BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemandirian 1. Pengertian Kemandirian - Zulfikar Amelia Syahrani BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemandirian 1. Pengertian Kemandirian Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapakan

  awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar dri pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self (Ali, 2014) karena diri itu merupakan inti dari kemandirian.

  Kemandirian menurut Havighurst ( Mu’tadin, 2002) kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri.

  Kemandirian bukanlah hasil dari proses internalisasi aturan otoritas, melainkan suatu proses perkembangan diri sesuai dengan hakikat eksistensi manusian (Ali, 2014)

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam mengatasi suatu masalah yang terjadi

  

12 di berbagai situasi di lingkungan sekitar yang ditujukan untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja ( Ali dan Asrori, 2014) :

  a. Gen atau keturunan orang tua Orangtua memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orangtua itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya.

  b. Pola asuh orang tua Cara orangtua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemndirian anak remajanya. Orangtua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak, Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga orangtua yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap kemandirian remaja. c. Sistem pendidikan di sekolah Proses pendidikan disekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinisasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punishment) juga dapat menghambat perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi remaja, pemberian reward, dan penciptaan kompetitif positif akan memperlancar perkembangan kemandirian remaja.

  d. Sistem kehidupan di masyarakat Sistem kehidupan di masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja, sebaiknya lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspersi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak berlaku hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja.

  Berdasarkan uraian faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja yaitu gen atau keturunan orang tua, pola asuh orang tua, sistem pendidikan di sekolah dan sistem kehidupan di masyarakat.

3. Aspek-aspek Kemandirian

  Douvan (Yusuf, 2000) juga menjelaskan mengenai aspek kemandirian. Kemandirian (emotional autonomy) merupakan salah satu dari tiga aspek dari perkembangan kemandirian remaja, yaitu :

  a. Kemandirian Emosi Yang ditandai oleh kemampuan memecahkan ketergantungannya

  (sifat kekanak-kanakannya) dari orangtua dan mereka dapat memuaskan kebutuhan kasih sayang dan keakraban di luar rumahnya 1) Hakikat Tugas

  Tujuan dari tugas perkembangan ini adalah :

  a) Membebaskan diri dari sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan atau bergantung pada orang tua b) Mengembangkan afeksi (cinta kasih) kepada orangtua , tanpa bergantung (terikat) kepadanya, dan c) Mengembangkan sikap respek terhadap orang dewasa lainnya tanpa bergantung kepadanya

  2) Dasar Biologis Secara biologis, remaja sudah dapat mencapai tugas perkembangan ini, karena mereka telah memperoleh kematangan seksualnya. Karena remaja tidak mendapatkan informasi secara memadai tentang seksual dalam keluarga, maka mereka mencarinya diluar keluarga dan mengembangkan simpul-simpul emosional kepada orang lain yang sebaya. Melalui peristiwa ini, remaja mampu membebaskan ketergantungan emosionalnya kepada orangtua.

  3) Dasar Psikologis Dalam masyarakat, baik remaja maupun orangtua merasa takut, cemas dan bingung untuk mengatasi tugas ini. Secara psikologis mereka mengalami ambivalensi (sikap mendua). Di satu sisi, remaja ingin berkembang secara independen (mandiri), namun disisi lain dengan melihat dunia dewasa yang asing dan rumit mereka masih ingin mendapatkan kenyamanan hidupnya dibawah perlindungan atau kasih sayang orangtua. Sama halnya dengan orangtua, di satu pihak mereka menginginkan anaknya berkembang mandiri, namun dipihak lain mereka merasa khawatir untuk melepasnya, karena melihat anaknya belum tahu apa

  • – apa dan kurang berpengalaman. Dalam situasi yang membingungkan ini, remaja sering memberontak apabila orangtuanya memaksakan pengaruh (otoritasnya) atau kehendaknya.

