BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Perilaku Bullying - AVI MUGI LESTARI BAB II

  berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan dekstruktif. Berbeda dengan negara lain seperti Norwegia, Finlandia, dan Denmark yang menyebut bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari bahasa Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya

  mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak serta terlibat kekerasan (Wiyani, 2012).

  Secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu yang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia dapat digunakan yaitu menyakat (berasal dari kata sakat) dan pelakunya (bullies) disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain (Wiyani, 2012). Selanjutnya secara terminologi menurut Olweus (1995) bullying adalah perilaku yang disengaja terjadi berulang-ulang dan adanya penyalahgunaan kekuasaan dari pelaku.

  Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja terjadi

  berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang lemah,

  10 mudah dihina dan tidak bisa membela diri sendiri (SEJIWA, 2008).

  

Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka

  panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok, terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan dirinya dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia tertekan (Wicaksana, 2008)

  Menurut uraian dari berbagai ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

  

bullying adalah penggunaan agresi dengan tujuan untuk menyakiti orang

  lain baik secara fisik maupun secara mental serta dilakukan secara berulang. Perilaku bullying dapat berupa tindakan fisik, verbal, serta emosional/psikologis. Dalam hal ini korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.

  b.

  Penyebab Terjadinya Perilaku Bullying Menurut Ariesto (2009, dalam Mudjijanti 2011) dan Kholilah

  (2012), penyebab terjadinya bullying antara lain : 1)

Keluarga

  Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah : orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari sini anak mengembangkan perilaku bullying .

  2)

Sekolah

  Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah sering memberikan masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. 3)

  Faktor Kelompok Sebaya Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying.

  Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

  

Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada

  korbannya, yang dimaksudkan untuk menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya perilaku bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

  Faktor internal penyebab terjadinya bullying menurut Kholilah (2012) antara lain: 1)

Karakteristik kepribadian

  Menurut para ahli Yinger dan Cuber dalam Rafdi (2012), kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seseorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian instruksi. Kepribadian merupakan gabungan keseluruhan dari sifat- sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang. Kepribadian seseorang yang baik sangat mendukung terbentuknya karakter yang baik dan sebaliknya. Jika karakteristik mewarnai semua aktifitas yang dilakukan seseorang, maka kepribadian adalah akibat dari semua aktivitas itu. 2)

  Pengalaman masa lalu Pengalaman anak adalah suatu kejadian yang telah dialami anak di masa lalu. Pengalaman anak terhadap bullying pada masa lalu dapat menjadikan anak sebagai pelaku bullying di kemudian hari. Anak cenderung melakukan bullying setelah mereka sendiri pernah disakiti oleh orang yang lebih kuat. Anak yang sering menjadi korban

  

bullying , kemungkinan besar akan ikut melakukan bullying, atau

  setidaknya menganggap bullying sebagai hal wajar dan akan membiarkan bullying terjadi begitu saja di lingkungannya tanpa melakukan tindakan untuk menghentikannya (sikap positif terhadap bullying ) (Levianti, 2008).

  3)

Pola asuh

  Brooks (2011) mendefiniskan bahwa pola asuh adalah sebuah proses dimana orang tua sebagai individu yang melindungi dan membimbing dari bayi sampai dewasa serta orang tua juga menjaga dengan perkembangan anak pada seluruh periode perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup : kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung, kebutuhan material seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, disiplin yang bertanggung jawab, menghindarkan diri dari kecelakaan dan kritikan pedas serta hukuman fisik yang berbahaya, pendidikan intelektual dan moral, persiapan untuk bertanggung jawab sebagai orang dewasa, mempertanggung jawabkan tindakan anak pada masayarakat luas. Berdasarkan definisi pengasuhan di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan suatu proses perlakuan yang diaplikasikan oleh orang tua kepada anak yang terbentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar yang berlangsung seumur hidup, terikat, berproses, setulus hati dan penuh kasih sayang.

  c.

  Karakteristik perilaku bullying

  Bullying adalah aktifitas yang sadar, disengaja dan keji yang

  dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut. Seperti hasil penelitian para ahli, antara lain oleh

  Rigby (dalam Astuti, 2008) perilaku bullying yang banyak dilakukan di sekolah umumnya mempunyai tiga karakteristik yang terintegrasi sebagai berikut: 1)

  Ketidakseimbangan kekuatan Perilaku yang ditunjukkan pelaku melibatkan ketidakseimbangan kekuatan sehingga menimbulkan perasaan tertekan pada korban.

  Selanjutnya Coloroso (2007) juga menyebutkan pelaku bullying biasanya merupakan orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir secara verbal, lebih tinggi dalam status sosial dan berasal dari ras yang berbeda.

