BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Diri - Nafissatun Nisari BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, social dan spiritual (Sunaryo, 2004). Termasuk didalamnya adalah persepsi individu tentang sifat dan potensi yang

  dimilikinya, interksi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai- nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, serta tujuan, harapan dan keinginannya.

  Konsep diri dikembangkan melalui proses yang sangat kompleks yang melibatkan banyak variabel citra tubuh, ideal diri, penampilan peran dan identitas diri. Konsep ini juga sebagai respresentasi fisik seorang individu, pusat inti dimana semua persepsi dan pengalamanan terorganisasi. Konsep diri memberikan kontinuitas, keutuhan dan konsistensi pada seseorang. Konsep diri yang sehat mempunyai tingkat kestabilan yang tinggi dan membankitkan perasaan negative atau positif yang ditjukan pada diri.

  Menurut Stuart (2013) konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir , tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia.

  Rogers (1959 dalam Feist & Feist, 2009) juga mengemukakan bahwa konsep diri mencakup semua aspek-aspek untuk menjadi individu, dan pengalaman seseorang yang dirasakan sebagai suatu kesadaran (meskipun tidak selalu akurat) oleh individu.

  Konsep diri didefinisikan sebagai totalitas dari pemikiran individu dan perasaan memiliki referensi untuk dirinya sendiri sebagai obyek. Ini adalah persepsi individu dan perasaan terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsep diri individu terdiri dari sikap individu terhadap diri yang individu itu pegang (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).

  Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang merupakan pngetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain (Stuart, 2013). Konsep diri memberikan kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen terhadap situasi dan hubungan dengan orang lain. Masa remaja adalah waktu yang kritis ketika banyak hal secara continue mempengaruhi konsep diri, jika seorang anak mempenyai masa kanak-kanak yang aman dan stabil. Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stress.

  Respon konsep diri sepanjang rentang sehat-sakit berkisar dari status aktualisasi diri yang paling adaptif sampai status kerancuan penampilan peran yang lebih maladaptife. Selanjutnya, dipersonalisasi kerawanan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk menginegrasikan sebagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam psikososial dewasa yang harmonis.

  Dari berbagai penjelasan mengenai konsep diri maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan suatu kepercayaan individu tentang diri sendiri yang akan mempengarhi lingkungan atau masyarakat.

  2. Perkembangan Konsep Diri Konsep diri yang dimiliki oleh manusia tidak terbentuk secara instan, melainkan dalam proses belajar sepanjang hidup manusia. Ketika individu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentan dirinya, tidak memiliki harapan yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian terhadap dirinya.

  Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhan, terutama akibat berhubungan dengan individu lain. Dalam berinteraksi, setiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan dijadikan cerminan bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri. Dimana pada akhirnya individu mulai biasa mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan serta dapat melakukan penilaian terhadap dirinya (Sudarmaji, 2002).

  3. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri Menurut Stuart, (2013) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangn konsep diri. Faktor-faktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, orang yang terpenting atau terdekat (significant other) dan persepsi diri sendiri (self perception).

  a.

  Teori perkembangan Konsep diri berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang memalui kegitan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasikan potensi yang nyata.

  b.

  Orang yang terpenting atau yang terdekat (significant other) Konsep diri dipelajari melalui konak dan pengalaman dengan orang lai. Belajar dengan sendirinya melalui cermin orang lain yaitu dengan cara menginterprestasikan diri pada pandangan orang lain terhadap dirinya. Remaja dipengaruhi oleh orang lain yang paling dekat dengan dirinya, pengaruh budaya dan sosialisasi sepanjang siklus hidup.

  c.

  Persepsi diri sendiri (self perception) Yaitu persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu.

  Konsep diri dapat dibentuk melalui pengalaman yang positif. Konsep diri merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.

4. Komponen Konsep Diri

  Konsep diri dapat digambarkan dalam istilah rentang diri kuat sampai lemah atau positif sampai negatif yang kesemuanya tergantung pada kekuatan individu dari kelima komponen konsep diri (Stuart, 2013), kelima komponen konsep diri tersebut adalah sebagai berikut : a.

  Citra Tubuh Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau masa sekarang mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh. Citra tubuh sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi dalam pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh harus realistis karena semakin dapat menerima dan menyukai tubuhnya individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan (Suliswati, dkk, 2005).

  Citra tubuh adalah persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik serta persepsi dari pandangan orang lain (Perry & Potter, 2005). Konsep diri yang baik tentang citra tubuh adalah kemampuan seseorang menerima bentuk tubuh yang dimiliki dengan senang hati dan penuh rasa syukur serta selalu berusaha untuk merawat tubuh dengan baik.

  b.