  Sikap remaja yang memberontak ini, kadang-kadang dialihkan kepada guru disekolah. Dalam arti, para guru sering dijadikan sasaran pengganti dari sikap permusuhan kepada orangtuanya. Sikap memberontak kepada guru ini, pada umumnya dilakukan oleh remaja yang orangtuanya bersikap sangat keras atau otoriter, sehingga mereka menggunakan sekoalah sebagai tempat untuk menunjukkan independensinya yang tidak mereka tunjukkan dirumahnya. Conger

  (Yusuf, 2000) mengemukakan bahwa remaja yang mengalami kesulitan dalam kehidupan sekolah, hubungan sosial, dan masyarakat pada umumnya mereka yang berasal dari lingkungan keluarga yang orangtuanya bersikap memusuhi (hostility), menolak (rejection), mengabaikan atau kurang memberikan perhatian (neglect).

  b. Kemandirian Berperilaku Yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan tentang tingkah laku pribadinya, seperti dalam memilih pakaian, sekolah/pendidikan, dan pekerjaan. Kemandirian berperilaku juga diartikan sebagai kapasitas individu dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan tanpa ada campur tangan dari oranglain. Tapi bukan berarti mereka akan menggunakan masukan tersebut sebagai referensi baginya dalam mengambil keputusan.

  Menurut Steinberg (1993) ada tiga domain kemandirian berperilaku yang berkembang pada masa remaja yaitu : 1) Pertama, mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai oleh : a) Menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya

  b) Memilih altenatif pemecahan masalah didasarkan atas pertimbangan sendiri dan oranglain.

  c) Bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambilnya

  2) Kedua, mereka memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain yang ditandai oleh : a) Tidak mudah terpengaruh dalam situasi yang menuntut konformitas b) Tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orangtua dalam mengambil keputusan c) Memasuki kelompok sosial tanpa tekanan

  3) Ketiga, mereka memiliki rasa percaya diri yang ditandai oleh :

  a) Merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dirumah dan di sekolah b) Merasa mampu memenuhi tanggung jawab dirumah dan di sekolah c) Merasa mampu mengatasi sendiri masalahnya

  d) Berani mengemukakan ide atau gagasan

  c. Kemandirian dalam nilai Yaitu pada saat remaja telah memiliki seperangkat nilai-nilai yang dikonstruksi sendiri, menyangkut baik-buruk, benar-salah, atau komitmennya terhadap nilai-nilai agama.

  Menurut Rest (Steinberg, 1995) kemandirian nilai berkembang selama masa remaja khususnya tahun remaja akhir. Perkembangannya didukung oleh kemandirian emosi dan kemandirian berperilaku yang memadai. Menurut Steinberg (1993), dalam perkembangan kemandirian nilai, terdapat iga perubahan yang teramati pada masa remaja.

  1) Pertama, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak. Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral. 2) Kedua, keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang bersifat prinsip. Perilaku yang dapat dilihat ialah : a) Berpikir

  b) Bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai 3) Ketiga, keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang dibeirkan oleh orangtuanya atau orang dewasa lainnya. Perilaku yang dapat dilihat ialah : a) Remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai yang diterimanya dari oranglain b) Berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri

  c) Bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya Berdasarkan uraian aspek kemandirian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek kemandirian adalah kemandirian emosi, kemandirian berperilaku dan kemandirian dalam nilai.

B. Remaja 1. Pengertian Remaja

  Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescere) (kata bedanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” Bangsa primitif demikian pula orang-orang zaman purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak bebeda dengan periode-periode lain dalam rentng kehidupan; anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.

  Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget (Hurlock, 1980) dengan mengatakan “Secara Psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dala hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini”.

  Batasan usia remaja diperkirakan antara 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis yang lebih cepat matang daripada anak laki-laki dan antara 13 sampai 22 tahun untuk anak laki-laki (Chaplin, 2001). Monks (2002) membagi usia remaja menjadi 3 tahapan, yaitu: a. Masa remaja awal berlangsung antara usia 12-15 tahun

  b. Masa remaja pertengahan berlangsung antara usia 15-18 tahun

  c. Masa remaja akhir berlangsung antara usia 18-21 tahun Menurut Mappiare (Ali dan Asrori, 2014) remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa dimana seseorang dalam taraf kematangan mental, emosional, sosial dan fisik yaitu dengan rentang usia 12-22tahun.