  2) Perilaku agresi yang menyenangkan

  

Bullying menyebabkan kepedihan emosional dan luka fisik, adanya

  tindakan untuk dapat melukai, dan menimbulkan rasa senang di hati pelaku saat menyaksikan penderitaan korban pada saat di bully (Coloroso, 2007). Menurut Wiyani (2012) korban bullying akan merasa tidak nyaman, takut, rendah diri, serta merasa tidak berharga dalam lingkungan sosial dan berkeinginan untuk bunuh diri. 3)

  Perilaku yang berulang-ulang atau terus menerus

  

Bullying merupakan salah satu dari perilaku agresif yang terjadi

  berulang kali, bersifat regeneratif, menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban (Astuti, 2008). Bullying tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali. d.

  Jenis Perilaku Bullying Ada beberapa jenis bullying menurut SEJIWA (2008) : 1)

Bullying fisik

  Jenis bullying yang terlihat oleh mata, siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya.

  Contoh-contoh bullying fisik antara lain : memukul, menarik baju, menjewer, menjambak, menendang, menyenggol dengan bahu, menghukum dengan membersihkan WC, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari lapangan, menghukum dengan cara push up.

  2) Bullying verbal

  Jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra pendengaran kita. Contoh-contoh bullying verbal antara lain : membentak, meledek, mencela, memaki-maki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah. 3)

Bullying mental atau psikologis

  Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga kita apabila tidak cukup awas mendeteksinya.

  Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan diluar jangkauan pemantauan kita. Contoh-contohnya: mencibir, mengucilkan, memandang sinis, memelototi, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, meneror lewat pesan pendek, telepon genggem atau email, memandang yang merendahkan.

  Menurut Bauman (2008), tipe-tipe bullying adalah sebagai berikut : 1)

  Overt bullying, meliputi bullying secara fisik dan secara verbal, misalnya dengan mendorong hingga jatuh, memukul, mendorong dengan kasar, memberi julukan nama, mengancam dan mengejek dengan tujuan untuk menyakiti.

  2) Indirect bullying meliputi agresi relasional, dimana bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku bullying dengan cara menghancurkan hubungan-hubungan yang dimiliki oleh korban, termasuk upaya pengucilan, menyebarkan gosip, dan meminta pujian atau suatu tindakan tertentu dari kompensasi persahabatan. Bullying dengan cara tidak langsung sering dianggap tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan bullying secara fisik, dimaknakan sebagai cara bergurau antar teman saja. Padahal relational bullying lebih kuat terkait dengan distress emosional daripada bullying secara fisik.

  

Bullying secara fisik akan semakin berkurang ketika siswa menjadi

  lebih dewasa tetapi bullying yang sifatnya merusak hubungan akan terus terjadi hingga usia dewasa.

  3) Cyberbullying, seiring dengan perkembangan di bidang teknologi, siswa memiliki media baru untuk melakukan bullying, yaitu melalui sms, telepon maupun internet. Cyberbullying melibatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, seperti e-mail, telepon seluler dan peger, sms, website pribadi yang menghancurkan reputasi seseorang, survei di website pribadi yang merusak reputasi orang lain, yang dimaksudkan adalah untuk mendukung perilaku menyerang seseorang atau sekelompok orang, yang ditujukan untuk menyakiti orang lain, secara berulang-ulang kali e. Pihak-Pihak Perilaku Bullying

  Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4 yaitu: 1)

  Bullies (pelaku bullying) yaitu murid yang secara fisik dan/atau emosional melukai murid lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam Moutappa, 2009).

  Remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku bullying sering memperlihatkan fungsi psikososial yang lebih buruk daripada korban

  bullying dan murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying. Pelaku bullying juga cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih

  tinggi daripada murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan pencetus depresi yang lebih rendah daripada victim atau korban (Totura, 2013). Olweus (dalam Moutappa, 2009) mengemukakan bahwa pelaku bullying cenderung mendominasi orang lain dan memiliki kemampuan sosial dan pemahaman akan emosi orang lain yang sama (Sutton, Smith, & Sweetenham, dalam Moutappa, 2009).

  Tipe pelaku bullying antara lain (1) tipe percaya diri, secara fisik kuat, menikmati agresifitas, merasa aman dan biasanya populer, (2) tipe pencemas, secara akademik lemah, lemah dalam berkonsentrasi, kurang popular dan kurang merasa aman dan (3) pada situasi tertentu pelaku bullying bisa menjadi korban bullying. Selain itu, para pakar banyak menarik kesimpulan bahwa karakteristik pelaku bullying biasanya adalah agresif, memiliki konsep positif tentang kekerasan, impulsif, dan memiliki kesulitan dalam berempati (Sullivan, 2010).

  Menurut Astuti (2008) pelaku bullying biasanya agresif baik secara verbal maupun fisikal, ingin popular, sering membuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain, pendendam, iri hati, hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial di sekolahnya. Selain itu pelaku bullying juga menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah atau di sekitarnya, merupakan tokoh popular di sekolahnya, gerak geriknya sering kali dapat ditandai dengan sering berjalan di depan, sengaja menabrak, berkata kasar, dan menyepelekan/ melecehkan. 2)

Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target dari perilaku agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya

  memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa, 2009).

