BAB II LANDASAN TEORI 1. Pengertian Pragmatik - DWI KURNIASARI BAB II

BAB II LANDASAN TEORI

1. Pengertian Pragmatik

  Leech (dalam Rahardi, 2005: 48) menyatakan bahwa pragmatik dapat berintegrasi dengan tata bahasa atau gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Levinson (dalam Rahardi, 2005: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya.

  Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Sementara itu, Mey (dalam Rahardi, 2005: 49) mendefinisikan pragmatik: pragmatic is the study of the condition of human language

  uses as these are determined by the context of society (pragmatik adalah ilmu bahasa

  yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu sendiri). Konteks yang dimaksud mencakup dua hal, yakni yang bersifat sosial (konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat) dan yang bersifat sosietal (konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di masyarakat).

  Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pragmatik dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang telah dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan mengenai makna bahasa dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa. Pragmatik juga sebagai ilmu yang memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Pragmatik terpola dan berkaitan dengan ilmu lain sehingga menghasilkan beberapa kajian. Seluruh bidang kajian ini tentu berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.

  8

2. Peristiwa Tutur

  Dalam setiap proses komunikasi terjadilah peristiwa tutur. Suwito (dalam Rohmadi, 2004: 27) menjelaskan bahwa peristiwa tutur (speech act) adalah serangkaian tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Yule (2006: 99) menyatakan bahwa peristiwa tutur ialah suatu kegiatan di mana para peserta berinteraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk mencapai suatu hasil. Sementara itu, Chaer (2004: 47) menjelaskan bahwa peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.

  Bertolak dari ketiga pendapat tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa peristiwa tutur merupakan suatu rangkaian tindak tutur dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, situasi tertentu dengan menggunakan bahasa yang konvensional (disepakati oleh penuturnya) untuk mencapai hasil. Terjadinya peristiwa tutur dalam suatu komunikasi selalu diikuti oleh berbagai unsur yang tidak terlepas dari konteksnya. Menurut Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48) ada beberapa syarat terjadinya peristiwa tutur yang terkenal dengan akronimnya SPEAKING. Syarat-syarat terjadinya peristiwa tutur adalah:

a. Setting and Scene

  

Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene

  mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Misalnya saja jika berbicara di lapangan sepakbola dan berbicara di perpustakaan. Di lapangan sepak bola seorang penutur bisa bicara keras-keras tetapi di perpustakaan harus berbicara seperlahan mungkin. Hal ini dikarenakan tempat dan situasinya yang berbeda. Di lapangan sepak bola situasinya lebih ramai sedangkan di perpustakaan lebih cenderung sunyi.

  b. Participants

Participants merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa

pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).

  Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar. Tetapi dalam khotbah di masjid, khotib tetap sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Dalam hal ini status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya saja gaya bahasa yang digunakan seorang anak saat berbicara dengan orang tua atau guru dan gaya bahasa yang digunakan saat berbicara dengan teman-teman sebaya tentu akan berbeda.

  c. Ends

Ends merupakan maksud dan tujuan pembicaraan, misalnya peristiwa tutur yang

  terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Di sini partisipan mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan si terdakwa tidak bersalah. Sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kuliah pragmatik, ada seorang ibu dosen cantik sedang menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami oleh mahasiswanya. Namun, ada kemungkinan di antara mahasiswa itu ada yang datang hanya untuk memandang wajah bu dosen yang cantik itu dan sama sekali tidak paham apa yang disampaikan oleh dosen tersebut.

  d. Act Sequence

Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran yang digunakan oleh

  penutur. Bentuk ujaran ini berkaitan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Misalnya bentuk ujaran dalam kuliah umum dan dalam percakapan biasa adalah berbeda. Dalam kuliah umum, ujaran yang disampaikan bertujuan untuk menyampaikan suatu materi yang berkaitan dengan pengetahuan agar mahasiswa wawasannya bertambah dan paham tentang sesuatu. Namun, dalam percakapan biasa ujaran yang disampaikan lebih cenderung berkaitan dengan pengalaman atau kehidupan pribadi. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan. Dalam kuliah umum ujaran yang disampaikan lebih serius dibandingkan dengan ujaran dalam percakapan biasa yang lebih cenderung basa-basi dan tidak jelas topiknya (sering bergonta-ganti topik).