  Identitas Kesadaran akan keunikan diri sendiri yang bersumber dari penilaian dan observasi diri sendiri. Hal ini mencakup keutuhan internal individu, konsistensi individu tersebut sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi. Identitas menunjukan ciri khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain, tetapi menjadikannya unik.

  Seseorang yang memiliki identitas yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, dan tidak ada keduanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga, kemampuan dan penguasaan diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri (Suliswati, dkk, 2005).

  c.

  Peran Peran adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang yang berdasarkan posisinya dimasyarakat. Sementara untuk posisi tersebut merupakan identifikasi dari status atau tempat seseorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan perwujudan aktualisasi diri. Peran juga diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam berbagai kelompok sosial. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti (Suliswati, dkk, 2005).

  d.

  Ideal Diri Idela diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan atau sejumlah inspirasi, tujuan, nilai yang diraih. Idela diri akan mewujudkan cita-cita atau pengharapan diri berdasarkan norma-norma sosial di masyarakat tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri. Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik tentang ideal diri apabila dirinya mampu bertindak dan berperilaku sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dan sesuai dengan apa yang diinginkannya.

  Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang memberikan harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu individu menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk dasar dari ideal diri (Suliswati, dkk, 2005). e.

  Harga Diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yaitu dicintai, dihormati dan dihargai. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau diterima lingkungan. Pada masa dewasa akhir timbul masalah harga diri karena adanya tantangan baru, ketidakmampuan fisik, kehilangan perasaan dan sebagainya (Suliswati, dkk, 2005). Seseorang memiliki konsep diri yang baik berkaitan dengan harga diri apabila mampu menunjukan keberadaannya dibutuhkan oleh orang banyak, dan menjadi bagian yang dihormati oleh lingkungan sekitar.

  Berupa penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Penilaian harga diri didasarkan pada factor internal dan eksteral, serta harga diri tentang nilai diri.

5. Rentang Respon Konsep Diri

  Aktualisasi Konsep Harga Kerusakan depersonalisasi Diri Diri Positif Diri Rendah Identitas

Gambar 2.1. Rentang Respon Konsep Diri

  Sumber : Stuart (2013) a. Aktualisasi Diri

  Keinginan untuk mewujudkan diri atau keinginan untuk menjadi apapun yang seseorang mampu untuk mencapainya.

  b.

  Konsep diri positif Individu yang dapat mengeksplorasi dunianya secara terbuka dan jujur karena latar belakng penerimaannya sukses, konsep diri positif berasal dari pengalaman yang positif yang mengarah pada kemampuan pemahaman (Suliswati, dkk, 2005).

  c.

  Harga diri rendah Dapat digambarkan sebagai perasaan negative terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri(Stuart, 2013).

  d.

  Kerusakan identitas Merupakan suatu kegagalan individu untuk mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak ke dalam kepribadian psikososial dewasa yang harmonis (Stuart, 2013) e.

  Depersonalisasi Suatu perasaan tidak realistis dan merasa asing dengan diri sendiri (Stuart, 2013).

6. Jenis – Jenis Konsep Diri

  Menurut Rola (2006) dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu : a.

  Konsep diri positif Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri, bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Konsep diri positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya, sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain.

  b.

  Konsep diri negatif Kosep diri negatif terbagi dua tipe yaitu, dimana pandangan individu tentang dirinya benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya. Menurut Nur & Ekasari (2008) pada junal penelitiannya ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional. Selanjutnya dari hasil penghitungan koefisien determinan diperoleh angka sebesar 27.5%, artinya variabel konsep diri (X) memberikan sumbangan sebesar 27.5% untuk variabel kecerdasan emosional (Y). Dari hasil penelitian Setyarini(2012) Hubungan Komponen Dasar Kecerdasan Emosional dengan Proses Adaptasi Mahasiswa Tinggal Di Asrama STIKES Santo Barromeus didapatkan bahwa responden dengan proses adaptasi pada kategori baik 8 orang (11,6%) dan tidak baik 61 orang (88,4%).

  Nurhadi (2013) dari jumlah sampel 111 orang menghasilkan penelitian menunjukkan masih banyak remaja yang memiliki konsep diri negatif dan sangat negatif (55%). Masih banyak remaja yang memiliki penyesuaian diri buruk dan sangat buruk (51%). Ada hubungan positif signifikan antara konsep diri dan penyesuaian diri remaja, dengan nilai Rxy = 0,668 dengan p = 0.000 < 0.05 artinya jika konsep diri remaja positif maka penyesuaian diri akan baik. Jika konsep diri remaja negatif maka penyesuaian diri akan buruk.

