PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN
DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN
Oleh : Ir. Eko Herwiyono
Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan wilayah VIII Denpasar
PENDAHULUAN
A. Latar Betakang
Pembangunan nasional bangsa Indonesia bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata
materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Pendayagunaan Sumber Daya Alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana,
rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup
bagi pembangunan yang berkelanjutan. Pengetolaan Sumber Daya Alam disamping untuk memberikan manfaat
masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sumber Daya Alam harus dikelola sedemikian rupa
sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang masa.
Pembangunan Kehutanan dilaksanakan diseluruh Tanah Air, serta harus benar-benar dapat dirasakan rakyat banyak
berupa perbaikan lingkungan dan tingkat hidup yang berkeadilan sosial. Pembangunan Kehutanan dilaksanakan secara
berencana, menyeluruh, tepadu, terarah, bertahap dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan hutan dalam
memberikan hasil yang optimal baik berupa barang maupun jasa. Fungsi dan manfaat yang dapat diperoleh dari sumber
daya hutan telah menempatkan hutan dalam peranan yang cukup besar dalam memperoleh devisa, perluasan

kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat
kecil disekitar hutan dan kelestarian lingkungan.
Kawasan hutan yang luasnya 140,4 juta hektar berdasarkan fungsinya dibagi menjadi Hutan Lindung dengan luas 30 juta
hektar, Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam 19 juta hektar, Hutan Produksi 64 juta hektar dan Hutan yang dapat
dikonversi 27,4 juta hektar. (Rakernas tahun 1996).
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka sebagian pengelolaan kehutanan
diserahkan pada Propinsi maupun Kabupaten. Dengan terus bertambahnya kabupaten saat ini telah mencapai lebih dari
350 kabupaten di seluruh Indonesia, maka pengurusan hutan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta
serba guna dan lestari untuk kemakmuran rakyat harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Pengurusan hutan meliputi kegiatan : penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan. Perencanaan kehutanan
dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan
yang dilaksanakan secara transparan, bertanggung gugat, partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan
aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan-kegiatan seperti Inventarisasi Hutan, Pengukuhan Kawasan
Hutan, Penatagunaan Kawasan Hutan, Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan dan Penyusunan Rencana
Kehutanan. (UU No. 41 Tahun 1999).
Dengan adanya perencanaan kehutanan yang baik maka akan diperoleh sistem pengelolaan hutan yang baik dan akan
mudah mengimplementasikan pelaksanaannya untuk memperoleh manfaat hutan sebesar-besarnya serta serba guna
dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai keseluruhan pengelolaan tersebut maka peranan Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) sangat penting dan strategis dalam pembangunan Planologi kehutanan.

B. Peraturan Perundangan
Pengelolaan hutan di Indonesia didasarkan pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan dengan PP 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom dalam Bab II Pasal 2 ayat 2
dan 3 yaitu kewenangan dalam bidang Kehutanan dan Perkebunan terdapat 16 kewenangan pusat, sedangkan dalam
Bab II Pasal 3 terdapat Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten, kota sebanyak 18 kewenangan. Oleh karena itu untuk menuju
keharmonisan implementasi UU No. 22 Tahun 1999 diperlukan langkah-langkah penyusunan mekanisme, prosedur, tata
laksana, hubungan kelembagaan antara Pusat, Daerah/ Propinsi dan Daerah Tk. II/ kabupaten yang harus
mengedepankan kepentingan kelestarian hutan.
Untuk itu organisasi di tingkat Propinsi telah melakukan perubahan dan penyesuaian bahkan sampai tingkat kabupaten,
maka organisasi UPT (Unit Pelaksana Teknis) juga melakukan perubahan dan penyesuaian TUPOKSI agar dapat
memberikan support terhadap keberadaan organisasi bidang kehutanan di daerah.

Kawasan hutan yang selama ini mendapatkan banyak tekanan yang mengarah ke penggunaan kawasan yang tidak
terkendali dan menuju rusaknya hutan maka upaya pemantapan kawasan hutan serta sistem informasi pemantauan
sumber daya hutan untuk mencapai fungsi hutan secara optimal dan lestari, maka Organisasi dan Tata Kerja Balai
Inventarisasi dan Perpetaan Hutan telah disempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6188/Kpts11/2002 sebagal Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
PERUBAHAN ORGANISASI
Perubahan organisasi Balai Inventarisasi Hutan (BIPHUT) menjadi Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) sebagal
UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Badan Planologi Kehutanan sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi data