  e. Key

Key mengacu pada cara dan semangat penutur dalam menyampaikan pesan,

  apakah dengan senang hati, serius, sombong, mengejek, atau dengan cara lain seperti gerak tubuh dan isyarat. Dalam menyampaikan ujaran, seorang penutur harus memperhatikan bagaimana cara menyampaikan pesannya agar mitra tuturnya paham dan komunikasi berjalan lancar. Misalnya jika hati penutur sedang bahagia, maka ekspresi yang ditunjukkan adalah ekspresi bahagia. Ekspresi bahagia bisa ditunjukkan dengan cara senyum atau tertawa. Hal ini berbeda dengan ekspresi penutur saat sedang menyombongkan diri dan mengejek orang lain. Ekspresi saat sedang menyombongkan diri biasanya ditunjukkan dengan wajah yang sinis atau merendahkan orang lain. Selain itu untuk menggambarkan ekspresi juga bisa ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

  f. Instrumentalities

Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,

  tertulis, melalui telegraf, atau telepon. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek ragam, atau register. Misalnya saja jalur tulis biasanya digunakan oleh seorang pengarang dalam menyampaikan pesan kepada pembaca. Hal ini berbeda dengan jalur bahasa yang digunakan oleh seseorang yang berkomunikasi tetapi letaknya berjauhan. Agar komunikasi berjalan lancar, seseorang yang letaknya berjauhan harus menggunakan jalur telepon. Hal ini juga berbeda dengan seorang yang berkomunikasi tetapi letaknya berdekatan cukup menggunakan jalur lisan komunikasi pun bisa berjalan lancar tanpa adanya hambatan. Hal ini berkaitan dengan instrumentalities.

  g. Norms of Interaction and Interpretation

Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam

  berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Saat berbicara dalam situasi resmi misalnya seminar sesorang penutur yang akan bertanya harus memperhatikan sopan santun dan tata cara bertanya yang baik. Tentu saja hal ini berbeda dengan situasi saat bertanya dengan teman dekat. Di sini penutur tidak harus memperhatikan tata cara dalam bertanya. Apabila dalam situasi formal seorang penutur tidak memperhatikan cara bertanya yang baik, maka dapat dikatakan bahwa penutur tersebut tidak memiliki sopan santun yang baik karena tidak memahami aturan dalam situasi tertentu.

  h. Genre

  mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah,

  Genre

  doa, dan sebagainya. Saat seseorang ingin menyampaikan cerita pada orang lain, jenis penyampaian yang tepat adalah narasi. Sedangkan saat seseorang ingin menyampaikan sesuatu pada Tuhan, jenis penyampaian yang tepat adalah doa. Jika orang menyampaikan sesuatu pada Tuhannya dengan menggunakan puisi, tentu saja hal ini kurang tepat karena segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan sifatnya adalah sakral dan tidak boleh sembarangan. Oleh karena itu, genre atau bentuk penyampaian harus diperhatikan oleh penuturnya. Hal ini bertujuan agar peristiwa tutur bisa berjalan lancar.

  Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 1995: 3). Pragmatik itu sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Rohmadi, 2004: 2). Dalam sosiolinguistik, dipelajari bagaimana masyarakat menggunakan bahasa, sedangkan dalam pragmatik dipelajari tentang makna penutur yang terikat konteks. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa sosiolinguistik dan pragmatik merupakan dua bidang ilmu yang memiliki keterkaitan. Selain kajian sosiolinguistik yang berupa SPEAKING, setiap orang harus memperhatikan kajian pragmatik yang berupa prinsip percakapan agar komunikasi berjalan lancar.

3. Prinsip Percakapan

a. Prinsip Kerja Sama

  Grice (dalam Rahardi, 2005: 52) menjelaskan bahwa agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur berjalan dengan baik dan lancar, mereka harus dapat saling bekerja sama. Dalam kerja sama tersebut setiap peserta tutur harus mempertimbangkan beberapa prinsip, di antaranya yaitu prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama merupakan prinsip bahwa setiap peserta tutur harus dapat bekerja sama agar tujuan komunikasi dapat tercapai. Prinsip kerja sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi,

  dan maksim pelaksanaan. Penjelasan mengenai prinsip kerja sama tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut.