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutris (2008) yang sejak tahun 1998 terjun mengelola sekolah berasrama (boarding school) didapatkan data bahwa hampir 75 % siswa yang sekolah boarding adalah kemauan dari orang tua siswa bukan dari siswa itu sendiri. Akibatnya, dibutuhkan waktu yang lama (rata-rata 4 bulan) untuk siswa menyesuaikan diri dan masuk kedalam konsep pendidikan boarding yang integratif.

B. Kecerdasan Emosional 1.

  Konsep Kecerdasan Maramis (2006) kecerdasan adalah gambaran abstrak yang disaring dari observasi perilaku dalam bermacam-macam keadaan atau suatu kontruksi hipotesis dan hanya dapat diduga dari tanda-tanda perilaku. Sehingga bagaimanapun juga, kecerdasan ada sangkut pautnya dengan kemampuan menangkap hubungan yang abstrak dan rumit, serta kemampuan memecahkan masalah dan belajar dari pengalaman. Kemudian berkembanglah pemahaman tentang jenis-jenis kecerdasan yang lain selain kecerdasan intelektual seperti kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan lain sebagainya.

  Pada umumnya kecerdasan dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam bersikap dan berbuat cepat dengan situasi yang sedang berubah, dengan keadaan diluar dirinya yang biasa mauppun yang baru. Jadi dengan kata lain perbuatan cerdas dapat dicirikan dengan adanya kesanggupan bereaksi terhadap berbagai situasi. Kecerdasan bekerja dalam suatu situasi yang berlainan tingkat kesukarannya. Kecerdasan tidak bersikap statis tetapi kecerdasan manusia selalu mengalami perkembangan. Berkembangnya kecerdasan sedikit banyak sejalan dengan kematangan seseorang (Ahmadi, 2009).

2. Konsep Emosi a.

  Pengertian Emosi Martin (2003) menjelaskan emosi berasal dari bahasa latin ‘movore’ yang artinya menggerakan, sehingga emosi berarti sesuatu yang mendorong terjadinya perubahan, dimana suatu keadaan emosi dapat dijelaskan dalam tiga pengertian. Pertama, emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Kedua, emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi. Ketiga, hasil reaksi kognitif (berfikir) terhadap situasi yang spesifik.

  Pengertian emosi lebih lengkap dijelaskan oleh Atkinson & Hilgard (2003) emosi merupakan suatu keadaan psikologis yang disebabkan oleh peristiwa, objek atau orang yang secara khusus meliputi penilaian secara kognitif (interpretasi individu terhadap suatu peristiwa), pengalaman subjektif (emosi yang disarankan individu), kecenderungan berfikir dan bertindak (individu berfikir tentang respon emosi apa yang akan ditampilkannya), perubahan tubuh secara internal (adanya perubahan fisiologis akibat emosi yang muncul seperti detak jantung, pernafasan dan tekanan darah), ekspresi wajah (emosi yang disarankan dapat ditunjukkan melalui ekspresi wajah, yang terlihat dari mata, bibir, hidung, dll) dan respon terhadap emosi (bagaimana individu menunjukan emosi yang disarankannya melalui tingkah laku, atau nada suara). b.

  Macam-macam Emosi Goleman (2002) mengemukakan beberapa macam emosi yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Mayer (1990 dalam Goleman, 2002) menyebutkan bahwa orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosi agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.

3. Konsep Kecerdasan Emosional a.

  Pengertian Kecerdasan Emosional Solovey & Mayer, (1993 dalam Shapiro, 1998) mendefinisikan kecerdasan emosional atau sering disebut Emotional Quotion (EQ) sebagai: himpuanan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

  Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiridan dengan hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan Intelegence Quotion (IQ).

  Gardner, (1993 dalam Goleman, 2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari: kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka berkerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan, sedangkan kecerdasan intara pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarahkedalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif (Goleman, 2002).

  Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi, menjaga keselarasan emosi dan mengungkapkannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

  Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal emosi diri sendiri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan sosial dengan orang lain. b.

