BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri - BAB II FAJAR KURNIAWAN PSIKOLOGI'12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri Kontrol diri perlu dimiliki oleh setiap orang yang akan mengarahkan

  perilakunya sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Setiap lingkungan memiliki norma-norma yang perlu dipatuhi oleh setiap individu, dan pelanggaran terhadap norma-norma tersebut dapat diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kontrol diri, maka akan dijelaskan pengertian, fakror-faktor yang mempengaruhi dan aspek-aspek kontrol diri.

1. Pengertian Kontrol Diri

  Kontrol diri menurut Lazarus (1976) menggambarkan keputusan individu yang muncul melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang disusun guna meningkatkan hasil dan tujuan tertentu yang diinginkan. Kontrol diri juga berarti proses yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif.

  Menurut Goldfiled dan Merbaum (Muharsih, 2008), kontrol diri diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa

  9 individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga dapat diartikan sebagai perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan. Chaplin (2002) menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls- impuls atlau tingkah laku impulsif.

  Menurut Harter (dalam Muharsih, 2008), bahwa dalam diri seseorang terdapat suatu sistem pengaturan diri (self regulation) yang memusatkan diri pada pengontrolan diri (self control). Proses pengontrolan diri ini menjelaskan bagaimana diri (self) mengatur dan mengendalikan perilaku dalam menjalankan kehidupan sesuai kemampuan individa dalam mengendalikan perilaku. Jika individu mampu mengendalikan perilakunya dengan baik maka ia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik.

  Terdapat dua alasan yang mengharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain.

  Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang (Calhoun dan Acocella, 1990).

  Individu dalam mengontrol perilaku melibatkan tiga hal yaitu: a. Memilih dengan sengaja.

  b. Pilihan antara dua perilaku yang bertentangan, dalam artian satu pihak perilaku menawarkan kepuasan dengan segera, sedangkan perilaku yang lain menawarkan ganjaran jangka panjang.

  c. Memanipulasi stimulus, agar satu perilaku yang kurang mungkin dilakukan dapat dilakukan dengan perilaku lain yang lebih mungkin dilakukan (Calhoun dan Acocella, 1990).

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi positif sehingga tingkah lakunya sesuai dengan aturan atau norma sosial. Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya dengan menggunakan sikap yang rasional sehingga mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

  Menurut Daradjat (1978), Hurlock (1980), Elkind&Weiner (1978) : ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan mengontrol diri yaitu orientasi religius, pola asuh orang tua, dan faktor kognitif, sebagai penjelasannya adalah sebagai berikut : a. Orientasi religius Bergin (1987) berpendapat bahwa orientasi religius dapat memilahkan beberapa konsekuensi positif termasuk variabel kepribadian seperti kecemasan, kontrol diri, keyakinan irasional, depresi dan sifat kepribadian lain. Hasil penelitian Mc Clain (dalam Bergin, 1987) menunjukkan bahwa orientasi religius berkorelasi positif dengan kontrol diri, disamping adanya hubungan antara orientasi religius dan kepribadian positif. Menurut Daradjat (1978) agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak akan mempengaruhi kepribadiannya, akan bertindak sebagai pengontrol dalam menghadapi segala keinginan dan dorongan yang timbul. Keyakinan terhadap agama tersebut akan mengatur sikap dan tingkah laku secara otomatis dari dalam diri seseorang.

  b. Pengaruh pola asuh orang tua Banyak ahli mengatakan bahwa terdapat hubungan antara orang tua terhadap kontrol diri anak. Kecuali itu Hurlock (1980) menyatakan bahwa disiplin yang diterapkan orang tua merupakan hal yang penting dalam kehidupan karena dapat mengembangkan self control dan self

  

direction sehingga seseorang dapat menunjukkan dengan baik segala

tindakan yang dilakukannya.

  c. Faktor kognitif Elkind&Weiner (1978) mengemukakan bahwa individu tidak dilahirkan dalam konsep benar dan salah atau dalam suatu pemahaman tentang diperbolehkan atau dilarang. Kemasakan kognitif terjadi selama masa prasekolah dan masa kanak-kanak, secara bertahap dapat meningkatkan kapasitas individu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan sosial:dan mengontrol perilakunya. Cara berpikir individu terhadap stimulus dapat membedakan kemampuan mereka dalam mengontrol diri. Individu yang mempunyai kemampuan berpikir positif dalam menghadapi suatu situasi dan stimulus tertentu, akan lebih mampu mengendalikan dirinya dan dapat meneruskan kegiatannya dalam situasi tersebut. Melalui berpikir positif muncul ide-ide dan kreativitas termasuk ide individu dalam membuat perencanaan ketika bertindak.

