Pengaruh Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebagai salah satu dari berbagai teori perubahan sosial, teori pembangunan pada dewasa ini telah menjadi mainstream dan teori yang paling dominan mengenai perubahan sosial. Pembangunan sebagai salah satu teori perubahan sosial ialah fenomena yang luar biasa, karena sebuah gagasan dan teori begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia secara global, yakni bahkan seakan menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi terkhusus di negara-negara dunia ketiga (Fakih, 2001 : 11). Akan tetapi pada realitanya paradigma pembangunan yang telah terdiskursus, telah membawa kondisi sosial dan ekonomi negara-negara tersebut dalam arah pembangunan yang masih diarahkan dengan lebih tertuju pada pertumbuhan ekonomi secara liberalisasi. Pada dampaknya, kondisi sosial ekonomi menjadi keropos dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar rakyatnya untuk hidup layak dan bermartabat.

Dewasa ini kita menyaksikan suatu peristiwa krisis pembangunan. Kapitalisme di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme tengah mengalami kebangkrutan. Banyak orang yang meramalkan bahwa era saat ini sebagai berakhirnya era developmentalisme, suatu proses perubahan sosial paska Perang Dunia Kedua yang dibangun diatas landasan paham modernisasi telah menuju babak akhir. Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari


(2)

krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Secara umum terdapat suatu gejala yang menunjukkan di satu pihak semakin dominannya paradigma mainstream yang berakar pada paradigma dan teori klasik dan modernisasi. Namun, di pihak lain juga muncul gejala lain yakni semakin menguatnya peran organisasi non-pemerintah dan gerakan sosial secara global, serta bangkitnya masyarakat sipil (civil society) (Fakih, 2001 : 199).

Fenomena yang terjadi sedemikian rupa merupakan reaksi dari kondisi yang dirasakan masyarakat terhadap arah pembangunan yang dilaksanakann oleh individu, kelompok, ataupun institusi yang memiliki kekuasaan terhadap arah pembangunan. Analisis teori Gramsci yang mendeskripsikan tentang suatu keadaan tertekan dari psikologis masyarakat akibat dari efek langsung terjadinya gesekan horizontal maupun vertikal kepada representasi dari kelompok borjuasi yang memiliki otoritas dan legitimasi terhadap satu institusi masyarakat yang terstruktur. Ketika institusi ini coba menghegemoni fisik dan kesadaran dari masyarakat maka dari itu harus ada perlawanan dari hegemoni yang dominan tersebut.

Pada historisnya, manusia dalam memenuhi kebutuhannya dan juga sebagai bagian dari gerakannya, telah melahirkan berbagai lembaga dan mekanisme pada kondisi yang berbeda daerah, suku, keluarga, tempat ibadah, dan negara dengan peranan-peranan penting yang dimainkan dalam proses tersebut, yang juga seringnya terjadi dalam bentuk kombinasi. Setiap lembaga sudah memiliki suatu peran dominan dalam memenuhi kebutuhan, akan tetapi dengan berubahnya masyarakat, tiap-tiap lembaga telah terbukti tidak memadai kebutuhan-kebutuhan didalam kondisi yang baru, walaupun masing-masing masih menyisakan peran yang semakin kecil dalam waktu-waktu berikutnya. Krisis yang terjadi pada negara


(3)

hanya sekedar salah satu dari berbagai transisi historis, dimana negara adalah sebagai tempat menaruh harapan yang sangat besar oleh masyarakatnya. Tetapi yang terjadi ialah suatu pendemonstrasian akan ketidaksanggupan negara pada saat berbagai bentuk-bentuk baru dari struktur-struktur sosial, ekonomi, dan politik.

Dari pandangan ini, maka alternatif provisi sosial yang mungkin diterapkan yang akan konsisten dengan orde sosial dan ekonomi menjadi suatu pertanyaan. Dimana banyak dari alternatif kebijakan yang merupakan bentuk terdahulu dan masih dianggap sebagai kontemporer yaitu prinsip pasar dan keluarga. Akan tetapi pada realitanya keterbatasan dari kedua ini telah menjadi jelas dalam sistem sosial dan ekonomi. Dimana pasar membuktikan ketidaksanggupannya memenuhi kebutuhan manusia secara adil (Rees, Rodley, & stilwell, 1993; Evatt Research Centre, 1991), dan keluarga terus-menerus dibawah tekanan dan semakin terfragmentasi (jamrozik & sweeny, 1996; Batten, Week & Wilson, 1991); terdapat suatu krisis dalam institusi keluarga kontemporer yang membutanya sama sekali tidak mampu memenuhi permintaan akan perawatan sosial karena beberapa kelompok malahan berupaya membebaninya. Maka dari pemahaman ini, terjadi peningkatan minat pada program-progaram berbasis masyarakat sebagai sebuah modal alternatif untuk penyampaian layanan-layanan kemanusiaan dan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara adil (Shragge, 1990; Tesoriero & Ife, 2008 : hal 25).

Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, maka selain aparat pemerintah (governmental organization) juga terlibat berbagai organisasi non pemerintah (non- governmental organization). Organisasi non pemerintah ini merupakan wadah dari sekumpulan orang yang ingin ikut berkontribusi dalam upaya pembangunan.