informasi potensi, penataan batas, pemetaan hutan, penatagunaan hutan, penetapan hutan, identifikasi dan penilaian
perubahan hutan dan fungsi kawasan hutan, penyusunan KPHP dan KPHL dan sistem informasi geografis kepada
organisasi kehutanan di daerah.
Sirkulasi perubahan organisasi mengikuti edaran bola yang selalu dipengaruhi oleh enviroment (lingkungan) dan power
maupun politik, disamping organisasi secara intern berputar untuk penyesuaian agar organisasi selalu hidup dan exist.
Pengaruh environment, power dan politik maupun organisasi saling interaksi, interdepedency, influency yangdapat
digambar di bawah ini.
SEJARAH ORGANISASI KEPLANOLOGIAN
Pada tahun 1971 dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan no. 97/Kwt/SD/1971 serta no. 1943/A-2/D.A/71
terbentuklah Brigade Planologi Kehutanan yang melaksanakan tugas Inventarisasi, Pemetaan, Pengukuhan Hutan dan
efisiensi Tata Guna Tanah.
Dalam tahun 1978 terbentuklah Balai Planologi Kehutanan dengan Surat Keputusan no. 430/Kpts/Org/7/1979 dan pada
tahun 1984 berubah menjadi Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan no.
6188/Kpts-II/2002 berubah tugas dan fungsi menjadi Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
TUGAS DAN FUNGSI BALAI PEMANTAPAN KAWASAN
Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Planologi
Kehutanan. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi BPKH menyelenggarakan fungsi :
Pelaksanaan identifikasi lokasi dan potensi kawasan hutan yang ditunjuk.
Pelaksanaan penataan batas dan pemetaan kawasan hutan konservasi.
Pelaksanaan identifikasi fungsi dan penggunaan dalam rangka penatagunaan kawasan hutan.

Penilaian hasil tata batas dalam rangka penetapan kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Pelaksanaan identifikasi dan penilaian perubahan status dan fungsi kawasan hutan.
Pelaksanaan identifikasi pembentukan pengelolaan hutan konservasi serta hutan lindung dan hutan produksi lintas administrasi
pemerintahan.
Penyusunan dan penyajian dan informasi sumber daya hutan serta neraca sumber daya hutan.
Pengelolaan sistem informasi geografis dan perpetaan kehutanan.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
BPKH dibentuk sebanyak 11 wilayah yang terbagi menjadi :
BPKH Wilayah I yang berkedudukan di Medan meliputi Propinsi-propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau.
BPKH Wilayah II yang berkedudukan di Palembang meliputi Propinsi-propinsi Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung
dan Bangka Blitung.
BPKH Wilayah III yang berkedudukan di Pontianak meliputi Propinsi Kalimantan Barat.
BPKH Wilayah IV yang berkedudukan di Samarinda meliputi Propinsi Kalimantan Timur.
BPKH Wilayah V yang berkedudukan di Banjarbaru meliputi Propinsi-propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
BPKH Wilayah VI yang berkedudukan di Manado meliputi Propinsi-propinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
BPKH Wilayah VII yang berkedudukan di Makasar meliputi Propinsi-propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
BPKH Wilayah VIII yang berkedudukan di Denpasar meliputi Propinsi-propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur.
BPKH Wilayah IX yang berkedudukan di Ambon meliputi Propinsi-propinsi Maluku Utara dan Maluku.

BPKH Wilayah X yang berkedudukan di Jaya Pura meliputi Propinsi Papua.
BPKH Wilayah XI yang berkedudukan di Yogyakarta meliputi Propinsi-propinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta dan Jawa Timur.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan mempunyai 1 (satu) Sub Bagian Tata Usaha dan 2 (dua) seksi yaitu Seksi Informasi
Sumber Daya Hutan, Seksi Pemolahan Kawasan Hutan serta Kelompok Jabatan Fungsional. Adapun tugas masingmasin seksi adalah sebagal berikut :

1. Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata persuratan, kepegawaian, keuangan,
perlengkapan dan rumah tangga.

