan mereka sebelumnya dengan cara mengajukan
pertanyaan dan menyediakan sumberdaya memadai bagi peserta didik untuk
melakukan akuisisi pengetahuan.
3.
Menjadi pengasuh proses pembelajaran, melihat informasi baru, dan
mengasimilasikan pemahaman peserta didik.
4.
Menjadi kreatif tentang bagaimana proses belajar peserta didik dapat
diperluas dengan menimba pengalaman dari dunia di luar tembok sekolah.
Asesmen autentik adalah komponen penting dari reformasi pendidikan sejak tahun
1990an. Wiggins (1993) menegaskan bahwa metode penilaian tradisional untuk
mengukur prestasi, seperti tes pilihan ganda, benar/salah, menjodohkan, dan lainlain telah gagal mengetahui kinerja peserta didik yang sesungguhnya. Tes semacam
ini telah gagal memperoleh gambaran yang utuh mengenai sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didik dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka di luar sekolah
atau masyarakat.
Asesmen hasil belajar yang tradisional bahkan cenderung mereduksi makna
kurikulum, karena tidak menyentuh esensi nyata dari proses dan hasil belajar
peserta didik. Ketika asesmen tradisional cenderung mereduksi makna kurikulum,
tidak mampu menggambarkan kompetensi dasar, dan rendah daya prediksinya
terhadap derajat sikap, keterampilan, dan kemampuan berpikir yang diartikulasikan
dalam banyak mata pelajaran atau disiplin ilmu; ketika itu pula asesmen autentik
memperoleh traksi yang cukup kuat. Memang, pendekatan apa pun yang dipakai
dalam penilaian tetap tidak luput dari kelemahan dan kelebihan. Namun demikian,
sudah saatnya guru profesional pada semua satuan pendidikan memandu gerakan
memadukan potensi peserta didik, sekolah, dan lingkungannya melalui asesmen
proses dan hasil belajar yang autentik.
Data asesmen autentik digunakan untuk berbagai tujuan seperti menentukan
kelayakan akuntabilitas implementasi kurikulum dan pembelajaran di kelas tertentu.
Data asesmen autentik dapat dianalisis dengan metode kualitatif, kuanitatif, maupun
kuantitatif. Analisis kualitatif dari asesmen otentif berupa narasi atau deskripsi atas
capaian hasil belajar peserta didik, misalnya, mengenai keunggulan dan kelemahan,
motivasi, keberanian berpendapat, dan sebagainya. Analisis kuantitatif dari data
asesmen autentik menerapkan rubrik skor atau daftar cek (checklist) untuk menilai
tanggapan relatif peserta didik relatif terhadap kriteria dalam kisaran terbatas dari
empat atau lebih tingkat kemahiran (misalnya: sangat mahir, mahir, sebagian mahir,
dan tidak mahir). Rubrik penilaian dapat berupa analitik atau holistik.
Dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 untuk pendidikan dasar dan KBK berbasis
KKNI-SNPT untuk perguruan tinggi, memudahkan terlaksananya pembelajaran
autentik dengan asesmen autentik.
APAKAH ASESMEN AUTENTIK ITU?
Pada awalnya istilah tersebut diperkenalkan oleh Wiggins tahun 1990 untuk
menyesuaikan dengan yang biasa dilakukan oleh orang dewasa sebagai reaksi
(menentang) penilaian berbasis sekolah seperti mengisi titik-titik, tes tertulis, pilihan
ganda, kuis jawaban singkat. Jadi dikatakan otentik dalam arti sesungguhnya dan
realistis. Apabila kita melihat di tempat kerja, orang-orang tidak diberikan tes pilihan
ganda untuk menguji bisa tidaknya mereka melakukan pekerjaan tersebut. Mereka
mempunyai performansi, kinerja atau unjuk kerja.
Dalam bisnis dikatakan performance assessment. Menurut Jon Mueller (2006)
penilaian otentik merupakan suatu bentuk penilaian yang para siswanya diminta
untuk
menampilkan
tugas
pada
situasi
yang
sesungguhnya
yang
mendemonstrasikan penerapan keterampilan dan pengetahuan esensial yang
bermakna. Pendapat serupa dikemukakan oleh Richard J. Stiggins (1987), bahkan
Stiggins menekankan keterampilan dan kompetensi spesifik, untuk menerapkan
keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai. Hal itu terungkap dalam
cuplikan kalimat berikut ini: “performance assessments call upon the examinee to
demonstrate specific skills and competencies, that is, to apply the skills and
knowledge they have mastered” (Stiggins, 1987:34)
Grant Wiggins (1993) menekankan hal yang lebih unik lagi. Grant menekankan
perlunya kinerja ditampilkan secara efektif dan kreatif. Selain itu tugas yang diberikan
dapat berupa pengulangan tugas atau masalah yang analog dengan masalah yang
dihadapi orang dewasa (warganegara, konsumen, professional) di bidangnya.
Asesmen otentik lebih sering dinyatakan sebagai asesmen berbasis kinerja
(performance based assessment). Sementara itu dalam buku-buku lain (kecuali
Wiggins) penilaian otentik disamakan saja dengan nama penilaian alternatif
(alternative assessment) atau penilaian kinerja (performance assessment). Selain itu
Mueller (2006) memperkenalkan istilah lain sebagai padanan nama penilaian otentik,
yaitu penilaian langsung (directassessment). Nama performance assessment atau
performance based assessment digunakan karena siswa diminta untuk menampilkan
tugas-tugas (tasks) yang bermakna. Terdapat sejumlah pakar pendidikan yang
membedakan penggunaan istilah penilaian otentik dengan penilaian kinerja, seperti
misalnya Meyer (1992) dan Marzano (1993). Sementara itu Stiggins (1994) dan
Mueller (2006) menggunakan kedua istilah itu secara sinomim.
Nama alternative assessment digunakan karena merupakan alternatif dari penilaian
yang biasa digunakan (traditional assessment). Adapun nama direct assessment
digunakan karena penilaian otentik menyediakan lebih banyak bukti langsung dari
penerapan
keterampilan
dan
pengetahuan.
Apabila
seorang
siswa
dapat
mengerjakan dengan baik tes pilihan ganda, maka kita inferensikan secara tidak
langsung (indirectly) bahwa siswa tersebut dapat menerapkan pengetahuan yang
telah dipelajarinya dalam konteks dunia yang sesungguhnya. Namun kita akan lebih
suka membuat inferensi dari suatu demonstrasi langsung tentang penerapan
pengetahuan dan keterampilannya.
Berdasarkan fokusnya asesmen dapat dikelompokkan sebagai asesmen diagnostik,
formatif, dan sumatif . Asesmen diagnostik berfokus untuk memperbaiki proses
pembelajaran atau untuk menentukan hasil-hasil pembelajaran. Asesmen formatif
berfokus pada proses pembelajaran dan hasil-hasil pembelajaran. Sedang Asesmen
sumatif, terutama difokuskan pada hasil-hasil pembelajaran. Beberapa istilah untuk
asesmen diantaranya: asesmen tradisional, asesmen autentik, asesmen alternatif,
dan asesmen informal.
Assesmen tradisional (AT) ini mengacu pada forced-choice ukuran tes pilihan
ganda, fill-in-the-blank, true-false, menjodohkan dan semacamnya yang telah
digunakan dalam pendidikan umumnya. Tes ini memungkinkan distandarisasi atau
dikreasi oleh guru. Mereka dapat mengatur setingkat lokal, nasional atau secara
internasional ( Mueller,2008). Esensi assesmen tradisional didasarkan pada filosofi
bidang pendidikan yang mengadopsi pemikiran yang berikut:( 1). Suatu misi sekolah
adalah
untuk mengembangkan
warganegara produktif,
(2)
Untuk menjadi
warganegara produktif setiap orang harus memiliki suatu kopetensi tertentu dari
pengetahuan dan ketrampilan (3) Oleh karena itu sekolah harus mengajarkan
kopetensi ketrampilan dan pengetahuan ini: (4) Untuk menentukan kopetensi itu
sukses, kemudian sekolah menguji para siswa, untuk melihat apakah mereka
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Di dalam assesmen tradisional,
kurikulum memandu penilaian. Kopetensi pengetahuan ditentukan lebih dulu.
Pengetahuan itu menjadi kurikulum yang ditransferkan. Sesudah itu penilaian
dikembangkan dan diatur untuk menentukan jika suatu saat kurikulum tersebut
diterapkan.
Asesmen Alternatif (Alternative Assessment)
Asesmen yang tidak melibatkan
suatu tes baku dengan butir-butir asesmen tradisional. Asesmen alternatif memfokus
pada pengukuran pengetahuan prosedural. Asesmen ini mencakup sejumlah
prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang siswa
ketahui, ia yakini, dan dapat ia lakukan. Asesmen ini memfokus pada pertumbuhan
perorangan siswa dari waktu ke waktu dan menekankan pada kekuatan bukan
kelemahan siswa. Pertimbangan diberikan pada gaya belajar perorangan siswa dan
tingkat keterampilannya. Menurut Mertler, dalam Classroom Assessment: A Practical
Guide for Educators, bentuk penilaian berdasarkan alat penilaian dalam asesmen
alternative berupa asesmen kinerja (Performance Assessment), asesmen informal
(informal
assessment),
observasi
(Observation),
penggunaan
pertanyaan
(Questioning), Presentasi (Presentation), diskusi (Discusions), Projek (Project) ,
investigasi atau penyelidikan (Investigation), Portofolio (Portofolio), Jurnal (Journal),
Wawancara (Interview), Konferensi, dan Evaluasi diri oleh siswa (Self Evaluation).
Asesmen informal merupakan asesmen siswa melalui pengamatan tidak resmi,
interviu
informal,
dan
prosedur-prosedur
tidak-baku.
Asesmen
informal
memungkinkan guru mengukur kemajuan siswa dari-hari-ke-hari dan keefek-tivan
pengajaran. Pengamatan merupakan asesmen informal pembelajaran siswa yang
didasarkan pada melihat dan mendengarkan siswa pada saat mereka bekerja.
Pengatan kelas sering digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran siswa pada saat
siswa sedang bekerja dengan seorang partner atau suatu kelompok siswa dalam
penyelidikan atau tugas-tugas kinerja yang memerlukan kerja-tim dan kooperatif.