(4)

Dalam kontribusinya pada kegiatan pembangunan, organisasi non pemerintah mempunyai kecenderungan dalam kemampuannya untuk lebih menerapkan pendekatan yang partisipatif. Hal ini disebabkan antara lain karena sifat organisasi non pemerintah yang tidak terlalu birokratis, sehingga mempunyai kemampuan untuk membuat penyesuaian dengan situasi dan kondisi. Dalam pembahasan mengenai organisasi non pemerintah ini akan dibahas mengenai ruang lingkup dan peran organisasi non pemerintah, potensinya dan kegiatan kegiatannya.

Masyarakat Indonesia betapapun mereka hidup sederhana, telah mengembangkan mekanisme dalam upaya memenuhi kebutuhan, menjangkau sumber dan pelayanan serta berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Mekanisme tersebut dilembagakan dalam sebuah wahana yang berupa organisasi. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa keberadaan organisasi yang telah tumbuh dan berkembang pada masyarakat lokal, telah menjadi alternatif mekanisme pemecahan masalah. Organisasi yang ada di masyarakat memperlihatkan ciri-ciri, seperti egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, keterbukaan partisipasi bagi seluruh anggota, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta mengembangkan musyawarah. Ciri-ciri organisasi lokal ini telah mengakomodasi unsur hak asasi manusia dan demokratisiasi pada tingkat lokal. Karena itu, apabila berbagai ciri yang melekat pada organisasi lokal ini dapat dipertahankan, akan semakin memperkuat ketahanan sosial masyarakat dalam nuansa pluralism (Edward & Thamrin, dalam Jurnal Pemberdayaan Peranan Organisasi Lokal dalam Pembangunan Kesejahteraan masyarakat).

Pada dasarnya seseorang hanya akan bersedia masuk kedalam suatu organisasi apabila kebutuhan organisasi dirasakan sama kebutuhan orang itu,


(5)

seperti apa yang disampaikan oleh james D.Mooney (1947) bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk pencapaian suatu tujuan bersama (Sutarto, 1984: 22). Dari penjelasan tersebut, dapat juga digambarkan bahwasanya faktor yang dapat menimbulkan organisasi, yaitu orang-orang, kerjasama, dan tujuan tertentu. Berbagai faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling kait merupakan suatu kebulatan. Walaupun dalam tujuannya dominan dilatarbelakangi rasa keinginan untuk dapat mencapai kebutuhan-kebutuhan sebagai makhluk hidup (manusia), seperti apa juga yang menjadi konsep dari community organization yang disampaikan Murray G. Ross dimana dibutuhkan suatu proses dengan mana suatu masyarakat menemukan kebutuhan dan tujuannya adalah untuk menciptakan teoritis diantara kebutuhan-kebutuhan, juga menemukan sumber-sumber baik sumber informal (dari masyarakat sendiri) maupun sumber eksternal (dari luar masyarakat) agar masyarakat dapat meningkatkan dan mengembangkan sikap-sikap dan praktek-praktek cooperative didalam masyarakat. Program dan aktifitas atau kegiatan pengorganisasian masyarakat dan sebagian dari pembangunan ekonomi masyarakat merupakan konsep dari pengembangan masyarakat (Irwin Sanders).

Community Organizing atau pengorganisasian komunitas bukanlah hal baru. Selain banyak diterapkan dalam kerja-kerja pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, community organizing juga menjadi strategi penting gerakan sosial. Sampai saat ini, kerja-kerja pengorganisasian rakyat atau pengorganisasian komunitas banyak dijadikan acuan oleh pekerja sosial. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dianggap masih paling efektif


(6)

dibandingkan cara-cara lain yang tak memberi peluang terbangunnya kemandirian dan pembebasan rakyat.

Suatu alasan kenapa harus beralih kepada pengorganisasian dan pengembangan masyarakat adalah dikarenakan sebgai suatu bentuk alternatif dari pada bentuk-bentuk pelayanan kemanusiaan yang lebih konservatif dalam penanganan masalah sosial kontemporer, seperti pengangguran, kemiskinan, penyakit mental, dan lain-lain yang belum terpecahkan. Meskipun telah dilakukan upaya-upaya oleh pembuat kebijakan, ilmuwan sosial dan pelaku dan profesional layanan kemanusiaan, akan tetapi permasalahan-permasalahan tetap sangat sulit diselesaikan secara radikal. Dimana permasalahan-permasalahan tersebut disebagian besarnya disebabkan oleh basis struktural dari masalah-masalah tersebut, walaupun dari perspektif ini tidaklah mengejutkan apabila masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan, sedangkan struktur dasar dari masyarakat kontemporer tetap saja utuh. Disisi lain, masyarakat yang dikalahkan oleh sistem pasar masih tetap saja dirindukan pada kondisi keadilan masyarakat.