2. Seksi Pemolahan Kawasan Hutan mempunyai tugas melakukan identifikasi lokasi dan potensi kawasan hutan

3.

yang akan ditunjuk, penataan batas dan pemetaan kawasan hutan konservasi, identifikasi fungsi dan
penggunaan dalam rangka penatagunaan kawasan hutan, penilaian hasil tata batas dalam rangka penetapan
kawasan hutan lindung dan hutan produksi, identifikasi dan penilaian perubahan status dan fungsi kawasan
hutan serta identifikasi pembentukan unit pengelolaan hutan konservasi, serta hutan lindung dan hutan produksi
lintas administrasi pemerintahan.
Seksi Informasi Sumber Daya Hutan mempunyai tugas melakukan penyusunan program, anggaran dan

evaluasi kegiatan, penginderaan jauh, pengelolaan sistem informasi geografis, perpetaan kehutanan dan
pemasangan titik kontrol, penyusunan neraca sumberdaya hutan, pengamatan dan pengolahan data
pertumbuhan dan kondisi hutan serta penyajian informasi sumberdaya hutan.
KEADAAN DAN MASALAH

Hutan merupakan salah satu modal dasar dan faktor dominan bagi pembangunan nasional yang sangat potensial harus
dapat dimanfaatkan secara rasional dengan memperhatikan kebutuhan generasi masa kini dan masa datang.
Dalam perencanaan kehutanan dimana kegiatan inventarisasi hutan belum dapat dilakukan diseluruh kawasan hutan
sehingga kegiatan ini perlu mendapatkan prioritas sebagai upaya dalam penyiapan prakondisi pengelolaan antara lain
yang dikembangkan melalui Inventarisasi Hutan Nasional. Pelaksanaan inventarisasi hutan nasional sangat penting
untuk dapat mengetahui dan menguasai isi sumber daya hutan dan sumber kekayaan alam lainnya. Kegiatan
penatagunaan kawasan hutan pelaksanaaanya baru mencapai 12% dari seluruh kawasan hutan yang ada.
Prakondisi pengelolaan hutan dapat dikatakan mantap apabila seluruh areal hutan telah dikukuhkan dan ditetapkan
sebagai kawasan hutan sesuai dengan fungsinya. Kebutuhan lahan untuk berbagai keperluan pembangunan dan
kepentingan lain telah mengakibatkan timbulnya tekanan terhadap keberadaan kawasan hutan, keadaan ini dapat
menimbulkan berbagai masalah terutama pada lokasi kawasan hutan yang masih belum selesai proses pengukuhannya,
sehingga tata batas hutan harus terus dilaksanakan.
Kawasan hutan di Indonesia yang luasnya mencapai 140,4 juta hektar dalam kegiatan perencanaan hutan yang
merupakan tugas pokok dan fungsi dari BPKH telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
i.


ii.

iii.
iv.

Pelaksanaan inventarisasi hutan yang bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang
sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap dilakukan melalui penapsiran
citra satelit, pembuatan Temporary sample plot dan permanent sample plot, penapsiran citra spot, penapsiran
potret udara, pembuatan peta vegetasi hutan dan penggunaan lahan pembuatan data base peta digital (GIS).
Dari seluruh kegiatan tersebut belum sepenuhnya dapat mencakup seluruh kawasan hutan sehingga kegiatankegiatan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan oleh BPKH agar didapat data
yang valid dan terbaru dari kawasan hutan guna pengelolaan lebih lanjut.
Kegiatan penngukuhan kawasan hutan antara lain telah dilaksanakan tata batas luar kawasan hutan, tata batas
fungsi, tata batas areal kerja HPH, pengesahan batas luar kawasan hutan dan pengukuhan batas fungsi,
penetapan batas kerja areal HPH, pemasangan titik kontrol GPS dan pengukuran jaringan titik kontrol.
Pelaksanaan penataan batas kawasan hutan secara keseluruhan baru mencapal 32% sehingga masih banyak
kawasan hutan yang belum dilaksanakan tata batas.
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan hanya baru dilaksanakan tahap awal yaitu pembentukan konsep
KPHP sedangkan kawasan hutan lainnya belum dilaksanakan.
Penyusunan rencana kehutanan baik tingkat kabupaten, propinsi maupun tingkat nasional yang berkelanjutan

baik rencana jangka pendek, menengah maupun rencana jangka panjang masih belum tuntas.

Dalam pelaksanaan kegiatan BPKH yang menjadi fokus utama untuk segera diselesaikan dan terdapat banyak
permasalahan tugas kegiatan :
a. Inventarisasi Hutan
Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan mendapatkan prioritas sebagai upaya dalam penyiapan prakondisi
pengelolaan hutan antara lain pelaksanaan inventarisasi hutan yang dikembangkan melalui inventarisasi hutan
nasional. Mempercepat pelaksanaan inventarisasi hutan melalui metoda penginderaan jauh dengan menggunakan
citra landsat, spot dan potret udara serta memanfaatkan data hasil Proyek Nasional Forest Inventory dan
melanjutkan pelaksanaan inventarisasi terrestis.
b. Pengukuhan Kawasan Hutan