  Komponen Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional terbagi dalam beberapa wilayah kemampuan yang membentuknya. Wilayah-wilayah kemampuan kecerdasan emosional tidak seragam untuk setiap ahli tergantung dari sudut pandang dan pemahaman. Goleman (2000) membagi kecerdasan emosional menjadi lima wilayah yang membentuk kecerdasan, kelima wilayah tersebut meliputi :

1. Mengenali emosi diri

  Mengenali emosi diri adalah kesadaran diri yaitu tentang perasaan sewaktu perasaan terjadi, kemampuan mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional. Kesadaran diri berarti waspada baik terhadap suasana hati.kesadaran diri berarti dapat menjadi pemerhatiyang tidak reaktif dan tidak menghakimi keadaan- keadaan bathin. Waspada berarti berada diatas aliran emosi bukan atau berada dalam aliran emosi.

  Kekurangan waspadaan terhadap perasaan diri dapat membawa bahaya yang besar karena dapat menjadi mudah larut dalam aliran emosi. Situasi kekerasan yang terjadi sedikit banyak merupakan hasil perbudakan emosi. Perbudakan emosi dapat dihindari jiki kita memiliki pemahaman tentang perasaan emosi. Kemampuan mengenali emosi merupakan persyaratan penting untuk mengenali emosi, pemahaman akan perasaan memudahkan untuk mengendalikan emosi.

  Goleman (2002) mengatakan bahwa kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pemikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Ketidakmampuan untuk mencerminkan perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambian keputusan masalah (Mutadin, 2002).

2. Mengelola dan mengekspresikan emosi

  Mengelola emosi berarti mengenali perasaan agar perasaan terungkap sesuai dengan kesadaran diri. Mengelola emosi juga berarti menguasai diri yaitu kemampuan untuk menghadapi badai emosi yang terjadi dan bukan budak nafsu. Goleman (2000) mengatakan yang dikehendaki adalah emosi yang wajar, keselarasan antara perasaan dan lingkungan. Apabila emosi terlampau ditekan maka akan tercipta kebosanan.

  Emosi yang tidak dikendalikan atau terlampau ekstrim dapat menjadi sumber penyakit. Jika kemampuan diatas dapat dikuasai dan dapat dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan. Orang yang mampu mengelola emosi dengan baik dapat melawan emosi murung, marah, serta lebih mampu cepat menguasai perasan-perasaan dan bangkit kembali dalam kehidupan emosi yang normal. Individu yang rendah emosinya cenderung pesimis terus-menerus, bertarung melawan perasaan murung dan mudah marah.

  3. Memotivasi diri Orang yang mampu memotivasi diri sendiri adalah orang yang memiliki ciri-ciri mampu mengendalikan kecemasan, memiliki pola piikir yang positif, optimis, mampu mencapai keadaan flow yaitu keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap kedalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya berfokus pada apa yang sedang dikerjakanya, serta kesadaran menyatu dengan tindakan (Goleman, 2000). Kemampuan memotivasi diri dalamhal ini diartikan sebagai kemampuan-kemampuan untuk membangkitkan dorongan- dorongan dan minat-minat agar dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai.

  4. Mengenali emosi orang lain (Empati) Goleman (2002) mengatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

  Orang-orang yang mampu menbaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka (Goleman, 2002). Anak- anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran yang tinggi.

  Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca persaan orang lain (Goleman, 2002).

5. Membina hubungan

  Membina hubungan dengan orang lain adalah keterampilan- keterampilan untuk berhubungan dengan orang lain yang merupakan kecakapan emosional yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Keterampilan membina hubungan merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Individu yang hebat adalah keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang berhubungan dengan pergaulan interaksi dengan orang lain.

  Orang-orang yang hebat dalam ketrampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang- orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya bekomunikasi (Goleman, 2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana perawat mampu membina hubungan dengan orang lain.

  Berdasakan uraian di atas, penulis mengambil komponen- komponen utama dari kecerdasan emosional sebagai faktor utama mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

  Dalam penelitian Anissa & Handayani (2012) menunjukan besarnya koefisien determinasi diketahui sebesar 0,363, yang berarti bahwa sumbangan efektif dari variabel konsep diri dan kematangan emosi terhadap penyesuaian diri sebesar 36,3%, sedangkan sisanya 63,7% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak ditelit, seperti: komunikasi interpersonal, persepsi, sikap, intelegensi, kepribadian, pola asuh orangtua, lingkungan sosial.

  Selanjutnya, hasil analisis korelasi parsial diperoleh koefisien korelasi rx1y-2 = 0,362 dengan p = 0,005 (p < 0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan sangat signifikan antara konsep diri dengan penyesuaian diri istri yang tinggal bersama keluarga suami dengan mengendalikan kematangan emosi, sehingga hipotesis minor yang pertama diterima. Diperoleh koefisien korelasi rx2y-2 = 0,336 dengan p = 0,009 (p < 0,01).

  Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan sangat signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian diri istri yang tinggal bersama keluarga suami dengan mengendalikan konsep diri, sehingga hipotesis minor yang kedua diterima.

  Dari hasil penelitian Ningrum, dkk (2011) yang dilakukan pada remaja usia 12-15 tahun diperoleh hasil 52,4% anak yang berkategori cerdas dan 47,6% anak berkategori kurang cerdas. Ini menunjukan sebagian besar anak remaja dikelurahan Timbangan sudah mampu mengontrol emosionalnya dengan baik. Baik itu dalam hal kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, maupun keterampilan sosial, namun tidak sedikit responden yang kurang cerdas ini terlihat dari hampir setengah dari semua jumlah responden yang memiliki kecerdasan emosional yang kurang baik.

  Nur & Ekasari (2008) melakukan penelitian hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional dan didapatka hasil T hitung sebesar 4.696 dengan T tabel (0.05;68) = 1.671. jadi dapat disimpulkan bahwa T hitung > T tabel (1.671), maha Ho ditolak dan Ha diterima artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional. Selanjutnya dari hasil penghitungan koefisioensi determinan diperoleh angka sebesar 27.5%, artinya variabel konsep diri (X) memberikan sumbangan sebesar 27.5% untuk variabel kecerdasan emosional (Y).

  Penelitian ini mendukung pendapat Mutadi yang mengatakan bahwa remaja dikatakan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi bila terlihat dalam hal-halseperti bagaimana remaja mampu memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

C. Adaptasi 1.

  Pengertian Adaptasi Menurut Roy, (1960 dalam Rasmun, 2009) mengatakan menyesuaikan diri dengan kebutuhan atau tuntutan baru; yaitu suatu usaha untuk mencari keseimbangan kembali kedalam keadaan norma. Penyesuaian terhadap kondisi lingkungan; modifikasi dari organisme atau penyesuaian organ secara sempurna untuk dapat eksis pada kondisi lingkungan tersebut.

  Hawari (2001) mendefinisikan adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Organisme yang mam beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk : memperoleh air, udara dan nutrisi (makanan), mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur cahaya dan panas, mempertahankan hidup darimusuh alaminya, berproduksi, merespon perubahan yang terjadi disekitarnya.

2. Model Konsep Adaptasi

  Model konsep adaptasi pertama kali dikembalikan oleh Roy (1960) konsepnya dikembalikan dari konsep individu dan proses adaptasi seperti diuraikan dibawah ini, asumsi dasar model adaptasi “Roy” adalah : 1.

  Manusia adalah keseluruhan dari bio-psikologi dan sosial yang terus menerus berinteraksi dengan lingkungan.

  2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-perubahan bio-psikologi.

  3. Terdapat 3 macam rangsangan yang menyebabkan terjadinya perubahan.

  a.

  Focal, yaitu rangsangan yang berhubungan langsung dengan perubahan lingkungan misalnya polusi udara dapat menyebabkan infeksi paru, kehilangan suhu pada bayi yang baru lahir.

  b.

  Kontekstual, yaitu berasal dari sumber lain, baik internal maupun eksternal yang mempunyai pengaruh negatif yang dapat rangsang focal, misalnya: kemiskinan menimbulkan ibu-ibu hamil atau balita menjadi anemia dan isolasi sosial, yang merupakan rangkaian dari mata rantai. c.

  Residual stimuli, yaitu kepercayaan, sikap dan pembawaan dari individu yang dibawa dari perkembangan sikap masa lalu yang tidak mau berterus terang, misalnya untuk sesaat seseorang dapat menerima rasa sakit punggung tanpa komplain, tetapi kemudian ia membutuhkan bantuan, karena tidak tahan merasakan sakit.

  d.

  Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif.

  e.

  Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.

  Setiap orang mempunyai kemampuan yang digunakan untuk menjaga integritas baik fisik maupun psikologis, Sistem adaptasi memiliki 4 model adaptasi yang berdampak terhadap respon adaptasi diantaranya, sebagai berikut :

1. Fisik (Physiological)

  Adaptasi yang digunakan untuk tetap bersatunya fungsi sistem tubuh, yaitu reaksi fisik terhadap adanya stressor yang masuk kedalam tubuh, berupa adanya, penolakan tubuh terhadap stressor, baik secara alami

  (reaksi imunitas), maupun yang dipelajari yaitu tindakan menghindar atau berlindung menangkis untuk menolak untuk mengurangi stressor.