Suatu kontradiksi yang terjadi dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia ini seakan belum banyak dipahami oleh masyarakat itu sendiri untuk sampai memahami determinasi pokok atas permasalahan yang ada. Karena pemahaman dan penyadaran inilah yang dibutuhkan dalam suatu gerakan yang terideologi agar masyarakat itu sendiri yang menentukan arah gerakannya, yang memang suatu bentuk gerakan yang tertuju pada keinginan rakyat itu sendiri dan mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Hal tersebut juga ialah bagian dari konsep pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam prosesnya, dimana para pekerja sosial pada pengorganisasian


(7)

dan pengembangan masyarakat terlebih dahulu harus mampu memancing pemahaman masyarakat itu sendiri atas kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Maka seorang Community Organizer harus menentukan pilihan yang jelas dan tegas untuk berpihak kepada rakyat yang tertindas atau menentang seutuhnya. Karena proses pengorganisasian tidak netral, sarat dengan pilihan-pilihan nilai, mengandung sejumlah azas, prinsip keyakinan dan pemahaman tentang rakyat dan bagaimana agar keadilan, perdamaian dan hak-hak asasi manusia ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan rakyat.

Di Indonesia, aktifitas CO sudah dilakukan sejak lama. Pada jaman pergerakan nasional muncul tokoh-tokoh utama yang melakukan proses pengorganisasian masyarakat untuk tujuan membangun perjuangan rakyat. Sebut saja Haji Misbach di Surakarta, yang mampu melancarkan aksi-aksi pemogokan sebagai bentuk penentangan terhadap kedzaliman penjajahan Belanda. Pada saat itu, proses Community Organizing berujung pada pembentukan organisasi kerakyatan sebagai simbol perlawanan dan symbol perjuangan kaum kecil. Namun, proses CO ini mengalami kemunduran setelah Indonesia merdeka.

Ketika ditelaah kembali, Indonesia memiliki ideologi pancasila dimana terdapat lima sila yang menjadi cita-cita bangsa yang diantaranya terdapat sila kelima yang menyatakan dengan jelas bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Dalam prosesnya, terindikasi bahwa adanya suatu proses liberalisasi

yang berjalan dalam perekonomian Indonesia. Hal ini makin diperjelas pada saat Suharto baru berkuasa di Indonesia dengan lahirnya undang-undang Penanaman Modal Asing di tahun 1967, dimana investasi asing akan leluasa dalam menguasai sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia termasuk dalam bidang


(8)

pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perairan/kelautan. Walaupun dengan jelas hal tersebut telah mengkhianati apa yang dinyatakan dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bumi, air, dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Pasal 1 ayat 2 UUPA ini juga diperkuat secara konstitusional

dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 pasal 33 ayat 3, yang berbunyi, Bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pada dasarnya Indonesia adalah negara yang punya ciri dan karakteristik agraris, maka oleh karena itu sudah selayaknya pembangunan agrarian dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan Bangsa dan Negara. Namun pada kenyataannya kebijakan pembangunan negara lebih diarahkan kepada pembangunan yang sangat tidak sesuai dengan cirri dan karakteristik bangsa Indonesia. Arah pembangunan yang hanya sesuai dengan semangat kapitalisme itu telah mengakibatkan kemunduran dan kehancuran peradaban petani secara khusus, dan kehancuran peradaban bangsa dan negara secara keseluruhan.

Proklamator Indonesia yaitu Ir.Soekarno pernah berkata, JAS MERAH

(jangan sekali-kali melupakan Sejarah). Wilayah Indonesia pernah mengalami

penjajahan oleh beberapa bangsa asing secara silih berganti, dan karena itu kebijakan-kebijakan mengenai masalah agraria yang pernah ada juga berubah-ubah sesuai jamannya. Walaupun Belanda datang lebih dahulu, namun perhatian untuk mengatur formal/legal masalah agraria dapat dikatakan baru dimulai pada masa singkat pemerintah Inggris (1811-1816), yaitu ketika Rafless melancarkan teori


(9)

kebijakan tersebut didasarkan atas, atau bertujuan untuk menarik pajak bumi (Iandrente), dengan dalil bahwa tanah adalah milik raja. Karena ukuran besarnya pajak didasarkan atas hasil bumi sesuai dengan luas pemilikan tanah, maka batas-batas pemilikan itu harus jelas. Petani diwajibkan menyerahkan dua perlima dari hasil buminya. Setelah pemerintahan kembali ke tangan belanda, ketentuan tersebut tetap berlanjut hingga kemudian dirubah mulai tahun 1830 ketika Gubernur Jenderal Van den Bosch melancarkan kebijakan berupa system tanah paksa, dimana setiap seluas seperlima tanah petani wajib ditanami dengan tanaman-tanaman yang dikehendaki pemerintah dan jadi milik pemerintah yang akan diekspor. Hingga masuk pada jaman liberal di masa kolonial dapat dikatakan bermula sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 yang membuka kesempatan bagi para pemilik modal swasta untuk menanamkan modalnya dan mengusahakan tanaman perkebunan (Gunawan Wiradi, 1998: 3). Sejarah tersebut telah jelas menggambarkan bentuk dari feodalisasi dan imperialisasi dalam kolonialisasi telah melahirkan ketidakadilan kepada petani secara konteks masyarakat. Akan tetapi Negara Indonesia seakan lupa terhadap sejarah bangsanya dan tidak belajar untuk keluar dan menuju negara yang mensejahterakan rakyatnya. Bahkan masuknya neoliberalisme ke Indonesia adalah bentuk yang memperjelas keberadaan neokolonialisasi pada rakyat Indonesia, dimana proses keberlangsungan bangsa Indonesia pada saat ini tidak berbeda jauh dari apa kondisi sebelum kemerdekaan dimiliki oleh Republik Indonesia.