  Inteligensi adalah salah satu kemampuan yang sangat penting dan akan muncul dalam bentuk tingkah laku. Steinberg (dalam Hetherington & Parke, 1999) dengan thriartic theory of intelligence lebih menekankan proses berpikir yang biasa dilakukan oleh orang.

  Inteligensi merupakan kemampuan orang untuk mengetahui bagaimana menerapkan informasi baru dan lama pada lingkungan dan suasana baru termasuk mengkombinasikan informasi untuk mencari pemecahan masalah dengan segera. Menurut Husaini dan Nor (1978) kognisi merupakan fungsi intelek, berarti kognisi berkaitan dengan inteligensi seseorang. Pandangan ini sesuai dengan pendapat David Perkins (dalam Hetherington & Parke, 1999) dengan teori learnable intelligence yang menyatakan bahwa inteligensi merupakan mindware yang membuat orang dapat belajar memecahkan masalah membuat keputusan, memahami konsep sulit dan mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.

3. Aspek-aspek Kontrol Diri

  Berdasarkan konsep Averill (Gufron, 2010) terdapat tiga jenis kontrol diri, yaitu: a. Kemampuan mengontrol perilaku (Behavioral Control)

  Kemampuan mengontrol perilaku didefinisikan sebagai kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan ini diperinci lebih lanjut ke dalam dua komponen: 1) Kemampuan mengontrol pelaksanaan (regulated administration), yaitu kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Anggota intelkam dapat mengendalikan emosinya pada saat bekerja dan tidak mudah terpengaruh dengan rekan sekerja yang mengajak berbuat tidak baik.

  2) Kemampuan mengontrol stimulus (stimulus modifiability ), merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Anggota berusaha untuk menghindari persoalan dengan rekan sekerja. b. Kontrol Kognitif (Cognitive Control) Kontrol kognitif yaitu kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan.

  Kemampuan ini diperinci lebih lanjut ke dalam dua komponen: 1) Kemampuan memperoleh informasi (information gain), dengan informasi yang dimiliki, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan secara relatif objektif. Anggota menghargai sikap dan pendapat rekan sekerja yang berbeda-beda dan berusaha bersikap profesional tanpa emosi.

  2) Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara objektif. Anggota dapat melihat persoalan secara obyektif dan memahami setiap kelebihan dan kelemahan diri maupun orang lain.

  c. Kemampuan Mengontrol Keputusan (Decisional Control).

  Kemampuan mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Anggota berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik, tidak menolak tugas yang diberikan oleh atasan dan memikirkan setiap akibat dari sikap dan perbuatannya.

B. Religiusitas

  Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang sejarah perjalanan umat manusia adalah fenomena keberagamaan. Sepanjang itu pula, bermunculan beberapa konsep religiusitas. Agama memberikan pengaruh yang kuat terhadap perilaku seseorang. Untuk mengetahui lebih jauh tentang religiusitas, akan dijelaskan tentang pengertian, dimensi, fungsi dan faktor- faktor yang mempengaruhi religiusitas.

1. Pengertian Religiusitas

  Hawari menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci. Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan berupa aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, serta aktivitas yang tidak tampak yang terjadi dalam hati seseorang (Ancok dan Suroso, 2005).

  Menurut Glock dan Stark religiusitas merupakan sistem timbul, nilai, keyakinan dan sistem perilaku yang terlembaga yang semuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (Ancok dan Suroso, 2005).

  Istilah religion (agama) berasal dari dua kata dalam bahasa latin, yaitu legare dan religio. Legare berarti proses pengikatan kembali atau penghubungan kembali. Religiusitas adalah sikap batin pribadi (personal) setiap manusia di hadapan Tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia (Dister, 1988).

  Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Mereka memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan yang ada pada wilayah seksual. Maka dengan demikian, seseorang akan dengan mudah melanggar ajaran agamanya misalnya dengan melakukan perilaku seks bebas sebelum menikah (Kapinus dan Gorman, 2004).

  Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memandang agamanya sebagai tujuan utama hidupnya, sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilakunya sehari- hari. Berarti religiusitas yang ada dalam dirinya memiliki batas yang kuat sehingga dorongan seksual berupa penyaluran hasrat seksual tidak dapat menembus wilayah religiusitas yang ada dalam dirinya (Maria, 2001).

  Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah ketaatan, kesolehan perilaku dan keyakinan seseorang di dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya, yang diwujudkan dalam kehidupan manusia sehari-hari yang berkaitan dengan ibadah.

