BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Stres - Argiansa Afrian BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Stres

  a. Pengertian Stres Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres. Konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres, semua sebagai suatu sistem (WHO, 2003).

  Stres dapat didefinisikan melalui tiga cara yang berbeda, yaitu sebagai stimulus, sebagai respon, dan sebagai interaksi. Sebagai stimulus, apabila fokus pada lingkungan, misalnya memiliki pekerjaan dengan tingkat stres tinggi. Sebagai respon, apabila fokus pada reaksi terhadap stressor, misalnya ketika seseorang mengucapkan kata stres sewaktu berada pada kondisi tertekan “saya merasa stres ketika harus memberikan pidato”. Sebagai interaksi, hubungan seseorang dengan stimulus lingkungannya, seseorang disini merupakan agen aktif yang bisa mempengaruhi akibat dari stressor melalui tingkah laku, kognisi dan strategi emosi (Brannon dan Feist, 2007).

  Stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari setiap orang yang mengalaminya (Rasmun, 2004).

  Sedangkan suatu kejadian eksternal yang menyebabkan respon-respon stres internal, baik secara fisik maupun emosi tersebut disebut dengan stressor.

  b. Sumber Stres Sumber stres adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologis nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stress

  (reaksi stres akut) adalah gangguan sementara yang muncul pada

  reaction acute

  seorang individu tanpa adanya gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari. Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang memainkan peranan dalam terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya (Sunaryo, 2004).

  Bayi, anak-anak dan dewasa semua dapat mengalami stres. Sumber stres bisa berasal dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas sosial (Alloy, 2004).

  Menurut Maramis (2009) dalam bukunya, ada empat sumber atau penyebab stres psikologis, yaitu frustasi, konflik, tekanan, krisis.

  1) Frustasi Timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena ada aral melintang, misalnya apabila ada perawat puskesmas lulusan SPK bercita-cita ingin mengikuti D3 AKPER program khusus puskesmas, tetapi tidak diizinkan oleh istri/suami, tidak punya biaya dan sebagainya. Frustasi ada yang bersifat intrinsik (cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik

  (kecelakaan, bencana alam, kematian orang yang dicintai, kegoncangan ekonomi, pengangguran, perselingkuhan, dan lain-lain).

  2) Konflik Timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam-macam keinginan, kebutuhan atau tujuan. Ada 3 jenis konflik, yaitu : a) Approach-approach conflict, terjadi apabila individu harus memilih satu diantara dua alternatif yang sama-sama disukai, misalnya saja seseorang yang sulit menentukan keputusan diantara dua pilihan karir yang sama- sama diinginkan. Stres muncul akibat hilangnya kesempatan untuk menikmati alternatif yang tidak diambil. Jenis konflik ini biasanya sangat mudah dan cepat diselesaikan.

  b) Avoidance-avoidance conflict, terjadi bila individu dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tidak disenangi, misalnya wanita muda yang hamil diluar pernikahan, di satu sisi ia tidak ingin aborsi tapi disisi lain ia belum mampu secara mental dan finansial untuk membesarkan anaknya nanti. Konflik jenis ini lebih sulit diputuskan dan memerlukan lebih banyak tenaga dan waktu untuk menyelesaikannya karena masing-masing alternatif memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan.

  c) Approach-avoidance conflict, merupakan situasi dimana individu merasa tertarik sekaligus tidak menyukai atau ingin menghindar dari seseorang atau suatu objek yang sama, misalnya seseorang yang berniat berhenti merokok, karena khawatir merusak kesehatannya tetapi ia tidak dapat membayangkan sisa hidupnya kelak tanpa rokok.

  3) Tekanan

   Timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan dapat berasal dari dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang terlalu tinggi.