  2. Konsep Diri (Self consept) Yaitu yang menyangkut persepsi diri, yang mengakibatkan aktivitas mental dan pengungkapan perasaan diri. Konsep diri itu ada lima yaitu: a.

  Identitas diri yaitu yang berhubungan dengan ciri-ciri diri yang dipersepsikan.

  b.

  Ideal diri yaitu hal yang terkait dengan persepsi diri terhadap cita- cita, keinginan, harapan hidup yang dipersepsikan.

  c.

  Peran diri yaitu persepsi terhadap peran dirinya di lingkungan sosial masyarakat misalnya: peran sebagai kepala keluarga, jabatan sosial di masyarakat.

  d.

  Gambaran diri yatu hal yang terkait dengan persepsi dirinya terhadap keseluruhan bentuk fisik yang dipersepsikan.

  e.

  Harga diri yaitu persepsi terhadap keberadaan nilai dirinya didalam lingkungan sosial.

  3. Fungsi Peran (Role function) Yaitu keseluruhan dari fungsi psikososial yang diperankan diberbagai peran dimasyarakat, keberadaannya sebagai kepala keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat negara dan lain-lain. Dari peran yang dimiliki bagaimana individu dapat menjaga integritas diri melalui proses adaptasi.

4. Kemandirian (Interdependence)

  Yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian didalam mencapai sesuatu.

3. Mekanisme Adaptasi

  Individu mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kesehatan, dan menggunakan energinya untuk beradaptasi secara positif. Terdapat 3 sub sistem yang berperan didalam konsep adaptasi yaitu antara lain: a.

  Mekanisme Koping Pada sistem ini terdapat dua mekanisme yaitu pertama mekanisme koping bawaan yang prosesnya secara tidak disadari manusia tersebut, yang ditentukan secara genetik atau secara umum dipandang sebagai prosesyang otomatis pada tubuh. Kedua yaitu mekanisme koping yang didapat dimana coping tersebut diperoleh melalui pengembangan atau pengalaman yang dipelajarinya.

  b.

  Sub Sistem regulator Sub sistem dari manusia yang menangani terhadap adanya rangsangan dari luar yaitu melalui sistem saraf dan hormonal, contoh misalnya bagaimana seseorang yang mengalami stimulus respon emosional, kemudian tubuh menyesuaikan diri dengan mengealuarkan hormon adrenalin yang berefek pada mempercepat denyut nadi, berubah irama denyut nadi, pernafasan yang meningkat.

  c.

  Sub sistem kognator Sob system yang menangani stimulus dengan melalui pengelolaan persepsi, proses informasi, pembelajaran, pertimbangan dan emosi ; artinya adaptasi dengan cara mengaktifan fungsi-fungsi kognitif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Skema di bawah ini menjelaskan fungsi adaptasi. Input Contol proses Effectors Out-put

  Coping Physiological Stmuli mechanisme function Self

  Adaptasi Adaptasi consept Rote

  Level and Regulator

  Ineffective function interdependens Cognator ieffective Responses

  Skema 2.2. Mekanisme adaptasi Roy (1984 dalam Rasmun, 2009) Hasil akhir dari upaya koping adalah suatu kondisi adaptasi, yaitu perilaku baru dari modifikasi selama proses adaptasi. Sedangkan kegagalan dari upaya adaptasi adalah prilaku mal adaptif, adaptasi merupakan upaya untuk mencapai keseimbangan terhadap tuntutan atau oleh adanya setres.

  Melakukan adaptasi artinya melakukan modifikasi situasi untuk mendapatkan suasana baru, berubah atau merbada dari yang sebelumnya. Adaptasi adalah suatu proses berubah yang dilakukan individu satu atau lebih dimensi sebagai responnya terhadap setres atau adanya tuntutan dalam kehidupan.

4. Dimensi adaptasi

  Dimensi dari manusia yang terlibat dalam proses adaptasi adalah meliputi system secara keseluruhan dari manusia, yaitu melibatkan dimensi fisik atau biologik psikologis dan sosial budaya 1.

  Dimensi fisik atau biologik Adaptasi dapat berupa : penyusuaian atas tuntutan terhadap perubahan fisik biologik misalnya bertambah besarnya otot-otot setelah melakukan latihan yang terus menerus-menerus, bertambahnya kapasitas jantung, paru setelah latihan dalam waktu yang lama.

