PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTA1

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN
DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN
KATA PENGANTAR
Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi
Kehutanan Tahun 2002 di Jakarta.
Secara singkat disajikan berbagai hal mengenai kegiatan planologi di daerah yang dilaksanakan selama
ini dan rencana ke depan mencakup kondisi saat ini, permasalahan dan saran tindak lanjut sebagai
bahan masukan pemantapan kegiatan planologi.
Melalui rapat kerja ini diharapkan terjadi persamaan persepsi, menghilangkan sentralistik dan menunjang
desentralisasi planologi kehutanan dalam semangat otonomi khusus Papua untuk membangun
kehutanan ke depan yang lebih baik dan bermanfaat sehingga masalah, tantangan dan hambatan yang
dihadapi dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
Disadari materi yang disajikan ini masih terbatas dan belum mengakomodir keseluruhan kondisi kegiatan
planologi kehutanan di daerah, namun diupayakan dapat memberikan informasi dan gambaran sesuai
kondisi obyektif saat ini.
Kiranya bermanfaat, terima kasih.
Jayapura, Oktober 2002
An. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua
Wakil Kepala Dinas Kehutanan,
ttd.
Ir. MARTHEN KAYOI, MM

PEMBINA TK. I
NIP. 710006004

I. KONDISI SAAT INI
1. Kawasan hutan di Provinsi Papua terdiri dari berbagai fungsi hutan dan tersebar di setiap
kabupaten dan kota, sesuai Peta Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Irian Jaya (SK. Menteri
Kehutanan Nomor : 891/KptsII/1999 tanggal 14 Oktober 1999) alokasi fungsi hutan sebagai
berikut :
-

Hutan Suaka Alam/ Pelestarian Alam
8.025.820 Ha (19,01%)
Hutan Lindung
10.619.090 Ha (25,15%)
Hutan Produksi (HPT/HP/HPK) 21.901.450 Ha (51,87%)
Kawasan Perairan
1.678.480 Ha (3,97%)

2. Kawasan hutan di Provinsi Papua selain memiliki berbagai alokasi fungsi hutan juga memiliki
type ekosistem mulai dari hutan pantai sampai dengan sub alpin dan termasuk salah satu

wilayah yang memiliki type ekosistem terlengkap di dunia.
3. Kawasan hutan tersebut perlu dimantapkan mencakup batas letak dan luas agar jelas, pasti,
legitimate dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dalam pengelolaan dan pemanfaatan
kawasan tidak menimbulkan konflik.
4. Pemantapan kawasan dalam rangka pengukuhan hutan sampai saat ini tetap diupayakan dan
selama ini prioritas kegiatan tata batas dialokasikan pada kawasan konservasi dan hutan
lindung. Sesuai data kawasan hutan tercatat ± 135 unit kawasan hutan, terdiri dari :
- Kawasan konservasi (SM/CA/TN/TB)
± 43 unit kawasan
- Hutan Lindung
± 69 uni kawasan
- Hutan Produksi (HPT/HP/HPK)
± 23 unit kawasan
5. Selain penataan batas kawasan hutan di atas dilaksanakan pula penataan batas terhadap
kawasan hutan yang dibebani hak dan untuk kepentingan di luar kehutanan seperti HPH,
perkebunan dan transmigrasi.
6. Panjang batas keseluruhan sesuai Peta Kawasan Hutan dan Perairan adalah 72.058,0 Km terdiri
dari :
- Batas fungsi ± 41.875,0 Km (58,11%); Realisasi 30.267,80 Km (72,28%)
- Batas luar ± 30.183,0 Km (41,89%); Realisasi 13.260,39 Km (43,93%)

- Realisasi tata batas sampai dengan awal 2002 adalah 43.528,198 Km (60,41%), sisa panjang
batas adalah ± 28.530 Km (39,59%).
7. Penggunaan kawasan hutan termasuk untuk kepentingan di luar kehutanan digunakan antara
lain untuk kepentingan :
- Pembangunan pei-nukiman transmigrasi
± 284.921 Ha (129 lokasi)
- Pembangunan HPH/HPHTI
± 12 juta Ha (76 unit)
- Pembangunan perkebunan
± 2.155.952 Ha (23 unit)
- Pembangunan jalan umum/ fasilitas umum lainnya
± 3.098,918 Ha
- Pembangunan pertambangan
± 375.000 Ha
8. Kepentingan di luar sektor kehutanan ditempuh melalui proses pelepasan kawasan dan pinjam
pakai antara lain untuk : perkebunan, per-tambangan, transmigrasi, dan lain-lain.
9. Luas, potensi, jenis dan penyebaran hasil hutan kayu dan non kayu termasuk tanaman pangan
dan obat-obatan belum dilakukan pendataan yang baik karena kegiatan inventarisasi hutan yang
dilaksanakan masih terbatas dan belum optimal.
10. Kegiatan inventarisasi yang dilakukan selama ini di luar kepentingan kehutanan terdiri dari :