Dalam upaya pemanfaatan pengelolaan hutan, maka seluruh areal hutan harus dikukuhkan dan ditetapkan sebagai
kawasan hutan sesuai dengan fungsinya. Oleh karena belum selesainya penataan batas, pengukuhan kawasan
hutan serta mendesaknya keperluan pemanfaaatan lahan serta pembangunan, maka telah terjadi tumpang tindih
dalam penggunaan lahan hutan. Hal ini terjadi pada penggunaan lahan bagi kepentingan transmigrasi, pertanian,
pengembangan wilayah, pertambangan, industri dan lainnya. Penataan fungsi-fungsi hutan diatur melalui penataan
ruang dan perlunya pemaduserasian dalam pengaturan alokasi sumber daya hutan yang berkaitan dengan
perencanaan dan pemanfaatannya.
HUBUNGAN KELEMBAGAAN

BPKH DENGAN INSTANSI KEHUTANAN DI DAERAH
Hubungan kelembagaan antara instansi di daerah dalam upaya menyelesaikan semua kegiatan perlu dirumuskan
sebagai syarat mutlak suksesnya tugas. Oleh karena itu di daerah perlu dilakukan kembali perumusan TUPOKSI agar
tidak terjadi kekeliruan dan tumpang tindih kegiatan.
Penyusunan strategi maupun implementasi menjadi sangat penting agar semua instansi terkait mempunyai kesamaan
gerak maupun persepsi sehingga maksud dan tujuan terbentuknya instansi BPKH menjadi lebih jelas.
PERANAN BPKH DI DAERAH
Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang mengemban tugas dan fungsi secara sinergi dan integral masuk kesemua
instansi baik pusat maupun daerah BPKH yang merupakan organisasi berperanan sebagai pendorong (support system)
bagi instansi di daerah maupun di pusat untuk bergerak terutama dalam urusan Keplanologian. Pemantapan Kawasan,
penyediaan data dan informasi maupun perpetaan akan menjadi input (masukan) untuk instansi kehutanan yang
membutuhkan termasuk 5 (lima) kewenangan pusat maupun 6 (enam) kewenangan daerah.
Dengan adanya masukan BPKH maka penyelesaian tantangan-tantangan ke depan dalam bidang keplanologian dapat
diselesaikan.
TANTANGAN BPKH
a. Teknis
1. Paduserasi TGHK-RTRWP yang dilakukan di semua propinsi belum semua selesai, bahkan yang telah selesai
pun di beberapa propinsi masih menginginkan perubahan-perubahan terutama dalam era otonomi daerah.
2. Dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai UU no. 22/1999 dimana kabupaten sebagai daerah otonomi/ mandiri
terbentuk belum tuntas peta TGHK yang dipaduserasikan dengan RTRWK bahkan cenderung tidak menjadi

perhatian.
3. Pengukuhan dan penatagunaan hutan belum seluruhnya selesai dan di beberapa daerah tata batas hutan yang
telah diselesaikan tidak diakui atau dirambah masyarakat dan kawasan hutan yang telah mendapat persetujuan
oleh Menteri Kehutanan belum ditata batas menjadi permasalahan di masa yang akan datang.
4.

Dalam era otonomi kegiatan penataan batas kurang menjadi perhatian pemerintah daerah karena tidak
dialokasikan anggaran, yang akan mengakibatkan kawasan hutan tidak memiliki legalitas hukum.

5.

Pelaksanaan penataan hutan sesual PP No. 34 Tahun 2002 menuntut perhatian serius dalam upaya
kompartement seluruh hutan yang ada. Kemungkinan baru kawasan hutan di pulau Jawa yang telah dilakukan
penataan.

6. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan masih belum terselesaikan mengingat likuidasi
Kanwil kehutanan menjadikan kegiatan ini tidak tertangani dengan baik.
7. Sampai saat ini data dan informasi potensi hutan dari hasil inventarisasi hutan belum dapat diakses di tingkat
kabupaten, karena kegiatannya dibuat pada lintas kabupaten.
8.


Penyusunan KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi), KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung),
KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi) belum selesai, menghambat penyusunan perencanaan atau
kegiatan kehutanan didaerah.

9. Pada saat masih eksis Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan akses perpetaan baru dikombinasikan di tingkat
propinsi hingga jangkauan perpetaan dengan bermacam-macam tema peta dan skala belum sampai ke
kabupaten.

10. Jaringan titik kontrol yang selama ini dilakukan belum seluruhnya ada dan akan terus dilakukan sebagai upaya
membuat titik pasti di daerah yang berguna untuk upaya pembangunan penataan hutan.
11. Peta kawasan hutan belum banyak di ketahui oleh masyarakat sehingga terjadi perambahan maupun kesalahan
penafsiran terhadap keberadaan kawasan hutan oleh masyarakat maupun instansi yang berkompenten.
b.