  Tekanan yang berasal dari luar individu, misalnya orang tua menuntut anaknya agar disekolah selalu rangking satu, atau istri menuntut uang belanja yang berlebihan kepada suami. 4) Krisis

  Keadaan mendadak yang menimbulkan stres pada individu, misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan dan penyakit yang harus segera dioperasi.

  c. Jenis-jenis Stres Quick dan Quick (1984) dalam Girdano (2005) mengatakan bahwa terdapat dua jenis stres, yaitu

  1) Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat

  performance yang tinggi. Ini adalah semua bentuk stres yang mendorong

  tubuh untuk beradaptasi dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika tubuh mampu menggunakan stres yang dialami untuk membantu melewati sebuah hambatan dan meningkatkan performa, stres tersebut bersifat positif, sehat, dan menantang (Walker.J, 2002).

  2) Distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu terhadap penyakit sistemik dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Distres adalah semua bentuk stres yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya, membebani tubuh, dan menyebabkan masalah fisik atau psikologis. Ketika seseorang mengalami distres, orang tersebut akan cenderung bereaksi secara berlebihan, bingung, dan tidak dapat berperforma secara maksimal (Walker.J, 2002).

  d. Tahapan Stres Gejala stres pada seseorang seringkali tidak disadari, kerana perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari- hari. Menurut Amberg (1979) sebagaimana dikemukakan Hawari (2001) bahwa tahapan stres dibagi sebagai berikut: 1) Stres tahap I

  Tahapan ini merupakan tahapan stress yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut : a) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting);

  b) Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya;

  c) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.

  2) Stres tahap II Dalam tahapan ini dampak stress yang semula “menyenangkan” sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari, karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut : a) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar;

  b) Merasa mudah lelah sesudah makan siang;

  c) Lekas merasa capai menjelang sore hari;

  d) Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort);

  e) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar);

  f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang; g) Tidak bisa santai.

  3) Stres Tahap III Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu:

  a) Gangguan lambung dan usus semakin nyata : misalnya keluhan “maag”(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare);

  b) Ketegangan otot-otot semakin terasa;

  c) Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat; d) Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (Late insomnia); e) Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau pingsan).

  Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit.

  4) Stress Tahap IV Gejala stress tahap IV, akan muncul yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut a) Merasa sulit untuk bertahan sepanjang hari;

  b) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit; c) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate); d) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari;

  e) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan;

  f) Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tidak ada semangat dan tidak ada kegairahan; g) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun;

  h) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

  5) Stres Tahap V Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stress tahap V, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: a) Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan

  psychological exhaustion );

  b) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana; c) Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal

  disorder );

  d) Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

  6) Stres Tahap VI Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stress tahap VI ini berulang dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut:

  a) Debaran jantung amat keras;

  b) Susah bernapas (sesak dan megap-megap);

  c) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran;

  d) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan; e) Pingsan atau kolaps (collapse).

  Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana digambarkan di atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stressor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya. e. Pengukuran Tingkat Stres Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami seseorang. Tingkatan stres ini bisa diukur dengan banyak skala.

  Antaranya adalah dengan menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42

  (DASS 42) atau lebih diringkaskan sebagai Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS 21) oleh Lovibond & Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item dan Depression Anxiety Stres Scale 21 terdiri dari 21 item. DASS adalah

  seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau individu untuk tujuan penelitian (Lovibond & Lovibond, 1995).

  Selain itu, ada juga skala-skala lain yang bisa digunakan seperti

  Perceived Stres Scale(PSS) atau Profile Mood States(POMS). Alat-alat ini

  digunakan sebagai instrument untuk mendeteksi stres dan tahap stres dan bukannya sebagai alat untuk mendiagnosa (Cohen, 1983).

  f. Tingkat Stres Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma, pengalaman, pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga, tahap perkembangan keluarga, pengalaman masa lalu dengan stres serta mekanisme koping. Berdasarkan studi literatur, ditemukan tingkatan stres menjadi lima bagian, antara lain : 1) Stres normal

  Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi : kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih keras setelah aktivitas (Crowford & Henry, 2003). Stres normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah mengalami stres.