- Enumerasi/ re-enumerasi TSP/PSP
450 kluster
- Survei sagu
120.000 Ha
- Survei rotan
353.600 Ha
- Survei nipah
20.000 Ha
- Survei tanaman pangan dan obat-batan
40.000 Ha
11. Pemilik ulayat di Provinsi Papua sebanyak ± 250 suku, belum dilakukan identiflkasi, inventarisasi
dan pemetaan pemilik ulayat.
12. Peta dasar (JOG/RBI/TOP) masih terbatas dan belum semua instansi kehutanan di Papua
memiliki peta tersebut. Perencanaan pembangunan kehutanan di daerah selain mengacu pada
peta dasar juga disepakati menggunakan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Irian Jaya.
13. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan terutama kegiatan/proyek yang
berdampak penting dan bernilai strategis mendukung pembangunan daerah cenderung dilakukan
pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi atau areal yang telah dibebani
HPH, antara lain :
- HL Pulau Gag di Kabupaten Sorong (tambang nikel)


14.
15.
16.
17.

18.

- Taman Nasional Lorentz di Kabupaten Jayawijaya/ Puncak Jaya (tambang minyak)
- HPH PT. BUMWI di Kabupaten Manokwari (LNG Tangguh)
Perubahan fungsi dan status kawasan hutan untuk pembangunan di luar kehutanan melalui
proses penelitian terpadu dan persetujuan DPR, membutuhkan waktu yang relatif lama.
Areal pengganti, relokasi fungsi dan tukar menukar kawasan hutan belum maksimal
dilaksanakan di daerah dengan pertimbangan luas, letak dan ekologis belum sesuai ketentuan
teknis.
Pola penggunaan lahan di dalam dan sekitar kawasan hutan semakin meningkat sehingga
pengelolaan kawasan hutan mengalami benturan kepentingan dengan pemilik ulayat setempat.
Desentralisasi kewenangan sesuai semangat otonomi khusus Provinsi Papua belum mendukung
kelancaran pembangunan kehutanan di daerah, sedangkan pembangunan yang dilaksanakan
tetap mengakomodir kewenangan pusat dan memperhatikan aspek kelestarian (lingkungan,

ekonomi dan sosial).
Keberadaan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua selaku instansi vertikal
kehutanan bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dalam melaksanakan kegiatan bidang
planologi di daerah.
II. PERMASALAHAN

1. Penunjukan kawasan hutan di Provinsi Papua dilakukan secara makro sehingga penunjukan
fungsi kawasan hutan tidak sesuai dengan kondisi fisik di lapangan.
2. Kawasan hutan yang telah dikukuhkan belum mengakomodir keberadaan masyarakat pemilik
ulayat setempat dan kepentingan instansi lainnya sehingga terjadi tumpang tindih kepentingan.
3. Dalam kawasan hutan yang telah dikukuhkan (ditunjuk dan atau ditetapkan) terdapat aktifitas
masyarakat, pemukiman penduduk dan pembangunan lainnya yang sudah ada sebelum
penunjukan kawasan sehingga menimbulkan klaim/ keberatan terhadap pengelolaan kawasan.
4. Upaya pemeliharaan, pengawasan dan pengelolaan hutan belum intensif dilaksanakan oleh
instansi kehutanan sehingga kerawanan gangguan terhadap keberadaan hutan semakin
meningkat.
5. Penataan batas kawasan hutan belum sepenuhnya mendapat pengakuan dari masyarakat
setempat sehingga tanda batas yang terpancang di lapangan tidak aman/ terganggu selanjutnya
kegiatan rekonstruksi mengalami hambatan di lapangan.
6. Penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan yang berdampak luas, bernilai penting dan

