BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Maulida Rahmasandi BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Menurut penelitian (Rohmiyati. 2016) menyatakan bahwa fraksi etil
asetat ekstrak etanol kulit pisang raja mempunyai aktivitas antioksidan yang memiliki IC sebesar 77,068 ppm.
50 Selain itu, pada penelitian (Alfiani. 2014) menyatakan bahwa pada
konsentrasi 0,002 µg/ml didapatkan persen penghambatan antioksidan pada kulit pisang raja sebesar 73,89% dibandingkan dengan daging buahnya sebesar 66,45%. Sedangkan pada penelitian (Pane. 2013) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak kulit pisang raja dengan menggunakan fraksi etil asetat lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak metanol dan fraksi n-heksan.
B. Tanaman Pisang Raja
Pisang raja termasuk jenis pisang buah. Menurut ahli sejarah dan botani secara umum pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau Pasifik Barat. Selanjutnya menyebar ke berbagai negara baik negara tropis maupun negara subtropis. Akhirnya buah pisang dikenal di seluruh dunia. Jadi pisang raja termasuk tanaman asli Indonesia dan kultivar- kultivarnya banyak ditemukan di pulau Jawa (Zuhairini. 1997).
Gambar 2.1. Pisang Raja (dokumen pribadi)1. Klasifikasi tanaman pisang
Adapun klasifikasi tanaman pisang raja menurut (Tjitrosoepomo.2001) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Musaceae Genus : Musa Spesies : Musa paradisiaca,L.
2. Morfologi
Pisang Raja merupakan jenis tanaman berbiji, berbatang semu yang dapat tumbuh sekitar 2,1 - 2,9 meter, berakar serabut yang tumbuh menuju bawah sampai kedalaman 75 -150 cm, memiliki batang semu tegak yang berwarna hijau hingga merah dan memiliki noda coklat atau hitam pada batangnya. Helaian daunnya berbentuk lanset memanjang yang letaknya tersebar dengan bagian bawah daun tampak berlilin. Daun ini diperkuat oleh tangkai daun yang panjangnya antara 30 - 40 cm. Memiliki bunga yang bentuknya menyerupai jantung, berkelamin satu yaitu berumah satu dalam satu tandan dan berwarna merah tua. Buahnya melengkung ke atas, dalam satu kesatuan terdapat 13 -16 buah dengan panjang sekitar 16 - 20 cm (Daniells, et al., 2001)
3. Kandungan Kimia
Buah pisang raja mengandung zat protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B, C, dan zat metabolit sekunder lainnya (Atun. 2007). Menurut (Munadjim. 1998), kandungan gizi kulit pisang raja cukup lengkap seperti karbohidrat, lemak, protein, kalsium, fosfat, zat besi, vitamin B, vitamin C dan air. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa komposisi kulit pisang banyak mengandung air yaitu 68,90 % dan karbohidrat sebesar 18,50 %. Kulit pisang raja masak yang berwarna kuning kaya akan senyawa kimia yang bersifat antioksidan, baik senyawa flavonoid maupun senyawa fenolik. Senyawa flavonoid yang terdapat pada kulit pisang raja yaitu isoflavon (Rohmiyati. 2016).
Tabel 2.1.Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 gram Bahan
Zat Gizi Kadar (gr)
Air (ml) 68,90Karbohidrat (gr) 18,50 Lemak (gr) 2,11 Protein (gr) 0,32 Kalsium (gr) 715,00 Fosfor (mg) 117,00 Zat Besi (mg) 1,60 Vitamin B (mg) 0,12 Vitamin C (mg) 17,50
Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Jatim,Surabaya (1982).
4. Manfaat dan Efek Farmakologi Tanaman Pisang
Kegunaan tumbuhan pisang antara lain sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan radang selaput lendir mata, luka terbakar (daunnya yang masih muda), demam nifas (teras batangnya), mencret, disentri (getah batangnya), radang selaput lendir usus, ambein, sariawan (buah pisang, biji buahnya), kena racun makanan (umbinya), radang tonsil, kurang darah (pisang kepok, akar dan umbinya), maupun digigit ular berbisa (umbi pisang raja) (Sudarman dan Harsono. 1989). Selain itu, kulit buah pisang raja juga dapat digunakan sebagai obat penyakit kuning, antidiare, obat gangguan pencernaan (dispepsia) seperti penyakit maag, obat luka, menurunkan kolesterol darah, dapat digunakan sebagai tepung untuk olahan makanan (Cahyono. 2009), melembabkan kulit, menghilangkan bekas cacar, menghaluskan tangan dan kaki, antinyamuk dan menjaga kesehatan retina mata dari kerusakan akibat cahaya berlebih (Satuhu. 1996) .