Indonesia sebagai negara agraris, dimana sebagian besar dari penduduk Indonesia bermata pencaharian dari hasil pertanian. Sekitar 46 persen rakyat Indonesia terserap di sektor ini, dan dari sembilan sektor yang ada, sektor pertanian


(10)

adalah sektor penyumbang upah terbesar dari kontribusinya terhadap PDB yaitu sebesar 47.8 persen. Sementara itu sektor lainnya seperti pertambangan, listrik, gas dan air, serta sektor keuangan dan jasa hanya menyumbangkan pengembalian berupa upah/pendapatan masing-masing sebesar 5,6 persen, 21,67 persen dan 7,55 persen dari GDP yang disumbangkan (BPS,2009).

Hal terseburt telah menggambarkan bahwa sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Selain berfungsi sebagai penjamin kedaulatan pangan bangsa, sektor ini juga telah menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi nasional. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Akan tetapi dari adanya penguasaan modal asing dalam sektor industri hasil olahan pertanian dan perkebunan yang menjadi wujud nyata dari liberalisasi seperti adanya UU PMA (Penanaman Modal Asing) yang mengakibatkan ekonomi rakyat tidak mendapatkan kekuatan untuk dapat bersaing.

Permasalahan tersebut makin diperlebar pada saat pemerintahan orde kepresidenan Soeharto mencetuskan dengan apa yang dinamakan revolusi hijau yang dijadikan sebagai program nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri/swasembada. Revolusi hijau yang berintikan pada intensifikasi ini membuat pertanian menjadi seragam dengan menggunakan benih-benih unggul (HYV), pestisida, dan pupuk kimia. Melalui program intensifikasi pertanian inilah perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam benih, pupuk, dan pestisida menanamkan investasinya (Ya’kub, 2007: 16). Hal inilah yang pada


(11)

akhirnya membawa dampak buruk terhadap struktur ekonomi, sosial budaya, demografi, dan struktur penguasaan sumber agraria. Dalam struktur ekonomi revolusi hijau telah membawa ketimpangan dalam kecepatan pertumbuhan ekonomi yang akhirnya menimbulkan polarisasi asset. Hal ini berimbas pada struktur sosial yang menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan dan penguasaan lahan antar kelompok yang semakin menajam dan semakin meningkatkan potensi konflik serta melumpuhkan etika kehidupan sosial di desa.

Pada dewasa ini, konflik agrarian yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat tani jelas sangat merugikan para petani. Salah satu penyebab konflik agraria adalah ketidakadilan dalam struktur penguasaan dan pemilikan terhadap sumber-sumber agraria. Berbagai kebijakan Negara dan pengaruh ekonomi global menyebabkan petani semakin banyak kehilangan tanahnya, dimana terdapat ada 25% petani memiliki 74,8% lahan dengan luas 1-5 ha. 75 % sisanya hanya menguasai 25,8% lahan dengan luas 0,1-0,99 ha (KPA, 2002). Masih bertahannya feodalisasi yang dimana hubungan produksi yang dibangun ialah hubungan antara tuan tanah dan kaum tani yang memiliki hukum ekonomi pokok dengan bentuk penghisapan melalui sewa tanah antara tuan tanah dengan kaum tani. Kondisi hubungan produksi tersebut telah membawa akibat yang sangat menyulitkan kaum tani untuk membayar sewa tanah, dimana kondisi tersebut juga melahirkan kaum rentenis (kaum riba) yang pada akhirnya kaum tani dihisap bukan hanya dari tuan tanah an sich, tetapi oleh pedagang perantara dan kaum rentenis (Paris Script, Materialisme Dialektika Historis: 56). Penguasaan atas perkebunan, kehutanan, pertambangan saat ini hanya didominasi segelintir individu dan perusahaan-perusahaan besar nasional dan asing seperti London Sumatera, Exxon, New mont,


(12)

Freeport, Caltex dan lainnya yang luasnya hingga mencapai jutaan hektar. Situasi tersebut telah mendorong timbulnya ribuan konflik-konflik yang bersandar kepada perebutan penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria, baik yang sifatnya vertikal, horizontal maupun gabungan antara keduanya. Umumnya konflik yang terjadi selalu mengakibatkan kerugian bagi petani, masyarakat adat ataupun yang termarjinalkan lainnya (Kata pengantar oleh Henry Saragih dalam buku Ya’kub, Achmad, Konflik Agraria, Jakarta, 2007: vii).

Kondisis liberalisasi ekonomi di Indonesia diperjelas dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (WTO) pada tahun 1995. Sejak itu pemerintah Indonesia langsung melakukan liberalisasi terhadap seluruh sumber daya alam Indonesia dengan melakukan inisiatif melaksanakan metode baru perjanjian perdagangan. Perjanjian ini dilaksanakan dalam bidang bilateral dan regional yang kemudian dikenal dengan perjanjian perdagangan bebas (FTA).