strategis semakin meningkat yang membutuhkan areal cukup luas dan terletak pada alokasi
fungsi hutan yang bukan diperuntukkan bagi kepentingan di luar sektor kehutanan.
7. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui prosedur yang cukup rumit dan waktu yang
cukup lama sementara kegiatan/ proyek yang akan dilaksanakan pada kawasan hutan untuk
mendukung kepentingan pembangunan daerah belum sejalan dengan kebijakan pemerintah
daerah.
8. Areal pengganti, relokasi fungsi, tukar menukar kawasan hutan dalam rangka pelepasan
kawasan hutan sulit dipenuhi sesuai ketentuan teknis mengingat ketersediaan areal sesuai
kriteria terbatas.
9. Kegiatan tambang nikel di Pulau Gag dan tambang minyak di TN. Lorentz terhenti karena
perubahan status dan fungsi hutan belum terealisasi dan menunggu hasil penelitian terpadu yang
dikoordinir pusat namun belum terlaksana sampai saat ini. Sementara proses pelepasan LNG
Tangguh belum tuntas karena penyelesaian areal pengganti belum rampung.
10. HPH dan perkebunan yang diterbitkan melalui SK Menteri Kehutanan banyak yang tidak aktif,
melebihi batas luas maksimal dan menyebabkan lahan terlantar. Pemohon IUPHHK/ HPH/
Perkebunan di daerah semakin bertambah dan menunjukkan kesungguhan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan di daerah tetapi areal yang tersedia terbatas.
11. Pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum sebagian besar
terletak dalam kawasan konservasi dan hutan lindung cenderung bersifat segera dan mendesak,
sedangkan untuk memenuhi persyaratan membutuhkan waktu yang cukup lama.

12. Masih terdapat 98 unit kawasan hutan yang telah ditata batas tetapi belum memperoleh SK
Penetapan dari Menteri Kehutanan dan terdapat 32 BA tata batas yang sementara diproses di
Pusat.
13. Pemberdayaan peran masyarakat pemilik ulayat di dalam dan sekitar hutan belum optimal dan
terjadi klaim/ tuntutan masyarakat sehingga pengelolaan kawasan hutan terganggu.
14. Potensi, luas, jenis dan penyebaran hasil hutan kayu dan non kayu belum diketahui pasti
sehingga data dan informasi mengenai hasil hutan tersebut belum akurat dan terbatas.
15. Peta dasar (JOG/RBIfTOP), citra landsat dan peta vegetasi untuk cakupan Provinsi Papua
mencakup jumlah, jenis dan kualitas belum tersedia di setiap instansi kehutanan di daerah
menyebabkan perencanaan kegiatan mengalami perubahan/ pergeseran di lapangan.
16. Desentralisasi kehutanan belum menunjang otonomi khusus dan terkesan sentralistik,
mengakibatkan komunikasi dan koordinasi lintas instansi pemerintah belum terlaksana dengan
baik dan terjadi tumpang tindih kepentingan.

17. IPTEK kehutanan untuk meningkatkan ketrampilan dan profesionalisme kehutanan di daerah
belum didukung dengan infrastruktur yang memadai.
18. Keberadaan instansi kehutanan vertikal/ BPKH dalam melaksanakan tugas di daerah belum
menyesuaikan dengan tugas, fungsi dan kewenangan Dinas Kehutanan sehingga koordinasi dan
sinkronisasi pelaksanaan tugas belum terlaksanan dengan baik.
III. SARAN TINDAK LANJUT

1. Penunjukan kawasan hutan dilaksanakan di daerah dengan mengacu sesuai kriteria, pedoman
teknis dengan mengakomodir berbagai kepentingan (masyarakat dan pemerintah).
2. Peninjauan ulang/ review terhadap kawasan hutan yang ada dilaksanakan dengan
memperhatikan aktifitas pembangunan dan masyarakat yang terdapat di dalam dan sekitar
kawasan hutan, kawasan hutan yang tidak dapat dipertahankan lagi dapat dilepas/ diputihkan.
3. Kawasan hutan yang bebas dari masalah dilakukan pengelolaan kawasan hutan secara intensif
agar fungsi dan manfaat hutan lebih nyata.
4. Penataan batas kawasan hutan perlu melibatkan masyarakat dari tahap perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan agar keamanan hutan lebih terjamin dan hasil tata batas
disosialisasikan kepada masyarakat dan instansi terkait.
5. Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan/ proyek yang bersifat strategis, bernilai penting dan
berdampak luas perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak sehingga proses perubahan
status dan fungsi kawasan lebih dipercepat penyelesaiannya seperti Pulau Gag, TN. Lorentz dan
LNG Tangguh.
6. Kegiatan penelitian terpadu untuk perubahan status dan fungsi kawasan hutan agar
didelegasikan ke daerah dengan tetap melibatkan pusat selaku supervisi.
7. Penyelesaian areal pengganti, relokasi fungsi, tukar menukar kawasan sesuai ketentuan teknis
vang berlaku perlu ditinjau ulang sehingga proses penyelesaian areal tersebut lebih
disederhanakan dengan memperhatikan usulan dari daerah.
8. HPH dan perkebunan yang memiliki areal yang luas dan tidak operasional segera dicabut atau

