JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Ahmad Syafii Maarif
Pendahuluan
Di antara kata yang sering ditakuti, dibenci, disalahpahami, dibonsaikan maknanya, dan
juga dielukan, adalah kata jihad. Dalam literatur Barat umumnya kata jihad itu
diterjemahkan dengan Holy War (Perang Suci), padahal perang hanyalah salah satu
bentuk saja dari jihad. Dalam al-Qur’an kata jihad dengan berbagai derivasinya terdapat
sebanyak 41 kali, baik dalam surat-surat yang diturunkan di Makkah (makkiyah) mau
pun dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah (madaniyah) (‘Abd al-Baqi, 1981;
182-183). Shihab, 1996; 500-520). Akar kata jihad adalah j-h-d menjadi jahd dan juhd
(keletihan, kegentingan, ketegangan, kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja
keras, dan yang mirip dengan itu (Wehr, 1976: 142-143). Ayat jihad dalam arti perang
(qital) melawan musuh sebagai salah satu maknanya baru turun pada tahun kedua hijriyah
yang kemudian digumulkan dengan realitas yang kongkret dalam Perang Badar (624)
yang terkenal itu. Di sini jihad dan qital (perang) menjadi sinonim. Makalah ini akan
mencoba secara kritis meneropong konsep jihad dalam perspektif Islam, baik dari sudut
doktrin maupun dari sudut sejarah, dan kira-kira untuk situasi Indonesia sekarang doktrin
jihad yang bagaimana yang perlu dikembangkan dan ditegakkan dalam rangka
menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian, adil, dan bermoral (Rahman,
1980: 62) untuk semua golongan tanpa diskriminasi. Tatanan semacam inilah yang harus
menjadi muara dan tujuan perjuangan kita bersama untuk sebuah Indonesia baru yang

adil, makmur, ramah, toleran, dan sehat.
Jihad dalam perspektif doktrin dan sejarah
Kita tengok selintas situasi Islam pada awal kemunculannya pada abad ke-7 M. dan
mengapa perintah jihad itu diberikan. Pada saat komunitas kecil Muslim baru saja hijrah
ke Madinah (622 M.) dalam keadaan yang masih lemah dan letih karena diusir, sementara
pihak musuh (Quraisy Makkah) semakin agresif dan beringas, perintah jihad yang
pertama kali justru diturunkan. Tujuannya adalah agar komunitas baru ini tetap tegar dan
tabah, tidak hancur berantakan dalam lingkungan yang serba keras, kasar, dan penuh
kebencian serta dendam kesumat. Kedatangan al-Qur’an dengan prinsip keadilannya bagi
elit Makkah sebagai kota komersial berarti akan membahayakan hak— hak monopoli
mereka pada sumber-sumber ekonomi dan perdagangan. Oleh sebab itu Muhammad
jangan sampai punya kedudukan yang kokoh di Madinah, sebab pasti akan mengancam
posisi mereka. Jihad dalam arti perang pada saat itu adalah untuk mempertahankan diri
dengan segala kesungguhan daya dan upaya. Jika tidak demikian komunitas itu akan
lenyap ditelan oleh kekuatan sejarah yang amat tidak bersahabat itu. Perintah itu terdapat
dalam surat al-Baqarah dan al-Hajj: jihad dalam makna qital (perang).
Dan perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
(190). Dan bunuhlah mereka di mana pun kamu jumpai, dan keluarkanlah mereka dari
tempat mereka mengusir kamu (Makkah), padahal fitnah itu lebih jahat dari

pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di masjid al-haram hingga mereka