  Menurut Byrne dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menjadi korban, korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan situasi baru. Murid yang menjadi korban bullying dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta memiliki teman dekat yang lebih sedikit daripada murid lain (Haynie, 2011). Korban bullying juga dikarakteristikkan dengan perilaku hati-hati, sensitif, dan pendiam (Moutappa, 2009).

  Coloroso (2007) menyatakan korban bullying biasanya merupakan anak baru di suatu lingkungan, anak termuda di sekolah, biasanya yang lebih kecil, tekadang ketakutan, mungkin tidak terlindung, anak yang pernah mengalami trauma atau pernah disakiti sebelumnya dan biasanya sangat peka, menghindari teman sebaya untuk menghindari kesakitan yang lebih parah, dan merasa sulit untuk meminta pertolongan. Selain itu juga anak penurut, anak yang merasa cemas, kurang percaya diri, mudah dipimpin dan anak yang melakukan hal-hal untuk menyenangkan atau meredam kemarahan orang lain, anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau berkelahi, lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatiaan orang lain, pengugup, dan peka.

  Disamping itu juga merupakan anak yang miskin atau kaya, anak yang ras atau etnisnya dipandang inferior sehingga layak dihina, anak yang orientsinya gender atau seksualnya dipandang inferior, anak yang agamanya dipandang inferior, anak yang cerdas, berbakat, atau memiliki kelebihan. ia dijadikan sasaran karena ia unggul, anak yang merdeka, tidak mempedulikan status sosial, serta tidak berkompromi dengan norma-norma, anak yang siap mengekspresikan emosinya setiap waktu, anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.

  Selanjutnya korbannya merupakan anak yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan mayoritas anak lainnya, dan anak dengan ketidakcakapan mental dan/atau fisik, anak yang memiliki ganguan- hiperaktif-defisit-perhatian (attention deficit hyperactive disorder) mungkin bertindak sebelum berpikir, tidak mempertimbangkan konsekuensi atas perilakunya sehingga disengaja atau tidak menggangu bully, anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah. Anak diserang karena bully sedang ingin menyerang seseorang di tempat itu pada saat itu juga. 3)

  Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban perilaku agresif (Andreou dalam Moutappa, 2009). Craig (dalam Haynie, 2011) mengemukakan bully-victim menunjukkan level agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lain. Bully victim juga dilaporkan mengalami peningkatan simptom depresi, merasa sepi, dan cenderung merasa sedih dan moody daripada murid lain (Totura, 2013). Bully-

  

victim juga dikarakteristikkan dengan reaktivitas, regulasi emosi yang

  buruk, kesulitan dalam akademis dan penolakan dari teman sebaya serta kesulitan belajar (Moutappa, 2009).

  4) Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau bullying.

  f.

Proses Adopsi Perilaku Bullying Pada Remaja

  Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behaviour). Pengetahuan yang tercakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat. Salah satu dari ke enam domain tersebut adalah tahu (know). Proses perilaku dalam tahapan tahu (know) menurut Rogers (1974) yang dikutip dalam Notoatmodjo (2007), menyimpulkan bahwa pengadopsian perilaku baru didalam diri seseorang terjadi proses yang berurutan yakni : 1)

  Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut manyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

  2) Interest, yakni seseorang mulai tertarik kepada stimulus. 3)

  Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya), hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

  4) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. 5)

  Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus g.

  Faktor-faktor penyebab perilaku bullying

  Bullying dapat terjadi karena kesalahpahaman yang melibatkan

  prasangka antar pihak yang berinteraksi. Bullying bukanlah merupakan suatu tindakan yang kebetulan terjadi, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh sebab itu, Egan dan Todorov (2009) menyebutkan bahwa perilaku bullying sebagai konflik interpersonal yang paling umum terjadi. Menurut Astuti (2008), menyatakan bahwa terjadinya bullying antara lain disebabkanbeberapa factor sebagai berikut: 1)

Perbedaan ekonomi, agama, gender, etnisitas/rasisme

  Yusuf (2011) mengungkapkan bahwa apabila remaja kurang mendapat bimbngan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, orang tua kurang memberikan kasih saying dan berteman dengan kelompok sebaya yang kurang menghargai kasih nilai-nilai agama, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik. Al Ghazali (2009) mengemukakan dorongan yang berhubungan dengan aspek spiritual dalam diri manusia seperti: dorongan untuk beragama, takwa, cinta kebajikan kebenaran dan keadilan , benci terhadap kejahatan, kebhatilan dan kezaliman. Dorongan tersebut secara tidak langsung merupakan salah satu modal yang dapat mencegah seseorang melakukan bullying.

