BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Teori 1. Bullying - Ninda Nila Insani BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Teori 1. Bullying

  a. Definisi

  Bullying adalah pola perilaku agresif yang melibatkan

  ketidakseimbangan kekuasaan dengan tujuan membuat orang lain merasa tidak dilakukan atas dasar perbedaan pada penampilan, budaya, ras, agama,orientasi seksual dan identitas gender orang lain (British Columbia, 2012)

  Tattum (dikutip, Smith, Pepler & Rigby, 2007) memandang bahwa bullying adalah keinginan untuk menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan yaitu orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek, bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga korbanya terus menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Hal ini didukung oleh pernyataan Djuwita (2006) bahwa bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan

  11 untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya, dan peristiwanya mungkin terjadi berulang.

  Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Sejiwa (2008) yang menyatakan bahwa bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) menekan, memojokan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang, untuk menunjukan kekuasaanya. Dalam hal ini korban tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.

  b. Bentuk-bentuk Perilaku Bullying Bentuk-bentuk perilaku bullying yang terjadi mulai dari lingkungan pergaulan hingga di lingkungan sekolah sangat beragam.

  Menurut Katty (2010) bentuk-bentuk perilaku bullying dapat dilakukan secara langsung yang berupa agresi fisik (memukul, menendang) agresi verbal (ejekan, pendapat yang berbau rasa atau seksual, dan agresi nonverbal (gerakan tubuh yang menunjukan ancaman). Bullying tidak langsung dapat secara fisik (mengajak seseorang untuk menyerang orang lan), verbal (menyebarkan rumor) dan non verbal (mengeluarkan seseorang dari kelompok atau kegiatan, penindasan yang dilakukan di dunia maya). Baik anak laki-laki dan perempuan melakukan bullying terhadap orang lain secara langsung dan tidak langsung, tetapi anak laki-laki lebih mungkin untuk menggunakan jenis bullying fisik. Perempuan lebih mungkin untuk menyebarkan rumor dan menggunakan pengucilan sosial atau isolasi, jenis bullying juga dikenal agresi asrelational.

  Sejiwa (2008) menyatakan bahwa ada tiga kategori perilaku

  

bullying diantaranya (1) bullying fisik merupakan bentuk bullying

  yang dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi kontak langsung antara pelaku bullying dengan korbanya, bentuk bullying fisik antara lain menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjambak, menghukum dengan berlari keliling lapangan, menghukum dengancara push up. (2) bullying verbal merupakan bentuk perilaku bullying yang dapat ditangkap melalui iri pendengaran. Bentuk bullying verbal antara lain menjuluki, meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gossip, memfitnah. (3) bullying mental/psikologis merupakan bentuk perilaku bullying yang paling berbahaya disbanding dengan bentuk bullying lainya karena terkadang diabaikan oleh beberapa orang. Bentuk bullying mental/psikologis yaitu memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan, memelototi, dan mencibir (Sejiwa, 2008)

  c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

  Bullying yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor

  saja tetapi setiap bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku tersebut. Menurut Andi Priyatna (2010) mengemukakan bahwa faktor-faktor tersebut antara lain (1) faktor keluarga, pola asuh dalam suatu keluarga mempunyai peran dalam pembentukan perilaku anak terutama pada munculnya perilaku bullying. Keluarga yang menerapkan pola asuh permisif membuat anak terbiasa untuk bebas melakukan segala sesuatu yang diinginkanya. Anak juga menjadi manja, akan memaksakan keinginanya. Anak juga tidak tahu letak kesalahanya ketika ia melakukan kesalahan sehingga segala sesuatu yang dilakukan dianggapnya sebagai suatu hal yang benar. Begitu pula dengan pola asuh yang keras, yang cenderung mengekang kebebasan anak. Anak pun terbiasa mendapatkan perlakuan kasar yang nantinyan akan dpraktikan dalam pertemananya bahkan anak akan menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar.

  Anantasari (2006) menyatakan bahwa lingkungan keluarga apabila cenderung mengarah pada hal-hal negative seperti sering terjadi kekerasan (memukul, menendang meja dan lain-lain), sering memaki dengan menggunakan kata-kata kotor, sering menonton acara televisi yang beradegan kekerasan dapat berimbas pada perilaku anak. Sifat anak yang cenderung meniru (imitation) akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilihatnya. Selain itu anak akan membentuk kerangka pikir bahwa perilaku yang sering dilihatnya merupakan hal yang wajar bahkan perlu untuk dilakukan. (2) faktor dari pergaulan, teman sepermainan yang sering melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain akan berimbas kepada perkembangan anak. Anak juga akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh teman-temanya. Selain itu anak baik dari kalangan sosial rendah hingga atas juga melakukan bullying dengan maksud untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan dari teman-temanya.

  Astuti (2008) juga menyebutkan salah satu faktor penyebab perilaku bullying adalah situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif. Hoy dan Miskel (Rovai dkk, 2005) mendefinisikan situasi, suasana atau atmosfer suatu karakteristik internal dalam suatu sekolah yang membedakanya dengan sekolah lain dan mempengaruhi perilaku orang-orang di dalamnya dengan iklim sekolah.