2. Ciri-ciri Masa Remaja

  Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara singkat ( Hurlock, 1980), yaitu: a. Masa remaja sebagai periode yang penting

  Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal remaja.

  Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru. Akibat fisik dan akibat psikologis pada periode remaja baik akibat langsung maupun karena akibat jangka panjang semuanya dianggap penting

  b. Masa remaja sebagai periode peralihan Masa remaja merupakan peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Perubahan fisik yang trejadi selama tahun awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah bergeser. Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan.

  Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.

  c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama masa awal remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlansung pesat.

  d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebgai individu adalah dengan menggunakan simbol status. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebayanya. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebgai individu adalah dengan menggunakan simbol status. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebayanya.

  f. Masa remaja sebagai usia yang menimulkan ketakutan Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebgai individu adalah dengan menggunakan simbol status. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebayanya.

  g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja melihat kehidupan melalui dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan. Dengan bertambahnya pengalaman pribadi dan pengalaman sosial serta meningkatnya kemampuan untuk berfikir rasional remaja mulai memandang diri sendiri, keluarga dan teman-teman secara realistik.

  h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang ada pada masa remaja adalah masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai masa perubahan, asa remaja sebagai masa mencari identitas, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, asa remaja sebagai masa yang tidak realistik, dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Remaja tunanetra yang berada di SLB Kuncup Mas Banyumas memiliki gambaran tidak mandiri dalam melakukan ativitas disekolah, kurangnya percaya diri.

3. Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja

  Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meningalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2014) adalah berusaha :

  a. Mampu menerima keadaan fisiknya

  b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa

  c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis d. Mencapai kemandirian emosional

  e. Mencapai kemandirian ekonomi

  f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat g. Memahami dan menginternalisasi nilai-nilai orang dewasa dengan orang tua h. Mengambangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab keidupan keluarga

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja tunanetra adalah remaja yang memiliki kespesialan yang berbeda diantara remaja normal lainnya. Untuk mencapai tugas perkembangan, remaja tunanetra tugas perkembangan, remaja tunanetra dibantu oleh guru kelas maupun guru pendamping disekolah, dan juga peran orangtua sangat dibutuhkan oleh remaja tunenatra dalam pencapaian tugas perkembangannya.

4. Karakteristik Umum Perkembangan Remaja

  Bischof (Ali, 2014) masa remaja seringkali dikenal dengan masa encari jati diri, oleh Erickson disebut dengan identitas ego (ego identitiy).

  Ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Oleh karena itu, ada sejumlah skap yang sering kali ditunjukkan oleh remaja adalah sebagai berikut : a. Kegelisahan Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja mempunyai banyak idealisme angan-angan, atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan. Namun, sesungguhnya remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan semua itu. Seringkali angan-angan dan keinginannya jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuannya.

  Selain itu di satu pihak mereka ingin mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menambah pengetahuan, tetapi dipihak lain mereka merasa belum mampu melakukan berbagai hal dengan baik sehingga tidak berani mengambil tindakan mencari pengalaman langsung dari sumbernya. Tarik-menarik antara angan-angan yang tinggi dengan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah.

  b. Pertentangan Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orangtua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Oleh karena itu, pada umunya remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orangtua. Pertentangan yang sering terjadi itu menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. Remaja sesungguhnya belum begitu berani mengambil risiko dari tindakan meniggalkan lingkungan keluarganya yang jelas aman bagi dirinya. Tambahan pula keinginan melepaskan diri itu belum disertai dengan kesanggupan untuk berdiri sendiri tanpa bantuan orangtua dalam soal keuangan. Akibatnya, pertentangan yang sering terjadi itu akan menimbulkan kebingungan dalam diri remaja itu sendiri maupun pada orang lain.