  2) Stres ringan Stres ringan adalah stressor yang dihadapi secara teratur yang dapat berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur, kemacetan atau dimarahi dosen. Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain bibir sering kering, kesulitan bernafas (sering terengah-engah), kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, berkeringat berlebihan ketika temperature tidak panas dan tidak setelah beraktivitas, takut tanpa alas an yang jelas, menyadari denyut jantung walaupun tidak setelah melakukan aktivitas fisik, tremor pada tangan, dan merasa sangat lega jika situasi berakhir (Psychology Foundation of Australia, 2010). Dengan demikian, stressor ringan dengan junlah yang banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan resiko penyakit bagi seseorang. 3) Stres sedang

  Stres ini terjadi lebih lama, anatara beberapa jam sampai beberapa hari. Misalnya masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan teman atau pacar. Stressor ini dapat menimbulkan gejala, anatara lain mudah marah, bereaksi berlebihan terhadap situasi, sulit untuk beristirahat, merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan menghadapi gangguan terhadap hal yang sedang dilakukam, mudah tersinggung, gelisah dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal, tugas kuliah (Psychology Foundation of Australia, 2010).

  4) Stres berat Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan dengan dosen atau teman secara terus-menerus, kesulitan financial yang berkepanjangan dan penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan lama situasi stres, makin tinggi resiko stres yang ditimbulkan. Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain merasa tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan di masa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat akan segala hal, merasa tidak berharga sebagai seorang manusia, berpikir bahwa hidup tidak bermanfaat. Semakin meningkat stres yang dialami mahasiswa secara bertahap maka akan menurunkan energi dan respon adaptif (Psychology Foundation of Australia, 2010).

  5) Stres sangat berat Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa bulan dan waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang yang mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup dan cenderung pasrah. Seseorang dalam tingkatan stres ini biasanya teridentifikasi mengalami depresi berat. g. Reaksi Tubuh Terhadap Stres 1) Rambut

  Warna rambut yang semula hitam pekat, lambat laun mengalami perubahan warna menjadi kecokelat-cokelatan serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula dengan kerontokan rambut.

  2) Mata Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak jelas karena kabur. Hal ini disebabkan karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata. 3) Telinga Pendengaran seringkali terganggu dengan suara berdenging (tinitus).

  4) Daya pikir Kemampuan bepikir dan mengingat serta konsentrasi menurun. Orang menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala pusing.

  5) Ekspresi wajah Wajah seseorang yang stres nampak tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai, bicara berat, sukar untuk senyum atau tertawa dan kulit muka kedutan (tic facialis).

  6) Mulut Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum. Selain daripada itu pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga ia sukar menelan, hal ini disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan mengalami spasme (muscle cramps

  ) sehingga serasa “tercekik”.

  7) Kulit Pada orang yang mengalami stress reaksi kulit bermacam-macam; pada kulit dari sebahagian tubuh terasa panas atau dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain kelembaban kulit yang berubah, kulit menjadi lebih kering. Selain itu perubahan kulit lainnya adalah merupakan penyakit kulit, seperti munculnya eksim, urtikaria (biduran), gatal-gatal dan pada kulit muka seringkali timbul jerawat (acne) berlebihan, juga sering dijumpai kedua belah tapak tangan dan kaki berkeringat (basah). 8) Sistem Pernafasan

  Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat terganggu misalnya nafas terasa berat dan sesak disebabkan terjadi penyempitan pada saluran pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada. Nafas terasa sesak dan berat dikarenakan otot-otot rongga dada (otot- otot antartulang iga) mengalami spasme dan tidak atau kurang elastic sebagaimana biasanya. Sehingga ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik nafas. Stres juga dapat memicu timbulnya penyakit asma (asthma

  

bronchiale ) disebabkan karena otot-otot pada saluran nafas paru-paru juga

mengalami spasme.