C. Ekstraksi
Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi 3 yaitu simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral atau pelikan (Depkes,RI. 1989).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM. 2000).
Pembagian metode ekstraksi menurut (Ditjen POM. 2000) yaitu :
1. Metode dingin
a. Maserasi Maserasi adalah proses perendaman simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut.
Karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak keluar.
b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Prinsip perkolasi yaitu serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori.
Cairan berpori dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan diatasnya, dikurangi dengan gaya kapiler yang cenderung untuk menahan (Depkes RI. 1986).
2. Metode panas
a. Refluks Refluks adalah metode ekstraksi menggunakan pelarut pada temperature titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Soxletasi Soxletasi adalah metode ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru dan umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi secara kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. c. Digesti Digesti adalah metode maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada suhu yang tinggi dari suhu ruangan yaitu secara
o o
umum dilakukan pada suhu 40 - 50 C.
d. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-
o
bahan tumbuhan. Proses ini dilakukan pada suhu 90 C selama 15 menit.
D. Antioksidan
Antioksidan alami merupakan senyawa fitokimia berupa zat alami yang terdapat dalam tanaman yang dapat memberikan cita rasa, aroma dan warna yang khas pada tanaman tersebut. Secara kimia, senyawa antioksidan merupakan senyawa pendonor elektron. Secara biologis, antioksidan merupakan senyawa yang dapat menangkal atau meredam proses radikal bebas. Antioksidan bekerja denga cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga senyawa yang bersifat oksidan tersebut dapat dihambat (Yenrina dan Sayuti. 2015).
Senyawa fenolik mempunyai berbagai efek biologis seperti aktivitas antioksidan melalui mekanisme sebagai pereduksi, penangkal radikal bebas, pengkhelat logam, peredam terbentuknya singlet oksigen serta pendonor elektron. Flavonoid merupakan salah satu dari kelompok senyawa fenolik yang biasanya ditemukan dalam buah-buahan maupun sayur-sayuran. Beberapa tahun belakangan ini, telah dibuktikan bahwa flavonoid memiliki potensi yang besar dalam melawan penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas (Yenrina dan Sayuti. 2015).
Manfaat antioksidan sangatlah penting yaitu untuk mempertahankan mutu produk pangan, kesehatan serta kecantikan. Dalam bidang kesehatan dan kecantikan, antioksidan berfungsi untuk mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah, penuaan dini, dan penyakit degeneratif lainnya. Di bidang industri pangan, antioksidan dapat digunakan untuk mencegah proses terjadinya oksidasi yang dapat menyebabkan kerusakan, seperti ketengikan, perubahan warna dan aroma serta kekeruhan fisik pada produk pangan lainnya (Tamat et al. 2007).
Resiko terkena penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, kanker, aterosklerosis, osteoporosis dan lain-lain, bisa dicegah dengan mengkonsumsi senyawa antioksidan secukup mungkin. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan yang dapat meningkatkan status imunologi dan mencegah timbulnya penyakit degeneratif akibat penuaan dini (Yenrina dan E.
Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan atom atau molekul elektron yang tidak berpasangan sehingga mengakibatkan sifatnya sangat tidak stabil (Robert. 2008). Hal ini karena radikal bebas mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan pada kulit luar. Elektron pada radikal bebas sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat, atau asam deoksiribonukleat (DNA) sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi sel. Jika radikal bebas sudah terbentuk dalam tubuh, maka akan terjadi reaksi berantai dan menghasilkan radikal bebas baru. Reaksi ini dapat berakhir jika ada molekul yang memberikan elektron yang dibutuhkan oleh radikal bebas tersebut atau dua buah gugus radikal bebas membentuk ikatan non-radikal (Kartika. 2010). Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel. Akibatnya, dinding sel menjadi rapuh. Senyawa oksigen reaktif ini juga mampu merusak bagian dalam pembuluh darah sehingga meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan arterosklerosis, merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika, dan berlanjut pada pembentukan sel kanker (Winarsi. 2007). Mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas dibagi menjadi 3 tahapan reaksi, yaitu:
1. Inisiasi
2 O
: RH + OH → R• + H
2. Propagasi
2
: R• + O → ROO• ROO• + RH → ROOH + R•
3. Terminasi
2
: ROO• + ROO• → ROOR + O ROO•+ R• → ROOR R•+ R•→ RR
(Sayuti et al., 2015) Radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh dan dari luar tubuh.