  Iklim sekolah ini juga dapat diartikan sebagai suatu suasana atau kualitas dari sekolah untuk membantu individu masing-masing merasa berharga secara pribad, bermartabat dan penting secara serentak dapat membantu terciptanya suatu perasaan memiliki terhadap segala sesuatu disekitar lingkungan sekolah (Freiberg, 2005).

  d. Dampak Perilaku Bullying Perilaku bullying menimbulkan dampak bagi korban dan pelakunya, menurut Natioal Youth Center Sanders (2003) dalam

  Psychologymania (2012) menunjukan bahwa bullying dapat membuat siswa merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilakumenarik dri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depresi, serta rasa tidak aman berada di lingkugan sekolah. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).

  Dampak bagi pelaku bullying menurut Sanders (2003) dalam Psychologymania (2012) National Youth Vience Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsive, toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya.

  Coloroso (2006) dalam Psychologymania (2012) mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat menegmbangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosial di masa yang akan datang. Efek jangka panjang bagi pelaku bullying adalah ia akan mudah menjadi pelaku kriminal karena ia terbiasa lepas kontrol, tidak lagi menghargai norma yang berlaku di masyarakat khususnya sekolah. Pelaku bullying merasa paling hebat dan berkuasa di sekolah tersebut.

  e. Penanganan dan Pencegahan Bullying Beberapa permasalahan anak yang terjadi sangat memungkinkan terjadi bullying dengan berbagai bentuk dan tipologi bullying yang ada di sekolah yaitu, memukul, mendorong, mencubit, mengancam, mempermalukan, merendahkan, melihat dengan sinis, menjulurkan jari tengah, mendiamkan seseorang, dan bentuk-bentuk lain dengan tipologi berbeda-beda yang dilakukan antar siswa. Kekerasan bullying seperti ini bisa saja dilakukan secara perorangan atau kelompok, mereka yang melakukan secara mandiri biasanya memiliki kekuatan (power) berupa kekuatan fisik, ekonomi. Sementara, mereka yang melakukan tindak kekerasan bullying yang dilakukan secara kelompok, mereka melakukan tindakan tersebut karena motif menunjukan rasa solidaritas. Misalnya, tawuran antar pelajar dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang membela teman. Fenomena ini disadari adanya seperti disebut

  Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok siswa tersebut (Martono, 2012).

  Tindak kekerasan bullying yang terdapat di sekolah bisa saja dilakukan oleh oknum guru seperti, kekerasan fisik yaitu mencubit, memukul, menampar dan tindakan lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat terhadap fisik anak atau seseorang. Sementara kekerasan psikis yang dilakukan oleh guru dapat berupa kata-kata kasar, atau makian dan labelling (nama panggilan) yang kadang dianggap sebagai hal sepele. Tindak kekerasan berupa

  

labelling yang biasanya berarti negatif dan dapat berbekas terhadap

  anak, misalnya menyebut siswa Si Bodoh, Si Gagap, Si Gaboh (gagah tapi bodoh) dan labelling lainnya dapat menyebabkan tekanan mental dan kurangnya rasa percaya diri siswa. Selain itu juga sering terjadi kekerasan berupa pemberian tugas yang berlebihan, pengancaman dan tindak kekerasan tak langsung berupa diskriminasi terhadap siswa. Terdapat beberapa alasan kasus bullying di sekolah ini kurang banyak mendapatkan perhatian hingga akhirnya jatuh korban menurut Prasetyo (2011) yaitu: 1) Efeknya tidak tampak secara langsung, kecuali bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Akan tetapi, ini pun tidak terendus karena banyak korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang dialaminya, entah karena takut, malu, diancam atau karena alasan- alasan lain.

  2) Banyak kasus bullying yang secara kasat mata tampak seperti bercandaan biasa khas anak-anak sekolah atau remaja yang dikira tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan-ejekan dan olok-olokan verbal termasuk dalam kategori ini. banyak orangtua dan guru yang mengira bahwa teguran saja mungkin sudah cukup untuk menyelesaikan bercandaan bocah-bocah itu. Padahal luka psikis dan emosional yang dialami korban kekerasan verbal itu jauh lebih dalam dan menyakitkan.

  3) Sebagian orangtua dan guru masih belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bullying dan dampaknya bagi kehidupan anak. Sehingga sebagian orangtua dan guru benar-benar tidak tahu bahwa ada masalah serius disekitar mereka. Perlu adanya mekanisme penyelesaian khusus kasus bullying yang terjadi di sekolah, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas, membuat bentuk penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas yang diterima siswa atau skorsing dan pemecatan.

  Departemen pendidikan harus memperbaiki kinerja pendidikan di Indonesia baik dari kurikulum maupun sarana-prasarana agar para siswa tidak lagi menjadi tertekan secara psikologis berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Selain itu juga harus mempunyai kebijakan tentang bullying di sekolah. Masalah bullying dianggap belum menjadi masalah sosial, maka penanganan kekerasan di sekolah saat ini menjadi subyek hukum kriminal biasa yang menanganinya disamakan dengan kriminal umumnya (Martono, 2012).

  Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disiapkan cara untuk mengurangi kemungkinan atau pencegahan agar tidak menjadi sasaran tindakan bullying, diantaranya menurut Coloroso (2007) : 1) Membantu anak kecil dan remaja menumbuhkan self esteem (harga diri) yang baik. Anak ber-self esteem baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis, dan berani mengatakan haknya.

  2) Mempunyai banyak teman, bergabung dengan group yang memiliki kegiatan positif atau berteman dengan siswa yang sendirian. 3) Kembangkan ketrampilan sosial untuk menghadapi bullying, baik sebagai sasaran atau sebagai bystander (saksi), dan bagaimana mencari bantuan jika mendapat perlakuan bullying.

  a. Definisi Anak pada usia 12-15 tahun ini sudah termasuk dalam kategori masa remaja dimana pada tahap ini juga merupakan masa sekolah jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masa remaja merupakan suatu periode dalam kehidupan setiap manusia dengan karakterisitik yang khas. Pada abad ke-20, Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall pernah menyatakan bahwa masa remaja adalah masa yang indah, namun juga merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) serta penuh dengan permasalahan.

  Menurut World Health Organization (2014) remaja (adolescents) adalah mereka yang berusia antara 10-19 tahun. Populasi remaja adalah populasi terbesar di Dunia yaitu sebanyak 1,2 milyar orang atau 18% dari jumlah penduduk dunia. Di Indonesia menurut data proyeksi penduduk 2014, jumlah remaja mencapai 65 juta jiwa atau 25% dari 255 juta jiwa jumlah penduduk (Kemenkes RI, 2015).

  Masa remaja merupakan salah satu periode dariperkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak kemasa dewasa yang meliputi perubahan biologic, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masaremaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatmodjo, 2007)

  Pendapat lain mengatakan masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa dan merupakan periode kehidupan yang paling banyak terjadi konflik pada diri seseorang. Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan penting baik fisik maupun psikis. Masa ini menuntut kesabaran dan pengertian yang luar biasa dari orang tua (Sarwono, 2011) b. Batasan Usia Remaja Masa remaja dapat bermulapada usia sekitar 10 tahun.

  (Rusmini, 2004). Sedangkan menurut pendapat lain mengatakan bahwa batasan usia remaja tidak ditentukan dengan jelas, tapi kira-kira berawal dari usia 12 sampai akhir usia belasan, saat pertumbuhan fisik hampir lengkap (Soetjiningsih, 2004).

  Adapun batasan usia remaja menurut beberapa sumber lain adalah (Sarwono, 2011) : 1) Menurut WHO mendefinisikan anak bisa dikatakan remaja apabila telah mencapai umur 10-19 tahun.

  2) Dalam UU No.4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adlah individu yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. 3) Menurut UU Perkawinan No.1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila sudah cukup matang untuk menikah yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki. 4) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menganggap remaja bila sudah berusia 18 tahun yang sesuai dengan saat lulus dari sekolah menengah. c. Tahap-tahap Perkembangan Remaja Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja :

  1) Remaja awal (early adolescent) Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan piiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti dan dimengerti orang dewasa.

  2) Remaja madya (middle adolescent) Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang apabila banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsitis yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sma dengan dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana yang peka atau yang tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipus complex

  (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa anak-anak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan.

  3) Remaja akhir (late adolescent) Pada tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian dalam lima hal yaitu : a) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

  b) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain.

  c) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

  d) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara diri sendiri dengan orang lain.

  e)

Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (Sarwono, 2010)

  Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu untuk mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat atau ciri perkembanganya, masa (rentang waktu) remaja ada tiga tahap yaitu : 1) Masa remaja awal (10-2 tahun) a) Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.

  b) Tampak dan merasa ingin bebas. c) Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).

  2) Masa remaja tengah (13-15 tahun) a) Tampak dan ingin mencari identitas diri.

  b) Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.

  c) Timbul perasaan cinta yang mendalam. 3) Masa remaja akhir (16-19 tahun) a) Menampakan pengungkapan kebebasan diri.

  b) Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.

  c) Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya, d) Dapat mewujudkan perasaan cinta.

  e) Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

  (Widyastuti dkk, 2009).

  d. Tugas tahap tumbuh kembang remaja Pertumbuhan merupakan peningktan jumlah dan besar sel diseluruh bagian tubuh selam sel-sel tersebut membelah diri dan mensintesis protein-protein baru. Tahap pertumbuhan pada remaja, antar lain : 1) Pertumbuhan fisik 2) Pertumbuhan psikologis

  3) Perubahan tubuh selama masa remaja : tinggi badan, berat badan, organ seks.

  Havighurst (dalam Ali, 2008) mendefinisikan tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu dan jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi apabila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.

  Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meningkatkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (dalam Ali, 2008) adalah : 1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

  2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. 3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.

  4) Mencapai kemandirian emosional. 5) Mencapai kemandirian ekonomi. 6) Mengembangkan konsep dan ketrampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

  7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.