Pengamatan
merupakan
suatu
proses
berkelanjutan
yang
menda-tangkan
pemahaman yang mendalam terhadap sikap, gaya belajar, kekuatan dan kelemahan,
teknik-teknik pemecahan masalah siswa. Pengamatan tersebut me-nyumbang
kepada gambaran siswa yang lebih lengkap tentang kemajuan siswa. Panduan
berikut ini direkomendasikan pada saat menggunakan pengamatan kelas untuk
asesmen siswa:
Gunakan ceklis atau perangkat criteria yang sama untuk seluruh siswa.
Amati setiap siswa beberapa kali dan pada waktu-waktu yang berbeda dari
hari-ke-hari.
Amati tiap siswa dalam berbagtai ragam situasi.
Evaluasi berbagai ragam keterampilan dan perilaku untuk tiap siswa.
Catat pengamatan dan evaluasi sesegera mungkin.
Asesmen autentik digunakan untuk mendeskripsikan berbagai macam format
asesmen yang mencerminkan pembelajaran, hasil belajar, motivasi, dan sikap-sikap
siswa terhadap kegiatan-kegiatan kelas yang relevan dengan pengajaran. Asesmen
autentik melibatkan siswa dalam situasi dunia-nyata. Asesmen ini menyajikan tugastugas pemecahan-masalah yang mungkin dihadapi siswa di dalam atau di luar
sekolah. Lebih dari itu, asesmen ini melibatkan siswa dalam inquiri dan proyek.
Contoh-contoh asesmen autentik dapat meliputi pengamatan sehari-hari di kelas,
proyek-proyek, atau tugas-tugas seperti mengisi lamaran kerja, menulis surat kepada
sebuah perusahaan atau seorang politisi, atau menganalisis sebuah siaran televisi.
Contoh-contoh asesmen autentik meliputi: 1) asesmen kinerja, 2) porto-folio, dan 3)
asesmen-diri siswa.
Asesmen kinerja terdiri dari setiap bentuk asesmen dimana siswa menunjukkan
atau mendemonstrasikan suatu response secara lisan, tertulis, atau menciptakan
suatu karya. Response siswa tersebut dapat diperoleh guru dalam konteks asesmen
formal atau informal atau dapat diamati selama pengajaran di kelas atau seting di
luar pengajaran. Asesmen kinerja meminta siswa untuk “menye-lesaikan tugas-tugas
kompleks dan nyata, dengan mengerahkan pengetahuan awal, pembelajaran yang
baru diperoleh, dan keterampilan-keterampilan yang relevan untuk memecahkan
masalah-masalah
realistik
atau
autentik.”
Siswa
mungkin
diminta
untuk
menggunakan bahan-bahan atau melakukan kegiatan hands-on dalam mencapai
pemecahan masalah-masalah. Contohnya adalah laporan-laporan lisan, contohcontoh tulisan, proyek individual atau kelompok, pameran, atau demonstrasi.
Beberapa karakteristik dari asesmen kinerja adalah sebagai berikut:
1. Menyusun Response: siswa menyusun suatu response, memberikan suatu
response yang diperluas, terlibat dalam suatu pertunjukan, atau menciptakan
suatu karya.
2. Pemikiran Tingkat-Tinggi: secara khas siswa menggunakan berfikir tingkat tinggi
dalam menyusun response terhadap pertanyaan-pertanyaan open-ended.
3. Keautentikan: tugas-tugas bermakna, menantang, dan melibatkan kegiatan yang
mencerminkan pengajaran yang baik atau konteks dunia-nyata lain dimana siswa
diharapkan untuk menggelutinya.
4. Keterpaduan: tugas-tugas tersebut menghendaki keterpaduan dari keteram-pilan
bahasa, dan dalam beberapa hal, menghendaki keterpaduan penge-tahuan dan
keterampilan-keterampilan lintas mata pelajaran.
5. Proses dan Produk: prosedur dan strategi untuk mendapatkan jawaban benar
atau untuk mengeksplorasi alternatif pemecahan untuk tugas-tugas kom-pleks
sering kali diases di samping produk atau jawaban “benar” tersebut.
6. Kedalaman vs Luas namun Dangkal: asesmen kinerja memberikan informasi
mendalam tentang keterampilan atau ketuntasan seorang siswa bukan luasnya
cakupan seperti yang diberikan oleh tes pilihan-ganda.
Asesmen portofolio merupakan suatu kumpulan sistematik karya siswa yang
dianalisis untuk menunjukkan kemajuan siswa dari waktu ke waktu ditinjau dari
pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran. Contoh karya yang dimasukkan ke dalam
portofolio meliputi contoh-contoh tulisan, catatan harian bacaan, gambar-gambar,
rekaman audio atau video, dan/atau komentar guru dan siswa atas kemajuan yang
dibuat siswa. Salah satu fitur penting dari asesmen por-tofolio adalah keterlibatan
siswa dalam pemilihan contoh-contoh karya mereka sendiri untuk menunjukkan
perkembangan atau pembelajaran dari waktu ke waktu.
Asesmen-diri siswa merupakan suatu elemen kunci dalam asesmen autentik dan
dalam pembelajaran yang dikendalikan sendiri oleh siswa (self-regulated learning).
Asesmen-diri menggalakkan keterlibatan langsung dalam pembelajaran dan
pengintegrasian kemampuan-kemanpuan kognitif dengan motivasi dan sikap menuju
pembelajaran. Dalam menjadi siswa yang mengatur pembelajaran mereka secara
mandiri, mereka membuat pilihan-pilihan, memilih kegiatan-kegiatan pembelajaran,
dan merencanakan bagaimana menggunakan waktu dan sumber belajar mereka.
Mereka memiliki kebebasan untuk memilih kegiatan-kegiatan menantang, berani
mengambil
resiko,
membuat
kemajuan
pembelajaran
mereka
sendiri,
dan
menyelesaikan tujuan-tujuan yang diinginkan. Karena mereka memegang kendali
atas pembelajaran mereka sendiri, mereka dapat memutuskan bagaimana
menggunakan sumber belajar yang tersedia bagi mereka di dalam atau di luar kelas.
Siswa yang mengatur diri sendiri pembe-lajaran mereka tersebut (self-regulated
learners) bekerja sama dengan siswa lain dalam bertukar ide, mencari bantuan bila
diperlukan, dan memberikan dukung-an kepada teman sebaya mereka. Akhirnya,
self-regulated learners atau pebelajar mandiri memonitor kinerja mereka sendiri dan
mengevaluasi kemajuan dan hasil belajar mereka sendiri. Asesmen-diri dan
pengelolaan-diri merupakan inti jenis pembelajaran ini dan seharusnya merupakan
suatu bagian keseharian dari pengajaran. (O’Malley & Pierce 1996, h. 4 & 5)
Tabel berikut memperjelas perbedaan antara asesmen yang biasa digunakan
dengan asesmen autentik:
Tabel 1. Perbandingan Asesmen Tradisional dan Autentik
Asesmen Tradisional
Asesmen Autentik
Memilih/Merespon: Siswa memililh Melaksanakan kegiatan:Siswa
jawaban, menentukan pilihan, dan melakukan aktivitas yang
menjawab dengan uraian.
sesungguhnya sehingga memperoleh
pengalaman belajar.
Dikondisikan: Akavitas siswa
Kenyataan Hidup: Guru menilai
dikondisikan sesuai dengan
kenyataan yang sesungguhnya siswa
keinginan penguji, seperti memilih
lakukan pada kehidupan nyata dalam
jawaban yang dikodisikan guru.
waktu pendek.
Mengingat/ Menyatakan:Siswa
Konstruksi/Aplikasi: Penilaian
mengingat atau menyatakan
Autentik memperhatikan siswa
informasi yang mereka kuasai.
menganalisis atau mengaplikasikan
ilmu dalam proses berkreasi,
berinovasi atau mencipta..
Struktur Dirancang Guru: Siswa
Struktur Prilaku Dikembangkan
perlu berhati-hati untuk
Siswa: Penilaian autentik memberi
mengembangkan struktur yang guru ruang kepada siswa mengembangkan
harapkan, memenuhi target seperti konstruksi sesuai dengan
yang guru inginkan.
keinginannya
Bukti Tidak Langsung: Dalam
Bukti Langsung: Dalam penilaian
penilaian tradisional melalui tes
autentik guru memperoleh bukti
pilihan ganda, misalnya,
langsung tentang perkembangan
memperoleh bukti kompetensi siswa kompetensi yang ditunjukkan siswa
tidak langsung
secara langsung
JENIS-JENIS ASESMEN AUTENTIK
Pada Tabel 1 ditunjukkan berbagai macam asesmen, seperti in-terviu lisan,
menceritakan kembali bacaan, contoh-contoh tulisan, dan sebaga-inya, serta
pengamatan guru terhadap pengetahuan dan keterampilan siswa di kelas.
Tabel 2. Jenis-jenis Asesmen Autentik
Asesmen
Deskripsi
Keuntungan
Interviu Lisan
Guru mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada siswa tentang
kegiatan, bacaan, dan minat
Menceritakan
kembali Cerita atau
Bacaan
Siswa menceritakan kembali ide-ide
pokok atau rincian tertentu dari
bacaan yang dialami melalui
mendengar atau membaca
Contoh-contoh
tulisan
Siswa menghasilkan makalah naratif,
ekspositori, persuasif, atau referensi
Proyek/Pameran
Siswa menyelesaikan proyek, bekerja
secara individual atau berpasangan
Eksperimen/
Demonstrasi
Siswa eksperimen atau
menyelesaikan mendemonstrasikan
penggunaan bahan
Menyusun Butir-butir
Jawaban
Siswa merespon dalam bentuk tulisan
terhadap pertanyaan-pertanyaan
open-ended
Portofolio
Memusatkan pada koleksi karya
siswa untuk menunjukkan kemajuan
dari waktu ke waktu
Konteks informal dan santai
Dilakukan dari hari ke hari dengan
tiap siswa
Mencatat pengamatan pada suatu
panduan interviu
Siswa memproduksi laporan lisan
Dapat diskor pada komponen isi
atau bahasa
Diskor dengan rubrik atau sejenis
skala sikap (rating scale)
Dapat menentukan pemahaman
membaca, strategi membaca, dan
pengembangan bahasa
Siswa menghasilkan dokumen
tertulis
Dapat diskor pada komponen isi
atau bahasa
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Dapat menentukan proses-proses
menulis
Siswa membuat presentasi formal,
laporan tertulis, atau dua-duanya
Dapat mengamati produk-produk
lisan atau tertulis dan keterampilanketerampilan berfikir
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Siswa membuat presentasi formal,
laporan tertulis, atau dua-duanya
Dapat mengamati produk-produk
lisan atau tertulis dan keterampilanketerampilan berfikir
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Siswa menghasilkan laporan
tertulis
Biasanya diskor pada informasi
substantif atau keterampilanketerampilan berfikir
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Memadukan informasi dari
sejumlah sumber
Memberikan gambaran menyeluruh
dari kinerja dan pembelajaran
siswa
Keterlibatan dan komitmen siswa
yang kuat
Menghimbau evaluasi-diri siswa
(O’Malley & Pierce 1996, h. 11 & 12)
Penilaian otentik memerlukan tugas (task) untuk menampilkan kinerja peserta didik,
dan sebuah kriteria penilaian atau rubrik (rubrics) yang akan digunakan untuk menilai
penampilan kinerja berdasarkan tugas tersebut.
a. Tugas Otentik
Tugas otentik adalah suatu tugas yang meminta siswa melakukan atau
menampilkannya dianggap otentik apabila:
1) siswa diminta untuk mengkonstruk respons mereka sendiri, bukan sekedar
memilih dari yang tersedia;
2) tugas merupakan tantangan yang mirip (serupa) yang dihadapkan dalam
(dunia) kenyataan sesungguhnya. Mungkin saja ada definisi yang lain.
