ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA

ARAHAN PERENCANAAN

  BAB PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA

Amanat Pembangunan Nasional

  II  Amanat Peraturan Perundangan terkait Bid. Cipta Karya Amanat Internasional Sintesa arahan Perencanaan Pembangunan Bid. Cipta

  Karya

  Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan

  D

  dan amanat perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten Kendal perlu memahami arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.

2.1 Konsep Perencanaan Dan Pelaksanaan Program Ditjen CK

  Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dihadapkan pada beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan, pengarusutamaan gender, serta green economy. Disamping isu umum, terdapat juga permasalahan dan potensi pada masing-masing daerah, sehingga dukungan seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat diperlukan.

  Konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya membagi amanat pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu: 1). Amanat penataan ruang/spasial, 2). Amanat pembangunan nasional dan direktif presiden, 3). Amanat pembangunan Bidang Cipta Karya/ Pekerjaan Umum, serta 4). Amanat internasional.

  Seperti terlihat pada Gambar 2.1. Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur

  Bidang Cipta Karya

  Amanat Penataan Ruang/Spasial: - UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang - RTRW Nasional/KSN - RTR Pulau

  • RTRW Provinsi/ Kota/Kabupaten

  A. Rencana dan Program Bidang CK

  B. Pelaksanaan Pembangunan Bidang CK Isu-isu Strategis - Bencana Alam - Perubahan Iklim - Kemiskinan

  Kondisi Eksisting Pembangunan Bidang Cipta Karya Permasalahan dan Potensi Daerah Amanat Pembangunan Bidang PU / CK: - UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman - UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun - UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung - UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Persampahan - UU No.7/2004 tetang SDA - PP No. 16/2005 tentang Pengembangan SPAM - PP 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis - PP36/2005 tentang Peraturan Pelaksana UU Bangunan Gedung - Standar Pelayanan Minimal Bidang PU dan Penataan Ruang - RPI2JM Amanat Pembangunan Nasional: - RPJPN 2005-2025 - RPJMN 2010-2014 - UU/PP (UU 32/2004, PP 38/2007, dll.) - MP3EI - MP3KI - KEK - Direktif Presiden Amanat Internasional: - Agenda Habitat - RIO + 20 - MDGs - SDG Dukungan Stakeholder - Daerah (Prov/Kota/Kab) - Dunia Usaha

  Permukiman yang Layak Huni dan Berkelanjutan Sumber: Direktorat Bina Program, 2014 Gambar 2.1.

  • Masyarakat
  • Reformasi Birokrasi - Kepadatan Penduduk Perkotaan - Pengarusutamaan Gender - Green Economy

  Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

  Penjabaran Konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya adalah sebagai berikut :

2.2 Amanat Pembangunan Nasional

  Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Bidang Cipta Karya berperan penting dalami mplementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.

2.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025

  RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang

  

Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal

  sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:

  1. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive

  approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.

  2. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada : (1). Peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (2). Pemenuhan kebutuhan minimal air minumdan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3). Penyelenggaraan pelayananair minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4). Penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan airminum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.

  3. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.

  4. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan RPJMN, yaitu: (1). RPJMN ke 2 (2010-2014): Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan permukiman. (2). RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung olehsistem pembiayaan perumahan jangka panjang danberkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh. (3). RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung sehinggaterwujud kota tanpa permukiman kumuh.

2.2.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019

  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah tahapan ke 3 (tiga) dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007. Dengan berpayung kepada UUD 1945 dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP tadi, RPJMN 2015-2019, disusun sebagai penjabaran dari Visi, Misi, dan Agenda (NawaCita) Presiden/Wakil Presiden, Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla, dengan menggunakan Rancangan Teknokratik yang telah disusun Bappenas dan berpedoman pada RPJPN 2005-2025. RPJMN 2015-2019 adalah pedoman untuk menjamin pencapaian visi dan misi Presiden, RPJMN sekaligus untuk menjaga konsistensi arah pembangunan nasional dengan tujuan di dalam Konstitusi Undang Undang Dasar 1945 dan RPJPN 2005 –2025.