  2)

Senioritas Senioritas merupakan salah satu perilaku bullying yang bersifat laten

  Senioritas yang setiap tahunnya terjadi menjadi budaya tradisi di setiap sekolah. Senioritas dianjurkan untuk hiburan, penyaluran dendam, iri hati atau menjaga popularitas, korban melanjutkan tradisi tersebut untuk menunjukan kekuasaan.

  3)

Keluarga yang tidak rukun

  Faktor interaksi dalam keluarga berperan penting dalam perkembangan psikososial anak yakni dengan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak, dan ketika anak mencapai usia remaja maka anak akan memiliki persepsi sendiri terhadap pola asuh orangtuanya tersebut (Wahyuni, 2011). Dominasi yang diberikan orang tua terhadap anaknya memungkinkan anak akan memodelkan perilaku tersebut terhadap teman- teman mereka. Dengan kata lain, pola asuh orang tua yang otoriter memberikan pengaruh besar bagi anak melakukan perilaku bullying. 4)

  Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif Wiyani (2012) mengatakan bahwa kekerasan atau bullying dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama hukuman fisik. Sekolah menampilkan sistem dan kebijakan pendidikan yang buruk memilki kecenderungan secara halus dan terselubung seperti penghinaan dan pengucilan. 5)

Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban

  Pelaku tindakan bullying cenderung menganggap dirinya senantiasa diancam dan berada dalam bahaya. Biasanya pembuli memiliki kekuatan secara fisik, namun tidak memiliki perasaan bertanggung jawab terhadap tindakan yang telah dilakukan. Penelitian Wong dalam Shinta (2011), yaitu 30% responden (bullies) menyatakan mereka melakukan bullying karena mereka ingin membalas dendam setelah menjadi korban bullying.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan perilaku bullying adalah faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor karakteristik internal individu. Pada penelitian ini difokuskan kepada faktor karakteristik internal individu yaitu rasa dendam dan iri hati. Oleh karena itu, karakteristik siswa yang memiliki kecenderungan bullying yakni dengan menghayati permasalahan masa lalu sebagai hal negatif dan menimbulkan konflik bathin yang kemudian menyebabkan individu tersebut memiliki rasa dendam dan melampiaskan dendamnya kepada orang lain (Shinta, 2011).

  h.

Korban bullying

  Korban bullying menurut Coloroso (2007) adalah pihak yang tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental ketika mendapatkan perlakuan agresif dan manipulatif secara berulang-ulang. Remaja dapat terlibat langsung dalam perilaku bullying sebagai pelaku maupun korban. Selanjutnya, Hall (dalam Yusuf, 2004) mengemukakan bahwa pengalaman sosial seperti bullying selama remaja dapat mengarahkannya untuk menginternalisasikan sifat-sifat yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Ciri-ciri korban perilaku bullying (Astuti, 2008) adalah sebagai berikut: 1)

  Pemalu/pendiam/penyendiri 2)

  Bodoh

  3) Mendadak menjadi penyendiri/pendiam

  4) Sering tidak masuk sekolah oleh alasan tidak jelas

  5) Berperilaku aneh atau tidak biasa (takut/marah tanpa sebab, mencoret- coret, dsb).

  Selanjutnya untuk membalas dendam korban akan menjadi pelaku

bullying agar ingin dipuja kelompok dan menarik perhatian orang lain.

  Adapun ciri-ciri pelaku bullying antara lain: 1)

  Hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa di sekolah 2)

  Menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah 3)

  Merupakan tokoh populer di sekolah 4)

  Gerak-geriknya seringkali dapat ditandai: sering berjalan di depan, sengaja menabrak, berkata kasar, menyepelekan dan melecehkan i.

  Dampak bullying

  Bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi pelakunya (Craig & Pepler, 2007).

  Menurut Coloroso (2007) pelaku bullying akan terperangkap dalam peran sebagai pelaku bullying, mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap dalam memandang sesuatu dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Sementara dampak negatif bagi korbannya adalah akan timbul perasaan depresi dan marah. Mereka marah terhadap diri sendiri, pelaku bullying, orang dewasa dan orang-orang di sekitarnya karena tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi akademik para korbannya. Mereka mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan karena tidak mampu mengontrol hidupnya dengan cara-cara yang konstruktif.

  Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2010), bullying akan mempengaruhi self esteem korbannya dan hal tersebut merupakan pengaruh yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula Olweus (dalam Berthold dan Hoover, 2010) menyatakan bahwa bullying memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa.

  Saat masa sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia untuk mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan. Selain itu menurut Swearer, dkk. (2010) korban bullying juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem, kecemasan, dan depresi.

  Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self

  

esteem yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban

bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam Aluedse, 2006). Duncan (dalam

  Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem yang rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya tingkat depresi, kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa tidak aman, panik dan gugup di sekolah, konsentrasi terganggu, penolakan oleh rekan atau teman, menghindari interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki sedikit teman, terisolasi, dan merasa kesepian.