Baron’s (Marzano, 1993) mengemukakan lima kriteria task untuk penilaian otentik,
yaitu:
1) tugas tersebut bermakna baik bagi siswa maupun bagiguru;
2) tugas disusun bersama atau melibatkan siswa;
3) tugas tersebut menuntut siswa menemukan dan menganalisis informasi sama
baiknya dengan menarik kesimpulan tentang hal tersebut;
4) tugas tersebut meminta siswa untuk mengkomunikasikan hasil dengan jelas;
5) tugas tersebut mengharuskan siswa untuk bekerja atau melakukan.
Anonymous (2005) mengemukakan dua hal yang perlu dipilih dalam menyiapkan
tugas dalam penilaian otentik, yaitu: keterampilan (skills) dan kemampuan (abilities).
Selanjutnya anonymous mengungkapkan lima dimensi yang perlu dipertimbangkan
pada saat menyiapkan task yang otentik pada pembelajaran sains:
1)
2)
3)
4)
5)
Pertama, length atau lama waktu pengerjaan tugas.
Kedua, jumlah tugas terstruktur yang perlu dilalui siswa.
Ketiga, partisipasi individu, kelompok atau kombinasi keduanya.
Keempat, fokus penilaian: pada produk atau pada proses.
Kelima, keragaman cara-cara komunikatif yang dapat digunakan siswa untuk
menunjukkan kinerjanya.
b. Tipe Tugas Otentik
Tugas-tugas penilaian autentik dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk.
1) computer adaptive testing (tidak berbentuk tes obyektif), yang menuntut
2) peserta tes dapat mengekspresikan diri untuk dapat menunjukkan tingkat
3) kemampuan yang nyata;
4) tes pilihan ganda diperluas, dengam memberikan alasan terhadap jawaban
5) yang dipilih;
6) extended response atau open ended question juga dapat digunakan;
7) group performance assessment (tugas-tugas kelompok) atau individual
8) performance assessment (tugas perorangan);
9) interviu berupa pertanyaan lisan dari asesor;
10) (vi).observasi partisipatif;
11) portofolio sebagai kumpulan hasil karya siswa;
12) projek, expo atau demonstrasi;
13) constructed response, yang siswa perlu mengkonstruk sendiri jawabannya.
c. Kriteria Penilaian (Rubrics)
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa penilaian otentik atau penilaian berbasis
kinerja terdiri dari tasks dan rubrics. Rubrik merupakan alat pemberi skor yang berisi
daftar kriteria untuk sebuah pekerjaan atau tugas (Andrade dalam Zainul, 2001:19).
Rubrik dapat berupa rubrik deskriptif, holistik dan skala persepsi . Secara singkat
scoring rubrics terdiri dari beberapa 4 komponen,
1) dimensi
Dimensi akan dijadikan dasar menilai kinerja siswa
2) definisi dan contoh
Definisi dan contoh merupakan penjelasan mengenai setiap dimensi.
3) skala
Skala ditetapkan karena akan digunakan untuk menilai dimensi
4) standar
standar ditentukan untuk setiap kategori kinerja
Walaupun suatu rubrik atau scoring rubrics sudah disusun sebaik-baiknya, tetapi
harus disadari bahwa tidak mungkin rubrik yang sudah disusun itu sempurna atau
satu-satunya kriteria untuk menilai kinerja siswa dalam bidang tertentu. Dari satu
tugas bisa saja disusun lebih dari satu rubrik. Oleh karena itu perlu pula
dikembangkan alat untuk menilai suatu rubrik. Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat
digunakan sebagai patokan untuk menilai suatu rubrik (Zainul, 2001:29-30).
1) Seberapa jauh rubrik tersebut (jelas) berhubungan langsung dengan kriteria yang
dinilai?
2) Seberapa jauh rubrik tersebut mencakup keseluruhan dimiensi kinerja yang
dinilai?
3) Apakah kriteria yang dipilih sudah menggunakan standar yang secaraumum
berlaku dalam bidang kinerja yang dinilai?
4) Sejauh mana dimensi & skala yang digunakan terdefinisi dengan baik?
5) Jika menggunakan skala numeric sejauh mana angka-angka yang digunakan itu
memang secara adil telah menggambarkan perbedaan dari setiap kategori
6)
7)
8)
9)
kinerja?
Seberapa jauh selisih skor yang dihasilkan oleh rater yang berbeda?
Apakah rubrik yang digunakan dipahami oleh siswa?
Apakah rubrik cukup adil dan bebas dari bias?
Apakah rubrik mudah digunakan, cukup praktis dan mudah
diadministrasikannya?
d. Deskriptor dan Level Kinerja
Rubrik di atas melibatkan komponen lain yang umum digunakan dalam penilaian
otentik
atau
penilaian
berbasis
kinerja,
yaitu
deskriptor.
Deskriptor
mengeksplisitkan tingkat kinerja siswa pada masing-masing level dari suatu
penampilan. Contohnya seperti rumusan standar minimal dalam perumusan
tujuan pembelajaran khusus. Deskriptor digunakan untuk memperjelas harapan
atau aspek yang dinilai. Selain itu descriptor juga membantu penilai (rater) lebih
konsisten dan lebih obyektif. Bagi guru yang melaksanakan penilaian otentik,
deskriptor membantu memperoleh umpan balik yang lebih baik.
BAGAIMANAKAH MENYIAPKAN ASESMEN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN
FISIKA UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI EMAS YANG KOLABORATIF,
KOOPERATIF, KOMPETITIF DAN BERKARAKTER?
Hibbard (1995) menyatakan asesmen autentik merupakan:
a. suatu realistik yang terkait dengan tujuan pendidikan sains
Komponen utama program pendidikan bertujuan: (1) menanamkan konsep dan
informasi; (2) mengembangkan proses ilmiah, seperti eksperimen, membuat
keputusan, membangun model, dan penemuan mesin; (3) mengembangkan
keterampilan memecahkan masalah yang melibatkan ilmu pasti dan informasi
untuk mendukung metode ilmiah; (4) mengembangkan keterampilan komunikasi
untuk membantu siswa menanamkan hal-hal lain secara efektif apa yang mereka
telah pelajari atau apa yang menjadi saran mereka sebagai solusi masalah; (5)
menanamkan kebiasaan bekerja dengan baik, seperti bertanggungjawab secara
individu, keterampilan bekerja sama, tekun, memperhatikan keakuratan dan
kualitas, jujur, memperhatikan keamanan, dan rapi.
b. suatu sistem untuk menilai proses dan produk
Asesmen kinerja merupakan suatu sistem untuk menilai kualitas penyelesaian
tugas-tugas yang diberikan siswa. Tugas-tugas kinerja seperti: (1) pentingnya
aplikasi konsep sains dan mendukung informasi; (2) pentingnya kebiasaan
bekerja mengkaji atau mencari secara ilmiah; (3) demonstrasi melek sains.
Adapun komponen sistem asesmen kinerja termasuk: (1) tugas-tugas yang
menanyakan siswa untuk menggunakan dan proses mereka yang telah
dipelajari; (2) cheklist untuk mengidentifikasi elemen kinerja atau hasil pakerjaan;
(3) Rubrik (perangkat yang mendeskripsikan proses dan atau kesatuan penilaian
kualitas) berdasarkan skor total; (4) contoh-contoh terbaik sebagai model kerja
yang akan dikerjakan.
c. Sebagai parner tes tradisional
Kadang-kadang tes tradisional digunakan untuk menjamin bahwa siswa telah
cukup memiliki informasi akurat untuk menggunakan asesmen kinerja. Dilain
pihak, asesmen kinerja digunakan sebagai strategi untuk mengaktifkan siswa
dalam pembelajaran.
Pembelajaran Fisika salah satu dari Pendidikan sains. Dalam pembelajaran
Fisika menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan agar penguasaan
sikap, pengetahuan, serta keterampilan terbentuk pada diri peserta didik
dalam memecahkan masalah secara ilmiah. Pembelajaran Fisika menurut
Kurikulum 2013 menjadikan peserta didik sebagai pusat pembelajaran
dikembangkan
melalui
pendekatan
saintifik.
Kemendikbud
(2013)
menjelaskan bahwa, “Pendekatan saintifik adalah pembelajaran yang
mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui
metode
ilmiah”.
Pembelajaran
Fisika
dengan
pendekatan
saintifik
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam
mengenal dan memahami berbagai materi Fisika bisa bersumber darimana
saja, kapan saja, dan tidak tergantung dari informasi yang diberikan guru
saja.
Pembelajaran Fisika dengan pendekatan saintifik dengan penilaian autentik
mendorong peserta didik untuk aktif mencari tahu, bukan diberi tahu (Majid, 2014).
Berdasarkan Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, pendekatan saintifik dikenal
dengan istilah 5M meliputi lima tahap pengalaman pembelajaran yaitu tahap
mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Pendekatan
saintifik merupakan implementasi upaya Badan Standar Nasional Pendidikan
(BNSP), tentang pendidikan Indonesia abad ke-21 yang dituangkan dalam sebuah
buku yang berjudul “PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL ABAD ke-21”. Buku ini
disusun oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu topik yang dibahas
dalam buku ini adalah tentang perubahan paradigma pembelajaran pada Abad ke21 sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
1. Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa
Jika dahulu biasanya yang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar,
menyimak, dan menulis – maka saat ini guru harus lebih banyak mendengarkan
siswanya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi
guru dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswasiswanya.