2. Dimensi-dimensi Religiusitas

  Religiusitas menurut Glock dan Stark memiliki lima dimensi, yaitu: a. Ideologis atau keyakinan (Religious Belief)

  Dimensi ideologis menunjuk pada tingkat keyakinan atau keimanan seseorang terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Indikatornya antara lain: yakin dengan adanya Tuhan, mengakui kebesaran Tuhan, pasrah pada Tuhan, melakukan sesuatu dengan ikhlas, selalu ingat pada Tuhan, percaya akan takdir Tuhan, terkesan atas ciptaan Tuhan dan mengagungkan nama Tuhan.

  Keimanan terhadap Tuhan akan mempengaruhi terhadap keseluruhan hidup individu secara batin maupun fisik yang berupa tingkah laku dan perbuatannya. Individu memiliki iman dan kemantapan hati yang dapat dirasakannya sehingga akan menciptakan keseimbangan emosional, sentimen dan akal, serta selalu memelihara hubungan dengan Tuhan karena akan terwujud kedamaian dan ketenangan sehingga ketika mendapat tekanan, individu dapat berpikir logis dan positif dalam memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya. Anggota intelkam memiliki keyakinan yang tinggi tentang adanya Allah yang menguasai alam seisinya. Setiap perbuatan diyakini akan mendapatkan balasan, yaitu perbuatan baik mendapatkan pahala dan perbuatan tidak baik akan mendapatkan dosa. b. Ritualistik atau peribadatan (Religious Practice) Dimensi ritualistik atau peribadatan ini menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang diperintahkan oleh agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan meyakini dan melaksanakan kewajiban-kewajiban secara konsisten. Apabila jarang dilakukan maka dengan sendirinya keimanan seseorang akan luntur.

  Praktek-praktek keagamaan yang dilakukan individu meliputi dua hal, yaitu: 1) Ritual yaitu dimana seseorang yang religius akan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang diperintahkan oleh agama yang diyakininya dengan melaksanakannya sesuai ajaran yang telah ditetapkan.

  Indikatornya antara lain: selalu melakukan sembahyang dengan rutin, melakukan kegiatan keagamaan seperti mendengarkan ceramah agama, melakukan dakwah agama, melakukan kegiatan amal, bersedekah, dan berperan serta dalam kegiatan keagamaan seperti ikut berpartisipasi dan bergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan.

  2) Ketaatan yaitu dimana seseorang yang secara batiniah mempunyai ketetapan untuk selalu menjalankan aturan yang telah ditentukan dalam ajaran agama dengan cara meningkatkan frekuensi dan intensitas dalam beribadah.

  Indikatornya antara lain: khusuk ketika mengerjakan sembahyang atau kegiatan keagamaan, membaca doa ketika akan melakukan pekerjaan dan selalu mengucapkan syukur pada Tuhan. Individu yang menghayati dan mengerti serta selalu ingat pada Tuhan akan memperoleh manfaat, antara lain: ketenangan hati, perasaan yang tenang, aman dan merasa memperoleh bimbingan serta perlindungan-Nya. Kondisi seperti itu menyebabkan individu selalu melihat sisi positif dari setiap permasalahan yang dihadapi dan berusaha mencari solusi yang tepat dalam memecahkan masalah yang membuat dirinya tertekan. Anggota intelkam tekun dalam menjalankan shalat lima waktu, bekerja sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai bagian dari ibadah dan menjalankan puasa terutama puasa wajib.

  c. Eksperiensial atau pengalaman (Religious Feeling).

  Dimensi pengalaman menunjukkan seberapa jauh tingkat kepekaan seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan- perasaan atau pengalaman-pengalaman religiusnya. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman yang diperoleh dan dirasakan individu selama menjalankan ajaran agama yang diyakini.

  Pengalaman spiritual akan memperkaya batin seseorang sehingga mampu menguatkan diri ketika menghadapi berbagai macam cobaan dalam kehidupan. Sehingga individu akan lebih berhati-hati dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang membuat dirinya merasa tertekan sehingga dalam pengambilan keputusan, individu akan memikirkan dan mempertimbangkan dengan matang.

  Indikatornya antara lain: sabar dalam menghadapi cobaan, menganggap kegagalan yang dialami sebagai musibah yang pasti ada hikmahnya, merasa bahwa doa-doanya dikabulkan, takut ketika melanggar aturan, dan merasakan tentang kehadiran Tuhan.