  Penelitian yang dilakukan di Swedia mengenai dampak bullying terhadap korbannya menunjukkan bahwa remaja yang saat berusia 16 tahun pernah mengalami bullying akan mengalami penurunan self esteem dan peningkatan kadar depresi. Korban bullying cenderung menunjukkan gejala peningkatan kecemasan dan depresi, self esteem yang rendah dan keterampilan sosial yang buruk (Arseneault, 2009).

  Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina (2005), juga menemukan bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) ketika mengalami

  bullying , namun tidak berdaya menghadapi kejadian bullying yang

  menimpa mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi tersebut dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak berharga.

Konsep Kecerdasan

  Walters & Gardner (dalam Safaria, 2007) mendefinisikan bahwa kecerdasan adalah sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu. Sedangkan menurut Maramis (2006) kecerdasan adalah gambaran abstrak yang disaring dari observasi perilaku dalam bermacam-macam keadaan atau suatu konstruksi hipotesis dan hanya dapat diduga dari tanda-tanda perilaku. Sehingga bagaimanapun juga, kecerdasan ada sangkut-pautnya dengan kemampuan untuk menangkap hubungan yang abstrak dan rumit, serta kemampuan memecahkan masalah dan belajar dari pengalaman. Kemudian berkembanglah pemahaman tentang jenis-jenis kecerdasan yang lain selain kecerdasan intelektual seperti kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan lain sebagainya.

  Pada umumnya kecerdasan dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam bersikap dan berbuat cepat dengan situasi yang sedang berubah, dengan keadaan di luar dirinya yang biasa maupun yang baru. Jadi dengan kata lain perbuatan cerdas dapat dicirikan dengan adanya kesanggupan bereaksi terhadap berbagai situasi. Kecerdasan bekerja dalam suatu situasi yang berlainan tingkat kesukarannya. Kecerdasan tidak bersifat statis tetapi kecerdasan manusia selalu mengalami perkembangan. Berkembangnya kecerdasan sedikit banyak sejalan dengan kematangan seseorang (Ahmadi, 2009).

  b.

Konsep Spiritual

  Spiritual berasal dari kata spirit. Spirit mengandung arti semangat atau sikap yang mendasari tindakan manusia. Spirit sering juga diartikan sebagai ruh atau jiwa yang merupakan sesuatu bentuk energi yang hidup dan nyata. Meskipun tidak kelihatan oleh mata biasa dan tidak mempunyai badan fisik seperti manusia, spirit itu ada dan hidup. Spirit bisa diajak berkomunikasi sama seperti kita bicara dengan manusia yang lain. Interaksi dengan spirit yang hidup itulah sesungguhnya yang disebut spiritual. Oleh karena itu spiritual berhubungan dengan ruh atau spirit.

  Spiritual mencakup nilai-nilai yang melandasi kehidupan manusia seutuhnya, karena dalam spiritual ada kreativitas, kemajuan, dan pertumbuhan (Widi, 2008).

  Nilai-nilai spiritual yang umum mencakup antara lain kebenaran, kejujuran, kesederhanaan, kepedulian, kerjasama, kebebasan, kedamaian, cinta, pengertian, amal baik, tanggung jawab, tenggang rasa, integritas, rasa percaya, kebersihan hati, kerendahan hati, kesetiaan, kecermatan, kemuliaan, keberanian, kesatuan, rasa syukur, humor, ketekunan, kesabaran, keadilan, persamaan, keseimbangan, ikhlas, hikmah, dan keteguhan (Suyanto, 2006).

  Menurut Notoatmodjo (2010) bahwa spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat. Selanjutnya Burkhardt (1993 dalam Blais, 2007) menguraikan karakteristik spiritual yang meliputi hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan Tuhan.

  c.

  Kecerdasan Spiritual

  Selama ini, yang namanya kecerdasan sering dikonotasikan dengan kecerdasan intelektual atau yang lazim kita kenal dengan IQ (Intelligence

  

Quotient ). Namun pada saat ini, anggapan bahwa kecerdasan manusia

hanya tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah tidak relevan lagi.

  Selain kecerdasan intelektual, manusia juga masih memiliki dimensi kecerdasan lainnya diantaranya adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) (Yosef, 2005). Potensi kecerdasan yang kini ramai dibicarakan orang yakni kecerdasan spiritual (Saifullah, 2005).

  Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna kehidupan, nilai-nilai, dan keutuhan diri yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Seseorang dapat menemukan makna hidup dari bekerja, belajar dan bertanya, bahkan saat menghadapi masalah atau penderitaan. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan jiwa yang membantu menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan, SQ merupakan kecerdasan tertinggi (Zohar & Marshall, 2011).