2. Dari satu arah menuju interaktif
Jika dahulu mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke
siswa, maka saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan siswa
dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas
semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan
dan dikelola.
3. Dari isolasi menuju
UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI EMAS YANG KOLABORATIF, KOOPERATIF,
KOMPETITIF DAN BERKARAKTER1
Oleh: Prof. Dr. Festiyed, MS,
Email: festiyed@ymail.com Hp:08126742403
Universitas Negeri Padang
PENDAHULUAN
Generasi Emas adalah generasi masa depan sebagai sumber daya manusia (SDM)
yang perlu mendapat perhatian serius dalam era globalisasi saat ini karena generasi
emas mempunyai peran yang sangat strategis dalam mensukseskan pembanguan
nasional. Mutu generasi emas akan menjadi modal dasar bagi daya saing bangsa
terutama di era masyarakat berpengetahuan. Peningkatan mutu generasi emas hanya
dapat dilakukan melalui pendidikan yang bermutu dalam perspektif masa depan,
yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan
modern, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam
membangun pendidikan yang bermutu akan memberikan kontribusi besar pada
pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam konteks
demikian, pembangunan pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat
luas, yaitu dimensi sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Dalam perspektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar yang
mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam mobilitas
masyarakat. Dalam perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan
medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan
menanamkan etos dikalangan warga masyarakat. Oleh karena itu pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia
yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan
menghasilkan manusia-manusia yang andal untuk menjadi subyek penggerak
pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Oleh karena itu, pendidikan harus
mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai
teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis dan kecakapan hidup yang memadai.
Dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas
1 Disajikan pada Seminar Nasional dan Kuliah Umum , Universitas Sriwijaya
(UNSRI) Palembang 24-24 Oktober 2015
individu untuk menjadi warga negara yang baik (good citizen), yang memiliki
kesadaran akan hak dan tanggungjawab dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Karena itu, pendidikan harus dapat melahirkan individu
yang memiliki visi dan idealisme untuk membangun kekuatan bersama sebagai
warga masyarakat daerah Kabupaten/Kota dan bangsa Indonesia.
Paradigma
baru
dalam
keunggulan kemampuan
tersembunyi.
pendidikan
manusia
masa
sebagai
depan
generasi
mengisyaratkan aktualisasi
emas yang
kini
masih
Untuk mengaktualisasikannya ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan yaitu: Pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan
kemampuan manusia yang saling melengkapi,
1. Pengembangan sumber daya manusia atau Human Resource Development
(HRD), terutama terfokus pada keterampilan, sikap dan kemampuan produktif
ketenagakerjaan sehingga diperlakukan manusia sebagai “sumber untuk
dimanfaatkan” (yaitu sebagai obyek), dalam mencapai tujuan ekonomi, terutama
dalam jangka waktu pendek. Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam,
melainkan “diatur dari atas” sesuai kepentingan lingkungannya.
2. Pengembangan kemampuan manusia atau Human Capacity Development
(HCD) sepanjang hayat yang berhak dan mampu memilih berbagai peran dalam
meraih berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota masyarakat, sebagai
orang tua, atau sebagai pekerja dan konsumen, yaitu suatu perkembangan yang
arah dan sasarannya terutama terjadi dari dalam, namun disulut untuk
aktualisasinya. Karena itu, HCD menunjuk pada konstelasi keterampilan, sikap
dan
perilaku
dalam
melangsungkan
hidup
mencapai
kemandirian
(Levinger,1996), sekaligus memiliki daya saing tinggi dan daya tahan terhadap
gejolak ekonomi dunia. HCD bermutu adalah proses kontekstual melalui upaya
pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia menguasai pengetahuan dan
keterampilan yang cocok dengan tuntutan dunia kerja pada saat ini, melainkan
manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat, serta dilandasi
sikap, nilai,etik dan moral. HCD tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual,
tetapi kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan moral, dan
kecerdasan spiritual.
Namun untuk mewujudkan generasi emas tentu dihadapkan dengan sejumlah
tantangan dan peluang, yang tentunya berbeda dengan zaman sebelumnya. Guna
mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan dan dinamika
perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung,
Badan Standar Nasional
Pendidikan (BNSP), pada tahun 2010 telah berupaya mengkonsepsikan pendidikan
Indonesia untuk abad ke-21. Konsepsi pendidikan tersebut dimulai dari proses
pembelajaran bercirikan : 1) Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa,
2) Dari satu arah menuju interaktif, 3) Dari isolasi menuju lingkungan jejaring, 4) Dari
pasif menuju aktif-menyelidiki, 5) Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata, 6)
Dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim, 7) Dari luas menuju perilaku khas
memberdayakan kaidah keterikatan, 8) Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi
ke segala penjuru, 9) Dari alat tunggal menuju alat multimedia, 10) Dari hubungan
satu arah bergeser menuju kooperatif, 11) Dari produksi massa menuju kebutuhan
pelanggan, 12) Dari usaha sadar tunggal menuju jamak, 13) Dari kontrol terpusat
menuju otonomi dan kepercayaan, 14) Dari pemikiran faktual menuju kritis, 15) Dari
penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan.
Begitu juga Kementerian Pendidikan Nasional (2010) mengembangkan grand
design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan
pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and
emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa
(Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi
pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design
tersebut.
Untuk bisa diimplementasikan, diperlukan kerjasama yang harmonis dan terus
menerus antara seluruh insan pendidikan, pemerintah, pemerintah daerah,
organisasi yang bergerak di dunia pendidikan dalam meningkatkan kualitas
pendidikan, sehingga akan dapat diwujudkan generasi emas yang berkarakter,
cerdas, dan kompetitif. Salah satu usaha lansung yang dapat dilakukan oleh
organisasi yang bergerak di dunia pendidikan untuk melahirkan generasi emas
adalah melalui pembelajaran kolaboratif, kooperatif, kompetitif dan berkarakter
(empat pilar). Masalahnya bagaimanakah empat pilar tersebut terintegrasi dalam
pembelajaran dan penilaiaan (asesmen) serta dikembangkan secara simultan?
PERGESERAN PARADIGMA PENDIDIKAN
Paradigma
diartikan
sebagai
cara
pandang
seseorang
terhadap
diri
dan
lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat
asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas
kepada sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
Sehingga paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami
pendidikan, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalahmasalah pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan
tersebut.
Di era globalisasi semua yang ada cepat berubah, maka dunia pendidikan juga
harus berubah, sehingga dunia pendidikan menjadi relevan dengan tantangan dan
peluang yang terjadi di kehidupan nyata. Dalam dunia kerja saat ini kemampuan
yang diminta adalah kemampuan untuk bekerja sama dalam team, kemampuan
pemecahan masalah, kemampuan untuk mengarahkan diri, berpikir kritis, menguasai
teknologi serta mampu berkomunikasi dengan efektif. Kemampuan-kemampuan
tersebut diatas disebut sebagai kemampuan abad ke-21, dan harus mampu
dikembangkan secara sistematis dalam dunia pendidikan, proses pembelajaran
harus mampu mendorong terciptanya kemampuan tersebut. Jadi selain kemampuan
akademis maka dunia pendidikan harus mampu menciptakan manusia yang
mempunyai kemampuan belajar, beradaptasi dan berinovasi.
Pergeseran paradigma pendidikan mencakup beberapa hal pokok yaitu :
1.
Kebijakan
pendidikan,
kebijakan
pendidikan
harus
menunjukkan arahan yang jelas mengenai tujuan dan target yang ingin dicapai
serta cara untuk mencapainya. Kebijakan harus tetap fleksibel dan bisa
diterapkan sesuai kondisi lokal. Kurikulum sebagai acuan dalam pengembangan
pembelajaran dan sistem penilaian harus sudah mengarah pada pola
pemblajaran abad 21 yang lebih berpusat pada siswa.
2.
Pengembangan kompetensi Guru, guru sebagai motor
terdepan dalam perubahan harus menjadi pihak pertama yang siap dalam
proses perubahan ini. Guru harus mampu mengubah proses pembelajarannya
dari yang tradisional berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa
3.
Teknologi,
integrasi
teknologi
dalam
proses
belajar
merupakan sebuah keniscayaan, siswa harus diarahkan dan diberikan
kesempatan yang sebesar-besarnya dalam mencari informasi sesuai dengan
target pembelajaran. Pembelajaran dengan teknologi sebetulnya sama dengan
proses bekerja dalam kehidupan nyata yang selalu bersinggungan dengan
teknologi, yang artinya proses pembelajaran menjadi relevan dengan proses
kerja.
4.
Riset dan evaluasi, setiap proses apapun membutuhkan
umpan balik untuk menyempurnakan sistemnya,
oleh karena itu evaluasi
menjadi penting untuk melihat dampak keberhasilan dari setiap kebijakan. Riset
menjadi penting agar kita selalu dalam kondisi aktual dalam pengembangan
dunia pendidikan.
Pergeseran paradigma pendidikan terjadi diberbagai tingkatan baik dari satuan
terkecil di satuan pendidikan yaitu sekolah, perguruan tinggi maupun di tingkat
pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai nasional. Saat ini Indonesia sudah
menuju perubahan dengan terbitnya kurikulum 2013 untuk pendidikana dasar, dan
kurikulum berdasarkan deskripsi kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI)
(Peraturan Pemerintah No.8 tahun 2012) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi
(SNPT) (Permendikbud NO.49 Tahun 2014) untuk perguruan tinggi.
Apakah Kolaboratif, Kooperatif, Kompetitif dan karakter?
Suksesnya lembaga pendidikan meningkatkan mutu lulusan sangat bergantung
pada keberhasilan lembaga tersebut memfasilitasi peserta didik belajar lebih
kolaboratif, kooperatif, kompetitif dan karakter. Masalahnya bagaimana kolaboratif,
kooperatif, kompetitif dan karakter dalam model dan pendekatan pembelajaran
dikembangkan secara simultan? Strategi kunci membangun kompetensi tersebut
bagaikan meninggikan menara yang memerlukan empat penopang utama yang
saling menguatkan satu sama lain dan masingmasing memerlukan teknik
pengembangan yang berbeda. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kolaborasi
Kolaborasi merupakan filosofi yang mendasari interaksi dan pola prilaku hidup
sesorang yang menempatkan kerja sama sebagai bagian penting dari disain
strukur interaksinya yang memfasilitasi pencapaian tujuan atau hasil akhir.