  c. Mengkhayal Keinginan untuk menjelajah dan berpetualang tidak semuanya tidak semuanya tersalurkkan. Biasanya hambatannya dari segi keuangan atau biaya. Sebab, menjelajah lingkungan sekitar yang luas akan membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari pemberian orangtuamya. Akibatnya, mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalan melalui dunia fantasi. Khayalan remaja putra biasany berkisar pada soal prestasi dan jenjang karier, sedang remaja putri lebih mengkhayalkan romantika hidup. Khayalan ini tidak selamanya bersifat negatif. Sebab khayalan ini kadang-kdang menghasilkan sesuatu yang bersifat konstruktif, misalnya timbul ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.

  d. Aktivitas Berkelompok Berbagai macam keinginan para remaja seringkali tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala, dan yang sering terjadi adalah tidak tersedianya biaya. Adanya bermacam-macam larangan dari orangtua seringkali melemahkan atau bahkan mematahkan semangat para remaja. Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan kegiatan bersama. Mereka melakukan suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama menurut Singgih (Ali dan Asrori, 2014) e. Keinginan Mencoba Segala Sesuatu

  Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high

  

curiosity) . Karena didorong oelh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja

  cenderung ingin bertualang, menjelajah segala sesuatu dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Selain itu, didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa.

  Akibatnya, tidak jarang secara sembunyi-sembunyi, remaja pria mencoba merokok karena sering melihat orang dewasa melakukannya.

  Seolah-oleh dalam hati kecilnya berkata bahwa remaja ingin membuktikan kalau sebenarnya dirinya mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Remaja putri seringkali mencoba memakai kosmetik baru, meskipun sekolah melarangnya.

  Berdasarkan uraian karakteristik umum perkembangan pada remaja dapat disimpulkan bahwa karakteristik umum perkembangan remaja meliputi kegelisahan, pertentangan, mengkhayal, aktivitas berkelompok, dan keinginan mencoba segala sesuatu.

C. Tunanetra 1. Pengertian Tunanetra

  Secara harfiah tunanetra berasal dari dua kata, yaitu : Tuna (tuno :

  Jawa) yang berarti rugi yang kemudian diidentikan dengan rusak, hilang,

  terhambat, terganggu, tidak memiliki, dan Netra (netro : Jawa) yang berarti mata. Namun demikian kata tunanetra adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang berarti adanya kerugian yang disebabkan oleh kerusakan atau terganggunya organ mata. Pengertian tunanetra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai rusak matanya atau luka matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatan.

  Schulz (Hadi, 2005) menyatakan banyak orang berasumsi bahwa orang “buta” tidak memiliki penglihatan dan hidup di dunia dalam kegelapan. Mereka beranggapan bahwa “buta” itu tidak dapat merespon seberapa rangsang penglihatan, misalnya : cahaya dan gelap, bayangan, gerak suatu benda, dan benar-benar mengalami kegelapan.

  Geraldine (Hadi, 2005) menyatakan definisi kerusakan atau kecacatan penglihatan harus dilihat dari jenis ketunanetraannya, kerusakan yang terjadi, hambatan yang dialami tunanetra berkaitan dengan kerusakan matanya, dan kebutuhan akan layanan khusus dari ketunanetraannya.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki kerusakan atau kecacatan pada penglihatannya.

2. Klasifikasi Ketunanetraan

  Faye ( Hadi, 2005) mengklasifikasikan tunanetra atas dasar fuungsi penglihatan ke dalam lima kategori yaitu kelompok yang memiliki penglihatan agak normal tetapi membutuhkan koreksi lensa dan alat bantuu membaca, kelompok yang ketajaman penglihatannya kurang atau sedang yang memerlukan pencahayaan dan alat bantu penlihatan khusus, kelompok yang memiliki penglhatan pusat rendah, lantang penglihatan sedang, kelompok yang memiliki fungsi penglihatan buruk, kemampuan lantang pandang rendah, penglihatan pusat buruk, dan perlu untuk membaca yang kuat, kelompok yang tergolong buta total

  Menurut kemampuan melihat, tunanetra (visual impairment) dapat dikelompokkan pada : a. Buta (blind), ketunanetraan jenis ini terdiri dari :

  1) Buta total (totally blind) adalah mereka yang tidak dapat melihat sama sekali baik gelap maupun terang

  2) Memiliki sisa penglihatan (residual vision) adalah mereka yang

  masih bisa membedakan antara terang dan gelap b.