  8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

  9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan. 10) Memahami dan memepersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

  Hal yang sama juga diungkapkan oleh (Zulkifli, 2005) tentang tugas perkembangan remaja, antara lain : 1) Bergaul dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin. 2) Mencapai peranan sosial sebagai pria atau wanita. 3) Menerima keadaan fisik sendiri. 4) Memilih dan mempersiapkan diri untuk berkeluarga.

  Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tugas- tugas perkembangan remaja adalah sikap dan perilaku drinya sendiri dalam menyikapi lingkungan disekitarnya, perubahan yang terjadi pada fisik maupun psikologisnya menuntut remaja untuk dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan dan tantangan hidup yang ada dihadapanyamya.

  e. Karakteristik Perkembangan Remaja Menurut Wong (2009), karakterisitik perkembangan remaja dapat dibedakan menjadi :

  1) Perkembangan Psikososial Teori perkembangan psikososial menurut Erickson dalam

  Wong (2009), menganggap bahwa krisis perkembangan pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas. Periode remaja awal dimulai dengan awitan pubertas dan berkembangnya stabilitas emosioanal dan fisik yang relatif pada saat atau ketika hampir lulus dari SMU. Pada saat ini, remaja dihadapkan pada krisi identitas kelompok versus pengasingan diri.

  Pada periode selanjutnya, individu berharap untuk mencegah otonomi dari keluarga dan mengembangkan identitras diri sebagai 10 lawan terhadap difusi peran. Identitas kelompok menajdi sangat penting untuk permulaan pembentukan identitas pribadi.

  Remaja pada tahap awal harus mampu memecahkan masalah tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mereka mampu menajawab pertanyaan tentang siapa diri mereka dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat.

  2) Identitas kelompok Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semkin kuat. Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalh hal yang penting karena mereka merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok dapat memberi mereka status.

  Ketika remaja mulai mencocokan cara dan minat berpenampilan, gaya mereka segera berubah. Bukti penyesuaian diri remaja terhadap kelompok teman sebaya dan ketidakcocokan dengan kelompok orang dewasa memberi kerangka pilihan bagi remaja sehinga mereka dapat memerankan penonjolan diri mereka sendiri sementara menolak identitas dari generasi orang tuanya. Menjadi individu yang berbeda mengakibatkan remaja tidak diterima dan diasingkan dari kelompok. 3) Identitas kelompok

  Pada tahap pencarian ini, remaja mempertimbangkan hubungan yang mereka kembangkan antara diri mereka sendiri denga orang lain dimasa lalu, seperti halnya arah dan tujuan yang mereka harap mampu dilakukan dimasa yang akan dating. Proses perkembangan identitas diri merupakan proses yang memakan waktu dan penuh denga periode kebingungan, depresi dan keputusasaan. Penentuan identitas dan bagianya di dunia merupakan hal yang penting dan sesuatu yang menakutkan bagi remaja. Namun demikian, jika setahap demi setahap diagntikan dan diletakan pada tempat yang sesuai, identitas yang postif oada akhirnya akan muncukdari kebingungan. Difusi peran terjadi jika individu tidak mampu memformulasikan kepuasan identitas dari berbagai aspirasi, peran dan identifikasi.

  4) Identitas peran seksual Masa remaja merupakan waktu untuk konsolidasi identitas peran seksual. Selama masa remaja awal, kelompok teman sebaya mulai mengkomunikasikan beberapa pengharapan terhadap perilaku peran seksual yang matang yang baik dari teman sebaya maupun orang dewasa. Pengharapan seperti ini berbeda pada setiap buadaya, antara daerah geografis, dan diantara kelompok sosio ekonomis. 5) Emosionalitas

  Remaja lebih mampu mengendalikan emosinya pada masa remaja akhir. Mereka mampu mengahadapi masalah dengan tenang dan rasioanl, dan walaupun masih mengalami periode depresi, perasaan mereka lebih kuat dan mulai menunjukan emosi yang lebih matang pada masa remaja akhir. Sementara remaja awal bereaksi cepat dan emosional, remaja akhir dapat mengendalikan emosinya sampai waktu dan tempat untuk mengekspresikan dirinya dapat diterima masyarakat. Mereka masih tetap mengalami peningkatan emosi, dan jika emosi itu diperlihatkan, perilaku mereka menggambarkan perasaan tidak aman, ketegangan, dan kebimbangan.