  Kecerdasan spiritual secara terminologi adalah kecerdasan pokok yang dengannya dapat memecahkan masalah-masalah makna dan nilai, menempatkan tindakan atau suatu jalan hidup dalam konteks yang lebih luas, kaya, dan bermakna (Siswanto, 2012). Kecerdasan spiritual merupakan bentuk kecerdasan tertinggi yang memadukan kedua bentuk kecerdasan sebelumnya, yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang tertinggi karena erat kaitannya dengan kesadaran orang untuk bisa memaknai segala sesuatu dan merupakan jalan untuk bisa merasakan kebahagiaan (Muhaimin, 2010).

  Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif (Agustian, 2011). Yang paling sempurna kecerdasan spiritual harus bersumber dari ajaran agama yang dihayati sehingga seseorang yang beragama sekaligus akan menjadi orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi (Ahmad, 2006). Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dengan berbagai cara yaitu dengan merenungi keterkaitan antara segala sesuatu atau makna dibalik peristiwa yang dialami, lebih bertanggung jawab terhadap segala tindakan, lebih menyadari akan diri sendiri, lebih jujur pada diri sendiri, dan lebih berani (Zohar & Marshall, 2011).

  Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang dibangun dari dua kecerdasan, yakni intelektual dan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah orang yang bisa memecahkan permasalahan tidak hanya menggunakan rasio dan emosi saja, namun mereka menghubungkan dengan makna kehidupan secara spiritual. Kecerdasan spiritual yang tumbuh sejak dini akan menjadi kekuatan untuk menjadikan anak yang berani karena keyakinan kepada Tuhan, optimis, dan melakukan kebajikan secara terus menerus.

  d.

  Karakteristik Kecerdasan Spiritual Sinetar (2001 dalam Safaria, 2007) menjelaskan beberapa karakteristik seseorang yang memiliki potensi kecerdasan spiritual yang tinggi. Adapun karakteristik tersebut antara lain adalah : 1)

Memiliki kesadaran diri yang mendalam dan intuisi yang tajam. Ciri utama munculnya kesadaran diri yang kuat pada seseorang adalah ia

  memiliki kemampuan untuk memahami dirinya sendiri serta memahami emosi-emosinya yang muncul, sehingga mampu berempati dengan apa yang terjadi pada orang lain. Selain itu seseorang juga memiliki intuisi yang tajam sehingga ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilakunya sendiri. Disamping itu seseorang juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan kemauan yang keras untuk mencapai tujuannya serta memiliki keyakinan dan prinsip-prinsip hidup.

  2)

Memiliki pandangan yang luas terhadap dunia dan alam. Seseorang melihat dirinya dan orang lain saling terkait, menyadari bahwa

  bagaimanapun kosmos ini hidup dan bersinar sehingga seseorang dapat melihat bahwa alam adalah sahabat manusia, muaranya ia memiliki perhatian yang mendalam terhadap alam sekitarnya, dan mampu melihat bahwa alam raya ini diciptakan oleh dzat yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan.

  3) Memiliki moral yang tinggi dan kecenderungan merasa gembira.

  Seseorang memiliki moral yang tinggi, mampu memahami nilai-nilai kasih sayang, cinta, penghargaan kepada orang lain, senang berinteraksi, cenderung selalu merasa gembira dan membuat orang lain gembira.

  4) Memiliki pemahaman tentang tujuan hidupnya. Seseorang dapat merasakan arah nasibnya, melihat berbagai kemungkinan, seperti cita- cita yang suci diantara hal-hal yang biasa.

  5) Memiliki keinginan untuk selalu menolong orang lain, menunjukkan rasa kasih sayang terhadap orang lain, dan pada umumnya memiliki kecenderungan untuk mementingkan kepentingan orang lain.

  6) Memiliki pandangan pragmatis dan efesien tentang realitas. Seseorang memiliki kemampuan untuk bertindak realistis, mampu melihat situasi sekitar, dan mau perduli dengan kesulitan orang lain.

  Menurut Emmons (dalam Saifullah, 2005) menjelaskan lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual yaitu : 1) Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material.

  Seseorang menyadari bahwa kehadiran dirinya di dunia merupakan anugerah dan kehendak Tuhan dan menyadari bahwa Tuhan selalu hadir dalam kehidupannya.

  2) Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak.

  Seseorang menyadari bahwa ada dunia lain di luar dunia kesadaran yang ditemuinya sehari-hari sehingga ia meyakini bahwa Tuhan pasti akan membantunya dalam menyelesaikan setiap tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, ia terhubung dengan kesadaran kosmis di luar dirinya. 3)

  Kemampuan mensakralkan pengalaman sehari-hari. Ciri ketiga ini, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung dan mulia. 4)

  Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik. Orang yang cerdas secara spiritual, dalam memecahkan persoalan hidupnya selalu menghubungkannya dengan kesadaran nilai yang lebih mulia daripada sekadar menggenggam kalkulasi untung rugi yang bersifat materi.

  5) Memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan.

  Seseorang tidak akan kehilangan pijakan kakinya di bumi realitas, hal ini ditunjukkan dengan menebar kasih sayang pada sesama.