1. Sumber dari dalam tubuh yaitu : proses oksidasi yang berlebihan, proses olahraga yang berlebihan, proses peradangan akibat menderita sakit kronik atau kanker, dan stress berat. tercemar, radiasi matahari atau kosmis, radiasi fototerapi (penyinaran), konsumsi obat-obatan termasuk kemoterapi, pestisida dan zat kimia.
Pembentukan radikal bebas (stress oksidasi) merupakan suatu kondisi fisiologis yang memegang peranan penting dalam proses terjadinya suatu penyakit, serta proses penuaan. Umumnya sel bereaksi terhadap stres oksidasi ini dengan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan dan sistem pertahanan lain. Namun stres oksidasi berat dapat merusak secara permanen DNA, protein dan lemak.
F. Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
Gambar 2.2 Struktur DPPH (Kurniawan. 2011)DPPH merupakan senyawa berwarna ungu dan juga merupakan suatu radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Metode DPPH addalah sebuah metode yang sederhana yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang padat dan juga dalam bentuk larutan, tetapi tidak spesifik untuk komponen antioksidan partikular, tetapi dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas antioksidan secara keseluruhan pada suatu sampel (Kurniawan. 2011). Prinsipnya dimana elektron ganjil pada molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 517 nm yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi warna kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan. Perubahan warna ini berdasarkan kesetimbangan kimia (Prakash et al. 2001).
Metode DPPH merupakan metode yang cepat, sederhana, dan tidak dengan menggunakan radikal bebas 1,1-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH).
Metode ini sering digunakan untuk menguji senyawa yang berperan sebagai
free radical scavengers atau donor hidrogen dan mengevaluasi aktivitas
antioksidannya, serta mengkuantifikasi jumlah kompleks radikal antioksidan yang terbentuk. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang berupa padatan atau cairan (Prakash,et al. 2001). Setiap molekul yang dapat menyumbangkan elektron atau hidrogen akan bereaksi dan memudarkan DPPH. Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu menjadi kuning oleh elektron yang berasal dari senyawa penangkap radikal bebas (Nihlati et al., 2011).
Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisiensi atau Efficient Concentration (EC
50 ) atau Inhibition Concentration (IC 50 ) yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan
50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga (EC
50 ) atau (IC 50 ) yang rendah.
Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC
50
kurang dari 50 ppm, kuat apabila nilai IC
50 antara 50-100 ppm, sedang
apabila nilai IC
50 berkisar antara 100-150 ppm, dan lemah apabila nilai IC
50 berkisar antara 150- 200 ppm. (Andarwulan et al. 1996).
G. Spektrofotometri UV-VIS
Spektrofotometri UV-VIS adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan sinar tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan sinar tampak memiliki energi yang cukup mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrofotometri UV-VIS biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ini berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Pratama & Zulkarnain. 2015).
Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan.
A = a.b.c Ket : A = absorben a = absorptivitas molar b = tebal kuvet (cm) c = konsentrasi
Absorptivitas molar merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel. Absorptivitas molar tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang gelombang radiasi. Pada hukum Lambert-Beer memiliki syarat sebagai berikut :
1. Sinar yang dianggap monokromatis
2. Penyerapan terjadi dalam satu volume yang mrmpunyai luas penampang yang sama.
3. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut.
4. Tidak terjadi fluorosensi atau fosforisensi 5. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.
Menurut (Gandjar et al., 2007) bahwa instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut “spektrometer” atau spektrofotometer. Komponen-komponen utama yang berada pada spektrofotometri meliputi :
1. Sumber Lampu Sumber lampu yang digunakan pada daerah UV yaitu lampu deuterium yang memiliki panjang gelombang sebesar 190-350 nm).
Sedangkan pada daerah visible, sumber lampu yang digunakan yaitu lampu tungsten yang berada pada panjang gelombang antara 350-900 nm.
Monokromator digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-komponen panjang gelombang yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (split). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan imstrumen melewati spectrum.
3. Optik-optik Optik-optik ini dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer bekas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut.