  Untuk menuju sasaran jangka panjang dan tujuan hakiki dalam membangun, pembangunan nasional Indonesia lima tahun ke depan perlu memprioritaskan pada upaya mencapai kedaulatan pangan, kecukupan energi dan pengelolaan sumber daya maritim dan kelautan. Seiring dengan itu, pembangunan lima tahun ke depan juga harus makin mengarah kepada kondisi peningkatan kesejahteraan berkelanjutan, warganya berkepribadian dan berjiwa gotong royong, dan masyarakatnya memiliki keharmonisan antarkelompok sosial, dan postur perekonomian makin mencerminkan pertumbuhan yang berkualitas, yakni bersifat inklusif, berbasis luas, berlandaskan keunggulan sumber daya manusia serta kemampuan iptek sambil bergerak menuju kepada keseimbangan antarsektor ekonomi dan antarwilayah, serta makin mencerminkan keharmonisan antara manusia dan lingkungan.

2.2.2.1 VISI MISI PEMBANGUNAN

  Dengan mempertimbangkan masalah pokok bangsa, tantangan pembangunan yang dihadapi dan capaian pembangunan selama ini, maka visi pembangunan nasional untuk tahun 2015-2019 adalah:

  

TERWUJUDNYA INDONESIA YANG BERDAULAT, MANDIRI, DAN BERKEPRIBADIAN

BERLANDASKAN GOTONG-ROYONG

  Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 Misi Pembangunan yaitu:

  1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.

  2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan negara hukum.

  3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

  4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera.

  5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

  6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.

  7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

2.2.2.2 SEMBILAN AGENDA PRIORITAS

  Untuk menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, dirumuskan sembilan agenda prioritas. Kesembilan agenda prioritas itu disebut NAWA CITA, yaitu:

  1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.

  2. Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.

  3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

  4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

  5. Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia.

  6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

  7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

  8. Melakukan revolusi karakter bangsa.

  9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

2.2.2.3 AGENDA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR BIDANG CIPTA KARYA

  Agenda satu tahun pertama dalam Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, juga dimaksudkan sebagai upaya membangun fondasi untuk melakukan akselerasi yang berkelanjutan pada tahun- tahun berikutnya, disamping melayani kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang tergolong mendesak. Dengan berlandaskan fondasi yang lebih kuat, pembangunan pada tahun- tahun berikutnya dapat dilaksanakan dengan lancar. Sementara, agenda lima tahun selama tahun 2015-2019 sendiri diharapkan juga akan meletakkan fondasi yang kokoh bagi tahap-tahap pembangunan selanjutnya. Dengan demikian, strategi pembangunan jangka menengah, termasuk di dalamnya strategi pada tahun pertama, adalah strategi untuk menghasilkan pertumbuhan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

  GAMBAR: 2.1. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN GERAKAN 100-0-100 KE CIPTA KARYAAN

  Kinerja Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dalam membangun infrastruktur permukiman dapat dilihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-1 tahun 2004-2009 dan RPJMN ke-2 tahun 2010-2014.

  Dalam RPJMN ke-3 2015-2019, ada tiga output prioritas nasional di bidang Cipta Karya untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, yaitu pelayanan air minum, penanganan kawasan kumuh, dan pelayanan sanitasi.

  Pemerintah menetapkan target terhadap indikator outcome 2015-2019 antara lain 100% capaian pelayanan akses air minum, 0% proporsi rumah tangga yang menempati hunian dan permukiman tidak layak (kumuh) di kawasan perkotaan, dan 100% capaian pelayanan akses sanitasi. Terhadap target tinggi RPJMN 2015-2019 tersebut, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum menyebutnya dengan Key Performance Indicators 100-0-100 sebagai aktualisasi visi Cipta Karya untuk mewujud-kan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan pada lima tahun ke depan. Dalam pencapaian target 100-0-100, Ditjen Cipta Karya akan melibatkan semua pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah, dunia usaha, maupun masyarakat, mengingat target yang sangat tinggi dan dibutuhkan dana yang sangat besar