  Menurut Zohar dan Marshal (2011), karakteristik seseorang yang kecerdasan spiritualnya telah berkembang dengan baik adalah seseorang yang memiliki kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), memiliki tingkat kesadaran yang tinggi (self awareness), memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan; memiliki kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, selalu berusaha untuk tidak menyebabkan kerugian bagi diri sendiri, orang lain dan alam sekitar; berpandangan holistik dalam menghadapi suatu permasalahan hidup, kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawaban yang mendasar, serta memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

  Zohar dan Marshal (2011), mengemukakan ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat secara spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian namun tidak proporsional, dan bertentangannya atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.

  e.

  Indikator Pengukuran Kecerdasan Spiritual Menurut Tasmoro (2011) ada 8 indikator dalam kecerdasan spiritual yaitu: Merasakan kehadiran Allah, berdzikir dan berdo’a, memiliki kualitas sabar, Cenderung kepada kebaikan, memiliki empati, berjiwa besar, melayani dan menolong. Selanjutnya menurut Agustian (2011) aspek kecerdasan spiritual yaitu: Shiddiq, Istiqomah, Fathanah, Amanah dan tabliq.

  1)

Kejujuran

  Kejujuran adalah sifat yang melekat dari dalam diri seseorang dan merupakan hal penting untuk dilakukan dalam hidup sehari-hari.

  Menurut Rusyan (2006), arti jujur dalam bahasa Arab merupakan terjemahan dari kata Shidiq yang artinya benar, dapat dipercaya. Dengan kata lain, jujur adalah perkataan dan perbuatan sesuai dengan kebenaran. Jujur merupakan induk dari sifat-sifat terpuji (mahmudah).

  Jujur juga disebut benar, memberikan sesuatu yang benar atau sesuai dengan kenyataan.

  Perilaku yang jujur adalah perilaku yang diikuti dengan sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, karena dia tidak pernah berfikir untuk melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, sebab sikap tidak bertanggung jawab merupakan pelecehan paling azasi terhadap orang lain, serta sekaligus penghinaan terhadap dirinya sendiri. Kejujuran dan rasa tanggung jawab yang memancar dari

  

qalbu , merupakan sikap sejati manusia yang bersifat universal,

  sehingga harus menjadi keyakinan dan jati diri serta sikapnya yang paling otentik, asli, dan tidak bermuatan kepentingan lain, kecuali ingin memberikan keluhuran makna hidup. 2)

Kerjasama

  Budaya melayani dan menolong (salvation) merupakan bagian dari citra diri seorang muslim. Mereka sadar bahwa kehadiran dirinya tidak terlepas dari tanggung jawab terhadap lingkungan. Individu ini akan senantiasa terbuka hatinya terhadap keberadaan oranglain dan merasa terpanggil atau ada semacam ketukan yang sangat keras dari lubuk hatinya untuk melayani.

  3)

Kepedulian

  Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami orang lain, mampu beradaptasi dan mampu memahami bathin seseorang.

  Bahwa anak cerdas spiritual melihat orang lain bukan sebagai ancaman melainkan kehadiran orang lain, bagi mereka yang cerdas spiritual merupakan anugerah, karena hanya bersama orang lain itulah dirinya akan mampu meningkatkan kualitas sebagai makhluk yang memiliki multi potensi dihadapan Allah SWT, perbedaan dan pluralitas dipandangnya sebagai rahmat yang akan memperkaya nuansa bathiniahnya (Tasmoro, 2011)

  4)

Syukur

  Syukur adalah berterimah kasih atas segala anugerah/ karunia Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada kita. Allah Swt telah memberikan banyak anugerah kepada kita. Dalam hal ini semenjak kita lahir hingga meninggal. Meskipun kita sekuat tenaga untuk menghitung anugrah tersebut mustahil dapat menghitungnya. Oleh karena itu, kita harus selalu bersyukur terhadap apa yang telang dilimpahkan kepada kita.

  5)

Sabar

  Sabar pada hakekatnya adalah kemampuan untuk dapat menyelesaikan kekusutan hati dan menyerah diri kepada Tuhan dengan sepenuh kepercayaan menghilangkan segala keluhan dan berperang dalam hati sanubari dengan segala kegelisahan (Sulaiman,

  2009). Sabar merupakan sendi yang harus benar-benar kuat dan kokoh. Dan lebih jauh, sabar itu inheren dalam diri seseorang karena bersifat inheren, maka kegagalan dalam mencapai sesuatu yang dicita- citakan bersumber dari diri sendiri dan bukan dari orang lain (Khalid, 2008).