  6) Perkembangan Kognitif Teori perkemabangan kognitif menurut Piaget dalam Wong

  (2009), remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan actual, yang merupakan ciri periode berpikir konkret, mereka juga memperhatikan terhadap kemungkinan yang akan terjadi. Pada saat ini mereka lebih jauh ke depan. Tanpa memusatkan perhatian pada situasi saat ini, mereka dapat membayangkan suatu rangkaian peristiwa yang mungkin terjadi, seperti kemungkinan kuliah dan bekerja. Memikirkan bagaimana segala sesuatu mungkin dapat berubah di masa depan, seperti hubungan dengan orang tau, dan akibat dari tindakan mereka, mislanya dikeluarkan dari sekolah. Remaja secara mental mampu memanipulasi lebih dari dua kategori variabel pada waktu yang bersamaan. Misalnya, mereka dapat mempertimbangkan hubungan antara kecepatan, jarak dan waktu dalam membuat rencana perjalanan wisata. Mereka dapat mendeteksi konsistensi atau inkonsistensi logis dalam sekelompok pernyataan dan mengevaluasi system, atau serangkaian nilai-nilai dalam perilaku yang lebih dapat dianalisis. 7) Perkembangan Moral

  Teori perkembangan moral menurut Kohlberg dalam Wong (2009), masa remaja akhir dicirkan dengan suatu pernyataan serius mengenai nilai moral dan individu. Remaja dapat dengan mudah mengambil peran lain. Mereka memahami tugas dan kewajiban berdasarkan hak timbal balik dengan orang lain, dan juga memahami konsep peradilan yang tampak dalam penetapan hukuman terhadap kesalahan dan perbaikan atau penggantian apa yang telah dirusak akibat tindakan yang salah. Namun demikian, mereka mempertanyakan peraturan-peraturan moral yang telah ditetapkan, sering sebagai akibat dari observasi remaja bahwa suatu peraturan secara verbal berasal dari orang dewasa tetapi mereka tidak mematuhi peraturan tersebut. 8) Perkembangan Spiritual

  Pada saat remaja mulai mandiri dari orang tua atau otoritas yang lain, beberapa diantaranya mulai mempertanyakan nilai dan idela keluarga mereka. Sementara itu, remaja lain tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ini sebagai elemen, yang stabil dalam hidupnya seperti ketika mereka berjuang melawan konflik pada periode pergolakan ini remaja mungkin menolak aktivitas ibadah yang formal tetapi melakukan ibadah secara individual denagn privasi dalamkamar mereka sendiri. Mereka mungkin memerlukan eksplorasi terhadap konsep keberadaan Tuhan. Membandingkan agama mereka denga orang laindapat menyebabkan mereka mempertanyakan kepercayaan mereak sendiri tetapi pada akhirnya menghasilkan perumusan dan penguatan spiritualitas mereka.

  9) Perkembangan Sosial Untuk memperoleh kematangan penuh, remaja harus membebaskan diri mereka dari dominasi keluarga dan menetapkan sebuah identitas yang mandiri dari wewenang orang tua. Namun, proses ini penuh dengan ambivalensi baik dari remaja maupun orang tua. Remaja ingin dewasa dan ingin bebas dari kendali orang tua, tetapi mereka takut ketika mereka mencoba untuk memahami tanggung jawab yang terkait dengan kemandirian.

  a) Hubungan dengan orang tua Selama masa remaja, hubungan orang tua-anak berubah dari menyayangi dan persamaan hak. Proses mencapai kemandirian sering kali melibatkan kekacauan dan ambigulitas karena baik orang tua maupun remaja berajar untuk menampilkan eran yang baru dan menjalankannya sampai selesai, sementara pada saat bersamaan, penyelesaian seirng kali merupakan rangkaian kerenggangan yang menyakitkan, yang penting untuk menetapkan hubungan akhir.

  Pada saat remaja menuntut hak mereka untuk mengembangkan hak-hak istimewanya, mereka seringkali menciptakan ketegangan di dalam rumah. Mereka menentang kendali orang tua, dan konflik dapat muncul pada hampir semua situasi atau masalah. b) Hubungan dengan teman sebaya Orang tua selalu memberi pengaruh utama dalam sebagai besar kehidupan, bagi sebagaian besar remaja, teman sebaya dianggap lebih berperan penting ketika masa remaja dibandingksn masa kanak-kanak. Kelompok teman sebaya memberikan remaja perasaan kekuatan dan kekuasaan.

  c) Kelompok teman sebaya Remaja biasanya berpikiran sosial, suka berteman, dan suka berkelompok. Dengan demikian kelompok teman sebaya memiliki evaluasi diri dan perilaku remaja. Untuk memperoleh penerimaan kelompok, remaja awal berusaha untuk menyesuaikan secara total dalam berbagai hal seperti model berpakaian, gaya rambut, selera musik, dan tata bahasa, sering kali mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya.

  d) Sahabat Hubungan personal antara orang dengan orang lain yang berbeda biasanya terbentuk antara remaja sesama jenis.

  Hubungan ini lebih dekat dan lebih stabil daripada hubungan yang dibentuk pada masa kanak-kanak pertengahan, dan penting untuk pencarian identitas. Seorang sahabat merupakan pendengar terbaik, yaitu tempat remaja mencoba kemungkinan peran-peran dan suatu peran bersamaan, mereka saling memberikan dukungan satu sama lain.

  e) Perkembangan kepribadian Pada masa remaja, anak laki-laki dan perempuan sudah menyadari sifat-sifat yang baik dan yang buruk, dan mereka menilai sifat-sifat ini sesuai dengan sifat teman-teman mereka. Mereka juga sadar akan peran kepribadan dalam hubungan- hubungan sosial dan oleh karenanya terdorong untuk memperbaiki kepribadian mereka (Hurlock, 2000). Banyak remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian “ideal”. Tidak banyak yang merasa dapat mencapai gambaran yang ideal ini dan mereka yang tidak berhasil ingin merubah kepribadian mereka (Hurlock, 2000).

  a. Definisi Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari serapan tertentu atau proses seseorang untuk mengetahui beberapa hal melalui panca indranya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Seperti pendapat Robbins dalam Muchlas (2008), persepsi diartikan sebagai proses dimana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan sensorisnya agar dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya.