2. Dimensi psikologis

  Adaptasi yang terjadi adalah berupa telah berubahnya sikap perilaku individu oleh karena adanya upaya terus menerus dilakukan misalnya: berhenti merokok merubahan pada gaya hidup atau pola hidup karena menjadi kaya atau menjadi miskin, sedangkan perubahan kearah maladaptif misalnya: menjadi akohollisme, adiksi obat-obatan terlarang dll.

3. Dimensi sosial budaya

  Terjadinya perubahan perilaku yang berkaitan dengan norma dan keyakinan terhadap budaya baru misalnya, berbahasa asing karena tinggal di Negara baru.

5. Karakteristik Respon Adaptif

  Adalah acara atau bentuk reaksi yang di timbulkan dari adanaya stimulus terhadap individu secara holistic (menyeluruh):

  1. Semua respon adaktif mengarah dan berusaha mempertahankan kearah keseimbangan.

  2. Adaptasi adalah totalitas resposdari tubuh atau manusia secara keseluruhan ( holistik) 3. Respon adaptif terbatas: physiologis lebih terbatas dari pada psikososial, psikososial perubahannya lebih luas.

  4. Adaptasi memerluka waktu, artinya perubahan itu tidak instan atau tidak mudah, karena memerlukan ketekunan dan kesungguhan untuk melakukannya.

  5. Memampuaan adaptasi antar individu berbeda-beda, individu yang sehat lebih banyak mempunyai sumber untuk adaptasi,individu yang fleksibel selalu siap meruh respond an memekai strategi koping yang bervariasi dan lebih luas.

  6. Respon adaktif mungkin tidak adekuat atau axsesif misalnya, respon inflamasi terhadap infeksi, mungkin tubuh dapat mengatasi sendri tanpa pemberian antibiotik.

D. Teman Sebaya 1.

  Pengertian Teman Sebaya Teman sebaya memainkan peranan penting dalam perkembangan psikologis dan sosial remaja. Menurut Santrock (2002) teman sebaya adalah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama. Mappiare (1982 dalam Puhar, 2007) mengatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana seorang remaja belajar untuk hidup bersama orang lain yang bukan anggota keluarganya. Selanjutnya dikatakan bahwa lingkungan teman sebaya merupakan suatu kelompok yang baru, yang memiliki ciri, norma, kebiasaan yang sama, yang jauh berbeda dengan ciri norma, kebiasaan yang ada dalam lingkungan keluarga remaja.

  Pada dasarnya, setiap individu dalam bertingkah laku dimotivasi oleh kebutuhanuntuk diterima oleh kelompok atau orang-orang sekitarnya Mappiare (1982 dalam Puhar 2007). Di dalam kelompok teman sebaya timbul persahabatan yang merupakan ciri khas pertama di dalam pergaulan, dimana penerimaan atau penolakan teman serta akibat-akibatyang ditimbulkan merupakan hal yang penting, sebab hal ini akan menciptakan perilaku yang akan dibawanya dalam masa dewasa. Tidak adanya penerimaan teman sebaya akan menimbulkan gangguan perkembangan psikis dan sosial dari remaja yang bersangkutan.

  Remaja merasa nyaman bersama teman sebayanya, karena melalui teman-temannya remaja akan mendapatkan dukungan sehingga mereka merasa dihargai dan dapat mengembangkan konsep diri yang positif melalui dukungan tersebut (safaria, 2005). Mussen (1989 dalam Puhar, 2007) mengatakan bahwa pada umumnya remaja yang diterima oleh teman sebayanya diamati sebagai orang yang disukai orang lain, toleran, fleksibel, simpati, berperilaku apa adanya, tidak sombong, mempunyai inisiatif, kegembiraan dan dorongan untuk merencanakan kegiatan kelompok. Selain itu remaja yang diterima oleh kelompok sebayanya adalah remaja yang suka menolong, perhatian, baik hati, mudah memahami perasaan orang lain (Safaria, 2005).

  Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulakan bahwa penerimaan teman sebayaaadalah sikap yang ditandai oleh sekelompok teman yang memiliki ciri, norma, kebiasaan, usia, dan kematangan yang kurang lebih sama kepada seorang remaja.

  2. Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Teman Sebaya Menurut Mappiare (1982 dalam Puhar, 2007), faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan teman sebaya adalah : a.

  Penampilan dan perbuatan, meliputi tampang yang baik, aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok.

  b.

  Sikap, sifat dan perasaan, meliputi bersikap sopan, memperhatikan orang lain, penyabar atau dapat menahan marah jika berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan dirinya.

  c.