  9) Sistem Kardiovaskuler Sistem jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskuler dapat terganggu faalnya karena stress. Misalnya, jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau menyempit (constriction) sehingga yang bersangkutan nampak mukanya merah atau pucat. Pembuluh darah tepi (perifer) terutama di bagian ujung jari-jari tangan atau kaki juga menyempit sehingga terasa dingin dan kesemutan. Selain daripada itu sebahagian atau seluruh tubuh terasa “panas” (subfebril) atau sebaliknya terasa “dingin”.

  10) Sistem Pencernaan Orang yang mengalami stress seringkali mengalami gangguan pada sistem pencernaannya. Misalnya, pada lambung terasa kembung, mual dan perih, hal ini disebabkan karena asam lambung yang berlebihan (hiperacidity). Dalam istilah kedokteran disebut gastritis atau dalam istilah awam dikenal dengan sebutan penyakit maag. Selain gangguan pada lambung tadi, gangguan juga dapat terjadi pada usus, sehingga yang bersangkutan merasakan perutnya mulas, sukar buang air besar atau sebaliknya sering diare. 11) Sistem Perkemihan

  Orang yang sedang menderita stres faal perkemihan (air seni) dapat juga terganggu yang sering dikeluhkan orang adalah frekuensi untuk buang air kecil lebih sering dari biasanya, meskipun ia bukan penderita kencing manis (diabetes mellitus).

  12) Sistem Otot dan Tulang Stres dapat pula menjelma dalam bentuk keluhan-keluhan pada otot dan tulang (musculoskeletal). Penderita sering mengeluh otot terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang. Selain daripada itu keluhan-keluhan pada tulang persendian sering pula dialami, misalnya rasa ngilu atau rasa kaku bila menggerakan anggota tubuhnya. Masyarakat awam sering mengenal gejala ini sebagai keluhan ”pegal-linu”.

  13) Sistem Endokrin (hormon)

  Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada mereka yang mengalami stress adalah kadar gula yang meninggi, dan bila hal ini berkepanjangan bisa mengakibatkan yang bersangkutan menderita penyakit kencing manis (diabetes mellitus), gangguan hormonal lain misalnya pada wanita adalah gangguan menstruasi yang tidak teratur dan rasa sakit (dysmenorrhoe).

  h. Manajemen Stres Manajemen stress merupakan upaya mengelola stres dengan baik, bertujuan untuk mencegah dan mengatasi stres agar tidak sampai ke tahap yang paling berat. Beberapa manajemen stres yang dapat dilakukan yaitu 1) Mengatur diet dan nutrisi.

  Pengaturan diet dan nutrisi merupakan cara yang efektif dalam mengurangi dan mengatasi stres. Ini dapat dilakukan dengan mengonsumsi makanan yang bergizi sesuai porsi dan jadwal yang teratur. Menu juga sebaiknya bervariasi agar tidak timbul kebosanan.

  2) Istirahat dan tidur.

  Isirahat dan tidur merupakn obat yang terbaik dalam mengatasi stress karena istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keletihan fisik dan kebugara tubuh. Tidur yang cukup juga dapat memperbaiki sel-sel yang rusak.

  3) Olahraga teratur.

  Olahraga yang teratur adalah salah satu cara daya tahan dan kekebalan fisik maupun mental. Olahraga yang dilakukan tidak harus sulit. Olahraga yang sederhana sepeti jalan pagi atau lari pagi dilakukan paling tidak dua kali seminggu dan tidak harus sampai berjam-jam. Seusai berolahraga, diamkan tubuh yang berkeringat sejenak lalu mandi untuk memulihkan kesegarannya.

  4) Berhenti merokok.

  Berhenti merokok adalah bagian dari cara menanggulangi stres karena dapat meningkatkan status kesehatan serta menjaga ketahanan dan kekebalan tubuh. 5) Menghindari minuman keras.

  Minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan terjadinya stres. Dengan menghindari minuman keras, individu dapat terhindar dari banyak penyakit yang disebabkan oleh pengaruh minuman keras yang mengandung akohol.

  6) Mengatur berat badan.

  Berat bada yang tidak seimbang (terlalu gemuk atau terlalu kurus) merupakan faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stres. Keadaan tubuh yang tidak seimbang akan menurunkan ketahanan dan kekebalan tubuh terhadap stres. i. Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Stres

  Sarafino menjabarkan tentang dua aspek utama dari dampak yang ditimbulkan akibat stres yang terjadi pada manusia, yaitu: 1) Aspek Biologis

  Beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh.

  2) Aspek Psikologis Terdapat tiga gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, diantaranya: a) Gejala Kognisi

  Gejala-gejala yang muncul pada aspek kognisi seperti menurunnya daya ingat, perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan sesuatu hal.

  b) Gejala Emosi Gejala-gejala yang muncul pada aspek emosi seperti mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih, dan depresi.

  c) Gejala Tingkah Laku Gejala-gejala yang muncul pada aspek tingkah laku seperti mudah menyalahkan dan mencari kesalahan orang lain, melanggar norma karena tidak bisa mengontrol perbuatannya, bersikap tak acuh pada lingkungannya, serta suka melakukan penundaan pekerjaan.

2. Mekanisme koping

  a. Pengertian Koping Kemampuan koping diperlukan oleh setiap manusia untuk mampu bertahan hidup didalam lingkungan yang selalu berubah dengan cepat.

  Koping merupakan proses pemecahan masalah dimana seseorang mempergunakannya untuk mengelola kondisi stres. Dengan adanya penyebab stres (stresor) orang akan secara sadar atau tidak sadar bereaksi untuk mengatasi masalah tersebut (Smeltzer, Suzanne dan Brenda, 2000).

  Menurut Lazarus koping terdiri atas usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk mengatur hubungan keluar (external) dan kedalam (internal) tertentu yang membatasi sumber seseorang. Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri terhadap perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam.

  b. Jenis koping dan strategi koping 1) Lazarus

  Mengemukakan 2 jenis proses koping yaitu berfokus emosi dan berfokus pada masalah. Fokus emosi ini digunakan untuk mengatur respon emosi terhadap stres. Penyatuannya melalui perilaku individu, bagaimana menghilangkan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan srategi kognitif. Metode ini dipakai jika individu merasa tidak mampu mengubah kondisi yang membuat stres. Sedangkan koping yang berfokus pada masalah adalah koping yang digunakan untuk mengurangi stresor individu, mengatasi dan mempelajari cara-cara baru atau ketrampilan baru. Individu akan menggunakan strategi ini bila dirinya dapat mengubah situasi (Smeltzer, Suzanne, dan Brenda, 2000).

  2) Bell Membagi koping menjadi 2 yaitu koping jangka pendek dan koping jangka panjang. Koping jangka pendek mempunyai ciri yaitu: penyelesaian masalah cepat dan hanya bersifat sementara namun bersifat merusak, sedangkan koping jangka panjang bersifat konstruktif dan realistis (Pilletry, 1999).

  3) Shafer Mengemukakan 3 pendekatan koping yaitu: mengganggu stressor, adaptasi terhadap stres, menghindari stressor (Taylor dan Carol, 1997).

  c. Faktor-faktor yang mempengaruhi koping Mekanisme koping seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor diantaranya (Taylor dan Carol, 1997):

  1) Peran dan hubungannya. 2) Gizi dan metabolisme. 3) Tidur dan istirahat. 4) Rasa aman dan nyaman. 5) Pengalaman masa lalu. 6) Tingkat pengetahuan seseorang. 7) Lingkungan tempat tinggal.

  d. Karakteristik mekanisme koping Menurut Stuart dan Sundeen (1998), rentang respon mekanisme koping sebagai berikut :

  1) Adaptif Maladaptif 2) Kurang Adaptif 3) Maladaptif

  Jadi karakterisistik mekanisme koping adalah sebagai berikut: 1) Adaptif jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Masih mampu mengontrol emosi pada dirinya.

  b) Memiliki kewaspadaan yang tinggi, lebih perhatian pada masalah.

  c) Memiliki persepsi yang luas.

  d) Dapat menerima dukungan dari orang lain.