memerangi kamu di situ. Maka kalau mereka memerangi kamu (di situ), bunuhlah
mereka. Begitulah balasan untuk orang-orang yang kafir (191). Tetapi jika mereka
berhenti, maka sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang (192). Dan perangilah
mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah (siksaan, gangguan, penganiayaan), dan jadilah
agama itu karena Allah. Tetapi jika mereka berhenti, maka tidak boleh ada lagi
permusuhan, kecuali atas orang-orang yang zalim (193) (Q.S. Al-Baqarah: 190-193).
Bagi umat Islam pada waktu itu perintah jihad ini sungguh sangat berat, karena mereka
baru saja membentuk komunitas di Madinah, sebuah komunitas yang belum stabil.
Kemudian dalam surat al-Hajj, izin berperang itu kita baca dengan redaksi yang berbeda
sebagai berikut:
Diizinkan (berperang) bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya mereka
dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka (39). (Yaitu) mereka
yang diusir keluar dari negeri-negeri mereka dengan tidak ada alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami ialah Allah! Dan sekiranya Allah tidak
melindungi manusia sebagiannya terhadap sebagian yang lain, niscaya dihancurkanlah
tempat pertapaan dan gereja-gereja Kristen, tempat-tempat sembahyang Yahudi, dan
masjid-masjid di mana nama Allah banyak disebut. Dan sesungguhnya Allah menolong
siapa yang membela agamaNya, karena sesungguhnya Allah itu kuat, gagah (40) (Q.S.

Al-Hajj: 39-40).
Ayat-ayat di atas jelas sekali menunjukkan makna perang dalam arti defensif, sekalipun
pada ayat-ayat lain dapat pula berbentuk ofensif, tergantung jika situasi mengharuskan
demikian, sepanjang hal itu untuk menghapuskan kerusakan di muka bumi (fasad fi ‘iardh), menjaga rumah-rumah ibadat, bukan merusak atau membakarnya, serta kemudian
membangun peradaban dengan cara yang baik dan adil (ishlah). lnilah fungsi kekuasaan
dalam Islam, sekalipun tidak jarang dilecehkan oleh umatnya sendiri. Memang tidak
diragukan lagi bahwa al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk membangun sebuah tatanan
politik di dunia untuk tujuan di atas (Rahman, op.cit: 62). Tetapi mengenai apa nama
tatanan itu dan bagaimana sistemnya, al-Qur’an tidak menjelaskan dengan rinci, dengan
catatan bahwa prinsip musyawarah sebagai simbol egalitarianisme harus dipertahankan.
Tergantunglah kepada hasil pemikiran dan kesepakatan bersama untuk merumuskan
nama dan sistem kekuasaan itu. Dengan demikian istilah Negara Islam (al-Daulah alIslamiyah) adalah ciptaan sejarah abad ke-20. Orang tidak akan menjumpai istilah itu
dalam al-Qur’an sunnah nabi, dan dalam literatur klasik mana pun. Tentang kekuasaan alQur’an menyatakan: “Mereka yang, jika Kami beri kekuasaan di muka bumi, akan
mendirikan salat, membayarkan zakat, memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf) dan
mencegah kejahatan (al-munkar), dan milik Allah-lah akibat segala urusan.” (Q.S. AlHajj: 41) Secara logis tidaklah mungkin orang memerintahkan kebajikan dan mencegah
kejahatan dengan efektif, tanpa adanya kekuasaan. Hanya yang perlu dijawab terlebih
dulu adalah pertanyaan: untuk apa berkuasa? Al-Qur’an dalam ungkapan di atas dengan
sangat gamblang telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu. Sebenarnya Islam
secara teoretik tidak menemui banyak kesulitan untuk memahami dan menerima prinsip
demokrasi modern dengan modifikosi di sana-sini selama watak sekulernya

dikesampingkan.
Masih pada periode awal hijrah itu ayat jihad berikut diturunkan:

“Dan berjihadlah kamu di (jalan) Allah dengan jihad yang sungguh-sungguh, karena ia
telah memilihmu (untuk itu). Dan ia tidak jadikan atas kamu dalam agama suatu perkara
yang berat, agama bapamu, lbrahim ia telah menamakan kamu Muslimin sebelum itu
dan dalam (Qur’an) ini, supaya rasul jadi saksi atas kamu dan supaya kamu jadi saksi
atas manusia. Maka dirikanlah salat, bayarkan zakat, dan berpeganglah dengan (tali)
Allah. Ia Pelindung kamu, malah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
(Q.S. Al-Hajj: 78)
Dalam lingkungan sejarah Arabia abad ke-7, metode kekerasan dan ancaman memang
merupakan norma sehari-hari dalam menyelesaikan sengketa antar suku dan puak.
Bahkan dua imperium besar Bizantium dan Sasaniah pada abad itu juga terlibat dalam
perang dahsyat yang penuh kekerasan. Maka bagi komunitas Islam yang berusia sangat
muda itu tidak ada jalan lain untuk bertahan dan mengerahkan kekuatan-kekuatan
sejarah, kecuali dengan jihad. (An-Na’im, 1990: 142) Tanpa jihad tujuan untuk
menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar tidak dapat dibayangkan. Oleh
sebab itu nabi dan para pengikutnya harus mengatur strategi dan taktik yang jitu untuk
menghadapi pihak Quraisy yang setiap saat mengancam untuk menghancurkan Madinah.
Ancaman itu akhirnya menjadi kenyataan dalam bentuk Perang Badar pada 624 M.,

seperti telah disinggung sedikit di atas. Di bawah pimpinan nabi, komunitas Muslim yang
kecil itu harus berjihad habis-habisan, mengerahkan segala daya dan upaya, sebab bagi
mereka perang itu akan sangat menentukan hari depan mereka: to be or not to be seperti
tercermin dalam do’a Rasul Allah: “Ya Allah, di sini pihak Quraisy dengan segala
kecongkakannya sedang berupaya untuk mendustakan nabiMu. Ya Allah, aku nantikan
pertolonganMu yang telah engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sekiranya pasukan kecil
ini hancur binasa hari ini, Engkau tidak akan disembah lagi.” (Haikal, 1969: 276)
Sebuah lirik do’a yang disampaikan dengan seluruh kekuatan jiwa. Do’a ini dikabulkan
Allah, maka jadilah Perang Badar itu dimenangkan pasukan Muslim, sekalipun
perbandingan dua kekuatan itu adalah satu lawan tiga. Peristiwa Badar telah menjadi
salah satu pilar utama sebagai realisasi doktrin jihad guna menopang perkembangan
Islam selanjutnya untuk tampil sebagai agama dunia dalam tempo yang relafif singkat.
Sekalipun pasukan Muslim kalah dalam perang berikutnya, Perang Uhud (625 M), umat
Islam sudah jauh lebih konfiden untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk
sekalipun. Sebelum nabi wafat pada 632 M. masih ada beberapa pertempuran lagi, tetapi
tidak akan dibicarakan dalam makalah ini.
Timbul pertanyaan kemudian: dengan cara orang sering mengatasnamakan jihad, apakah
Islam itu disiarkan dengan mata pedang menginga nabi dan generasi berikutnya banyak
terlibat dalam berbagai peperangan? Di kalangan penulis Barat selama berabad-abad
bahkan sampai sekarang masih ada yang meyakini bahwa Islam itu memang agama

pedang. Karen Armstrong dalam artikelnya untuk mingguan Time setelah Tragedi 11
September 2001 yang memunculkan banyak tuduhan bahwa Islam itu identik dengan
terorisme menulis:
The Primary meaning the word jihad is not ‘holy war’ but ‘struggle’ if refers to the
difficult effort that is needed to put God’s will into practice at every level-personal and
social as well as as political….
Islam did not impose itself by the sword. In a statement in which the Arabic is extremely
emphatic, the Koran insists, “There must be no coercion in matters of faith!” (2-256).