Belajar berkolaborasi (Collaborative learning)adalah filosofi yang mendasari
keyakinan seseorang dalam belajar dengan cara kerja sama, tidak hanya
sekedar teknik belajar dalam kelas. Dalam seluruh rangkaian kegiatan orang
orang diintegrasikan dalam kelompok. Dalam kesatuan itu orang menghargai
kemampuan individu sebagai aset yang dapat berkontribusi pada kelompok. Ada
pembagian tanggung jawab di dalamnya sehingga kekuatan kolektif itu menjadi
lebih besar dibandingkan dengan keuatan sendirisendiri. Premis dasar
pembelajaran kolaboratif adalah membangun konsensus dalam kerja sama
kelompok. Dan, kekuatan kolektif melebihi keuatan sendirisendiri. Dengan
demikian kolaborasi merupakan filosofi yang diterapkan secara praktis untuk
menyatukan orangorang dalam kerja sama agar mencapai tujuan yang lebih
besar.
Belajar berkolaborasi dapat dipandang pula sebagai metode belajar mengajar
yang menempatkan siswa bekerja berkelompok, berdiskusi, bereksplorasi,
berelaborasi, memecahkan masalah, mengembangkan kreasi dalam
menyelenggarakan proyek, mempresentasikan, berdebat, serta kegiatan lain
yang memungkinkan siswa berkerja sama sehingga setiap individu dapat
berkembang optimal dalam kerja sama kelompok. Dijelaskan lebih jauh bahwa
belajar berkolaborasi pada dasarnya mengembangkan kegiatan dalam kerja
sama kelompok.
2. Kooperatif (cooperative)
Konsep kooperasi “cooperation” lebih menekankan pada produk daripada
proses. Jadi belajar pada konsep ini lebih mementingkan tujuan, menempatkan
hasil kegiatan sebagai tujuan utama. Pembelajaran koopperatif (Co-operative
learning) berkembang baik di Amerika yang merujuk pada filosofi yang
dikembangkan oleh John Dewey yang menekankan pada kedewasaan sosial.
Dewey menegaskan bahwa belajar merupakan proses interaksi sosial dalam
bentuk kerja sama untuk mencapai target (Ted Panitz: 1996)
Tradisi cooperative
learning menggunakan
pendekatan
kuantitatif
dalam
mempelajari pencapain kinerja belajar siswa yang diukur dengan produk belajar
yang dapat siswa wujudkan. Belajar Kooperatif (Cooperative learning) adalah
seperangkat proses yang membantu siswa berinteraksi dalam kelompok untuk
mencapai tujuan bersama. Tujuan disepakati bersama dengan targettarget yang
spesifik. Kegiatan kooperatif lebih mengarah pada tujuan yang khusus
dibadingkan dengan pada sistem kolaborasi. Dalam kegiatan kooperatif berbagai
mekanisme analisis kelompok lebih berpusat pada guru sedangkan pada
pendekatan kolaboratif lebih berpusat kepada siswa. Struktur pendekatan belajar
kooperatif (coopertive learning) lebih difokuskan pada kreasi, analisis, dan
aplikasi struktur secara sistematis atau lebih bebas dalam menyampaikan materi
dalam kelas melalui interaksi organisasi sosial dalam kelas. Oleh karena itu
kegiatan dalam kelas terbagi dalam pentahapan sesuai dengan pentahapan
pencapaian tujuan.
3. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran kolaboratif
Kesamaan konsep kooperatif dan kolaboratif menegaskan pada pendekatan
pembelajaran melalui kerja sama kelompok. Keduanya menetapkan pekerjaan
yang spesifik, dan keduanya menegaskan pentingnya curah pendapat dan
membandingkan prosedur dan kesimpulan dalam akhir pertemauan. Yang
membedakan keduanya dalam fakta bahwa istilah cooperative lebih
mencerminkan ilmu pengetahuan yang populer dalam jaman kolonial sedangkan
kolaboratif lebih menegaskan keterkaitannya dengan gerakan konstruktivisme
sosial sebagai dampak dari perubahan ilmu pengetahuan yang dramatis dalam
abad ini.
Persamaan pembelajaran kooperatif dan kolaboratif adalah siswa sama-sama
belajar dalam kelompok kecil dengan struktur aktivitas yang spesifik dan dalam
keduanya siswa mencurahkan potensinya setiap individu untuk berkontribusi
pada prestasi kelompok.
4. Kompetisi
Definisi belajar kompetitif (competitive learning) yang ekstrim dinyatakan oleh
Johnson&Johnson (1991) yang menyatakan hanya ada satu siswa yang
mencapai tujuan dan semua yang lainnya belum berhasil. Kompetisi dapat
berjalan antara individu maupun antar kelompok. Kompetisi bisa dalam bentuk
mutu proses belajar, hasil belajar, maupun penggunaan waktu belajar.
Sekali pun pada definisi tersebut tidak ada yang salah, namun tak urung juga
mendapat sorotan banyak ahli. Masalahnya persaingan yang ketat hanya
menempatkan satu siswa yang berhasil, sedangkan yang lainnya gagal dapat
menimbulkan beban mental bagi sebagian besar siswa. Mewadahi pemikiran
yang lebih kompromis maka dalam berkompetisi siswa diberi garis finis. Siswa
yang berhasil melewati garis finis bisa satu atau beberapa orang dalam waktu
yang sama. Karenanya yang dapat meraih garis finis bisa lebih dari satu orang.
Dengan sistem ini memungkinkan lebih banyak siswa yang jadi juara asalkan
mereka memenuhi kriteria. Pembelajaran kompetitif secara empirik dapat
meningkatkan motivasi siswa baik dalam ruang lingkup kegiatan kurikuler
maupun
dalam
kegiatan
ekstra.
Dengan
semangat
kompetisi
dapat
meningkatkan kreativitas, daya juang, dan kerja sama dalam memecahkan
masalah. Dengan kompetisi juga dapat meningkatkan kecepatan siswa belajar
sehingga proses belajar menjadi lebih efisien. Model pembelajaran interaktif
seperti dalam kegaitan membaca, menyimak, mengeksplorasi teori, menerapkan
teori dalam bentuk keterampilan di dalam mapun di luar kelas dapat berkembang
lebih dinamis melalui model pembelajaran kompetitif.
5.
Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara. Sedang berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat,
bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang ia buat. Karakter terdiri dari tiga unjuk perilaku yang saling
berkaitan yaitu tahu arti kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berperilaku baik
(Lickona, 1991). Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada
kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter
dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik. Insan yang berperilaku
berkarakter hendaknya disertai tindakan yang cerdas dan perilaku cerdas
hendaknya pula diisi upaya yang cerdas. Karakter dan kecerdasan dipersatukan
dalam perilaku yang berbudaya. Kehidupan yang berkarakter tanpa disertai
kehidupan yang
cerdas akan menimbulkan
berbagai kesenjangan dan
penyimpangan serta ketidakefisienan.
Pendidikan berkarakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Dalam
pendidikan berkarakter di lembaga pendidikan, semua komponen pendidikan
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu: Isi
kurikulum, Proses pembelajaran, Penilaian, Penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, Pengelolaan sekolah, Pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-
kurikuler, Pemberdayaan sarana prasarana, Pembiayaan, dan Ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan
PEMBELAJARAN AUTENTIK DAN ASESMEN AUTENTIK
Pembelajaran autentik dengan penilaian autentik adalah suatu cara untuk
memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran yang kolaboratif, kooperatif,
kompetitif dan karakter. Asesmen autentik mengharuskan pembelajaran yang
autentik pula. Menurut Ormiston belajar autentik mencerminkan tugas dan
pemecahan masalah yang diperlukan dalam kenyataannya di luar sekolah. Asesmen
Autentik terdiri dari berbagai teknik:
1. Pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan
hasil jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja.
2. Penilaian atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja
yang kompleks.
3. Analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respon peserta didik atas
perolehan sikap, keteampilan, dan pengetahuan yang ada.
Dengan demikian, asesmen autentik akan bermakna bagi guru untuk menentukan
cara-cara terbaik agar semua siswa dapat mencapai hasil akhir, meski dengan
satuan waktu yang berbeda. Konstruksi sikap, keterampilan, dan pengetahuan
dicapai melalui penyelesaian tugas di mana peserta didik telah memainkan peran
aktif dan kreatif. Keterlibatan peserta didik dalam melaksanakan tugas sangat
bermakna bagi perkembangan pribadi mereka.
Dalam pembelajaran autentik, peserta didik diminta mengumpulkan informasi
dengan pendekatan saintifik, memahahi aneka fenomena atau gejala dan
hubungannya satu sama lain secara mendalam, serta mengaitkan apa yang
dipelajari dengan dunia nyata yang luar sekolah. Di sini, guru dan peserta didik
memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi. Peserta didik pun tahu apa yang
mereka
ingin
pelajari,
memiliki
parameter
waktu
yang
fleksibel,
dan
bertanggungjawab untuk tetap pada tugas. Asesmen autentik pun mendorong
peserta didik mengkonstruksi, mengorganisasikan, menganalisis, mensintesis,
menafsirkan,
menjelaskan,
dan
mengevaluasi
mengubahnya menjadi pengetahuan baru.
informasi
untuk
kemudian
Sejalan dengan deskripsi di atas, pada pembelajaran autentik, guru harus menjadi
“guru autentik.” Peran guru bukan hanya pada proses pembelajaran, melainkan juga
pada penilaian. Untuk bisa melaksanakan pembelajaran autentik, guru harus
memenuhi kriteria tertentu seperti disajikan berikut ini.
1.
Mengetahui bagaimana menilai kekuatan dan kelemahan peserta
didik serta desain pembelajaran.
2.
Mengetahui bagaimana cara membimbing peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan mereka sebelumnya dengan cara mengajukan
pertanyaan dan menyediakan sumberdaya memadai bagi peserta didik untuk
melakukan akuisisi pengetahuan.
3.
Menjadi pengasuh proses pembelajaran, melihat informasi baru, dan
mengasimilasikan pemahaman peserta didik.
4.
Menjadi kreatif tentang bagaimana proses belajar peserta didik dapat
diperluas dengan menimba pengalaman dari dunia di luar tembok sekolah.