   Kurang penglihatan (low vision), jenis-jenis tunanetra kurang lihat

  adalah 1) Light perception, apabila hanya dapat membedakan terang dan gelap 2) Light projection, tunanetra ini dapat mengetahui perubahan cahaya dan dapat menentukan arah sumber cahaya

  3) Tunnel vision atau penglihatan pusat, penglihatan tunanetra adalah berpusat (20) sehingga apabila melihat obyek hanya terlihat bagian tengahnya saja

  4) Periferal vision atau penglihatan samping, sehingga pengamatan terhadap benda hanya terlihat bagian tepi 5) Penglihatan bercak, pengamatan terhadap obyek ada bagian-bagian tertentu yang tidak terlihat

  Kriteria pengklasifikasian ketunanetraan dapat juga dikelompokkan berdasar kemampuannya terhadap persepsi cahaya yaitu : a. Tidak ada persepsi cahaya (no light perception) ini adalah buta total

  b. Memiliki persepsi cahaya (light perception) pada kasus ini biasanya mereka masih bisa melihat bentuk tetapi tidak dapat membedakan, misalnya tidak dapat membedakan manusia pria dan wanita

  c. Mampu memproyeksi cahaya (light projection) adalah mereka yang dapat mengetahui dan bisa menunjuk asal cahaya dan bisa melihat jari tangan yang digerakkan

  Pengelompokkan yang lain adalah dengan cara melihat tingkat ketajaman penglihatan (visus), misalnya dengan melalui Snellen Test : a. Tingkat ketajaman 2020 feet

  • – 20/50 feet (6/6 m – 6/16 m) Pada tingkat ketajaman penglihatan ini masih digolongkan tunanetra taraf ringan dan masih dapat mempergunakan mata relatif secara normal. Kemampuan pengamatan visual masih cukup baik dan dapat mempergunakan alat bantu pendidikan secara normal
b. Tingkat ketajaman 20/70 feet

  • – 20/200 feet (6/20 m – 6/60 m) Istilah tunanetra kurang lihat (low vision) ada pada tingkat ketajaman ini. Dengan memodifikasi obyek atau benda yang dilihat atau menggunakan alat bantu penglihatan tunanetra masih terkoreksi dengan baik, disebut juga tunanetra ringan (partially sight)

  c. Tingkat ketajaman 20/200 feet atau lebih (6/60 m atau lebih) Ketunanetraan sudah digolongkan tingkat berat dan mempunyai taraf ketajaman penglihatan :

  1) Tunanetra masih dapat menghitung jumlah jari tangan pada jarak 6 meter 2) Tunanetra mampu melihat gerakan tangan dari instruktur 3) Tunanetra hanya dapat membedakan terang dan gelap 4) Tingkat ketajaman penglihatan 0 (visus 0), adalah mereka yang buta total yang sama sekali tidak memiliki rangsangan cahaya bahkan tidak bisa membedakan terang dan gelap Penggolongan ketunanetraan juga dapat dikelompokkan berdasarkan saat terjadinya ketunanetraan : a. Tunanetra sejak dalam kandungan (prenatal)

  Hal ini terjadi pada kasus ibu hamil yang menderita penyakit menular ke janin, saat hamil terjatuh, terjadi keracunan makanan atau obat-obatan ketika sedang mengandung, karena serangan virus misalnya taxoplasma, atau orang tua yang menurunkan kelainan (herediter) b. Tunanetra terjadi pada saat proses kelahiran (natal) Kelainan tunanetra yang mungkin disebabkan oleh kesalahan saat proses kelahiran misalnya : anak sungsang, proses kelahiran yang lama sehingga bayi terjepit atau kurang oksigen atau karena bantuan alat kelahiran berupa penyedotan atau penjepitan c. Tunanetra terjadi setelah kelahiran (postnatal) dari bayi hingga dewasa, hal ini disebabkan oleh misalnya kecelakaan benturan, trauma (listrik, kimia, suhu atau sinar yang tajam) keracunan, penyakit akut yang diderita

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi ketunanetraan dapat dikelompokkan menjadi beberapa klasifikasi yaitu kemampuan melihat, kemampuan terhadap persepsi cahaya, ketajaman penglihatan, dan terjadinya ketunanetraan.