  Kompleksnya permasalahan kumuh ini tentu tidak bisa diselesaikan oleh satu satker sektor Bangkim saja, namun harus didukung oleh satker sektoral lainnya. Pemenuhan kebutuhan air bersih harus didukung oleh Satker Peningkatan Kinerja Pengelolaan Air Minum (PKPAM) dengan melakukan pemasangan pipa distribusi PDAM, sehingga kawasan tersebut dapat terlayani kebutuhan air bersih. Begitu juga halnya untuk masalah sanitasi drainase dan persampahan. Dukungan Satker Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP) dalam pembangunan infastruktur air limbah, drainase dan penyediaan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di lokasi sekitar permukiman bisa menjadi solusi dalam penanganan masalah sanitasi dan penyehatan lingkungan, sehingga kawasan menjadi lebih bersih dan sehat. Adapun Satker Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) dapat merevitalisasi kawasan tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan bisnis dan pariwisata kuliner Penjabaran masing-masing target tersebut terhadap indicator outcome 2015

  • – 2019 adalah sebagai berikut : a.

   Permukiman Layak Huni dan Berkelanjutan

  Seiring dengan target RPJMN 2015-2019 untuk penanganan kawasan kumuh yang diharapkan 0% pada tahun 2020, dimana juga telah didahului dengan pelaksanaan identifikasi kawasan kumuh perkotaan, pada prinsipnya penuntasan kekumuhan tidak lagi dapat dilakukan secara sporadis. Penanganan kekumuhan berbasis kawasan harus dilakukan dengan terintegrasi oleh semua aspek, dimana Kementerian PU adalah penyedia infrastrukturnya, yang diikuti oleh Satker lain dari sisi sosial dan peningkatan perekonomian masyarakat. Dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-2, pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya di arahkan untuk mewujudkan peningkatan akses penduduk terhadap lingkungan permukiman yang berkualitas. Pemerintah mengidentifikasikan beberapa isu strategis untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, diantaranya yaitu rendahnya layanan air minum aman, rendahnya layanan sanitasi layak, meluasnya kawasan kumuh, dan penanggulangan kemiskinan.

  Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah memberikan fasilitasi pembangunan prasarana dan sarana dasar permukiman seperti air minum, sanitasi, jalan lingkungan dan peningkatan kualitas permukiman serta penyediaan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa). Pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana dasar permukiman tersebut juga dilaksanakan dengan model pemberdayaan yang melibatkan masyarakat sejak perencanaan sampai dengan operasi dan pemeliharaan infrastruktur Terhadap target berat pada 2019, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum menyebutnya dengan Key Performance Indicators 100-0-

  100. „Bahasa‟ sederhana tersebut merupakan aktualisasi visi Cipta Karya untuk mewujudkan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan pada lima tahun ke depan. Tahun 2015 adalah tahun pertama dari periode pelaksanaan RPJMN ke-3 tahun 2015-2019. Ditjen Cipta Karya bertekad bekerja tidak sekedar as usual, tidak bisa hanya bekerja berbasis output tanpa penyempurnaan perangkat dan melakukan terobosan. Pembenahan yang sedang dijalankan Ditjen Cipta Karya diantaranya adalah meluruskan pendekatan pembangunan yang bersifat entitas yang menjadi payung program keterpaduan bidang Cipta Karya dalam menentukan delivery program. Dalam pendekatan entitas yang terpadu-baik aras spasial permukiman regional, kota, kawasan, maupun lingkungan- Ditjen Cipta Karya sudah mendesain program dan anggaran berdasarkan nilai strategis kawasan dan kelengkapan peraturan yang dimiliki Pemda, yaitu Perda Rencana Tata Ruang Wilayah dan Perda Bangunan Gedung. Dalam pencapaian target 100-0-100, Ditjen Cipta Karya akan melibatkan semua pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah, dunia usaha, maupun masyarakat, mengingat target yang sangat tinggi dan dana yang sangat besar. Khusus untuk penanganan kumuh, akan diprioritaskan pada kawasan-kawasan permukiman kumuh di kawasan strategis kabupaten/kota dan kabupaten/kota KSN yang akan ditangani secara terpadu sehingga dapat menjadi kawasan pemukiman yang layak huni dan berkelanjutan. Sedangkan untuk air minum dan sanitasi akan dilaksanakan dengan pendekatan entitas yang diprioritaskan pada kawasan regional dan daerah-daerah rawan air.