1. Maksim Kuantitas

  Maksim kuantitas yaitu aturan pertuturan yang mengharapkan seorang peserta tutur dapat memberikan informasi yang cukup, relatif, memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi tersebut tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tutur. Tuturan yang kurang baik, mengandung informasi yang tidak sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Demikian pula apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Tuturan (1) dan (2) berikut menjelaskan pernyataan ini.

  (1) A : “Apakah Anda sudah sarapan?” B : “Ya, sudah.”

  Tuturan (1) terdapat kerja sama yang baik. Pada dialog tersebut, B benar-benar memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai dan mencukupi. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan B sudah dapat dipahami oleh mitra tuturnya. Saat A menanyakan apakah B sudah makan apa belum B memberikan jawaban yang cukup, relatif dan tidak berlebihan. Hal tersebut dapat dilihat dari jawaban B yaitu ya, sudah.

  (2) A : “ Apakah Anda sudah sarapan?” B : “ Belum. Istri dan anak-anak saya kemarin berlibur di rumah neneknya di

  Semarang. Tadi saya bangun kesiangan.” Tuturan (2) melanggar maksim kuantitas karena kontribusi B di atas sifatnya berlebih-lebihan. Kontribusi B yang berupa informasi istri dan anak-anaknya berlibur ke Semarang, bangun kesiangan, belum sempat memasak belum diperlukan oleh A. Pada tuturan (2) tersebut, terlihat jelas bahwa A hanya menanyakan apakah B sudah sarapan atau belum. Namun, B malah menjawab pertanyaan A dengan berbelit-belit dan berlebihan. Cukup dengan menjawab sudah atau belum, B sudah memberikan informasi yang memadai. Oleh karena itu, B tidak perlu untuk berbelit-belit dan berlebihan dalam memberikan jawaban pada A.

2. Maksim Kualitas

  Maksim kualitas yaitu aturan pertuturan yang mengharapkan seorang peserta tutur dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Misalnya saja jika memberikan informasi tentang suatu daerah pada seseorang, sebagai penutur yang baik, harus memberikan informasi sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Apabila penutur memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta, maka dapat dikatakan penutur tersebut telah melanggar maksim kualitas. Tuturan (3) dan (4) ini akan memperjelas pernyataan ini.

  (3) A : “Kamu mau mudik kemana?” B : “Saya mau mudik ke Banjarnegara.”

  Pada tuturan (3), B sudah dianggap menyatakan atau memberikan kontribusi yang sebenarnya. Jadi, jawaban B sudah benar. Mengapa dikatakan demikian? Saat A menanyakan B mau mudik kemana, B menjawab sesuai dengan fakta yang sebenarnya. B menjawab akan mudik ke Banjarnegara. Banjarnegara merupakan salah satu daerah yang letaknya tidak jauh dari daerah Banyumas, Purbalingga, dan Wonosobo. Oleh karena itulah dapat dikatakan bahwa B memberikan jawaban yang sesuai fakta karena Banjarnegara memang benar-benar ada.

  (4) A : “Kamu mau mudik kemana?” B : “Saya mau mudik ke Mbanjarnegara.”

  Pada tuturan (4), jawaban B dianggap melanggar maksim kualitas. Tuturan tersebut bertujuan untuk mendapatkan efek lucu (comic effect). Kelucuan itu terdapat pada kata Mbanjarnegara. Daerah sebenarnya (sesuai dengan fakta) adalah Banjarnegara bukan Mbanjarnegara. Karena itulah tuturan yang disampaikan B dapat dikatakan melanggar maksim kualitas karena memberikan kontribusi yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

3. Maksim Relevansi

  Maksim relevansi yaitu suatu pertuturan yang mengharapkan agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur. Agar terjadi kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar maksim relevansi. Untuk lebih jelasnya perhatikan tuturan (5) dan(6).