  Anggota berusaha untuk bersikap profesional dengan tidak membawa persoalan pribadi ke kantor, tidak mudah terpancing emosinya pada saat bekerja, termasuk selalu berusaha bekerja dengan sebaik mungkin sesuai dengan tugasnya.

  d. Intelektual atau pengetahuan (Religious Knowledge) Dimensi ini menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Bagi individu yang mengerti, menghayati dan mengamalkan kitab sucinya akan memperoleh manfaat serta kesejahteraaan lahir dan batin. Untuk menambah pemahaman tentang agama yang diyakini, maka seseorang perlu menambah pengetahuan dengan mengikuti ceramah keagamaan atau membaca buku agama sehingga wawasan tentang agama yang diyakini akan semakin luas dan mendalam.

  Pemahaman seseorang yang baik tentang ajaran agama yang diyakininya, maka individu cenderung menghadapi tekanan dengan berusaha menyelesaikan masalahnya langsung pada penyebab permasalahan dengan membuat suatu rencana dan membuat keputusan. Indikatornya antara lain: mendalami agama dengan membaca kitab suci, membaca buku-buku agama, perasaan yang tergetar ketika mendengar suara bacaan kitab suci, dan memperhatikan halal dan haramnya makanan.

  Anggota intelkam menyisihkan waktunya untuk memperdalam agamanya dengan membaca Al Qur’an, membaca buku-buku keagamaan dan menghindari mendapatkan uang dari sumber yang tidak jelas.

  e. Konsekuensial atau penerapan (Religious Effect) Dimensi konsekuensial menunjuk pada tingkatan seseorang dalam berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Dimensi ini merupakan efek seberapa jauh kebermaknaan spiritual seseorang. Jika keimanan dan ketaqwaan seseorang tinggi, maka akan semakin positif penghayatan keagamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan mempengaruhi seseorang dalam menghadapi persoalan dirinya dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan aktualisasi potensi batinnya. Indikatornya antara lain: perilaku suka menolong, memaafkan, saling menyayangi, saling mengasihi, selalu optimis dalam menghadapi persoalan, tidak mudah putus asa, fleksibel dalam mengahadapi berbagai masalah, bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dan menjaga kebersihan lingkungan (Ancok dan Suroso, 2005).

  Berdasarkan pada teori-teori yang telah dikemukakan di atas maka skala regiliusitas mencakup lima dimensi yang mendasari individu dalam religiusitas. Dimensi tersebut meliputi: ideologis atau keyakinan (religious belief), ritualistik atau peribadatan (religious

  practice ), eksperiensial atau pengalaman (religious feeling), intelektual

  atau pengetahuan (religious knowledge), dan konsekuensial atau penerapan (religious effect).

  Anggota Intelkam berusaha untuk selalu siap dalam membantu kesulitan rekan sekerja, selalu mengingat kebaikan orang lain, tidak membesar-besarkan masalah yang dihadapi dan menyelesaikan setiap persoalan dengan bijaksana.

3. Fungsi Religiusitas

  Fungsi religiusitas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi agama. Agama merupakan kebutuhan emosional manusia dan merupakan kebutuhan alamiah. Adapun fungsi agama bagi manusia meliputi: a. Agama sebagai sumber ilmu dan sumber etika ilmu.

  Manusia mempercayakan fungsi edukatif pada agama yang mencakup tugas mengajar dan membimbing. Pengendali utama kehidupan manusia adalah kepribadiannya yang mencakup unsur-unsur pengalaman, pendidikan dan keyakinan yang didapat sejak kecil. Keberhasilan pendidikan terletak pada pendayagunaan nilai-nilai rohani yang merupakan pokok-pokok kepercayaan agama.

  b. Agama sebagai alat justifikasi dan hipotesis Ajaran-ajaran agama dapat dipakai sebagai hipotesis untuk dibuktikan kebenarannya. Salah satu hipotesis ajaran agama Islam adalah dengan mengingat Allah (dzikir), maka hati akan tenang. Maka ajaran agama dipandang sebagai hipotesis yang akan dibuktikan kebenarannya secara empirik, artinya tidaklah salah untuk membuktikan kebenaran ajaran agama dengan metode ilmiah.