Constantly Muslims are enjoined to respect Jews and Christians, the ‘People of the
Book’, who workship the same God (29-46). In words quoted by Muhammad in one of his
last public sermons, God tells all human beings. O people! We have formed you into
nation and tribes so that may know one another” (49: 13) – not to conquer. Convert,
subjugate, revile or slaughter but to reach out towards others with intelligence and
understanding.” (Armstrong, 2001: 25) (Bersambung)
SM No.15/87 2002
Situasi peradaban (atau kebiadaban?) dalam konstelasi serba global sekarang ini memang
serba ruwet dan tidak mudah dipahami, kecuali bila kita mampu membaca akar
masalahnya yang paling dalam. Harus diakui bahwa umat Islam yang masih berada di
buritan peradaban tampaknya sekarang sedang menggapai dengan tertatih-tatih untuk

merumuskan jatidirinya yang terkoyak karena kesalahan yang dilakukan selama
berabad-abad. Sebagian mereka memakai kaca mata buram hingga tak mampu lagi
melihat realitas yang serba getir dengan sabar dan pikiran jernih; mereka seperti telah
kehilangan harapan dan masa depan. Derita rakyat Palestina adalah di antara
persoalan yang sangat mencekam yang dirasakan umat Islam sedunia, tapi rnereka tak
berdaya berhadapan dengan Israel dengan bapak angkatnya yang sama-sama memiliki
bom nuklir. Negara-negara Arab pun tidak dapat berbuat banyak karena mereka juga
mengidap kanker perpecahan yang parah. Ulama mereka karena buta situasi yang
sebenarnya ada yang memperdagangkan ayat atas nama Tuhan, sebagaimana kritik
Iqbal terhadap kelakuan para mulla di India sebelum pertengahan abad yang lalu. Dalam
Javed Namah Iqbal melontarkan kritik tajamnya: "Agama si Mulla sedang menimbulkan
kekacauan atas nama Tuhan." (Maarif, 2002: 17-18) Negara-negara Arab tidak jarang
saling baku hantam atas nama agama. Inilah tragedi sejarah yang masih berlangsung di
depan mata kita, entah untuk berapa lama.
Bagaimana memahami sikap nekad manusia dalam bentuk bom bunuh diri, pembajakan,
dan yang serupa itu? Kita kutip lagi Armstrong:
So why the suicide bombing, the hijacking and the massacre of innocent civilians? Far
from being endorsed by the Koran, this killing violets some of the most sacred precepts.
But during the 20th century, the militant form of piety often known as fundamentalism
erupted in every major religion as a rebellion against modernity. Every fundamentalist

movement I have studied in Judaism, Christianity and Islam is convinced that liberal,
secular sociely is determined to wipe out religion. Fighting, as they imagine, a battle for
survival, fundamentalist often feel justified in ignoring the more compassionate
principles of their faith. But in amplifying the more aggressive passages that exist in all
our scriptures, they distort the tradition. (Armtrong, op.cit.: 25)
Apakah terdapat iandasan teologis bagi umat Islam untuk membenci pihak lain, seperti
orang Yahudi misalnya? Sepanjang pengetahuan saya, landasan untuk itu tidak ada sama
sekali. Jika kemudian terdapat kesan bahwa umat Islam tidak menyukai Israel, bukan
karena Yahudinya, tetapi karena zionismenya yang imperialistik. Pengalaman sejarah
masa lampau justru membuktikan bahwa orang-orang Yahudi mendapat perlindungan dan
kebebasan di negara-negara Muslim pada saat mereka diusir oleh Inquisisi Katolik di
Spanyol pada abad pertengahan yang menghancurkan komunitas-komunitas mereka di

sana. Banyak di antara pelarian itu pergi mencari perlindungan ke Istambul dan kota-kota
lain dalam wilayah imperium Turki Usmani. (Hourani, 1992: 241)
Mengenai toleransi agama menurut catatan Bertrand Russell, sikap para khalifah abadabad pertengahan cukup mengesankan untuk jadi bukti: "lmperium para Khalifah
bersikap lebih ramah (much kinder) terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen tinimbang
negara-negara Kristen terhadap orang-orang Yahudi dan Muslim. Orang-orang Yahudi
dan Kristen dibiarkan tak terganggu asal mereka bayar upeti. Anti-Semitisme dimotori
oleh pihak Kristen sejak saat Imperium Romawi menjadi Kristen.” (Russel, 1957: 202)