  (5) A : “Di mana kotak permenku?” B : “Di kamarmu.”

  Pada tuturan (5), informasi yang diberikan oleh B ada relevansinya dengan petanyaan A. jawaban B “Di kamarmu” ada relevansinya dengan pertanyaan A” Di mana kotak permenku?”. Mengapa tuturan B dapat dikatakan memliki relevansi dengan pertanyaan A? Tuturan B tersebut ada kaitannya dengan pertanyaan A yang menyatakan di mana kotak permennya. Saat A dan B sedang ngobrol di kamar, si A makan permen dan lupa menaruh kotak permennya sehingga ia menanyakan pada si B dimana kotak permennya berada.

  (6) A : “Di mana kotak permenku?” B : “Saya harus pergi kuliah.”

  Tuturan (6), terdapat pelanggaran maksim relevansi. Jawaban B tidak dapat dianggap suatu jawaban yang menunjukkan kerja sama karena tidak membantu usaha A untuk mendapatkan kotak permennya. Tetapi, pernyataan B itu tetap bisa dikatakan relevan dengan pertanyaan A bila jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu keterangan mengapa B tidak dapat menjawab pertanyaan A. Dalam fungsi yang demkian, kontribusi jawaban B pada tujuan-tujuan percakapan negatif, yaitu jawaban seperti itu memungkinkan B untuk mengakhiri percakapan karena ia harus pergi kuliah.

4. Maksim Pelaksanaan

  Maksim pelaksanaan yaitu aturan pertuturan yang mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Tidak kabur di sini maksudnya adalah tidak memberikan jawaban yang membuat mitra tuturnya bingung sehingga menafsirkan sesuatu yang berbeda (lain) dengan apa yang dimaksud oleh penuturnya.

  Apabila seorang penutur menyampaikan tuturan yang kurang jelas dan kabur, maka dapat dikatakan bahwa penutur tersebut tidak mematuhi prinsip kerjasama berupa maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan (7) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.

  (7) A : “Apakah Ayah jadi pulang besok pagi dari Surabaya?” B : “Iya, sudah Ayah siapkan semua di tas.”

  Dari tuturan (7) tampak bahwa tuturan yang dituturkan A yang berbunyi “apakah Ayah jadi pulang besok pagi dari Surabaya.” Relatif kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan itu, bukan hanya ingin menanyakan kepada B kapan akan kembali, tetapi lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah B sudah mempersiapkan oleh-oleh yang diminta sebelumnya. Agar tuturan A terkesan tidak kabur, seharusnya A bertanya pada B dengan kalimat apakah ayah sudah membeli oleh-oleh pesananku?. Kalimat apakah ayah sudah membeli oleh-oleh pesananku? lebih jelas dan tidak kabur maksudnya jika dibandingkan dengan kalimat apakah ayah jadi pulang besok pagi dari Surabaya.

b. Prinsip Kesopanan

  Leech (dalam Rahardi, 2005: 59) merumuskan untuk masalah-masalah interpersonal, prinsip kerja sama tidak lagi banyak digunakan, alih-alih digunakan prinsip kesopanan atau kesantunan (politeness principle). Prinsip kesopanan merupakan prinsip bahwa setiap peserta tutur harus memperhatikan sopan santun (tutur kata yang baik) dalam komunikasi. Prinsip kesopanan sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif. Rumusan tersebut terbagi menjadi enam maksim, yakni, maksim kebijaksanaan, (tact maxim), maksim kemurahan hati (generosity maxim), maksim penghargaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim).

1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

  Maksim kebijaksanaan adalah aturan pertuturan yang menghendaki peserta tutur berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang yang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap iri hati, dengki, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Berikut contoh tuturan (8) dan tuturan (9) untuk memperjelas pernyataan di atas.

  (8) A : “Kak, bolehkah aku pinjam motormu untuk keluar sebentar beli bakso?” B : “Boleh saja, yang penting permenit Rp. 5000 dan jangan lupa pula belikan bakso untuk aku.