TABEL 1

Daftar Perjanjian Perdagangan Bebas

No Name of FTA Status

1 ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) Agreed

2 Indonesia – Japan (EPA) Agreed

3 ASEAN – Korea FTA Agreed

4 ASEAN – China FTA Agreed

5 ASEAN – India FTA On Negotiation

6 ASEAN – Australia, New Zealand FTA On Negotiation

7 ASEAN – EU FTA On Negotiation

8 Indonesia – USA FTA Pre-Negotiation

9 Indonesia – EFTA (Swiss, Leichestein, Norwegia, Islandia)

Join Study Group Source: Institute for Global Justice (IGJ), 20081

1


(13)

Tidak hanya pada era Soeharto sebgai presiden Republik Indonesia, setelah bangsa Indonesia memasuki era Reformasi juga masih jelas memperlihatkan keberpihakan negara terhadap proses neoliberalisasi ekonomi dalam wujud perdaganagan bebas dengan mebuat undang-undang yang sesuai atas katalisator perdagangan bebas. Undang-undang tersebut memenuhi tigal pilar neoliberalisme yang dikenal dengan nama: liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Berikut ini adalah ketentuan tentang pertanian di Indonesia yang dibuat berdasarkan kepentingan neoliberalisme.

- Pada tahun 2000, pemerintah mengeluarkan UU perlindungan varietas tanaman (UU No. 29/2000).

- Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan UU privatisasi air (UU No. 7/2004) UU yang melindungi perusahaan-perusahaan raksasa agar bisa menguasai sumber daya air.

- Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan UU perkebunan (UU No. 18/2004), UU kehutanan (UU No. 19/2004) dan aturan pendukungnya. Ketentuan-ketentuan ini bermaksud untuk memenuhi kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa dan perusahaan-perusahaan kehutanan. Dalam ketentuan ini, proses industri dan produk perkebunan diharuskan untuk memiliki kebunnya sendiri. Kebijakan ini telah melemahkan posisi tawar petani sejak perusahaan diharuskan memenuhi kebutuhannya melalui perluasan perkebunan. Lebih jauh lagi ada batasan bagi petani yang tinggal disekitar lahan perkebunan-perkebunan dan hutan. Dilarang memasuki lahan tersebut, petani bisa dikenakan tuduhan kriminal dan dituntut dengan berbagai pasal berdasarkan ketentuan tersebut. Bukan hanya telah menghancurkan kekuatan petani yang memiliki


(14)

ekonomi rendah, akan tetapi hal tersebut juga jelas telah menghilangkan hak asasi manusia dari petani tersebut.

Pertanian bukan hanya sekedar suatu usaha ekonomi, tetapi lebih jauh dari itu bahwa usaha pertanian adalah kehidupan itu sendiri, karena mayoritasnya manusia bergantung pada pangan dari hasil pertanian. Oleh karena itu, keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia sangat bergantung oleh kondisi pertanian itu sendiri. Maka dari itu, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi petani merupakan suatu keharusan untuk kelangsungan manusia itu sendiri.

Penciptaan proletariat adalah prasyarat lahirnya kapitalisme. Begitulah Marx beranalisis mengenai permulaan akumulasi primitif dengan agraria dan dengan terlemparnya kaum tani. Asal-usul industri kapitalis adalah bagian dari cerita yang sama. Di Inggris pra-kapitalis, sebagian besar produksi non-pertanian diselenggarakan dalam hubungan dengan pertanian di industri-industri rumah tangga pedesaan. Pengusiran kaum tani dari tanahnya punya beberapa dampak yang kait-mengkait. Pertama, industri rumah tangga pedesaan rusak, menciptakan suatu jurang (gap) bagi produk industri kapitalis yang harus diisi. Pada waktu bersamaan rusak pula pembuatan bahan produksi dari pertanian yang dulunya secara lokal dapat diperoleh, karena siap dijual. Kaum tani yang terpental dari tanah dan desanya, kini jadi tenaga kerja untuk industri. Sedang mereka ynag bertahan di daerah pertanian kini harus bekerja penuh di pertanian dengan jam-kerja lebih panjang dan jam-kerja lebih intensif. Merekalah yang menyuplai surplus produksi pertanian guna memberi makan kelas pekerja kota yang baru itu (Brewer, 1999: 125). Dimana analisis Marx tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi sistem sosial ekonomi pertanian di Indonesia


(15)

Keselamatan umat manusia sangat ditentukan oleh usaha pertanian yang menghasilkan bahan pangan. Melindungi dan memenuhi hak-hak petani merupakan suatu keharusan untuk kelangsungan kehidupan itu sendiri. Namun kenyataannya pelanggaran terhadap hak asasi manusia bagi kaum petani sangat tinggi. Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak petani terus berlangsung sejak dahulu sampai saat ini. Akibat dari pelanggaran hak-hak asasi petani, kini ratusan juta kaum tani hidup dalam keadaan kelaparan dan kekurangan gizi. Kelaparan dan kekurangan gizi tersebut disebabkan sumber-sumber pertanian banyak dikuasai segelintir perusahaan transnational. Petani tidak lagi memiliki kebudayaan dalam mempertahankan dan memperjuangkan pertanian dan kehidupannya. Peran politik dan ekonomi rakyat petani semakin terpinggirka pukul 20.34 WIB).

Reaksi para petani yang ada untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hal agraria dapat dikatakan sangat begitu kompleks. Situasi agraria yang tidak menentu ini diakibatkan begitu banyaknya sistem yang menyimpang dari kepentingan rakyat petani. Ini tercermin dari keberpihakan pemerintah sebagai eksekutor negara kepada sistem kapitalisme yang memakai semangat modal, industrialisasi dan pasar. Kesemua hal itu mengakibatkan petani terpinggirkan oleh persaingan yang ada di dalam ekonomi kapitalisme, yang malah akan menyeret para petani dalam arus persaingan modal. Maka tidak diherankan apabila ditemukan para pekerja buruh tani bekerja di tanah yang sebelumnya mereka miliki.