  2) Kurang adaptif jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Memiliki perasaan yang takut terhadap apa yang terjadi pada dirinya.

  b) Memiliki perasaan malu terhadap keadaan pada dirinya sendiri.

  c) Memiliki pikiran yang tidak adekuat atau mispersepsi. 3) Maladaptif jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Tidak mampu berfikir apa –apa atau disorientasi.

  b) Tidak mampu menyelesaikan masalah.

  c) Perilakunya cenderung merusak.

  Menurut National Safety Council (2004), strategi koping yang berhasil mengatasi stres harus memiliki 4 komponen yaitu: 1) Peningkatan kesadaran terhadap masalah: fokus obyektif yang jelas dan prespektif yang utuh terhadap situasi yang tengah berlangsung.

  2) Pengolahan informasi: situasi pendekatan yang mengharuskan anda mengalihkan persepsi sehingga ancaman dapat diredam. Pengolahan informasi juga meliputi pengumpulan informasi dan pengkajian semua sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah.

  3) Pengubahan perilaku: tindakan yang dipilih secara sadar yang dilakukan bersama sikap yang positif, dapat meminimalkan atau menghilangkan stresor. 4) Resolusi damai : suatu perasaan bahwa situasi telah berhasil diatasi.

3. Gagal Ginjal Kronik

  a. Pengertian Gagal Ginjal Kronik

   National Kidney Foundation (2002), mendefinisikan penyakit gagal

  ginjal kronik adalah kerusakan ginjal atau filtrasi glomerulus rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 untuk 3 bulan atau lebih dalam kurun waktu yang sama. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (GGK) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang dapat menyebabkan terjadinya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2002).

  Brunner & Studdarth (2002), mendefinisikan gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.

  Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Sukandar, 2006).

  b. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik Secara ringkas patofisiologis gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan cairan penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25 % normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsobrpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi (Arif mutaqin, 2011).

  Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorbsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron- nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi.

  Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrsi protein-protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak manifestasi pada setiap organ tubuh.

  c. Penyebab Gagal Ginjal Kronik Menurut Price (2002) penyebab gagal ginjal kronik yaitu:

  1) Infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih (ISK) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa memandang usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih umumnya dibagi dalam dua kategori : Infeksi saluran kemih bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian atas (pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis dan infeksi saluran kencing bagian ginjal tahap akhir pada anak-anak. 2) Penyakit Peradangan

  Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabnya oleh glomerulonepritis kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan terjadi kerusakan glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya gagal ginjal (Price, 2002).

  3) Hipertensi Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.

  Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, serta pengaruh vasopresor dari sistem renin angitensin (Price, 2002). 4) Gangguan kongenital dan herediter

  Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan penyakit herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir dengan gagal ginjal meskipun lebih sering di jumpai pada penyakit polikistik (Price, 2002).

  5) Gangguan metabolik Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik antara lain diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan amiloidosis (Price, 2002). 6) Nefropati Toksik

  Ginjal khusnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan- bahan kimia karena alasan-alasan, menurut (Price, 2002): a) Ginjal menerima 25% dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.

  b) Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada daerah yang relatif hipovaskular.

  c) Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat, sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.

  d. Gejala Gagal Ginjal Kronik Perubahan frekuensi kencing, sering ingin berkemih pada malam hari pembengkakan pada bagian pergelangan kaki, kram otot pada malam hari lemah dan lesu, kurang berenergi, nafsu makan turun, mual, dan muntah , Sulit tidur, bengkak seputar mata pada pagi waktu bangun pagi hari atau mata merah dan berair (uremic red eyes) karena deposit garam kalsium fosfat yang dapat menyebabkan iritasi hebat pada selaput lendir mata, kulit gatal dan kering (Anggota IKAPI, 2008).