Asesmen autentik adalah komponen penting dari reformasi pendidikan sejak tahun
1990an. Wiggins (1993) menegaskan bahwa metode penilaian tradisional untuk
mengukur prestasi, seperti tes pilihan ganda, benar/salah, menjodohkan, dan lainlain telah gagal mengetahui kinerja peserta didik yang sesungguhnya. Tes semacam
ini telah gagal memperoleh gambaran yang utuh mengenai sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didik dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka di luar sekolah
atau masyarakat.
Asesmen hasil belajar yang tradisional bahkan cenderung mereduksi makna
kurikulum, karena tidak menyentuh esensi nyata dari proses dan hasil belajar
peserta didik. Ketika asesmen tradisional cenderung mereduksi makna kurikulum,
tidak mampu menggambarkan kompetensi dasar, dan rendah daya prediksinya
terhadap derajat sikap, keterampilan, dan kemampuan berpikir yang diartikulasikan
dalam banyak mata pelajaran atau disiplin ilmu; ketika itu pula asesmen autentik
memperoleh traksi yang cukup kuat. Memang, pendekatan apa pun yang dipakai
dalam penilaian tetap tidak luput dari kelemahan dan kelebihan. Namun demikian,
sudah saatnya guru profesional pada semua satuan pendidikan memandu gerakan
memadukan potensi peserta didik, sekolah, dan lingkungannya melalui asesmen
proses dan hasil belajar yang autentik.
Data asesmen autentik digunakan untuk berbagai tujuan seperti menentukan
kelayakan akuntabilitas implementasi kurikulum dan pembelajaran di kelas tertentu.
Data asesmen autentik dapat dianalisis dengan metode kualitatif, kuanitatif, maupun
kuantitatif. Analisis kualitatif dari asesmen otentif berupa narasi atau deskripsi atas
capaian hasil belajar peserta didik, misalnya, mengenai keunggulan dan kelemahan,
motivasi, keberanian berpendapat, dan sebagainya. Analisis kuantitatif dari data
asesmen autentik menerapkan rubrik skor atau daftar cek (checklist) untuk menilai
tanggapan relatif peserta didik relatif terhadap kriteria dalam kisaran terbatas dari
empat atau lebih tingkat kemahiran (misalnya: sangat mahir, mahir, sebagian mahir,
dan tidak mahir). Rubrik penilaian dapat berupa analitik atau holistik.
Dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 untuk pendidikan dasar dan KBK berbasis
KKNI-SNPT untuk perguruan tinggi, memudahkan terlaksananya pembelajaran
autentik dengan asesmen autentik.
APAKAH ASESMEN AUTENTIK ITU?
Pada awalnya istilah tersebut diperkenalkan oleh Wiggins tahun 1990 untuk
menyesuaikan dengan yang biasa dilakukan oleh orang dewasa sebagai reaksi
(menentang) penilaian berbasis sekolah seperti mengisi titik-titik, tes tertulis, pilihan
ganda, kuis jawaban singkat. Jadi dikatakan otentik dalam arti sesungguhnya dan
realistis. Apabila kita melihat di tempat kerja, orang-orang tidak diberikan tes pilihan
ganda untuk menguji bisa tidaknya mereka melakukan pekerjaan tersebut. Mereka
mempunyai performansi, kinerja atau unjuk kerja.
Dalam bisnis dikatakan performance assessment. Menurut Jon Mueller (2006)
penilaian otentik merupakan suatu bentuk penilaian yang para siswanya diminta
untuk
menampilkan
tugas
pada
situasi
yang
sesungguhnya
yang
mendemonstrasikan penerapan keterampilan dan pengetahuan esensial yang
bermakna. Pendapat serupa dikemukakan oleh Richard J. Stiggins (1987), bahkan
Stiggins menekankan keterampilan dan kompetensi spesifik, untuk menerapkan
keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai. Hal itu terungkap dalam
cuplikan kalimat berikut ini: “performance assessments call upon the examinee to
demonstrate specific skills and competencies, that is, to apply the skills and
knowledge they have mastered” (Stiggins, 1987:34)
Grant Wiggins (1993) menekankan hal yang lebih unik lagi. Grant menekankan
perlunya kinerja ditampilkan secara efektif dan kreatif. Selain itu tugas yang diberikan
dapat berupa pengulangan tugas atau masalah yang analog dengan masalah yang
dihadapi orang dewasa (warganegara, konsumen, professional) di bidangnya.
Asesmen otentik lebih sering dinyatakan sebagai asesmen berbasis kinerja
(performance based assessment). Sementara itu dalam buku-buku lain (kecuali
Wiggins) penilaian otentik disamakan saja dengan nama penilaian alternatif
(alternative assessment) atau penilaian kinerja (performance assessment). Selain itu
Mueller (2006) memperkenalkan istilah lain sebagai padanan nama penilaian otentik,
yaitu penilaian langsung (directassessment). Nama performance assessment atau
performance based assessment digunakan karena siswa diminta untuk menampilkan
tugas-tugas (tasks) yang bermakna. Terdapat sejumlah pakar pendidikan yang
membedakan penggunaan istilah penilaian otentik dengan penilaian kinerja, seperti
misalnya Meyer (1992) dan Marzano (1993). Sementara itu Stiggins (1994) dan
Mueller (2006) menggunakan kedua istilah itu secara sinomim.
Nama alternative assessment digunakan karena merupakan alternatif dari penilaian
yang biasa digunakan (traditional assessment). Adapun nama direct assessment
digunakan karena penilaian otentik menyediakan lebih banyak bukti langsung dari
penerapan
keterampilan
dan
pengetahuan.
Apabila
seorang
siswa
dapat
mengerjakan dengan baik tes pilihan ganda, maka kita inferensikan secara tidak
langsung (indirectly) bahwa siswa tersebut dapat menerapkan pengetahuan yang
telah dipelajarinya dalam konteks dunia yang sesungguhnya. Namun kita akan lebih
suka membuat inferensi dari suatu demonstrasi langsung tentang penerapan
pengetahuan dan keterampilannya.
Berdasarkan fokusnya asesmen dapat dikelompokkan sebagai asesmen diagnostik,
formatif, dan sumatif . Asesmen diagnostik berfokus untuk memperbaiki proses
pembelajaran atau untuk menentukan hasil-hasil pembelajaran. Asesmen formatif
berfokus pada proses pembelajaran dan hasil-hasil pembelajaran. Sedang Asesmen
sumatif, terutama difokuskan pada hasil-hasil pembelajaran. Beberapa istilah untuk
asesmen diantaranya: asesmen tradisional, asesmen autentik, asesmen alternatif,
dan asesmen informal.
Assesmen tradisional (AT) ini mengacu pada forced-choice ukuran tes pilihan
ganda, fill-in-the-blank, true-false, menjodohkan dan semacamnya yang telah
digunakan dalam pendidikan umumnya. Tes ini memungkinkan distandarisasi atau
dikreasi oleh guru. Mereka dapat mengatur setingkat lokal, nasional atau secara
internasional ( Mueller,2008). Esensi assesmen tradisional didasarkan pada filosofi
bidang pendidikan yang mengadopsi pemikiran yang berikut:( 1). Suatu misi sekolah
adalah
untuk mengembangkan
warganegara produktif,
(2)
Untuk menjadi
warganegara produktif setiap orang harus memiliki suatu kopetensi tertentu dari
pengetahuan dan ketrampilan (3) Oleh karena itu sekolah harus mengajarkan
kopetensi ketrampilan dan pengetahuan ini: (4) Untuk menentukan kopetensi itu
sukses, kemudian sekolah menguji para siswa, untuk melihat apakah mereka
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Di dalam assesmen tradisional,
kurikulum memandu penilaian. Kopetensi pengetahuan ditentukan lebih dulu.
Pengetahuan itu menjadi kurikulum yang ditransferkan. Sesudah itu penilaian
dikembangkan dan diatur untuk menentukan jika suatu saat kurikulum tersebut
diterapkan.
Asesmen Alternatif (Alternative Assessment)
Asesmen yang tidak melibatkan
suatu tes baku dengan butir-butir asesmen tradisional. Asesmen alternatif memfokus
pada pengukuran pengetahuan prosedural. Asesmen ini mencakup sejumlah
prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang siswa
ketahui, ia yakini, dan dapat ia lakukan. Asesmen ini memfokus pada pertumbuhan
perorangan siswa dari waktu ke waktu dan menekankan pada kekuatan bukan
kelemahan siswa. Pertimbangan diberikan pada gaya belajar perorangan siswa dan
tingkat keterampilannya. Menurut Mertler, dalam Classroom Assessment: A Practical
Guide for Educators, bentuk penilaian berdasarkan alat penilaian dalam asesmen
alternative berupa asesmen kinerja (Performance Assessment), asesmen informal
(informal
assessment),
observasi
(Observation),
penggunaan
pertanyaan
(Questioning), Presentasi (Presentation), diskusi (Discusions), Projek (Project) ,
investigasi atau penyelidikan (Investigation), Portofolio (Portofolio), Jurnal (Journal),
Wawancara (Interview), Konferensi, dan Evaluasi diri oleh siswa (Self Evaluation).
Asesmen informal merupakan asesmen siswa melalui pengamatan tidak resmi,
interviu
informal,
dan
prosedur-prosedur
tidak-baku.
Asesmen
informal
memungkinkan guru mengukur kemajuan siswa dari-hari-ke-hari dan keefek-tivan
pengajaran. Pengamatan merupakan asesmen informal pembelajaran siswa yang
didasarkan pada melihat dan mendengarkan siswa pada saat mereka bekerja.
Pengatan kelas sering digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran siswa pada saat
siswa sedang bekerja dengan seorang partner atau suatu kelompok siswa dalam
penyelidikan atau tugas-tugas kinerja yang memerlukan kerja-tim dan kooperatif.
Pengamatan
merupakan
suatu
proses
berkelanjutan
yang
menda-tangkan
pemahaman yang mendalam terhadap sikap, gaya belajar, kekuatan dan kelemahan,
teknik-teknik pemecahan masalah siswa. Pengamatan tersebut me-nyumbang
kepada gambaran siswa yang lebih lengkap tentang kemajuan siswa. Panduan
berikut ini direkomendasikan pada saat menggunakan pengamatan kelas untuk
asesmen siswa:
Gunakan ceklis atau perangkat criteria yang sama untuk seluruh siswa.
Amati setiap siswa beberapa kali dan pada waktu-waktu yang berbeda dari
hari-ke-hari.