  Tuturan (8B) melanggar maksim kebijaksanaan. Syarat yang diajukan oleh B tidak wajar karena secara terus terang berusaha memaksimalkan kerugian lawan bicaranya. Saat A menanyakan ia boleh meminjam motor pada B, B justru berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan kerugian pada pihak lain yaitu A. hal tersebut dapat dilihat dari tuturan yang disampaikan B yaitu “Boleh saja, yang penting permenit Rp. 5000 dan jangan lupa pula belikan bakso untuk aku. Untuk memperjelas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh tuturan (9) berikut ini.

  (9) A : “Silakan kamu makan saja nasi goreng itu! Aku masih belum lapar, kok.” B : “Nasi goreng beli di Pak Iwan ya? Sangat sedap kelihatannya.”

  Tuturan (9) di atas, pemaksimalan keuntungan bagi pihak mitra tutur tampak sekali pada tuturan A yakni: Silakan kamu makan saja nasi goreng itu!” aku masih belum lapar, kok. Tuturan itu disampaikan A kepada temannya yaitu si B. Sekalipun sebenarnya si A merasa lapar, tuturan itu dimaksudkan agar si B merasa bebas dan senang hati menikmati makanan tersebut, tanpa ada perasaan tidak enak sedikitpun. A sudah berusaha unruk memaksimalkan keuntungan terhadap orang lain dengan cara memaksimalkan kerugian pada dirinya sendiri. Karena itulah dapat dikatakan bahwa si A memiliki sopan santun terhadap mitra tuturnya yaitu B.

2. Maksim Kemurahan Hati (Generosity Maxim)

  Maksim kemurahan hati atau maksim kedermawanan adalah aturan pertuturan dimana peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Untuk memperjelas pernyataan di atas perhatikan contoh tuturan (10) dan (11) berikut ini.

  (10) A : “Bu, jadi kan memberi aku hadiah?” B : “Tentu, kamu mau hadiah apa?baju, sepatu, atau tas?” A : “Ketiganya mau Bu” B :”Jangan semuanya, salah satu saja.”

  Tuturan (10) tersebut melanggar maksim kemurahan hati. Kontribusi tuturan A memaksimalkan keuntungan dirinya dan mamksimalkan kerugian bagi pihak lain. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan A yaitu “Bu, jadi kan memberi aku hadiah?” dan “Ketiganya mau Bu”. Dari tuturan tersebut terlihat jelas bahwa A ingin memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan meminta beberapa hadiah pada ibunya padahal ibunya menyruhnya untuk memilih salah satu. Contoh tuturan (11) akan memperjelas pernyataan ini.

  (11) A : “Mari saya antarkan Anda pulang, kebetulan kita satu arah.” B : “Tidak usah, terima kasih. Nanti saya bisa naik bus.”

  Dari tuturan A dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara membebankan dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan memberi tumpangan pulang pada B. Tuturan yang disampaikan A pada data tersebut mengandung kemurahan hati karena mau membenbankan dirinya untuk mengantarkan orang lain. Kemurahan hati tersebut dapat dilihat dari tuturan yang disampaikan oleh A yaitu “Mari saya antarkan Anda pulang, kebetulan kita satu arah.”

3. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

  Maksim penghargaan yaitu pertuturan yang mengharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling membenci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek merupakan tindakan yang tidak menghormati orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya. Tuturan (12) dan (13) pada contoh berikut akan memperjelas pernyataan di atas.

  (12) A : “Pak, aku sudah take vocal untuk single perdanaku.” B : “Oya, terdengar jelas sekali dari sini ketika kamu menyanyi.”

  Tuturan A ditanggapi sangat baik oleh B. tuturan B tersebut juga disertai oleh pujian atau penghargaan untuk A. Hal tersebut bisa dibuktikan dari tuturan B yaitu

  Oya, terdengar jelas sekali dari sini ketika kamu menyanyi. Dari tuturan tersebut

  dapat dikatakan bahwa di dalam tuturan itu B berperilaku santun terhadap A. B berusaha untuk tidak mengejek A dengan cara menanggapi tuturan A dan tidak mengejek A. Hal itu berbeda dengan cuplikan percakapan pada tuturan (13) pada contoh berikut.

  (13) A : “Rumah baruku yang kubeli seminggu yang lalu tinggal ditempati saja.” B : “Oya, terus kapan kamu akan menempati gubukmu itu?”