Tanah yang merupakan sumber produksi absolute petani, tetapi kondisinya dimana rata-rata kepemilikan lahan oleh petani yaitu relatif sempit, yang


(16)

mengakibatkan sistem produksi yang beroperasi tidak akan ekonomis. Mempertahankan keadaan demikian sama artinya dengan memperpendek jangkauan pemikiran petani, sehingga makin menurunkan harkat hidupnya secara indivindu maupun sosial. Hal tersebut harus dihentikkan dengan mengenalkan tatanan kelembagaan yang dapat mengkonsolidasikan tanah-tanah ke dalam satuan luas dengan skala ekonomi yang lebih menguntungkan. Karena kelembagaan adalah wadah , aturan main atau mekanisme non pasar yang mengorganisasikan dan mengatur pengelolaan sumber daya agar memberi manfaat seperti yang dikehendaki. Terkait dengan hal ini, mekanisme kelembagaan baru perlu disusun lebih luas untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian produktif dari konversi ke penggunaan lahan lain (Nugroho & Dahuri, 2012: 194).

Kebijakan pertanahan di Indonesia yang banyak memicu terjadinya perlawanan rakyat petani sesungguhnya merupakan replikasi (dan produk) dari kebijakan Negara sejak jaman kolonial . artinya ada persoalan hukum (terutama hukum agrarian) dalam penataan tanah yang hingga era Reformasi masih problematic sehingga sering memicu munculnya konflik pertanahan di masyarakat. Problematika hukum itu terjadi dalam konteks terjadinya dualisme hukum, yakni hukum Negara dan hukum rakyat yang masing-masing memiliki dasar klaim kebenaran dengan logikanya sendiri. Negara menempatkan hukum sebagai determinan struktur yang terekonstruksi dari wujudnya yang bersifat substantive ke wujud yang lebih menekankan bentuknya yang formal. Dalam Negara seperti itu akan ditemukan proses-proses menuju birokratisasi pemerintah dan militer, dan ke rasionalitas hukum yang serba formal, sehingga hukum menjadi otonom, atau juga positivisasi hukum (Mustain, 2007 : 63). Maka hal tersebut juga menjelaskan


(17)

bahwa pemerintah yang mengalfakan juga seperti meniadakan hukum rakyat atau hukum adat yang sudah ada sebelum adanya hukum positif, walaupun sebenarnya juga hukum adat tetap diakui oleh hukum positif yang ada pada UU Pokok Agraria.

Melihat situasi agraria yang ada tersebut memunculkan gejolak pertentangan sosial dari masyarakta atau petani. Petani mulai berpikir kritis untuk menyikapi hal-hal tersebut . Munculnya kelompok-kelompok petani dan organisasi-organisasi petani seakan mengisyaratkan gerakan petani itu akan muncul. Meskipun dulu pada masa orde baru kehidupan berserikat ini sangat ditentang tetapi muncul juga secara tersembunyi, barulah pada saat demokrasi ini semangat munculnya gerakan petani ini nampak dipermukaan, yang salah satu diantaranya adalah Serikat Petani Indonesia (SPI).

SPI merupakan organisasi yang bersifat perjuangan massa dan kader

petani Indonesia (pasal 4 ayat 1, Anggaran Dasar SPI) yang juga memakai metode

pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. Hal tersebut juga dilihat dari strategi perjuangan SPI yaitu diantaranya membangun front perjuangan kaum tani

mulai dari pedesaan, nasional, hingga internasional (pasal 11 ayat 3, Anggaran

Dasar SPI) dan segenap keputusan dan kegiatan pergerakan/pejuangan organisasi,

harus mempertimbangkan kebutuhan, permasalahan, kehendak, kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang dihadapi massa dan kader petani yang menjadi anggota SPI (pasal 11 ayat 1, Anggaran Dasar SPI). SPI yang berperan

diantaranya sebagai wadah untuk membangun, mengkonsolidasikan dan

mempergunakan secara seksama kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dimiliki anggota (pasal 13 ayat 1, Anggaran Dasar SPI) dan


(18)

pendidikan/kaderisasi bagi anggota (pasal 14 ayat 1, Anggaran Dasar SPI) dan membangun kehidupan ekonomi anggota yang mandiri dan berdaulat dengan prinsip koperasi yang sejati (pasal 14 ayat 3, Anggaran Dasar SPI).

Berangkat dari latar belakang ini, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana bentuk pengorganisasian dan pengembangan masyarakat pada Serikat Petani Indonesia (SPI). Mengingat petani yang menjadi ujung tombak perekonomian bangsa dan sudah seyognyanya petani memiliki kehidupan yang baik secara sosial ekonomi, maka peneliti akan mengangkat suatu karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul: pengaruh pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Adapun yang menjadi alasan melakukan penelitian ini di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat Sumatera Utara ialah dikarenakan mengingat waktu yang sudah cukup panjang pada pengorganisasian petani di lahan perjuangan petani yang dianggap petani sebagai lahan yang dimiliki oleh pendahulu mereka sebelum diambil alih oleh pemerintah pada masa orde kepresidenan Soeharto di Indonesia. Pada tahun 2003 organisasi petani Mekar Jaya (PERSADA) telah bergabung denga Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) yang merupakan bagian dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) sebelum berubah bentuk menjadi Serikat Petani Indonesia (SPI) hingga berhasil menduduki lahan perjuangan petani Mekar Jaya pada tahun 2006. Maka dari itu, akan cukup banyak waktu dalam menjalankan proses pengorganisasian dan kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan petani Mekar Jaya yang bergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) hingga saat peneliti melakukan penelitian ini.