  Menurut Devito (2011), persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar terhadap stimulus yang mempengaruhi indra seseorang tersebut. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau suatu pesan yang diserap oleh seseorang dan makna apa yang seseorang berikan kepada orang lain saat orang lain mencapai kesadaran. Rakhmat (2007) mendefinisikan bahwa persepsi adalah pengalaman mengenai objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dari menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

  Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkunganya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium (Slameto, 2010). Menurut Robbins (2003) yang mendeskripsikan bahwa persepsi merupakan kesan yang diperoleh individu melalui panca indera kemudian dianalisa (diorganisir), diinterpretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna.

  Dalam kamus besar Psikologi, persepsi diartikan sebagai suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada dilingkunganya.

  Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi adalah proses seseorang untuk menerima informasi melalui panca indranya. Baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kemudian rangsangan terhadap alat indra diatur untuk dilakukan pengorganisasian dan penafsiran. Proses penafsiran pada setiap individu tidak sama terhadap informasi yang diterima.

  b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Asumsi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dan persepsi-persepsi yang dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dikemukakan oleh sekelompok peneliti yang berasal dari Universitas Princenton seperti Adeltbert Ames, Jr, Hadley Cantril, Edward Engels, William H Ittelson dan Adelbert Amer, Jr. Mereka mengemukakan konsep yang disebut dengan pandangan transaksional (transactional view). Konsep ini pada dasarnya menjelaskan bahwa pengamat dan dunia sekitar merupakan partisipan aktif dalam tindakan persepsi.

  c. Proses persepsi Menurut Devito (2011) persepsi itu bersifat kompleks. Tidak ada yang mempengaruhi pesan yang memasuki otak kita. Sebagai contoh bisikan orang lain terhadap kita dan suatu tulisan di sebuah kertas. Apa yang terjadi di luar sana dapat berbeda dengan apa yang mencapai otak kita. Proses persepsi dibagi dalam tiga tahapan. Ketiga tahapan ini bersifat continue (menerus), bercampur baur dan bertumpang tindih satu sama lain. Ketiga tahapan persepsi itu meliputi tiga hal berikut: Proses terjadinya persepsi (Amalia, 2010) 1) Terjadinya stimulasi alat indra (sensory stimulation). Pada tahap pertama alat-alat indra distimulasi (dirangsang). Walaupun kita mempunyai kemampuan pengindraan untuk merasakan stimulus (rangsangan), kita tidak selalu menggunakannya. Kita akan menangkap bagi kita dan tidak menangkap yang kelihatannya tidak bermakna. 2) Stimulasi terhadap alat indra diatur. Pada tahap kedua rangsangan terhadap alat indra diatur menurut berbagai prinsip. Salah satu prinsip yang sering digunakan adalah prinsip proksimitas

  Stimulus Penglihatan Suara Bau Rasa Texture

  Indera penerima perhatian Interpretasi tanggapan persepsi

  (proximity) atau kemiripan. Orang atau pesan yang secara fisik mirip satu sama lain dipersepsikan bersama-sama atau sebagai satu kesatuan (unit). Prinsip yang lain adalah kelengkapan (closure). Kita memandang atau mempersepsikan suatu gambar atau pesan yang dalam kenyataan tidak lengkap sebagai gambar atau pesan yang lengkap. Kita melengkapi pesan yang kita dengar dengan bagian-bagian yang tampaknya logis untuk melengkapi pesan tersebut. 3) Stimulasi alat indra ditafsirkan-dievaluasi. Langkah ketiga dalam proses perseptual adalah penafsiran-evaluasi. Kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu harus digabung. Langkah ketiga ini merupakan proses subjektif yang melibatkan evaluasi di pihak penerima. Penafsiranevaluasi sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan tentang yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan sebagainya yang ada pada kita. Jadi penafsiran- evaluasi kita tidak semata-mata didasarkan pada rangsangan luar. Hendaknya jelas dari daftar pengaruh tersebut bahwa ada banyak peluang bagi penafsiran. Meskipun kita menerima sebuah pesan, tetapi cara menafsirkan-mengevaluasinya pada masing-masing orang berbeda. Penafsiran-evaluasi ini juga akan berbeda bagi satu orang yang sama dari satu waktu ke waktu. Perbedaan individual ini jangan sampai membutakan kita akan validitas beberapa generalisasi tentang persepsi. Walaupun generalisasi ini belum tentu berlaku bagi seseorang tertentu, namun hal tersebut berlaku untuk sebagian besar orang.