Zionisme bukan saja ditolak oleh dunia beradab, tetapi juga ada tokoh Israel yang
menentangnya. Seorang penulis dan aktivis perdamaian Israel, Uri Avnery (lh. 1923),
yang juga pernah menjadi anggota Knesset (Parlemen Israel) dikenal salah seorang
penentang yang gigih terhadap Zionisme sejak Zionisme telah semakin imperialistik.
Rencana perdamaiannya bagi konflik Arab-Israel telah dituangkannya dalam karyanya
yang terkenal: Israel Without Zionism dengan proposal pembentukan sebuah
Konfederasi Arab-Israel, sebuah Pax Semitica . (Avnery, 1971: 234-246) Dalam usianya
yang sudah gaek Avnery baru-baru ini masih bersuara garang menantang politik Ariel
Sharon yang brutal terhadap Palestina dan ingin membunuh Arafat. Avnery menulis:
"If Ariel Shoron succeeds in murdering Yasser Arafat, as he wants to, the Palestinian
leader will remain in the collective memory of his people, and the whole Arab world, like
Moses in Jewish memory. ...Sharon, a bloody person who has not done anything in life
apart from shedding blood and set up settlements.... The dead Arafat will be by far more
dangerous than the living Arafat. The living Arafat is able and willing to make peace.
The dead Arafat can not. He will eternalise the conflict.” (Avnery, 2002: 4)
Saya rasa perjuangan rakyat Palestina untuk memperoleh kemerdekaan tanahairnya dapat
dikategorikan sebagai jihad, selama penjuangan itu tetap berada dalam koridor "Jalan
Allah." Di luar kategori itu akan menjadi perang biasa, atau perang antara dua
nasionalisme, betapa pun banyaknya darah yang tertumpah. Ke dalam kategori kedua
inilah kita menempatkan Perang Irak-Iran pada 1980-an yang banyak memakan korban

itu. Sekalipun ulama pada kedua belah pihak menyebutnya jihad.
Jihad dalam perspektif keindonesiaan baru
Dalam perspektif bangunan Indonesia baru yang ramah dan adil, konsep jihad harus
ditenjemahkan dengan kerja keras dengan penuh kesungguhan dan kejujuran untuk
membangun kebersamaan di antara berbagai golongan, aliran, suku, dan pemeluk agama
yang berbeda. Dapat juga diartikan perang, yaitu perang melawan korupsi dan
kemunafikan yang telah membawa bangsa ini ke pinggir jurang kehancuran. Dosa dan
dusta kolektif yang dipertontonkan selama ini harus dihentikan sampai di sini saja!
Saya menyerukan agar elit politik kita berhenti memikirkan diri sendiri dan kepentingan
jangka pendek mereka dengan mengorbankan eksistensi bangsa untuk jangka panjang.
Dalarn periode transisional yang sangat kritis ini semua kekuatan akal sehat harus
berunding bersama secara tulus dengan tujuan tunggal: menyelamatkan masa depan
bangsa dari kebangkrutan total, jika kita memang masih menginginkan Indonesia tidak
masuk ke dalam museum sejarah. Kita berlomba dengan waktu yang berputar sangat
cepat. Baron Schelto van Heemstra, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, dalam sebuah
perbincangan dengan saya yang berlangsung pada 23 April 2002 di Kantor PP
Muhammadiyah Jakarta, sempat menghibur: "Asal tidak terlambat, krisis Indonesia akan

dapat diatasi, tetapi korupsi harus dihentikan segera." Saya setuju dengan pendapat itu,
tetapi siapkah kita berjihad melawan korupsi?

Penutup
Dalam Ecclesiastes seperti dikutip Avnery (1971: 246) kita membaca kalimat: “For
everything there is a season, and a time for every matter under heaven.” Sekarang
waktunya sudah sangat tinggi bagi kita semua untuk berkata jujur kepada bangsa ini dan
mengucapkan selamat tinggal kepada semua dosa dan dusta masa lampau. Hanya dengan
cara inilah barangkali masa depan kita dapat diselamatkan.
Sumber: SM-14-2002