(19)

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan penjabaran yang telah disebutkan dalam latar belakang, maka penulis dapat merumuskan masalah yang nantinya akan diteliti. Agar studi terhadap masalah tersebut bisa fokus dan tidak keluar jalur, dalam pembahasan Skripsi ini penulis mengajukan rumusan permasalahan pokok sebagai berikut :

1. Seperti apa proses pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat?

2. Sampai sejauh mana pengaruh pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat?

1.3. Tujuan dan manfaat penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk dapat mengetahui proses pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia di Desa Mekar Jaya kecamatan Wampu kabupaten Langkat.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Desa Mekar Jaya kecamatan Wampu kabupaten Langkat.


(20)

1.3.2. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap kajian dan bacaan di lingkungan mahasiswa Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang berminat mengenai studi tentang pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam konteks petani. 2. Secara teoritis, dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan

karya ilmiah, menambah pengetahuan dan mengasah kemampuan berpikir terhadap fenomena sosial, gejala sosial, dan masalah-masalah sosial secara kritis hingga solusi dari pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. 3. Secara praktis, diharapkan mampu memberi masukan dan kontribusi yang

signifikan terhadap perluasan agenda perjuangan dan gerakan tani dalam pengorganisasian dan pengembangan masyarakat tani di Indonesia (SPI). 1.4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan tentang masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, penelitian terdahulu, hipotesis, definisi konsep, dan definisi operasional.


(21)

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian serta teknik penarikan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data yang diterapkan.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum mengenai lokasi dimana peneliti melakukan penelitian dan data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.

BAB V : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas penelitian yang dilakukan. Bab ini juga akan memberikan kritik dan saran dalam rangka proses membangun kearah yang lebih baik lagi untuk semua objek yang terkait dalam penelitian ini.


(1)

mengakibatkan sistem produksi yang beroperasi tidak akan ekonomis. Mempertahankan keadaan demikian sama artinya dengan memperpendek jangkauan pemikiran petani, sehingga makin menurunkan harkat hidupnya secara indivindu maupun sosial. Hal tersebut harus dihentikkan dengan mengenalkan tatanan kelembagaan yang dapat mengkonsolidasikan tanah-tanah ke dalam satuan luas dengan skala ekonomi yang lebih menguntungkan. Karena kelembagaan adalah wadah , aturan main atau mekanisme non pasar yang mengorganisasikan dan mengatur pengelolaan sumber daya agar memberi manfaat seperti yang dikehendaki. Terkait dengan hal ini, mekanisme kelembagaan baru perlu disusun lebih luas untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian produktif dari konversi ke penggunaan lahan lain (Nugroho & Dahuri, 2012: 194).

Kebijakan pertanahan di Indonesia yang banyak memicu terjadinya perlawanan rakyat petani sesungguhnya merupakan replikasi (dan produk) dari kebijakan Negara sejak jaman kolonial . artinya ada persoalan hukum (terutama hukum agrarian) dalam penataan tanah yang hingga era Reformasi masih problematic sehingga sering memicu munculnya konflik pertanahan di masyarakat. Problematika hukum itu terjadi dalam konteks terjadinya dualisme hukum, yakni hukum Negara dan hukum rakyat yang masing-masing memiliki dasar klaim kebenaran dengan logikanya sendiri. Negara menempatkan hukum sebagai determinan struktur yang terekonstruksi dari wujudnya yang bersifat substantive ke wujud yang lebih menekankan bentuknya yang formal. Dalam Negara seperti itu akan ditemukan proses-proses menuju birokratisasi pemerintah dan militer, dan ke rasionalitas hukum yang serba formal, sehingga hukum menjadi otonom, atau juga positivisasi hukum (Mustain, 2007 : 63). Maka hal tersebut juga menjelaskan


(2)

bahwa pemerintah yang mengalfakan juga seperti meniadakan hukum rakyat atau hukum adat yang sudah ada sebelum adanya hukum positif, walaupun sebenarnya juga hukum adat tetap diakui oleh hukum positif yang ada pada UU Pokok Agraria.

Melihat situasi agraria yang ada tersebut memunculkan gejolak pertentangan sosial dari masyarakta atau petani. Petani mulai berpikir kritis untuk menyikapi hal-hal tersebut . Munculnya kelompok-kelompok petani dan organisasi-organisasi petani seakan mengisyaratkan gerakan petani itu akan muncul. Meskipun dulu pada masa orde baru kehidupan berserikat ini sangat ditentang tetapi muncul juga secara tersembunyi, barulah pada saat demokrasi ini semangat munculnya gerakan petani ini nampak dipermukaan, yang salah satu diantaranya adalah Serikat Petani Indonesia (SPI).