  Jawaban yang diberikan oleh B pada percakapan tersebut berperilaku tidak sopan terhadap mitra tuturnya sehingga melanggar maksim penghargaan. Dari contoh tersebut terlihat jelas bahwa B memaksimalkan penghargaan terhadap dirinya sendiri. Hal itu dapat dibuktikan dari tuturan B yaitu Oya, terus kapan kamu akan

  menempati gubukmu itu? . Dari tuturan tersebut B sangat merendahkan mitra tuturnya

  A. Secara terang-terangan B mengejek A yang baru membeli rumah baru dengan kata-kata gubug.

4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

  Maksim kerendahan hati atau maksim kesederhanaan yaitu pertuturan yang mengharapkan peserta tutur dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.

  Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Untuk memperjelas pernyataan di atas perhatikan contoh tuturan (14) dan (15) berikut.

  (14) A : “Di acara peringatan Hari Kartini nanti, kamu saja yang memberikan sambutan.” B : “Waduh, nanti grogi aku.”

  (15) A : “Rapat OSIS besok jangan lupa diawali doa, dan kamu yang memimpin.

  B : “Baik Bu, tapi saya kurang percaya diri lho.” Jawaban B pada tuturan 14 dan 15 mengandung maksim kerendahan hati karena kalimat jawaban tersebut memaksimalkan kerendahan hati terhadap dirinya sendiri dan sudah meminimalkan kesombongan terhadap dirinya sendiri. Pada tuturan 14 kerendahan hati ditunjukkan oleh B yaitu Waduh, nanti grogi aku. Sedangkan dalam tuturan 15, kerendahan hati ditunjukkan oleh B yaitu Baik Bu, tapi saya kurang

  percaya diri lho . Dari masing-masing jawaban yang disampaikan B tersebut, mereka

  sama-sama meminimalkan pujian terhadap dirinya sendiri. Karena itulah dapat dikatakan bahwa B bukan orang yang sombong.

  5. Maksim Kecocokan (Agreement Maxim)

  Maksim kecocokan atau maksim pemufakatan yaitu aturan pertuturan agar peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan didalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan dan kemufakatan antara penutur dan mitra tutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Di dalam kegiatan bertutur, orang tidak diperbolehkan memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Pernyataan (16) berikut untuk memperjelas pernyataan ini.

  (16) A : “Nanti sore nonton film yuk?” B : “Ayo, aku tunggu di Rajawali.”

  Dari tuturan tersebut, kontribusi jawaban terasa sopan karena sudah memaksimalkan kesetujuan terhadap orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan terhadap orang lain. Saat A mengajak B untuk nonton film, B langsung menunjukkan kesetujuannya. Kesetujuan tersebut dapat dilihat dari tuturan B yaitu ayo, aku tunggu

  di Rajawali. Dari tuturan tersebutlah terlihat bahwa B sudah membina keocokan

  dengan mitra tuturnya (A). Karena hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa B sudah mematuhi maksim kecocokan.

  6. Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

  Maksim kesimpatian yaitu aturan pertuturan yang mengharapkan agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipasti terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kesimpatisan terhadap orang lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, dan sebagainya. Untuk memperjelas pernyataan tersebut, perhatikan contoh tuturan (17) berikut.

  (17) A : “Selamat atas peresmian kantor baru Anda, kemarin! Dan saya dengar hari ini sebagian kantor baru Anda terbakar.” Tuturan (17) tersebut melanggar maksim kesimpatian. Dalam suasana duka semacam itu selayaknya A mengucapkan rasa prihatin sebagai tanda simpati. Yang dilakukan oleh A justru sebaliknya. Saat orang lain mendapat kesusahan, A malah mengucapkan selamat. Hal tersebut tidak sesuai dengan maksim kesimpatian. Contoh tuturan (18) untuk memperjelas pernyataan tersebut.

  (18) A : “Adikku kecelakaan lalu lintas tadi pagi.” B : “Innalilahi, sekarang keadaannya bagaimana dan dirawat di RS mana?aku turut perihatin.”