3. Karakteristik Ketunanetraan

  a. Karakteristik Fisik Ciri khas ketunanetraan dapar dilihat langsung dari keadaan organon mata secara anatomi maupun fisiologi maupun keadan posture tubuhnya. Griffin (Hadi, 2005) dalam studinya menyatakan bahwa kekurangan penglihatan dari sejak lahir mempunyai dampak yang mengganggu perkembangan motorik, lambat da kasar pada ketrampilan motorik awal. Bayi dan anak-anak muda yang mengalami ketunanetraan sering menunjukkan perkembangan kontrol otot yang buruk pada kepala, leher, dan otot-otot tubuh. a) Ciri khas fisik tunanetra buta Mereka tergolog buta bila dilihat dari organ matanya biasanya tudak memiliki kemampuan normal, misalnya bola mata kurang atau tidak pernah bergerak, kelopak mata kurang atau tidak pernah berkedip, tidak bereaksi terhadap cahaya. Seseorang tunanetra buta yang tidak terlatih Orientasi dan Mobilitas biasanya tidak memiliki konsep tubuh atau body image, sehingga sikap tubuhnya menjadi jelek misalnya : kepala tunduk atau bahkan tengadah, tangan menggantung layu atau kaku, badan berbentuk sceilosis, berdiri tidak tegak

  b) Ciri khas fisik tunanetra kurang penglihatan Tunanetra kurang lihat karena masih adanya sisa penglihatan biasanya berusaha mencari atau upaya rangsang. Dalam upaya mencari rangsang ini kadang berperilaku yang tidak terkontrol misalnya : tangan selalu terayun, mengerjab-kerjabkan mata, mengarahkan mata ke cahaya, melihat ke suatu objek dengan cara sangat dekat, melihat obyek dengan memicingkan atau membelalakkan mata.

  b. Karakteristik Psikis Dennison (Hadi, 2005) mengemukakan seseorang dengan albino atau glaucoma sering menunjukkan tingkah laku ekstrim. Mereka kelihatan gembira, kacau, dan ceria dalam aksinya dan verbalistis, kompulsif, dan cenderung perfeksionis.

  Ketidakmampuan yang berbeda antara tunanetra buta dengan tunanetra kurang lihat juga berpengaruh pada karakter psikisnya. Secara umum tunanetra sering menunjukkan kepribadian yang kaku (rigidity), yang disebabkan oleh : 1) Kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka sehingga memberikan kesan kebekuan muka atau kekakuan wajah 2) Kekakuan dalam gerak tubuh dan tigkah laku yang merupakan akibat dari terhambatnya kemampuan orientasi dan mobilitas, juga sering ditemukannya tingkah laku adatan atau (blindsm)

  a) Ciri khas psikis tunanetra buta Tunanetra buta tidak memiliki kemampuan menguasai lingkungan jarak jauh dan bersifat meluas pada waktu yang singkat. Ketidakmampuan ini mengakibatkan rasa khawatir, ketakutan dan kecemasan berhadapan dengan lingkungan.

  Akhirnya tunanetra buta mempunyai sikap dan perilaku yang bersifat kesulitan percaya diri, rasa curiga pada lingkunganm tidak mandiri atau kebergantungan pada orang lain, pemarah atau uda tersinggung atau sensitive, penyendiri, pasif, mudah putus asa, sulit menyesuaikan diri

  b) Ciri khas psikis tunanetra kurang lihat Tunanetra kurang lihat seolah-oleh berdiri dalam dua dunia, yaitu antara tunanetra dengan awas. Hal ini menimbulkan dampak psikologis bagi penyandangnya. Apabila tunanetra kurang lihat berada di kelompok tunanetra buta, dia akan mendominasi karena memiliki kemampuan lebih. Namun bila berada diantara orang awas maka tunanetra kurang lihat sering timbul perasaan rendah diri karena sisa penglihatannya tidak mampu diperlihatkan sebagaimana anak awas.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik ketunanetraan dibagi menjadi 2 yaitu karakteristik fisik dan karakteristik psikis. Karakteristik fisik meliputi ciri khas fisik tunanetra buta dan ciri khas fisik tunanetra kurang penglihatan sedangkat karakteristik psikis meliputi ciri khas psikis tunanetra buta dan ciri khas psikis tunanetra kurang lihat.