  d. Proses yang mempengaruhi persepsi Menurut Devito (2011) antara kejadian stimulasi (sampainya sebuah pesan, keberadaan seseorang, senyum, atau lirikan mata) dan evaluasi atau penafsiran terhadap persepsi tersebut, persepsi dipengaruhi oleh berbagai proses psikologi penting. Terdapat enam proses utama yang mempengaruhi persepsi sebagai berikut: 1)

  Teori kepribadian implisit. “Efek halo” yang banyak dikenal orang awam merupakan fungsi dari teori kepribadian implisit kita. Jika kita percaya bahwa seseorang memiliki sejumlah kualitas positif, maka biasanya kita menyimpulkan juga bahwa ia memiliki kualitas positif yang lain. Ada juga “Efek halo terbalik”. Jika kita mengetahui seseorang mempunyai sejumlah kualitas negatif, maka kita juga akan cenderung menyimpulkan bahwa orang itu mempunyai kualitas negatif yang lain. Penggunaan teori kepribadian implisit ini, bersama dengan efek halo dan efek halo terbaliknya, seringkali membawa kita pada ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (self-fulfilling prophecies), proses yang mempengaruhi persepsi kedua.

  2) Ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Proses kedua yang mempengaruhi persepsi ini akan terjadi jika kita memperkirakan atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya dan bertindak seakan-akan itu benar. Terdapat empat langkah dalam proses ini: a) Kita memprediksi atau merumuskan keyakinan tentang seseorang atau situasi. b) Kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seolah-olah ramalan atau keyakinan kita benar. c) Karena kita bersikap seperti itu (seolah-olah keyakinan kita benar), maka menjadi kenyataan. d) Kita mengamati efek kita terhadap seseorang atau situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan kita. Jika kita meramalkan tentang suatu karakteristik atau situasi dan jika kita mengharapkan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu, maka ramalan kita seringkali menjadi kenyataan karena adanya ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya ini.

  3) Aksentuasi perseptual. Pada proses ini membuat kita melihat apa yang kita harapkan dan kita inginkan. Kita melihat orang yang kita sukai sebagai lebih cantik dan lebih pandai daripada orang yang tidak kita sukai. Kontra argumen yang jelas adalah bahwa sebenarnya kita lebih menyukai orang yang cantik dan pandai dan oleh sebab itu kita mencari orang-orang seperti ini, bukan karena orang yang kita sukai itu kelihatan cantik dan pandai. Aksentuasi perseptual dapat menimbulkan hambatan. Kecenderungan kita untuk mempersepsikan yang kita inginkan atau butuhkan dapat membuat kita mendistorsi persepsi kita tentang realistas, membuat kita melihat apa yang kita butuhkan dan kita inginkan daripada apa yang nyatanya ada, ada tidak melihat apa yang tidak ingin kita lihat.

  4) Primari-resensi. Dalam proses ini kita menggunakan informasi yang datang lebih dahulu untuk mendapatkan gambaran umum seperti apa orang itu. Lalu kita menggunakan informasi yang datang belakangan untuk lebih spesifik. Dari efek primari-resensi ini kita mengetahui bahwa kesan pertama yang tercipta tampaknya paling penting. Melalui kesan pertama ini, orang lain akan menyaring tambahan informasi untuk mengetahui gambaran tentang seseorang yang mereka persepsikan. Primari-resensi dapat menimbulkan hambatan. Kecenderungan kita untuk lebih mementingkan informasi yang datang lebih dahulu dan menafsirkan informasi yang datang belakangan sesuai dengan kesan pertama akan membuat kita merumuskan gambaran menyeluruh tentang seseorang berdasarkan kesan awal yang belum tentu benar.

  5) Konsistensi. Menggambarkan kebutuhan kita untuk memelihara keseimbangan diantara sikap-sikap kita. Kita memperkirakan bahwa hal-hal tertentu selalu muncul bersama-sama dan hal-hal lain tidak akan muncul bersama-sama. Kita berharap seseorang yang kita sukai mempunyai karakteristik yang kita sukai pula, dan kita berharap musuh-musuh kita tidak mempunyai karakteristik yang kita sukai. Sebaliknya, kita berharap orang yang kita sukai tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan dan orang yang tidak kita sukai memiliki sifat-sifat yang tidak menyenangkan. Konsistensi bisa menimbulkan hambatan.

  Kecenderungan kita untuk melihat konsistensi pada diri seseorang bisa menyebabkan kita mengabaikan persepsi tentang perilaku yang tidak konsisten dengan gambaran kita mengenai seseorang secara utuh.