  Kontribusi antara penutur dan mitra tutur pada tuturan (18) sesuai dengan maksim kesimpatian. Jawaban yang disampaikan B sudah memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak. B memberikan ucapan turut perihatin atas kecelakaan adik mitra tuturnya yaitu A. rasa perihatin tersebut dapat dilihat dari tuturannya yaitu Innalilahi, sekarang keadaannya bagaimana dan dirawat di RS mana?aku turut perihatin .Dengan demikian, B sudah mematuhi maksim kesimpatian.

4. Humor

  Wijana (1995: iv) menyatakan bahwa humor merupakan salah satu wujud aktivitas manusia. Humor tidak hanya bermanfaat sebagai wahana hiburan, tetapi berguna pula sebagai sarana pendidikan dan kritik sosial bagi semesta ketimpangan yang akan, sedang, atau telah terjadi di masyarakat penciptanya. Jadi humor pada hakikatnya merupakan salah satu cara manusia untuk meningkatkan hidupnya. Wacana humor berbeda dengan wacana yang digunakan dalam komunikasi sehari- hari.

  Dalam komunikasi sehari-hari orang harus menggunakan wacana konvensional (wacana yang berdasarkan konvensi/kesepakatan umum) agar mitra tuturnya paham dengan apa yang disampaikan penutur sehingga komunikasi berjalan lancar. Selain itu, untuk mencapai komunikasi yang wajar penutur dan lawan tutur harus mematuhi prinsip kerja sama dalam pertuturan yang terjabar ke dalam empat maksim yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Di samping kepatuhannya terhadap prinsip kerja sama tersebut, berbicara secara wajar juga menuntut dipertimbangkannya prinsip kesopanan yang terdiri dari enam submaksim, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim penghargaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian (Wijana, 1995: v-vi).

  Hal yang sama diungkapkan Raskin (dalam Wijana, 1995: 58) bahwa setiap tuturan atau wacana yang wajar dihasilkan dari komunikasi yang bonafid (bonafide

  communication ). Proses kumunikasi ini ditandai dengan kepatuhan terhadap prinsip

  kerja sama komunikasi dan parameter pragmatik. Dalam proses komunikasi ini setiap peserta tindak tutur memberikan kontribusi yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda halnya dengan wacana nonhumor, wacana humor dihasilkan dari proses komunikasi yang nonbonafid (nonbonafide communication).

  Dalam wacana jenis ini peserta tindak tutur secara sengaja atau tidak sengaja melanggar prinsip kerja sama dan parameter pragmatik.

5. Pesbukers

  ANTV merupakan salah satu televisi swasta di Indonesia. Setiap hari senin sampai jumat pukul 18.00-19.30, serta sabtu dan minggu pukul 17.30-19.00 menayangkan acara humor. Acara humor yang dimaksud di sini adalah Pesbukers. Pesbukers itu sendiri, diambil dari kata facebook yang mendapat imbuhan berupa akhiran –ers yang berarti pengguna facebook. Dalam acara Pesbukers istilah-istilah yang terdapat pada facebook seperti add, status, update status terdapat dalam bentuk tulisan, disampaikan secara lisan oleh para pemain pesbukers. Tema lawakannya diambil dari kejadian sehari-hari di dalam masyarakat dengan cerita fiktif. Selain itu, dalam acara Pesbukers juga terdapat suatu kebiasaan yaitu mengucapkan pantun dan menaburi bedak pada salah satu pemain yang bernama Sapri.

  Dalam acara Pesbukers , pelanggaran prinsip percakapan sering dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan hal-hal yang lucu dan menghibur. Cara menimbulkan hal-hal lucu yang dilakukan oleh para pemain Pesbukers yaitu dengan cara melakukan plesetan-plesetan yang termasuk dalam wacana nonkonvensional (wacana yang tidak berdasarkan konvensi/kesepakatan umum). Plesetan-plesetan yang dilakukan para pemain Pesbukers termasuk dalam humor kreatif. Humor Kreatif yaitu humor berbentuk plesetan, singkatan lucu, atau tebak-tebakan (http://kubuskecil.blogspot.com/2013/01/klasifikasi-humor.html).