  e. Pencegahan Upaya pencegahan terhadap penyakit gagal ginjal kronik dilakukan pada stadium dini penyakit gagal ginjal kronik. Upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit gagal ginjal dan kardiovaskular yaitu pengobatan hipertensi (semakin rendah tekanan darah semakin semakin kecil resiko penurunan fungsi ginjal) pengendalian gula darah, lemak darah, anemia penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (Roesly R, 2008). f. Komplikasi Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2001) yaitu: 1) Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet berlebihan.

  2) Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.

  3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-angiostensin-aldosteron.

  4) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinalakibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis. 5) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

4. Terapi Hemodialisis

  a. Pengertian hemodialisis Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah di dalam tubuh kita, ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner & Suddarth, 2011). Salah satu terapi yang diberikan pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah hemodialisis. b. Jalan masuk ke aliran darah (vascular access point) Sebelum memulai hemodialisa, melalui tindakan pembedahan, pada tubuh pasien akan dibuat jalan masuk ke aliran darah (vascular access point) yaitu, pembuluh darah arteri akan dihubungkan dengan arteial line, yang membawa darah dari tubuh menuju ke dialyzer. Sedangkan pembuluh darah vena akan dihubungkan dengan venous line, yang membawa darah dari dialyzer kembali ke tubuh (Novicki, 2007).

  c. Tujuan hemodialisis Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisis mempunyai tujuan: 1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.

  2) Membuang kelebihan air. 3) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh. 4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh. 5) Memperbaiki status kesehatan penderita.

  d. Proses hemodialisis 1) Akses Vaskuler Seluruh dialisis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien.

  Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.

  2) Membran semi permeable Hal ini ditetapkan dengan dialiser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialisis dapat terjadi. 3) Difusi

  Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.

  4) Konveksi Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut. 5) Ultrafiltrasi

  Proses dimana cairan dipindahkan saat dialisis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane:

  a) Tekanan positf merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membrane. Pada dialisis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.

  b) Tekanan negatif merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik” cairan keluar darah.

  c) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.

  e. Frekuensi Hemodialisis Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisis sebanyak 2 kali/minggu.

  Program dialisis dikatakan berhasil jika : 1) Penderita kembali menjalani hidup normal.

  2) Penderita kembali menjalani diet yang normal. 3) Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi. 4) Tekanan darah normal. 5) Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif.

  Dialisis bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronik atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisis dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.

  f. Komplikasi pada Hemodialisis Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisis yang sering terjadi pada saat dilakukan terapi adalah:

  1) Hipotensi 2) Kram otot 3) Mual atau muntah 4) Sakit kepala 5) Sakit dada 6) Gatal-gatal

B. KERANGKA TEORI

  Penderita Gagal Ginjal Kronik

  Perubahan Fisiologis : Perubahan Psikologis :  Sering BAK  Menolak  Cepat Haus  Cemas  Cepat Lapar  Marah  Keringat dingin  Depresi Stres Tingkat Stres  Normal  Ringan  Sedang  Berat  Sangat Berat Koping Pasien Strategi Koping Adaptif Maladaptif

Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Friedman (1998), Smeltzer & Bare (2002), Nadesul (2002), Darmono (2007)

C. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian D. HIPOTESIS

  Menurut Arikunto (2010, h.110) hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Ho : Tidak terdapat hubungan tingkat stres dengan strategi koping pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tahun 2014. Ha : Terdapat hubungan tingkat stres dengan strategi koping pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tahun 2014. Pasien Gagal Ginjal

  Kronik yang menjalani terapi hemodialisis

  Strategi koping :  Adaptif  Maladaptif Tingkat Stres :

   Normal  Ringan  Sedang  Berat  Sangat Berat