SPI merupakan organisasi yang bersifat perjuangan massa dan kader petani Indonesia (pasal 4 ayat 1, Anggaran Dasar SPI) yang juga memakai metode pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. Hal tersebut juga dilihat dari strategi perjuangan SPI yaitu diantaranya membangun front perjuangan kaum tani mulai dari pedesaan, nasional, hingga internasional (pasal 11 ayat 3, Anggaran Dasar SPI) dan segenap keputusan dan kegiatan pergerakan/pejuangan organisasi, harus mempertimbangkan kebutuhan, permasalahan, kehendak, kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang dihadapi massa dan kader petani yang menjadi anggota SPI (pasal 11 ayat 1, Anggaran Dasar SPI). SPI yang berperan diantaranya sebagai wadah untuk membangun, mengkonsolidasikan dan mempergunakan secara seksama kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dimiliki anggota (pasal 13 ayat 1, Anggaran Dasar SPI) dan kegiatan-kegiatannya meliputi diantaranya melakukan berbagai bentuk


(3)

pendidikan/kaderisasi bagi anggota (pasal 14 ayat 1, Anggaran Dasar SPI) dan membangun kehidupan ekonomi anggota yang mandiri dan berdaulat dengan prinsip koperasi yang sejati (pasal 14 ayat 3, Anggaran Dasar SPI).

Berangkat dari latar belakang ini, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana bentuk pengorganisasian dan pengembangan masyarakat pada Serikat Petani Indonesia (SPI). Mengingat petani yang menjadi ujung tombak perekonomian bangsa dan sudah seyognyanya petani memiliki kehidupan yang baik secara sosial ekonomi, maka peneliti akan mengangkat suatu karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul: pengaruh pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Adapun yang menjadi alasan melakukan penelitian ini di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat Sumatera Utara ialah dikarenakan mengingat waktu yang sudah cukup panjang pada pengorganisasian petani di lahan perjuangan petani yang dianggap petani sebagai lahan yang dimiliki oleh pendahulu mereka sebelum diambil alih oleh pemerintah pada masa orde kepresidenan Soeharto di Indonesia. Pada tahun 2003 organisasi petani Mekar Jaya (PERSADA) telah bergabung denga Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) yang merupakan bagian dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) sebelum berubah bentuk menjadi Serikat Petani Indonesia (SPI) hingga berhasil menduduki lahan perjuangan petani Mekar Jaya pada tahun 2006. Maka dari itu, akan cukup banyak waktu dalam menjalankan proses pengorganisasian dan kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan petani Mekar Jaya yang bergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) hingga saat peneliti melakukan penelitian ini.


(4)

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan penjabaran yang telah disebutkan dalam latar belakang, maka penulis dapat merumuskan masalah yang nantinya akan diteliti. Agar studi terhadap masalah tersebut bisa fokus dan tidak keluar jalur, dalam pembahasan Skripsi ini penulis mengajukan rumusan permasalahan pokok sebagai berikut :

1. Seperti apa proses pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat?

2. Sampai sejauh mana pengaruh pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat?

1.3. Tujuan dan manfaat penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk dapat mengetahui proses pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia di Desa Mekar Jaya kecamatan Wampu kabupaten Langkat.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pengorganisasian dan pengembangan masyarakat Serikat Petani Indonesia terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Desa Mekar Jaya kecamatan Wampu kabupaten Langkat.


(5)

1.3.2. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap kajian dan bacaan di lingkungan mahasiswa Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang berminat mengenai studi tentang pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam konteks petani. 2. Secara teoritis, dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan

karya ilmiah, menambah pengetahuan dan mengasah kemampuan berpikir terhadap fenomena sosial, gejala sosial, dan masalah-masalah sosial secara kritis hingga solusi dari pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. 3. Secara praktis, diharapkan mampu memberi masukan dan kontribusi yang

signifikan terhadap perluasan agenda perjuangan dan gerakan tani dalam pengorganisasian dan pengembangan masyarakat tani di Indonesia (SPI).

1.4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan tentang masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, penelitian terdahulu, hipotesis, definisi konsep, dan definisi operasional.


(6)

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian serta teknik penarikan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data yang diterapkan.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum mengenai lokasi dimana peneliti melakukan penelitian dan data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.

BAB V : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas penelitian yang dilakukan. Bab ini juga akan memberikan kritik dan saran dalam rangka proses membangun kearah yang lebih baik lagi untuk semua objek yang terkait dalam penelitian ini.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemekaran Daerah Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Paropo Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi

2 48 108

Pengaruh Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

3 62 209

Pengaruh Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

0 1 14

Pengaruh Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

0 0 2

Pengaruh Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

1 7 50

Pengaruh Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

0 0 5

Pengaruh Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Serikat Petani Indonesia (SPI) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat

0 0 6

Pengaruh Lembaga Keuangan Petani Terhadap Sosial Ekonomi Anggota Serikat Petani Indonesia di Desa Seilitur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

0 0 16

Pengaruh Lembaga Keuangan Petani Terhadap Sosial Ekonomi Anggota Serikat Petani Indonesia di Desa Seilitur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

0 0 2

Pengaruh Lembaga Keuangan Petani Terhadap Sosial Ekonomi Anggota Serikat Petani Indonesia di Desa Seilitur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

0 0 12