  Kaitan dengan perilaku bullying, maka kecerdasan spiritual yang dimiliki seseorang dapat menjadi landasan keimanan yang kuat kepada Tuhan. tidak mengalami kegelisahan, emosinya cenderung stabil dan dapat menentukan arah hidup yang jelas. Bila spiritual telah menjadi pusat sistem mental kepribadian yang mantap, maka ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan, mengolah, serta mewarnai semua sikap dan tingkah laku seseorang. termasuk diantaranya berkaitan dengan kemampuan untuk mencegah terjadinya perilaku bullying (Arfiani, 2014)

  Zahrani (2005) mengemukakan sesungguhnya manusia yang mampu menyeimbangkan kepribadian dirinya dalam memenuhi segala kebutuhan tubuh dan kebutuhan spiritualnya dengan sebaik-baiknya tanpa berlebihan sesuai dengan cara yang disyariatkan, maka ia telah mampu mewujudkan kesehatan diri dan jiwanya. Indiaksinya antara lain adanya keimanan kepada Alloh, konsisten dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya, cinta kepada orangtua, suka membantu orang-orang yang membutuhkan amanah, berani mengatakan kebenaran, menjauhi segala hal yang menyakiti manusia, dan adanya pemahaman akan selalu menjaga kesehatan tubuh dengan tidak membenaninya dengan suatu tugas yang tidak sesuai dengan kemampuannya.

  Al- Ghazali (2009) mengemukakan dorongan yang berhubungan dengan aspek spiritual dalam diri manusia, seperti dorongan untuk beragama, taqwa, cinta kebajikan, kebenaran dan keadilan, benci terhadap kejahatan, kebatilan dan kezaliman. Dorongan tersebut secara tidak langsung merupakan salah satu modal yang dapat mencegah seseorang melakukan bullying.

  Penelian Turney dan willis (dalam Sarwono, 2007) menemukan bahwa yakin agama mempengaruhi kecilnya kecenderungan melakukan

  

bullying remaja. Agama dan nilai nilai moral akan menjadi pengendali

  kehidupan manusia dan kedalam pembinaan pribadi yang jika tertanam kuat maka semakin kuat pengaruhnya dalam pengendalian tingkah laku dan pembentukan sikap. Kemampuan dalam menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna disebut dengan kecerdasan spiritual (Zohar & Marshal, 2011).

  Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang berpikir kreatif, berwawasan jauh, membuat atau bahkan mengubah aturan, yang membuat orang tersebut dapat bekerja lebih baik. Secara singkat kecerdasan spiritual mampu mengintegrasikan dua kemampuan lain yang sebelumnya telah disebutkan yaitu IQ dan EQ (Idrus, 2012). Ditambahkan oleh Iman (2005) berkembangnya ilmu pengetahuan dan banyak penelitian yang telah dilakukan menghasilkan pengetahuan baru untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Dahulu untuk menentukan keberhasilan seseorang dilakukan dengan tes Intelegence Quotient (IQ). Seiring perkembangan zaman, IQ tidak bisa berdiri sendiri untuk menentukan keberhasilan seseorang. IQ salah satunya harus ditopang dengan Emotional Quotient (EQ). Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20% bagi kesuksesan hidup, sedangkan 80% ditentukan oleh faktor lain seperti kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual.

  Kecerdasan spiritual (SQ) dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan tubuh. Dia juga mengatakan bahwa kecerdasan spiritual juga dapat membantu sesorang untuk dapat melakukan transedensi diri. Pengertian lain mengenai kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik serta berprinsip hanya karena Allah (Agustian, 2011).

B. KERANGKA TEORI

  Karakteristik Perilaku Bullying : 1.

  Ketidakseimbangan Dampak sebagai pelaku bullying, mereka tidak kekuatan dapat mengembangkan hubungan yang sehat, 2. Perilaku agresi yang kurang cakap dalam memandang sesuatu dari menyenangkan perspektif lain, tidak memiliki empati, serta 3. Perilaku yang berulang Jenis Perilaku Bullying: menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai

  Sumber: Astuti (2008) sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan 1. Bullying Fisik 2. sosialnya di masa yang akan datang. Sementara

Bullying Verbal

Perilaku Bullying dampak negatif bagi korbannya adalah akan

  3. Bullying Mental atau Psikologis timbul perasaan depresi dan marah Sumber: SEJIWA (2008) Sumber: Coloroso (2007) Faktor yang mempengaruhi

  Perilaku Bullying: Karakteristik Spiritual Quotient (SQ): 1. Faktor keluarga 1.

  Kemampuan untuk mentransendensikan yang

  fisik dan material individu 2.

  Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran 3. Faktor sekolah yang memuncak Sumber: Wahyuni (2011)

  3. Kemampuan mensakralkan pengalaman sehari- hari

  4. Kemampuan untuk menggunakan sumber- sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan berbuat baik 5. Memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan

  Sumber: Safaria (2007)

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  Modifikasi Sumber: Wahyuni (2011), Astuti (2008), Sejiwa (2008), Wiyani (2012), Safaria (2007), Coloroso (2007)

  42 Hubungan Antara Kecerdasan..., AVI MUGI LESTARI, Fakultas Ilmu Keseahtan UMP, 2018