b. Layanan Akses Air Minum

  Laju pertumbuhan layanan akses air minum di Indonesia telah tumbuh dengan cepat dalam delapan tahun terakhir. Capaian ini tidak terlepas dari dukungan Presiden melalui Direktif Presiden untuk pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, baik jaringan perpipaan maupun bukan jaringan perpipaan (BJP) terlindungi. Presiden mengharapkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia sudah mendapat akses air minum aman pada 2020. Harapan presiden dijawab dalam Rancangan Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke- 3 (2015-2019) yang mencanangkan target akses 100% untuk air minum Tantangan pencapaian target 2019 yang digolongkan dalam empat tantangan besar, yaitu antara lain :  Pertama, kondisi PDAM sehat baru 50%, tarif belum full cost recovery (FCR), kehilangan air rata-rata nasional 33% dan idle capacity 22.000 liter/detik.  Kedua, rendahnya komitmen Pemda untuk pendanaan air minum.  Ketiga, masih harus ditingkatkannya peran serta masyarakat melalui program-program pemberdayaan masyarakat seperti Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan SPAM Bukan Jaringan Perpipaan (BJP).

   Keempat, keterbatasan air baku. Dalam pemenuhantarget tersebut terdapat 7 (tujuh) Kebijakan dan strategi Nasional dalam pemenuhan target akses air minum 100 % yang disebut dengan 7 (tujuh) pilar Jakstranas. Tujuh pilar itu mencakup Peningkatan Akses Air Minum, Peningkatan Kemampuan Pendanaan, Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Pengembangan dan Penerapan Norma Standar Pedoman dan Kriteria (NSPK), Peningkatan Penyediaan Air Baku, Peningkatan Keterlibatan Swasta dan Masyarakat (kemitraan), dan Inovasi Teknologi. Tahun anggaran 2015 nanti dengan dukungan APBN Rp 4,7 triliun, kegiatan pembinaan dan pengembangan SPAM akan menyasar SPAM di 261 kawasan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), 237 SPAM di Ibu Kota Kecamatan (IKK), 1.622 SPAM perdesaan, 177 SPAM Kawasan Khusus, dan 5 SPAM Regional. Seiring target 100-0-100 Cipta Karya yang terus menggelinding, prioritas program pengembangan air minum dan sanitasi kemudian diarahkan untuk mendukung pengurangan kawasan permukiman kumuh menjadi 0% pada 2019. Strateginya dukungan SPAM adalah dengan Pengembangan SPAM di perkotaan melalui PDAM terfasilitasi untuk SPAM di kawasan MBR perkotaan, dan pembangunan SPAM baru berupa SPAM di kawasan khusus dan SPAM perdesaan. Lokasi yang menjadi sasaran pun tidak sembarangan. Saat ini kebijakan delivery program Ditjen Cipta Karya mengarah pada prioritas penanganan kumuh di Klaster A dan B. Klaster A adalah pioritas Kabupaten/Kota Strategis Nasional (KSN) yang termasuk dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), Kawasan Strategis

  Nasional (KSN), Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dan Kawasan Perhatian Investasi (KPI). Kabupaten/kota tersebut juga memiliki Perda RTRW dan Perda Bangunan Gedung. Klaster B adalah kabupaten/kota dengan kriteria yang sama dengan Klaster A dengan hanya memiliki Perda RTRW. Kelima dukungan prioritas program sektor air minum antara lain kegiatan multiyears, regional, dukungan program investasi (pinjaman perbankan, KPS, dll), Bantuan Program Penyehatan PDAM, dan kabupaten/kota yang memiliki Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum (RISPAM). Selain itu, tahun 2015 juga memiliki program unggulan berupa kerjasama peningkatan SPAM Perdesaan melalui pelibatan mahasiswa KKN Tematik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi aktif mahasiswa dalam program KKN. Sedangkan tujuannya untuk mewujudkan sistem penyediaan air minum perdesaan yang berkelanjutan, mengingkatkan rasa memiliki masyarakat akan sistem penyediaan air minum yang terbangun, dan mendorong terwujudnya pengelolaan sarana dan prasarana sistem penyediaan air minum yang baik oleh masyarakat.

c. Sanitasi Layak

  Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sektor sanitasi antara lain :  Pertama, rendahnya kesadaran seluruh stakeholder terhadap peranan penanganan persampahan dan drainase dalam mendukung kualitas lingkungan hidup yang baik.