4. Sel absorpsi (kuvet) Pada pengukuran di daerah tampak, kuvet kaca atau kuvet kaca corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran di daerah UV kita harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvet adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan. Kuvet yang tertutup digunakan untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa atau gelas hasil leburan yang homogen.
5. Detektor Detektor merupakan suatu bagian spektrofotometer yang penting karena kualitas detektor akan menentukan kualitas spektrofotometer.
Detektor berfungsi untuk memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Underwood. 2002).
6. Suatu amplifer (penguat) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik dapat untuk diamati.
7. Recorder isyarat listrik yang berasal dari detector Panjang gelombang yang digunakan dalam analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk pemilihan panjang gelombang yang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva baku hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu, kurva tersebut disebut sebagai kurva baku (Gandjar et al. 2007).
H. Body Lotion
merupakan sediaan kosmetik yang mengandung air lebih
Body lotion
banyak. Sediaan ini memiliki sifat sebagai sumber pelembab bagi kulit, memberi lapisan minyak yang sama seperti sebum, menjadikan tangan dan badan terasa lembut, tetapi tidak berminyak dan mudah dioleskan. Hand and body lotion merupakan sebutan umum yang ada di pasaran (Sularto, et al. 1995).
Body lotion termasuk dalam golongan pelembab kulit yang terdiri dari
minyak nabati, hewani, maupun sintesis. Body lotion berfungsi untuk melembutkan dan melenturkan kulit yang kasar dan kering. Body lotion didefinisikan sebagai campuran antara dua fase yang tidak saling campur dan distabilkan oleh emulgator, berbentuk cairan yang dapat dituang bila ditempatkan pada suhu ruang (Lachman et al. 1994).
Body lotion dimaksudkan untuk penggunaan pada kulit sebagai
pelindung untuk obat karena sifat dari bahan-bahannya. Kecairan dari sediaan ini memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat menyerap pada permukaan kulit yang luas. Sediaan ini segera kering pada kulit setelah pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada permukaan kulit. Fase terdispersi pada body lotion cenderung memisah dari pembawanya bila didiamkan. Pada saat body lotion akan digunakan harus dikocok kuat-kuat terlebih dahulu supaya bahan-bahan yang terpisah akan terdispersi kembali (Ansel. 1989).
Sediaan body lotion tersusun atas komponen zat berlemak, air, zat maupun minyak dari tanaman, hewan maupun minyak mineral seperti minyak zaitun, minyak jojoba, minyak parafin, lilin lebah dan sebagainya. Zat pengemulsi umumnya berupa surfaktan anionik, kationik maupun nonionik. Humektan bahan pengikat air dari udara, antara lain gliserin, sorbitol, propilen glikol dan polialkohol (Jellineck. 1970). Komponen-komponen yang menyusun body lotion adalah pelembab, pengemulsi, bahan pengisi, pembersih, bahan aktif, pelarut, pewangi, dan pengawet (Setyaningsih, et al. 2007).
Pada metode pembuatan body lotion, fase minyak dan fase air yang terpisah disatukan dengan pemanasan dan pengadukan. Fase minyak mengandung komponen bahan yang larut minyak. Fase air mengandung komponen bahan yang larut air yang dipanaskan pada suhu yang sama dengan fase minyak kemudian disatukan (Rieger. 2000). Pencampuran antara fase minyak dan air dilakukan pada suhu 70-75°C. Proses emulsifikasi pada pembuatan body lotion adalah pada suhu 70°C (Mitsui. 1996).
1. Monografi Bahan Body Lotion a. Asam Stearat
Asam stearat memiliki struktur yang keras, berwarna putih atau kuning pucat, agak mengkilap, Kristal padat atau serbuk putih atau putih kekuningan, bau lemah dan berasa lemak. Kelarutannya yaitu mudah larut dalam benzena, kloroform dan eter; larut dalam etanol 95%; praktis tidak larut dalam air. Memiliki titik lebur 69-
o
70 C. Penggunaan nya dalam sediaan topical sebesar 1-20% digunakan sebagai bahan pengemulsi ketika direaksikan dengan basa (Rowe,et al. 2009).