  Pembuktian ajaran agama secara empirik dapat menyebabkan pemeluk agama lebih meyakini ajaran agamanya.

  c. Agama sebagai motivator Agama mendorong pemeluknya untuk berpikir, merenung, meneliti segala yang terdapat di bumi, di antara langit dan bumi juga dalam diri manusia sendiri. Agama juga mengajarkan manusia untuk mencari kebenaran suatu berita dan tidak mudah mempercayai suatu berita yang belum terdapat kejelasannya.

  d. Fungsi pengawasan sosial Agama ikut bertanggungjawab terhadap norma-norma sosial sehingga agama mampu menyeleksi kaidah-kaidah sosial yang ada, mengukuhkan kaidah yang baik dan menolak kaidah yang buruk agar ditinggalkan dan dianggap sebagai larangan. Agama memberi sanksi bagi yang melanggar larangan agama dan memberikan imbalan pada individu yang mentaati perintah agama. Hal tersebut membuat individu termotivasi dalam bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga individu akan melakukan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan (Ancok dan Nashori, 2005).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

  Thouless membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu: a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

  (faktor sosial) ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.

  b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh seseorang dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman-pengalaman seperti: keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia lain (faktor alamiah) seperti menjalin hubungan yang baik pada sesama dengan saling tolong menolong, adanya konflik moral (faktor moral) seperti mendapatkan tekanan- tekanan dari lingkungan, dan pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif) seperti perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Tuhan. c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan- kebutuhan yang tidak terpenuhi terutama terhadap kebutuhan terhadap keagamaan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian.

  d. Berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual dimana faktor ini juga dapat mempengaruhi religiusitas individu. Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, sehingga manusia akan memikirkan tentang keyakinan-keyakinan dan agama yang dianutnya (Yunitasari, 2006).

  Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat religiusitas seseorang yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi: pendidikan formal, pendidikan agama dalam keluarga, tradisi sosial yang berlandaskan nilai- nilai keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan sosial dalam kehidupan seseorang. Faktor internal sendiri meliputi: pengalaman-pengalaman emosional keagamaan, kebutuhan seseorang yang mendesak untuk dipenuhi seperti kebutuhan akan rasa aman, harga diri dan cinta kasih.

C. Kerangka Berpikir

  Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Orang yang seperti ini memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan yang ada pada wilayah seksual. Maka dengan demikian, seseorang akan dengan mudah melanggar ajaran agamanya (Kapinus dan Gorman, 2004).

  Melemahnya religiusitas anggota Intelkam dapat menyebabkan kontrol diri anggota menjadi kurang baik. Berbagai perilaku indisipliner yang dilakukan oleh anggota Intelkam tidak terlepas dari menurunnya religiusitas anggota. Anggota yang religiusitasnya rendah akan berani melanggar norma- norma agamanya. Anggota yang religiusitasnya tinggi ditandai dengan kemauan yang tinggi dari anggota untuk menjalankan ajaran agamanya. Sikap dan perilaku yang dilarang oleh agama akan dihindari.

  Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan tempat tinggalnya. Kemampuan mengontrol diri memungkinkan seseorang berperilaku yang lebib terarah dan dapat menyalurkan dorongan-dorongan dalam diri secara benar, tidak menyimpang dari norma-norma agama. Pengetahuan dan perilaku beragama yang tertanam sejak kecil dapat menjadi pengendali otomatis bagi seseorang dalam berperilaku, karena adanya keyakinan bahwa setiap bentuk perilaku manusia baik maupun buruk senantiasa diawasi oleh Tuhan. Adanya keyakinan tersebut dapat menimbulkan kesadaran dalam diri seseorang untuk dapat mengontrol perilakunya dengan baik. Menurut Daradjat (1978), bahwa agama yang ditanamkan sejak kecil akan mempengaruhi kepribadiannya, akan bertindak sebagai pengontrol dalam menghadapi segala keinginan dan dorongan yang timbul. Keyakinan terhadap agama tersebut akan mengatur sikap dan tingkah laku secara otomatis dari dalam diri seseorang.

  Bergin (1980) berpendapat bahwa orientasi religius dapat memilahkan beberapa konsekuensi positif termasuk variabel kepribadian seperti kecemasan, kontrol diri, keyakinan irasional, depresi dan sifat kepribadian lain.

  Kerangka pikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

  Anggota Intelkam Polres Cilacap

  Kontrol Diri Religiusitas

  1. Kemampuan mengontrol

  1. Ideologis atau keyakinan perilaku

  2. Ritualistik atau peribadatan

  2. Kontrol kognitif

  3. Eksperiensial atau pengalaman

  3. Kemampuan mengontrol keputusan

  4. Intelektual atau pengetahuan

  5. Konsekuensial atau penerapan Gambar 1. Kerangka Penelitian D.

   Hipotesis

  Hipotesis berasal dari kata hypo yang berarti kurang dari dan thesa yang berarti pendapat atau teori, sehingga hipotesis diberi pengertian pendapat yang belum final dan masih harus dibuktikan kebenarannya (Nawawi, 2001).