   Kedua, masih belum optimalnya prioritas pendanaan Pemerintah Daerah dalam mendukung sektor sanitasi hal ini terlihat dari Laju pertumbuhan anggaran untuk penanganan layanan sanitasi hanya berkisar 1-2 persen per tahun.

   Ketiga, sulitnya mendapatkan areal yang memadai untuk tempat pembuangan sampah (baik tempat pembuangan sementara maupun tempat pembuangan akhir).

  Layanan sanitasi membutuhkan dorongan untuk mencapai MDGs. Apabila mengacu kembali pada target MDGs yaitu 62,41 % penduduk yang mendapatkan layanan sanitasi yang layak, maka Pemerintah membutuhkan dukungan agar langkah yang tinggal sedikit lagi untuk mencapai target tersebut dapat diwujudkan. Pemerintah berusaha mencapai target ini baik melalui pembangunan infrastruktur skala besar ataupun melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Untuk target akses 100% baru bisa tercapai dengan pendanaan Rp295 triliun dengan harapan dianggarkan melalui APBN sebesar Rp94 triliun. Kendala pendanaan ini tergambar dari realisasi kebutuhan pendanaan tahun 2015 yang diperkirakan sekitar Rp10,2 triliun menjadi Rp2,3 triliun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Kemitraan menjadi kunci penting dalam meraup dukungan pendanaan yang membentangkan gap Rp 200 triliun. contoh kemitraan dengan kementerian/ lembaga dan Pemda dalam bentuk Kelompok Kerja (Pokja) Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Nasional yang melibatkan Bappenas, Kemendagri, Kemenkes, Kemen LH dan sebagainya, Pokja Provinsi dan Kabupaten/kota. Sinergi juga dapat ditempuh dengan pendayagunaan pemanfaatan Sanitation Partnership Group antara laiun IUWASH (pemicuan, pendampingan, kelembagaan, dan perencanaan),

  INDII (fasilitasi perencanaan/masterplan air limbah), AUSAID (hibah air limbah), dan BORDA (pemberdayaan sanitasi). Selanjutnya menggali potensi fasilitator dan Duta Sanitasi sebagai agen perubahan yang terdiri dari Duta Sanitasi. Fasilitator provinsi melalui Program Percepatan Sanitasi Permukiman (PPSP) sebanyak 70 orang dan SANIMAS 50 orang. Fasilitator di tingkat kabupaten terdiri dari 400 orang PPSP dan 82 orang SANIMAS, fasilitator kelurahan dengan 2.500 orang dari SANIMAS dan 500 orang dari kegiatan pemberdayaan

  3R, ditambah dengan Duta Sanitasi yang berjumlah sekitar 1.014 anak. Langkah sinergi lainnya, yaitu memanfaatkan alternatif sumber pendanaan dari perusahaan nasional dan local melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

2.2.3 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

  Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 - 2025 dan melengkapi dokumen perencanaan.

  Fungsi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), adalah : 1) Acuan bagi menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing-masing kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan; dan

  2) acuan untuk penyusunan kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait.

  3) acuan bagi badan usaha dalam menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan ekonomi

  7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. Dalam dokumen tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema pembangunan masing-masing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi (KPI MP3EI). Bidang Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK.

  Pendekatan KPI dilakukan untuk mempermudah identifikasi, pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.

  Sebagai dokumen kerja, MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi. Selanjutnya MP3EI menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, namun menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer yang penting serta khusus untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. MP3EI juga dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) karena merupakan komitmen nasional yang berkenaan dengan perubahan iklim global.

  

Posisi MP3EI di dalam Rencana Pembangunan Pemerintah

Gambar 2.2 kerangka desain dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi

  Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dirumuskan sebagaimana pada Gambar 2.3. Kerangka Desain Pendekatan MP3EI

Gambar 2.3. Kerangka Desain Pendekatan MP3EI

2.2.4 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia (MP3KI)

  Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama,yaitu:

  1. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,

  2. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang,

  3. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan aspek.