D. Remaja Tunanetra di SLB Kuncup Mas Banyumas

  Remaja tunanetra di SLB Kuncup Mas Banyumas berjumlah 5 remaja tunanetra yaitu terdiri dari 3 remaja putri dan 2 remaja putra tunanetra.

  Remaja tunanetra yang bersekolah di SLB Kuncup Mas ini usianya dimulai dari 12 tahun sampai 18 tahun yaitu pada taap remaja awal. Pendidikan yang sedang ditempuh 5 remaja tunanetra ini beragam yaitu 2 remaja tunanetra yang sedang duduk dibangku kelas II, 1 remaja tunanetra yang duduk dibangku kelas IV, 1 remaja tunanetra yang duduk di bangku kelas V, dan yang terakhir 1 remaja tunanetra yang duduk dibangku kelas VI.

  Meskipun remaja tunanetra ini masih duduk di kelas II,IV,V,dan VI ini rentang usia mereka sudah memasuki remaja. Latar belakang kehidupan remaja tunanetra yang bersekolah di SLB Kuncup Mas Banyumas ini berasal dari keluarga yang mampu, terbukti rumah tempat tinggal mereka paling dekat adalah Sokaraja dan rumah terjauh dari remaja tunanetra ini ada di Jatilawang.

  Dalam tugas perkembangannya remaja tunanetra yang bersekolah di SLB Kuncup Mas Banyumas ini dilatih agar mandiri dalam menjalani aktivitas kesehariaanya dan pelatihan yang biasa dierikan untuk remaja tunanetra yang bersekolah di SLB Kuncup Mas Banyumas ini iberikan pelatihan Orientasi dan Mobilitas sebagai modal awal agar remaja tunanetra dapat berkembang dan dapat menyelesaikan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan atau pelatihan orientasi dan mobilitas ini meliputi kegiatan yang memicu kemampuan remaja tunanetra untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah. Pelatihan ini biasanya menggunakan latihan gerak sehingga remaja tunanetra dapat terbiasa dan dapat bergabung dengan remaja lain di SLB Kuncup Mas Banyumas maupun di lingkungan tempat tinggalnya, hal ini penting dalam membentuk kemandirian remaja tunanetra.

E. Kerangka Berpikir

  Hasil penelitian tetang Kemandirian Remaja Tunanetra di SLB Yaketunis menunjukkan bahwa peran SLB

  • – A Yaketunis dalam membentuk kemandirian siswa dalam aktivitas sehari-hari seperti Orientasi Mobilitas (mengenal gambaran konsep tubuh, keterampilan motorik, konsep dasar orientasi dan mobilitas, keterampillan teknik pra tongkat, keterampilan teknik tongkat). Sedangkan penelitian terhadap kemampuan siswa terhadap kemampan dalam membentuk kemandirian siswa tersebut bahwa siswa mampu untuk hidup mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan bisa dilihat dengan tinggal di asrama dan pulan pergi sendiri tanpa bantuan orang lain.

  Remaja Tunanetra memiliki keterbatasan dalam melakukan segala aktivitas yang dilakukannya setiap harinya. Semua remaja termasuk remaja tunanetra juga mengalami suatu masalah termasuk dalam kemandiriannya. Peneltian ini berfokus pada kemandirian emosi, kemandirian berperilaku dan kemandirian dalam nilai yang seharusnya dimiliki oleh remaja tunanetra.

  Kemandirian Remaja Tunanetra SLB ABCD Kuncup Mas Banyumas berusia 12-18 tahun

  Fokus Kemandirian :

  1. Kemandirian Emosi

  2. Kemandirian Berperilaku

  3. Kemandirian Nilai Gambar 1. Kerangka Berpikir