AJI MAULANA AGUNG WIJAYANTO BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sehat merupakan keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan jiwa adalah dasar dari kesehatan. Kesehatan jiwa bukan hanya tidak

  ada gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Data badan kesehatan dunia atau

  World Health Organization

  (WHO) pada tahun 2011 sebanyak 12 - 16% atau sekitar 26 juta dari 260 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa.

  Melihat banyaknya gangguan jiwa yang terjadi maka sangat diperlukan sekali peran serta dari semua pihak khususnya rumah sakit dalam menangani masalah gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan – keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik maupun mental.

  Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian – bagian anggota badan meskipun kadang – kadang gejalanya terlihat dengan fisik (Ardani, 2007).

  Berdasarkan rekam medik pada tahun 2010 di RSUD Banyumas terdapat pasien gangguan jiwa sebesar 1073 orang. Gangguan jiwa yang sering muncul antara lain, cemas (38%), gangguan persepsi/halusinasi (24%), koping individu (15%), gangguan isolasi sosial (7%), isolasi diri (5%), harga diri (5%), 1   keputusasaan (2%), takut (2%), nyeri akut (1%) dan kerusakan komunikasi verbal (1%). Dari 1073 pasien, sebanyak 643 pasien atau sebesar 60% dilakukan terapi kejang listrik (Electro Convulsive Therapy). RSUD Banyumas dapat melayani pasien terapi kejang listrik sekitar 54 pasien gangguan jiwa setiap bulannya. Pada empat bulan terakhir dari Januari sampai April 2012 rata

  • – rata pasien yang diterapi kejang listrik di ruang Bima sebanyak 40 pasien per bulan.

  Berdasarkan penelitian Hermawan (2009) bahwa terapi kejang listrik berpengaruh pada kemampuan memori. Menurut hasil penelitiannya bahwa kemampuan recent memory (memori jangka pendek) menurun setelah tindakan terapi kejang listrik kurang dari 24 jam. Penurunan memori jangka pendek akan mengakibatkan ruang kerja memori mengalami defisit dalam berfungsi sebagai penyimpanan informasi, pendukung proses kognitif cepat seperti pemecahan masalah dan perencanaan masalah dari individu.

  Terapi kejang listrik sebagai bentuk terapi fisik dengan menggunakan arus litrik melalui elektroda dengan tegangan diatur dari tingkat terendah yang akan menghasilkan efek tertentu. Tujuan dilakukan terapi kejang listrik agar dapat meningkatkan kualitas hidup pasien gangguan jiwa baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang. Terapi kejang listrik telah banyak dilakukan di berbagai negara. Penelitian yang dilakukan Hermann (1995) menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan terapi kejang listrik di Inggris sebesar 0,16 – 0,52 pasien per 10.000 penduduk yang diobati per tahun.

  Indikasi pemberian terapi kejang listrik di RSUD Banyumas yaitu untuk pasien yg agresif, deprei berat, manik depresi dan skizofrenia. Di RSUD Banyumas terapi kejang listrik secara konvensional ialah terapi yang secara langsung menghubungkan antara elektroda pada sisi kepala dengan mengalirkan aliran listrik sebesar 110 Volt selama 3 detik. Terapi kejang listrik ini biasanya dilakukan empat sampai enam kali pengobatan dalam waktu 2 minggu. Sehingga hal ini menjadi pokok perdebatan pada masyarakat dalam menyikapi penggunaan terapi kejang listrik karena adanya anggapan masyarakat tentang efek hilangnya memori sementara, dan berbagai cacat fisik.

  Terapi kejang listrik memiliki kontroversi karena beberapa alasan. Pertama, banyak orang termasuk banyak ahli, tidak merasa nyaman dengan ide pemberian kejutan listrik melalui kepala seseorang walaupun tingkat kejutan diatur secara ketat dan reaksi kejangnya dikontrol oleh obat. Kedua adalah potensi efek samping. Terapi kejang listrik sering menghasilkan kesembuhan secara dramatis dari depresi berat, tetapi masih dikhawatirkan kemungkinan terjadinya defisit kognitif, seperti kehilangan memori. Kehilangan memori secara permanen dapat terjadi terhadap peristiwa – peristiwa yang terjadi sebulan sebelum terapi kejang listrik dan beberapa minggu sesudahnya (Glass, 2001 dalam Nevid, 2005). Ketiga adalah pertanyaan tentang keberhasilannya yang relatif. Efektivitas relatif dari terapi kejang listrik dibandingkan dengan obat antidepresan, simulasi dari terapi kejang listrik dan terapi kognitif-

  behavioral

  masih dalam penelitian. Keempat, bukti menunjukkan adanya tingkat kambuh yang tinggi setelah penggunaan terapi kejang listrik (Sackeim dkk, 2001 dalam Nevid, 2005).

  Kontroversi tentang penggunaan terapi kejang listrik terus berlangsung, makin banyak bukti tentang efektivitasnya dalam membantu orang – orang yang mengatasi depresi berat yang tidak berespon terhadap psikoterapi atau pengobatan antidepresan (Sackeim dkk, 2001 dalam Nevid, 2005). Namun, terapi kejang listrik biasanya dianggap sebagai pilihan penanganan terakhir, setelah metode yang tidak terlalu berbahaya dicoba dan ternyata gagal (Nevid, 2005). Perbedaan pendapat tersebut menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda pada tiap orang, demikian juga dengan keluarga pasien gangguan jiwa yang diterapi kejang listrik.

  Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada keluarga, pihak keluarga merasa kasihan terhadap pasien yang diterapi. Namun, persepsi keluarga yang satu dengan keluarga yang lain juga akan berbeda. Hal ini disebabkan karena faktor latar belakang keluarga pasien yang beraneka ragam. Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi tersebut salah satunya yaitu karakteristik demografi keluarga. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membahas tentang persepsi keluarga terhadap terapi kejang listrik. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara karakteristik demografi keluarga dengan persepsi keluarga klien gangguan jiwa terhadap terapi kejang listrik di RSUD Banyumas.

  B. Rumusan Masalah

  Terapi kejang listrik sebagai bentuk terapi fisik dengan menggunakan arus litrik melalui elektroda dengan tegangan diatur dari tingkat terendah yang akan menghasilkan efek tertentu. Indikasi pemberian terapi kejang listrik di RSUD Banyumas yaitu untuk pasien yg agresif, deprei berat, manik depresi dan skizofrenia.

  Berdasarkan penelitian Hermawan (2009) bahwa terapi kejang listrik berpengaruh pada kemampuan memori. Menurut hasil penelitiannya bahwa kemampuan recent memory (memori jangka pendek) menurun setelah tindakan terapi kejang listrik kurang dari 24 jam. Penggunaan terapi kejang listrik menimbulkan persepsi yang berbeda dari berbagai pihak. Demikian juga dengan keluarga pasien gangguan jiwa yang diterapi kejang listrik. Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi tersebut salah satunya adalah karakteristik keluarga . Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui “apakah ada hubungan antara karakteristik demografi keluarga dengan persepsi keluarga klien gangguan jiwa terhadap terapi kejang listrik di RSUD Banyumas ?”

  C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik demografi keluarga dengan persepsi keluarga klien gangguan jiwa terhadap terapi kejang listrik di RSUD Banyumas.

  2. Tujuan Khusus

  a. Untuk mengetahui karakteristik demografi keluarga pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan).

  b. Untuk mengetahui persepsi keluarga terhadap terapi kejang listrik.

  c. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan persepsi.

  d. Untuk mengetahui hubungan usia dengan persepsi.

  e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan persepsi f. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan persepsi.

D. Manfaat Penelitian

  1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai terapi kejang listrik dan persepsi keluarga pasien gangguan jiwa mengenai terapi kejang listrik.

  2. Bagi Pendidikan Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi calon perawat dalam meningkatkan keterampilan dan pengetahuan tentang terapi kejang listrik bagi pasien gangguan jiwa, serta memperkaya khasanah keilmuan dalam bidang keperawatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

  3. Bagi Keluarga Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan atau referensi bagi keluarga pasien gangguan jiwa mengenai terapi kejang listrik.

  4. Bagi ilmu pengetahuan Diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi keluarga klien gangguan jiwa terhadap terapi kejang listrik.

E. Penelitian Terkait

  1. Safarina (2009) dengan judul “Dampak Electro Convulsive Therapy terhadap Kemampuan Memori Klien di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bandung”.

  Penelitian ini merupakan penelitian dengan Quasi Experiment pre dan post

  test one group design terhadap 25 responden. Hasil penelitian menunjukan

  kemampuan immediate memory menurun setelah tindakan terapi kejang listrik kurang dari 48 jam dan pulih setelah tindakan terapi kejang listrik lebih dari 48 jam. Kemampuan Recent Memory menurun setelah tindakan terapi kejang listrik kurang dari 48 jam dan belum pulih setelah tindakan terapi kejang listrik lebih dari 48 jam, kemampuan remote memory tidak berubah setelah tindakan terapi kejang listrik.

  2. Hermawan (2009) dengan judul “Dampak Terapi Kejang Listrik terhadap Memori Jangka Pendek Pasien Isolasi Sosial di Ruang Sakura RSUD Banyumas”. Penelitian ini menggunakan survey cross sectional dengan desain pre-test dan post-test terhadap 42 responden. Hasil penelitian ini menunjukan adanya pengaruh yang signifikan pemberian terapi kejang listrik terhadap memori jangka pendek pada isolasi sosial pasien post-test setelah 24 jam terapi kejang listrik mengalami penurunan dibandingkan dengan pre-test terapi kejang listrik.

  3. Farkhah (2011) melakukan penelitian dengan judul “ Persepsi Keluarga Tentang Faktor-Faktor Penyebab Pasien Melakukan Perilaku Kekerasan di Ruang Sakura RSUD Banyumas”. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif terhadap 40 responden yang diseleksi dengan teknik purposive

  sampling

  . Hasil penelitian menunjukan persepsi keluarga tentang faktor- faktor penyebab pasien melakukan perilaku kekerasan secara keseluruhan menunjukan bahwa persepsinya kurang baik sebesar 32 (80%), persepsi cukup baik sebanyak 7 (17,5%), dan persepsi baik sebanyak 1 (2,5%).

  Sedangkan yang membedakan antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya adalah variabel penelitian jenis penelitian dengan menggunakan deskriptif korelatif dengan menggunakan desain cross sectional, teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik total sampling, lokasi penelitian di ruang bima RSUD Banyumas pada bulan juli – Agustus 2012.