  6) Stereotipe. Istilah dalam bidang percetakan yang mengacu pada suatu pelat yang mencetak gambar atau tulisan yang sama berulang-ulang. Dalam sosiologis atau psikologis, stereotipe adalah citra yang melekat pada sekelompok orang. Kita semua memiliki stereotipe atitudinal tentang kelompok bangsa, kelompok agama, kelompok ras, atau mungkin tentang kaum penjahat, kaum tuna susila, guru, atau tukang sapu. Apabila kita mempunyai kesan melekat ini, jika berjumpa dengan salah seorang anggota kelompok, melihat orang itu terutama sebagai anggota kelompok itu. Untuk awal membantu kita mendapatkan orientasi terhadap kelompok tersebut. Namun apabila kita menganggap bahwa semua karakter yang melekat pada kelompok tersebut kita tetapkan juga pada salah satu orang di kelompok tersebut maka akan menimbulkan masalah karena setiap orang memiliki pribadi yang khas. Stereotipe mendistorsi kemampuan kita untuk mempersepsikan orang lain secara akurat. Stereotipe menghalangi kita untuk melihat seseorang sebagai seseorang dan bukan sekedar sebagai anggota suatu kelompok. Teori kepribadian implisit Stereotipe Ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya Konsistensi Aksentuasi persepsi Primari-resensi.

  e. Faktor-faktor yang mempengaruhi selektivitas persepsi Menurut Muchlas (2008) selektivitas persepsi dapat dipengaruhi oleh faktor perhatian luar dan faktor perhatian dalam.

  Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi selektivitas persepsi baik dari luar maupun dari dalam adalah sebagai berikut: 1) Faktor perhatian luar. Faktor perhatian luar terdiri dari pengaruh- pengaruh lingkungan luar seperti: a) Intensitas. Prinsip intensitas perhatian luar adalah makin intens stimulus luar, makin besar kemungkinannya untuk dipersepsikan. Sebagai contoh suara yang keras, bau yang menyengat, cahaya yang menyilaukan akan lebih diperhatikan daripada suara yang lembut, bau yang lemah, atau cahaya yang redup. Dalam konsep psikologi, sebuah prinsip persepsi saja tidak dapat berdiri sendiri untuk menjelaskan perilaku manusia yang kompleks. Prinsip intensitas ini hanya merupakan faktor kecil saja dalam proses persepsi, dan hanya bagian dari proses kognitif, dimana yang terakhir hanya bagian dari perilaku manusia.

  b) Ukuran. Ukuran hubungannya sangat dekat dengan intensitas.

  Prinsip ukuran adalah makin besar objeknya, makin besar kemungkinan untuk dipersepsikan. Sebagai contoh teknisi bengkel mesin, mereka akan lebih memperhatikan mesin- mesin besar daripada mesin-mesin yang kecil walaupun ongkos operasionalisasi dan pemeliharaannya sama.

  c) Kontras. Prinsip kontras adalah berbagai stimulus luar yang berlawanan dengan latar belakangnya atau yang tidak diduga oleh orang-orang lain akan memperoleh perhatian mereka. Sebagai contoh karyawan pabrik, mereka sudah biasa mendengar suara bising bertahun-tahun oleh karena itu tidak terlalu banyak memperhatikan suara tersebut. Namun jika suara bising itu tiba-tiba menghilang/berhenti maka mereka akan segera memperhatikan hal tersebut.

  d) Repetisi. Prinsip repetisi adalah sebuah stimulus luar yang diulang-ulang akan lebih memperoleh perhatian daripada yang tidak diulang. Faktanya, repetisi dapat meningkatkan sensivitas atau kewaspadaan seseorang terhadap stimulus. Sebagai contoh seorang karyawan, karyawan tersebut akan lebih mengerti jika tugas yang diberikan oleh bos diulang berkali-kali dan tidak hanya sekali.

  e) Gerakan. Prinsip gerakan adalah manusia lebih memperhatikan yang bergerak dalam pandangan matanya daripada objek yang diam. Sebagai contoh seorang karyawan, karyawan tersebut akan lebih memperhatikan barang yang bergerak ke arahnya daripada memperhatikan sebuah mesin yang tidak bergerak di dekatnya.

  f) Keterbaruan dan keterbiasaan. Prinsip ini adalah situasi eksternal yang baru maupun yang sudah familiar akan menjadi ukuran besarnya perhatian kita. Sebagai contoh dalam suatu perusahaan, perusahaan yang sudah lama bisa di setting menjadi objek-objek yang baru atau objek-objek yang sudah familiar di setting ke dalam perusahaan yang baru agar dapat menarik perhatian kita. 2) Faktor perhatian dalam. Faktor ini penting karena didasarkan pada masalah psikologis individu yang bersifat kompleks. Faktor perhatian dalam diantaranya: a) Proses belajar dan persepsi. Kebanyakan orang melihat yang menyangkut dunia dan isinya sebagai hasil dari pengalaman masa lalu dan proses belajar. Walaupun pengalaman masa lalu itu belum tentu relevan dengan situasi sekarang, namun pelaku persepsi selalu mempertimbangkannya. Oleh karena itu, implikasi penyeragaman persepsi sangat penting dalam perilaku organisasi. Sebagai contoh dalam perusahaan, terdapat kualitas produk tertentu yang menurun, insinyur mesin mempersepsikan bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan memperbaiki kemampuan desain mesinnya. Berbeda dengan manajer personalia yang mempersepsikan untuk lebih banyak pemberian latihan dan intensif kepada karyawan.