Amati tiap siswa dalam berbagtai ragam situasi.
Evaluasi berbagai ragam keterampilan dan perilaku untuk tiap siswa.
Catat pengamatan dan evaluasi sesegera mungkin.
Asesmen autentik digunakan untuk mendeskripsikan berbagai macam format
asesmen yang mencerminkan pembelajaran, hasil belajar, motivasi, dan sikap-sikap
siswa terhadap kegiatan-kegiatan kelas yang relevan dengan pengajaran. Asesmen
autentik melibatkan siswa dalam situasi dunia-nyata. Asesmen ini menyajikan tugastugas pemecahan-masalah yang mungkin dihadapi siswa di dalam atau di luar
sekolah. Lebih dari itu, asesmen ini melibatkan siswa dalam inquiri dan proyek.
Contoh-contoh asesmen autentik dapat meliputi pengamatan sehari-hari di kelas,
proyek-proyek, atau tugas-tugas seperti mengisi lamaran kerja, menulis surat kepada
sebuah perusahaan atau seorang politisi, atau menganalisis sebuah siaran televisi.
Contoh-contoh asesmen autentik meliputi: 1) asesmen kinerja, 2) porto-folio, dan 3)
asesmen-diri siswa.
Asesmen kinerja terdiri dari setiap bentuk asesmen dimana siswa menunjukkan
atau mendemonstrasikan suatu response secara lisan, tertulis, atau menciptakan
suatu karya. Response siswa tersebut dapat diperoleh guru dalam konteks asesmen
formal atau informal atau dapat diamati selama pengajaran di kelas atau seting di
luar pengajaran. Asesmen kinerja meminta siswa untuk “menye-lesaikan tugas-tugas
kompleks dan nyata, dengan mengerahkan pengetahuan awal, pembelajaran yang
baru diperoleh, dan keterampilan-keterampilan yang relevan untuk memecahkan
masalah-masalah
realistik
atau
autentik.”
Siswa
mungkin
diminta
untuk
menggunakan bahan-bahan atau melakukan kegiatan hands-on dalam mencapai
pemecahan masalah-masalah. Contohnya adalah laporan-laporan lisan, contohcontoh tulisan, proyek individual atau kelompok, pameran, atau demonstrasi.
Beberapa karakteristik dari asesmen kinerja adalah sebagai berikut:
1. Menyusun Response: siswa menyusun suatu response, memberikan suatu
response yang diperluas, terlibat dalam suatu pertunjukan, atau menciptakan
suatu karya.
2. Pemikiran Tingkat-Tinggi: secara khas siswa menggunakan berfikir tingkat tinggi
dalam menyusun response terhadap pertanyaan-pertanyaan open-ended.
3. Keautentikan: tugas-tugas bermakna, menantang, dan melibatkan kegiatan yang
mencerminkan pengajaran yang baik atau konteks dunia-nyata lain dimana siswa
diharapkan untuk menggelutinya.
4. Keterpaduan: tugas-tugas tersebut menghendaki keterpaduan dari keteram-pilan
bahasa, dan dalam beberapa hal, menghendaki keterpaduan penge-tahuan dan
keterampilan-keterampilan lintas mata pelajaran.
5. Proses dan Produk: prosedur dan strategi untuk mendapatkan jawaban benar
atau untuk mengeksplorasi alternatif pemecahan untuk tugas-tugas kom-pleks
sering kali diases di samping produk atau jawaban “benar” tersebut.
6. Kedalaman vs Luas namun Dangkal: asesmen kinerja memberikan informasi
mendalam tentang keterampilan atau ketuntasan seorang siswa bukan luasnya
cakupan seperti yang diberikan oleh tes pilihan-ganda.
Asesmen portofolio merupakan suatu kumpulan sistematik karya siswa yang
dianalisis untuk menunjukkan kemajuan siswa dari waktu ke waktu ditinjau dari
pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran. Contoh karya yang dimasukkan ke dalam
portofolio meliputi contoh-contoh tulisan, catatan harian bacaan, gambar-gambar,
rekaman audio atau video, dan/atau komentar guru dan siswa atas kemajuan yang
dibuat siswa. Salah satu fitur penting dari asesmen por-tofolio adalah keterlibatan
siswa dalam pemilihan contoh-contoh karya mereka sendiri untuk menunjukkan
perkembangan atau pembelajaran dari waktu ke waktu.
Asesmen-diri siswa merupakan suatu elemen kunci dalam asesmen autentik dan
dalam pembelajaran yang dikendalikan sendiri oleh siswa (self-regulated learning).
Asesmen-diri menggalakkan keterlibatan langsung dalam pembelajaran dan
pengintegrasian kemampuan-kemanpuan kognitif dengan motivasi dan sikap menuju
pembelajaran. Dalam menjadi siswa yang mengatur pembelajaran mereka secara
mandiri, mereka membuat pilihan-pilihan, memilih kegiatan-kegiatan pembelajaran,
dan merencanakan bagaimana menggunakan waktu dan sumber belajar mereka.
Mereka memiliki kebebasan untuk memilih kegiatan-kegiatan menantang, berani
mengambil
resiko,
membuat
kemajuan
pembelajaran
mereka
sendiri,
dan
menyelesaikan tujuan-tujuan yang diinginkan. Karena mereka memegang kendali
atas pembelajaran mereka sendiri, mereka dapat memutuskan bagaimana
menggunakan sumber belajar yang tersedia bagi mereka di dalam atau di luar kelas.
Siswa yang mengatur diri sendiri pembe-lajaran mereka tersebut (self-regulated
learners) bekerja sama dengan siswa lain dalam bertukar ide, mencari bantuan bila
diperlukan, dan memberikan dukung-an kepada teman sebaya mereka. Akhirnya,
self-regulated learners atau pebelajar mandiri memonitor kinerja mereka sendiri dan
mengevaluasi kemajuan dan hasil belajar mereka sendiri. Asesmen-diri dan
pengelolaan-diri merupakan inti jenis pembelajaran ini dan seharusnya merupakan
suatu bagian keseharian dari pengajaran. (O’Malley & Pierce 1996, h. 4 & 5)
Tabel berikut memperjelas perbedaan antara asesmen yang biasa digunakan
dengan asesmen autentik:
Tabel 1. Perbandingan Asesmen Tradisional dan Autentik
Asesmen Tradisional
Asesmen Autentik
Memilih/Merespon: Siswa memililh Melaksanakan kegiatan:Siswa
jawaban, menentukan pilihan, dan melakukan aktivitas yang
menjawab dengan uraian.
sesungguhnya sehingga memperoleh
pengalaman belajar.
Dikondisikan: Akavitas siswa
Kenyataan Hidup: Guru menilai
dikondisikan sesuai dengan
kenyataan yang sesungguhnya siswa
keinginan penguji, seperti memilih
lakukan pada kehidupan nyata dalam
jawaban yang dikodisikan guru.
waktu pendek.
Mengingat/ Menyatakan:Siswa
Konstruksi/Aplikasi: Penilaian
mengingat atau menyatakan
Autentik memperhatikan siswa
informasi yang mereka kuasai.
menganalisis atau mengaplikasikan
ilmu dalam proses berkreasi,
berinovasi atau mencipta..
Struktur Dirancang Guru: Siswa
Struktur Prilaku Dikembangkan
perlu berhati-hati untuk
Siswa: Penilaian autentik memberi
mengembangkan struktur yang guru ruang kepada siswa mengembangkan
harapkan, memenuhi target seperti konstruksi sesuai dengan
yang guru inginkan.
keinginannya
Bukti Tidak Langsung: Dalam
Bukti Langsung: Dalam penilaian
penilaian tradisional melalui tes
autentik guru memperoleh bukti
pilihan ganda, misalnya,
langsung tentang perkembangan
memperoleh bukti kompetensi siswa kompetensi yang ditunjukkan siswa
tidak langsung
secara langsung
JENIS-JENIS ASESMEN AUTENTIK
Pada Tabel 1 ditunjukkan berbagai macam asesmen, seperti in-terviu lisan,
menceritakan kembali bacaan, contoh-contoh tulisan, dan sebaga-inya, serta
pengamatan guru terhadap pengetahuan dan keterampilan siswa di kelas.
Tabel 2. Jenis-jenis Asesmen Autentik
Asesmen
Deskripsi
Keuntungan
Interviu Lisan
Guru mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada siswa tentang
kegiatan, bacaan, dan minat
Menceritakan
kembali Cerita atau
Bacaan
Siswa menceritakan kembali ide-ide
pokok atau rincian tertentu dari
bacaan yang dialami melalui
mendengar atau membaca
Contoh-contoh
tulisan
Siswa menghasilkan makalah naratif,
ekspositori, persuasif, atau referensi
Proyek/Pameran
Siswa menyelesaikan proyek, bekerja
secara individual atau berpasangan
Eksperimen/
Demonstrasi
Siswa eksperimen atau
menyelesaikan mendemonstrasikan
penggunaan bahan
Menyusun Butir-butir
Jawaban
Siswa merespon dalam bentuk tulisan
terhadap pertanyaan-pertanyaan
open-ended
Portofolio
Memusatkan pada koleksi karya
siswa untuk menunjukkan kemajuan
dari waktu ke waktu
Konteks informal dan santai
Dilakukan dari hari ke hari dengan
tiap siswa
Mencatat pengamatan pada suatu
panduan interviu
Siswa memproduksi laporan lisan
Dapat diskor pada komponen isi
atau bahasa
Diskor dengan rubrik atau sejenis
skala sikap (rating scale)
Dapat menentukan pemahaman
membaca, strategi membaca, dan
pengembangan bahasa
Siswa menghasilkan dokumen
tertulis
Dapat diskor pada komponen isi
atau bahasa
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Dapat menentukan proses-proses
menulis
Siswa membuat presentasi formal,
laporan tertulis, atau dua-duanya
Dapat mengamati produk-produk
lisan atau tertulis dan keterampilanketerampilan berfikir
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Siswa membuat presentasi formal,
laporan tertulis, atau dua-duanya
Dapat mengamati produk-produk
lisan atau tertulis dan keterampilanketerampilan berfikir
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Siswa menghasilkan laporan
tertulis
Biasanya diskor pada informasi
substantif atau keterampilanketerampilan berfikir
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Dapat diskor dengan rubrik atau
rating scale
Memadukan informasi dari
sejumlah sumber
Memberikan gambaran menyeluruh
dari kinerja dan pembelajaran
siswa
Keterlibatan dan komitmen siswa
yang kuat
Menghimbau evaluasi-diri siswa
(O’Malley & Pierce 1996, h. 11 & 12)
Penilaian otentik memerlukan tugas (task) untuk menampilkan kinerja peserta didik,
dan sebuah kriteria penilaian atau rubrik (rubrics) yang akan digunakan untuk menilai
penampilan kinerja berdasarkan tugas tersebut.
a. Tugas Otentik
Tugas otentik adalah suatu tugas yang meminta siswa melakukan atau
menampilkannya dianggap otentik apabila:
1) siswa diminta untuk mengkonstruk respons mereka sendiri, bukan sekedar
memilih dari yang tersedia;
2) tugas merupakan tantangan yang mirip (serupa) yang dihadapkan dalam
(dunia) kenyataan sesungguhnya. Mungkin saja ada definisi yang lain.