Administrasi/ Kelembagaan
1. Wilayah hutan di Indonesia hampir mencapai 140,4 juta hektar dengan terbagi dalam 350 daerah Kabupaten dan
hanya dilayani oleh 11 instansi BPKH menjadi sangat terbatas jangka penyelesaian TUPOKSI dalam waktu
cepat maka di masa depan perlu penambahan BPKH yang jumlah proposional.
2. Dengan likuidasi Kanwil Kehutanan dan tidak mungkin seluruh bidang keplanologian kehutanan menjadi tugas
dan fungsi Dinas Kehutanan di daerah karena harus mempertimbangkan kewenangan propinsi sebagai daerah
otonomi sesuai PP 25 tahun 2000 dan belum merupakan TUPOKSI BPKH sesual SK No. 6188/Kpts-11/2002
maka pemerintah pusat perlu membuat terobosan baru untuk memberikan tambahan (Addition) tugas atau
pelimpahan tugas ke daerah.
3.

Personil BPKH sampai saat ini berintikan dari personil BIPHUT yang dimasa depan untuk meningkatkan
kompetensi diperlukan pengembangan personil yang mendukung kegiatan keplanologian yang diselaraskan
dengan kemajuan IPTEK sehingga prioritas kebijaksanaan peningkatan kualitas pembinaan sumber daya
manusia terutama bidang perencanaan dan pengembangan serta penguasaan IPTEK.

4. Dengan terbentuknya Balai Pemantapan Kawasan Hutan maka beberapa pedoman yang perlu diperbaiki atau
disempurnakan antara lain :
a. SK Menhut No. 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Pasal 10a dan 17.
b. SK Menhut No. 56/Kpts-II/1994 tentang Pelimpahan Wewenang kepada Direktur Utama Perum Perhutani
atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan untuk dan atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan
Surat Persetujuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk keperluan tertentu.
c.

SK Menhut No. 57/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Penataan Batas Fungsi Hutan pasal 1(5), pasal 6(1),
pasal 7 dan pasal 12.

d. SK Menhut No. 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan pasal 6 dan 14.
e.

SK Menhut No. 399/Kpts-II/1990 jo. 634/Kpts-II/1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengukuhan
Hutan pasal 5 (1), (5) dan pasal 8 (1), (2).

f.

SK Dirjen Intag No. 82/Kpts-VII-1/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengukuhan Hutan BAB II,
BAB III.
PENUTUP

Dalam upaya pemantapan kawasan hutan serta informasi pemantauan sumber daya hutan telah terbentuk 11 (sebelas)
Balai Pemantapan Kawasan Hutan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-11/2002. Namun apabila
organisasi BPKH dipandang dari aspek wilayah hutan di Indonesia dengan beragam permasalahan serta biodivesitas isi
hutan maka penambahan organisasi BPKH perlu dilakukan dengan jumlahnya proporsional sesuai keluasan wilayahnya.
Dari BPKH yang ada terdapat BPKH yang mempunyai wilayah kerja di 2 - 6 propinsi maka untuk memperlancar tugas
koordinasi di pemerintah daerah dan mengurangi biaya (cost) dalam upaya efisiensi anggaran perlu dibentuk atau
diperlukan perwakilan BPKH di daerah propinsi dimana BPKH belum ada sebagai upaya penyempumaan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002.
BPKH mempunyai TUPOKSI cukup luas dan melayani stakeholder hampir ± 350 Kabupaten dengan rata-rata 1 (satu)
BPKH sebanyak 30 Kabupaten untuk memberi support pemantapan kawasan, pemetaan hutan dan potensi hutan maka
peningkatan eselon instansi BPKH perlu dilakukan.
Peran BPKH sebagai UPT di daerah akan semakin berkembang selaras dengan pengembangan instansi kehutanan di
daerah propinsi maupun kabupaten. Sehingga dengan terbentuknya Balai Pemantapan Kawasan Hutan maka di propinsi
dan kabupaten pra kondisi pengelolaan hutan diharapkan :

1. Seluruh kawasan hutan mantap karena selesainya tata batas, tata fungsi dan tata hutan sesuai PP 34 tahun
2.
3.
4.
5.

2002.
Data dan informasi tersedia lengkap dan akurat.
Tersedianya peta dengan bermacam-macam thema dan skala di propinsi dan kabupaten.
Tersedianya sistem informasi geografis (SIG).
Tersusunnya Rencana Kehutanan Regional jangka panjang, menengah dan pendek.