  Pribadi, meliputi jujur, dapat dipercaya, menaati peraturan-peraturan kelompok, mampu menyesuaikan diri secara tepat dalam berbagai situasi dan pergaulan sosial.

  d.

  Kemampuan pikir, meliputi mempunyaiinisiatif, banyak memikirkan kepentingan kelompok dan mengemukakan buah pikirannya.

  3. Aspek Penerimaan Teman Sebaya Aspek-aspek penerimaan teman sebayayang dikemukakan oleh Parker (1993 dalam Puhar, 2007) yaitu : a.

  Pengakuan dan kepedulian, adalah suati tingkat dimana suatu hubungan dikarakteristikkan sebagai bentuk kepedulian, dukungan, dan memberi perhatian b. Companionship, suatu hubungan dimana teman-teman menghabiskan waktu bersama mereka dengan nyaman di dalam maupun di luar kampus. c.

  Help and guidance, meliputi usaha seseorang untuk membantu satu samalain dengan segala rutinitas atau tuga.

  d.

   Intimate exchange, meliputi dimana suatuhubungan yang karakteristik olehketerbukaan akan informasi dan perasaan pribadi.

  Dari hasil penelitian Setyarini (2012) di Asrama STIKes Santo Barromeus di Kota Baru Parahyangan didapatkan bahwa responden dengan proses adaptasi pada kategori baik 8 orang (11,6%) dan tidak baik 61 orang (88,4%).

  Kusdiyati, dkk (2011) meneliti tentang penyesuaian diri pada siswa kelas

  XI dan didapat hasil bahwa sebanyak 86 siswa (47,5%) dapat menyesuaikan diri dengan baik, dan 95 siswa (52,5%) tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik. Peneliti mengambil penelitian ini karena peneliti ingin mengetahui seberapa banyak siswa yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik di kelas XI SMA Pasundan 2 Bandung.

  Dari hasil survey di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto didapatkan hasil dengan responden 10 orang 3 orang mengatakan dapat beradaptasi dengan cepat dan 7 orang lainnya mengatakan membutuhkan proses untuk dapat beradaptasi dengan lingkungn dan teman baru.

E. Kerangka Teori Penelitian

  Sistem adaptasi memiliki 4 model adaptasi yang berdampak terhadap respon adaptasi yaitu fisik (physiological), konsep diri (self consept), fungsi peran (role function) dan kemandirian (interdependence). Individu mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kesehatan, dan menggunakan energinya untuk beradaptasi secara positif. Terdapat 3 sub sistem yang berperan didalam konsep adaptasi yaitu antara lain adaptasi Mekanisme koping, Sub sistem regulator terdapat sistem dan hormonal, subsistem kognator terdapat pengelolaan persepsi, proses informasi, pembelajaran, pertimbangan dan emosi. Disini tidak semuanya diteliti, dalam penelitian ini variabel bebasnya yaitu konsep diri (self consept), dan kecerdasan emosional (emosi). Sistem adaptasi memiliki 4 model adaptasi yang berdampak terhadap respon adaptasi: 4. konsep diri (self consept) 3 sub sistem yang berperan didalam konsep adaptasi: 1.

  Mekanisme koping 2. Sub sistem regulator: a.

  Sistem saraf b.

  Hormonal 3. Sub sistem kognator: a.

  Pengelolaan persepsi b.

  Proses informasi

  d. Pembelajaran

  e. Pertimbangan Keterangan : 3 = Variabel yang diteliti

  4 = Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.3 kerangka teori hubungan konsep diri, dan kecerdasan emosional dengan adaptasi teman sebaya pada mahasiswa semester III di Fakultas Ilmu

  Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto Roy (1984 dalam Rasmun, 2009)

  Adaptasi 1. fisik (physiological) 2. fungsi peran (role function) 3. kemandirian c.

  Emosi

F. Kerangka Konsep Penelitian

  Variabel Bebas Variabel Terikat konsep diri (self consept)

  Adaptasi Kecerdasan emosional

Gambar 2.4 Kerangka konsep hubungan konsep diri, dan kecerdasan emosional dengan adaptasi teman sebaya pada mahasiswa semester III di

  Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto G.

   Hipotesis

  Berdasarkan tujuan penelitian tentang hubungan konsep diri, dan kecerdasan emosi dengan adaptasi, maka hipotesis penelitiannya adalah: Ada hubungan antara konsep diri, dan kecerdasan emosional dengan adaptasi teman sebaya pada mahasiswa semester III di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.