Baron’s (Marzano, 1993) mengemukakan lima kriteria task untuk penilaian otentik,
yaitu:
1) tugas tersebut bermakna baik bagi siswa maupun bagiguru;
2) tugas disusun bersama atau melibatkan siswa;
3) tugas tersebut menuntut siswa menemukan dan menganalisis informasi sama
baiknya dengan menarik kesimpulan tentang hal tersebut;
4) tugas tersebut meminta siswa untuk mengkomunikasikan hasil dengan jelas;
5) tugas tersebut mengharuskan siswa untuk bekerja atau melakukan.
Anonymous (2005) mengemukakan dua hal yang perlu dipilih dalam menyiapkan
tugas dalam penilaian otentik, yaitu: keterampilan (skills) dan kemampuan (abilities).
Selanjutnya anonymous mengungkapkan lima dimensi yang perlu dipertimbangkan
pada saat menyiapkan task yang otentik pada pembelajaran sains:
1)
2)
3)
4)
5)
Pertama, length atau lama waktu pengerjaan tugas.
Kedua, jumlah tugas terstruktur yang perlu dilalui siswa.
Ketiga, partisipasi individu, kelompok atau kombinasi keduanya.
Keempat, fokus penilaian: pada produk atau pada proses.
Kelima, keragaman cara-cara komunikatif yang dapat digunakan siswa untuk
menunjukkan kinerjanya.
b. Tipe Tugas Otentik
Tugas-tugas penilaian autentik dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk.
1) computer adaptive testing (tidak berbentuk tes obyektif), yang menuntut
2) peserta tes dapat mengekspresikan diri untuk dapat menunjukkan tingkat
3) kemampuan yang nyata;
4) tes pilihan ganda diperluas, dengam memberikan alasan terhadap jawaban
5) yang dipilih;
6) extended response atau open ended question juga dapat digunakan;
7) group performance assessment (tugas-tugas kelompok) atau individual
8) performance assessment (tugas perorangan);
9) interviu berupa pertanyaan lisan dari asesor;
10) (vi).observasi partisipatif;
11) portofolio sebagai kumpulan hasil karya siswa;
12) projek, expo atau demonstrasi;
13) constructed response, yang siswa perlu mengkonstruk sendiri jawabannya.
c. Kriteria Penilaian (Rubrics)
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa penilaian otentik atau penilaian berbasis
kinerja terdiri dari tasks dan rubrics. Rubrik merupakan alat pemberi skor yang berisi
daftar kriteria untuk sebuah pekerjaan atau tugas (Andrade dalam Zainul, 2001:19).
Rubrik dapat berupa rubrik deskriptif, holistik dan skala persepsi . Secara singkat
scoring rubrics terdiri dari beberapa 4 komponen,
1) dimensi
Dimensi akan dijadikan dasar menilai kinerja siswa
2) definisi dan contoh
Definisi dan contoh merupakan penjelasan mengenai setiap dimensi.
3) skala
Skala ditetapkan karena akan digunakan untuk menilai dimensi
4) standar
standar ditentukan untuk setiap kategori kinerja
Walaupun suatu rubrik atau scoring rubrics sudah disusun sebaik-baiknya, tetapi
harus disadari bahwa tidak mungkin rubrik yang sudah disusun itu sempurna atau
satu-satunya kriteria untuk menilai kinerja siswa dalam bidang tertentu. Dari satu
tugas bisa saja disusun lebih dari satu rubrik. Oleh karena itu perlu pula
dikembangkan alat untuk menilai suatu rubrik. Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat
digunakan sebagai patokan untuk menilai suatu rubrik (Zainul, 2001:29-30).
1) Seberapa jauh rubrik tersebut (jelas) berhubungan langsung dengan kriteria yang
dinilai?
2) Seberapa jauh rubrik tersebut mencakup keseluruhan dimiensi kinerja yang
dinilai?
3) Apakah kriteria yang dipilih sudah menggunakan standar yang secaraumum
berlaku dalam bidang kinerja yang dinilai?
4) Sejauh mana dimensi & skala yang digunakan terdefinisi dengan baik?
5) Jika menggunakan skala numeric sejauh mana angka-angka yang digunakan itu
memang secara adil telah menggambarkan perbedaan dari setiap kategori
6)
7)
8)
9)
kinerja?
Seberapa jauh selisih skor yang dihasilkan oleh rater yang berbeda?
Apakah rubrik yang digunakan dipahami oleh siswa?
Apakah rubrik cukup adil dan bebas dari bias?
Apakah rubrik mudah digunakan, cukup praktis dan mudah
diadministrasikannya?
d. Deskriptor dan Level Kinerja
Rubrik di atas melibatkan komponen lain yang umum digunakan dalam penilaian
otentik
atau
penilaian
berbasis
kinerja,
yaitu
deskriptor.
Deskriptor
mengeksplisitkan tingkat kinerja siswa pada masing-masing level dari suatu
penampilan. Contohnya seperti rumusan standar minimal dalam perumusan
tujuan pembelajaran khusus. Deskriptor digunakan untuk memperjelas harapan
atau aspek yang dinilai. Selain itu descriptor juga membantu penilai (rater) lebih
konsisten dan lebih obyektif. Bagi guru yang melaksanakan penilaian otentik,
deskriptor membantu memperoleh umpan balik yang lebih baik.
BAGAIMANAKAH MENYIAPKAN ASESMEN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN
FISIKA UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI EMAS YANG KOLABORATIF,
KOOPERATIF, KOMPETITIF DAN BERKARAKTER?
Hibbard (1995) menyatakan asesmen autentik merupakan:
a. suatu realistik yang terkait dengan tujuan pendidikan sains
Komponen utama program pendidikan bertujuan: (1) menanamkan konsep dan
informasi; (2) mengembangkan proses ilmiah, seperti eksperimen, membuat
keputusan, membangun model, dan penemuan mesin; (3) mengembangkan
keterampilan memecahkan masalah yang melibatkan ilmu pasti dan informasi
untuk mendukung metode ilmiah; (4) mengembangkan keterampilan komunikasi
untuk membantu siswa menanamkan hal-hal lain secara efektif apa yang mereka
telah pelajari atau apa yang menjadi saran mereka sebagai solusi masalah; (5)
menanamkan kebiasaan bekerja dengan baik, seperti bertanggungjawab secara
individu, keterampilan bekerja sama, tekun, memperhatikan keakuratan dan
kualitas, jujur, memperhatikan keamanan, dan rapi.
b. suatu sistem untuk menilai proses dan produk
Asesmen kinerja merupakan suatu sistem untuk menilai kualitas penyelesaian
tugas-tugas yang diberikan siswa. Tugas-tugas kinerja seperti: (1) pentingnya
aplikasi konsep sains dan mendukung informasi; (2) pentingnya kebiasaan
bekerja mengkaji atau mencari secara ilmiah; (3) demonstrasi melek sains.
Adapun komponen sistem asesmen kinerja termasuk: (1) tugas-tugas yang
menanyakan siswa untuk menggunakan dan proses mereka yang telah
dipelajari; (2) cheklist untuk mengidentifikasi elemen kinerja atau hasil pakerjaan;
(3) Rubrik (perangkat yang mendeskripsikan proses dan atau kesatuan penilaian
kualitas) berdasarkan skor total; (4) contoh-contoh terbaik sebagai model kerja
yang akan dikerjakan.
c. Sebagai parner tes tradisional
Kadang-kadang tes tradisional digunakan untuk menjamin bahwa siswa telah
cukup memiliki informasi akurat untuk menggunakan asesmen kinerja. Dilain
pihak, asesmen kinerja digunakan sebagai strategi untuk mengaktifkan siswa
dalam pembelajaran.
Pembelajaran Fisika salah satu dari Pendidikan sains. Dalam pembelajaran
Fisika menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan agar penguasaan
sikap, pengetahuan, serta keterampilan terbentuk pada diri peserta didik
dalam memecahkan masalah secara ilmiah. Pembelajaran Fisika menurut
Kurikulum 2013 menjadikan peserta didik sebagai pusat pembelajaran
dikembangkan
melalui
pendekatan
saintifik.
Kemendikbud
(2013)
menjelaskan bahwa, “Pendekatan saintifik adalah pembelajaran yang
mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui
metode
ilmiah”.
Pembelajaran
Fisika
dengan
pendekatan
saintifik
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam
mengenal dan memahami berbagai materi Fisika bisa bersumber darimana
saja, kapan saja, dan tidak tergantung dari informasi yang diberikan guru
saja.
Pembelajaran Fisika dengan pendekatan saintifik dengan penilaian autentik
mendorong peserta didik untuk aktif mencari tahu, bukan diberi tahu (Majid, 2014).
Berdasarkan Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, pendekatan saintifik dikenal
dengan istilah 5M meliputi lima tahap pengalaman pembelajaran yaitu tahap
mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Pendekatan
saintifik merupakan implementasi upaya Badan Standar Nasional Pendidikan
(BNSP), tentang pendidikan Indonesia abad ke-21 yang dituangkan dalam sebuah
buku yang berjudul “PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL ABAD ke-21”. Buku ini
disusun oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu topik yang dibahas
dalam buku ini adalah tentang perubahan paradigma pembelajaran pada Abad ke21 sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
1. Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa
Jika dahulu biasanya yang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar,
menyimak, dan menulis – maka saat ini guru harus lebih banyak mendengarkan
siswanya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi
guru dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswasiswanya.
2. Dari satu arah menuju interaktif
Jika dahulu mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke
siswa, maka saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan siswa
dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas
semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan
dan dikelola.
3. Dari isolasi menuju