dilaksanakan redesign.
9. Persyaratan pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan fasilitas umum lainnya dengan
luasan yang relatif kecil (kurang dari 50 hektar) yang terdapat dalam kawasan konservasi, hutan
lindung, hutan produksi tetap perlu disederhanakan melalui penerbitan kriteria dan pedoman
terbaru.
10. Kawasan hutan yang telah temu gelang sebanyak 98 unit kawasan dan sebanyak 32 BA agar
segera diproses di pusat untuk ditindaklanjuti di daerah.
11. Kegiatan identifikasi, inventarisasi dan pemetaan pemilik ulayat dan pihak ketiga di dalam
kawasan hutan dapat segera dilaksanakan sehingga dukungan perencanaan kegiatan kehutanan
di daerah lebih baik.
12. Inventarisasi hasil hutan kayu dan non kayu untuk mengetahui potensi, jenis, lokasi dan
penyebaran hasil hutan lebih ditingkatkan agar data dan informasi yang diperoleh lebih jelas,
akurat dan tersedia.
13. Pengadaan berbagai jenis peta dasar, tematik, dan citra landsat untuk cakupan Provinsi Papua
perfu diupayakan agar menunjang perencanaan pembangunan kehutanan di daerah.
14. Desentralisasi kehutanan sesuai semangat otonomi khusus Provinsi Papua perlu tegas, nyata
dan dihormati sehingga komunikasi dan koordinasi berjalan lancar.
15. Transfer informasi dan IPTEK di bidang kehutanan perlu ditingkatkan agar pembangunan
kehutanan ke depan dilaksanakan oleh SDM kehutanan yang profesional, terampil dan siap
pakai.

16. Instansi vertikal kehutanan/ BPKH yang ada di daerah diberikan tanggung jawab dan
kewenangan yang luas selaku wakil Badan Planologi Kehutanan di daerah agar koordinasi dan
kerjasama dengan instansi kehutanan dan pemerintah daerah dapat berjalan baik dan lancar.
IV. PENUTUP
1. Pembangunan kehutanan di era otonomi khusus Provinsi Papua memiliki komitmen untuk tetap
melaksanakan upaya-upaya pengukuhan kawasan hutan.
2. Penunjukan, penggunaan dan pengelolaan kawasan hutan perlu dipaduserasikan dengan
semangat otonomi khusus Provinsi Papua dengan tetap memprioritaskan aspek ekologi,
ekonomi dan sosial.
3. Pemantapan seluruh kawasan di Provinsi Papua diarahkan agar memiliki kekuatan hukum yang
tetap, legitimate, dapat dipertanggungjawabkan dan bebas dari permasalahan.
4. Pembangunan di luar sektor kehutanan terutama yang bernilai strategis, penting dan berdampak
luas yang terletak dalam kawasan hutan perlu dicermati secara arif dan bijaksana dengan
memberikan pelayanan yang cepat dan prosedur yang sederhana.
5. Data dan informasi mengenai hutan dan kehutanan di daerah menyambut era globalisasi perlu
dipersiapkan antara lain melalui pemantapan kegiatan inventarisasi hasil hutan kayu dan non
kayu.

6. Dinas Kehutanan Provinsi Papua telah melakukan pendataan terhadap penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan HPH/ perkebunan yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku dan
siap melakukan redesign pemanfaatan areal.
7. Transfer informasi dan IPTEK kehutanan perlu disosialisasikan ke daerah agar tidak terjadi
kepincangan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan ke depan.