  Bidang Cipta Karya, berperan penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat (PNPM Perkotaan/ P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro Rakyat.

Gambar 2.4. Pentahapan Pelaksanaan MP3KI

  2.2.5 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

  UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilaiekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja.

  Ditjen Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.

Gambar 2.4 : Gambar Peta Sebaran Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus

  2.2.6 Direktif Presiden

  Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian, Gubernur, Walikota/ Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian MDGs. Bidang Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs, Bidang Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.

  Catatan :

Terkait dengan sub bab pembahasan diatas mengenai Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan

Kemiskinan Indonesia (MP3KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Direktif Presiden disesuaikan

Indonesia ke-7 pada Tahun 2014, terutama dengan adanya perubahan susunan Kementerian

berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara, salah

satunypenyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan

perumahan rakyat. serta adanya penyesuaian struktur organisasi Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat, menekankan terutama pada pengembangan wilayah sebagai basis penyusunan

rencana dan program untuk meningkatkan keterpaduan infrastruktur PUPR dengan kawasan, sehingga

orientasi hasil tidak hanya menekankan “output”, namun juga “outcome” dan “impact”. Beberapa kebijakan

yang terkait dengan bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat akan diatur dalam Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 13.1/PRT/M/2015 tentang Rencana

Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan rakyat tahun 2015

  • – 2019, yang ditetapkan pada tanggal 8 April 2015

2.3 Amanat Peraturan Perundangan Terkait Bidang Cipta Karya

  Bidang Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi peraturan perundangan yang terkait dengan bidang CiptaKarya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.

2.3.1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

  Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas:

  1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi.

  2. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  3. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian,dan kawasan permukiman.

  4. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  5. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.

  6. Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  7. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.

  8. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.

  9. Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.

  10. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional danprovinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman padatingkat kabupaten/kota.

  11. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.

  Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:

  1. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  2. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  3. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahandan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  4. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  5. Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR.

  6. Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat kabupaten/kota.

  7. Memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

  8. Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

  9. Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

  Di samping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaandan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanahpendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban dan peran masyarakat. UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana danprasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.

2.3.2 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

  Undang-Undang tentang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

  Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

  Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagaiberikut: 1. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu, system penghawaan, pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip- prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building).

  2. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.

  3. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.

2.3.3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan

  Undang-Undang tentang Pengairan ini menggantikan kembali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumberdaya air, termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah tangga tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi.Selain itu, diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi.

  Catatan :

Mendasarkan pada Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/2013,

menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA)

bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan tersebut MK juga menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974

tentang Pengairan, berlaku kembali.

Di samping itu di dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan sejumlah Peraturan Pemerintah

(PP) sebagai pelaksanaan dari UU SDA tidak memenuhi 6 (enam) prinsip dasar pembatasan

pengelolaan sumber daya air, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006

tentang Irigasi, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya

Air, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai; dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2013 tentang

Rawa.

Keenam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air yang dijadikan sebagai dasar

MK untuk membatalkan UU SDA dan sejumlah PP sebagaimana disebutkan di atas adalah: (1)

setiap pengusahaan atas air tidak boleh menggangu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak

rakyat atas air; (2) negara harus memenuhi hak rakyat atas air, karena akses terhadap air adalah

salah satu hak asasi tersendiri; (3) untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup sebagai salah

satu hak asasi manusia; (4) air merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat

hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara; (5) air merupakan sesuatu yang sangat

mengusai hajat hidup orang banyak, maka prioritas utama yang diberikan penguasaan atas air

adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; (6) apabila setelah semua

pembatatasan tersebut sudah terpenuhi dan ternyata masih ada kesediaan air, Pemerintah masih

dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas

air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.

  2.3.4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

  Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi:

  1. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah,

  2. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu,

  3. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumberdan/ atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir,

  4. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah,

  5. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/ atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

  Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka di tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.

  2.3.5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

  Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Bidang Cipta Karya turut serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011. Dalam undang- undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.