b. Setil Alkohol
Setil alkohol (C
16 H
33 OH) merupakan butiran berwarna putih, o
berbau khas lemak, rasa tawar dan melebur pada suhu 45-50
C. Setil alcohol larut dalam etanol (95%) dan eter namun tidak larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi, penstabil, dan pengental (Depkes,RI. 1993). Bahan ini termasuk ke dalam fase minyak pada stearil alkohol, setil alkohol, dan gliseril monostearat terutama digunakan sebagai zat pengental dan penstabil untuk emulsi minyak dalam air (Ansel. 1989). Sebagai emolien dan emulgator digunakan dalam konsentrasi 2-5%. Sedangkan sebagai pengental dalam krim dan body lotion biasanya digunakan dengan konsentrasi di bawah 1 % (Rowe,et al. 2009).
c. Parafin Cair
Parafin cair adalah campuran hidrokarbon padat yang dimurnikan, yang diperoleh dari minyak tanah. Pemerian dari parafin cair yaitu berupa cairan yang jernih, tidak berwarna atau putih; tidak berbau; tidak berasa; agak berminyak. Parafin mudah larut dalam kloroform, eter, minyak atsiri, hampir semua jenis minyak lemak hangat. Khasiat dari parafin cair ini berfungsi sebagai pelarut dan penambah viskositas dalam fase minyak. Selain itu, paraffin cair digunakan untuk melarutkan asam stearat dan setil alkohol. (Depkes, RI. 1995).
d. Gliserin
Gliserin (C
3 H
8 O 3 ) disebut juga gliserol atau gula alkohol,
merupakan cairan yang kental, jernih, tidak berwarna, sedikit berbau dan mempunyai rasa manis diikuti hangat, higroskopik. Jika disimpan beberapa lama pada suhu rendah dapat memadat membentuk massa hablur tidak berwarna yang tidak melebur
o
sehingga suhu mencapai lebih kurang 20
C. Gliseril larut dalam air, dengan etanol 95 % P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam eter P, dan dalam minyak lemak (Depkes. 1979). Gliserin berfungsi sebagai humektan. Gliserin tidak hanya berfungsi sebagai humektan tetapi juga berfungsi sebagai pelarut, penambahan viskositas, dan perawatan kulit karena dapat melumasi kulit sehingga mencegah terjadinya iritasi kulit.
e. Trietanolamin
Trietanolamin merupakan campuran dari trietanolamina, tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 107,4% yang dihitung terhadap zat anhidrat sebagai trietanolamin, N (C H OH) .
2
4
3 Trietanolamin biasanya digunakan sebagai pengatur pH dan emulgator m/a dalam sediaan lotion (Depkes RI. 1979).
f. Metil Paraben
Pemerian berupa hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih, tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar. Kelarutannya yaitu sukar larut dalam air dan benzena, mudah larut dalam etanol dan eter, larut dalam minyak, propilen glikol dan dalam gliserol. Berfungsi sebagai pengawet (Rowe et al. 2006).
g. Propil paraben
Propil paraben atau Nipasol berupa kristal tidak berwarna atau serbuk putih, tidak berbau, tidak berasa. Kelarutan bahan ini sangat sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam eter. Propil paraben digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik dan sediaan farmasetika (Depkes RI, 1979).
h. Aquades
Air suling yang dibuat dengan cara menyuling air yang dapat diminum. Pemeriannya berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa. Bersifat agak asam dan agak basa, dengan cara 10 ml ditambahkan 2 tetes larutan merah metal p tidak terjadi warna merah, pada 10 ml tambahkan 5 tetes larutan niru bromtimol p tidak terjadi warna biru. Penggunaan aquades yaitu sebagai pelarut (Depkes RI. 1979).
i. Oleum Rosae
Pemerian berupa cairan tidak berwarna atau berwarna kuning, bau menyerupai bunga mawar, rasanya khas, mudah melebur jika dipanaskan. Kelarutannya larut dalam 1 bagian kloroform. Bahan ini berfungsi sebagai pewangi. Minyak mawar merupakan minyak atsiri yang diperoleh dengan penyulingan uap bunga mawar segar (Depkes RI. 1979).
2. Evaluasi sediaan body lotion
Kestabilan suatu sediaan kosmetik merupakan hal yang harus diperhatikan. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu sediaan tersebut juga perlu diuji kestabilan sesuai prosedur yang telah ditentukan. Sediaan body lotion yang stabil yaitu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat diterima selama masa periode penyimpanan dan penggunaan (Dewi. 2014). Evaluasi sediaan body lotion meliputi : a.
Pengukuran pH
pH body lotion berdasarkan (SNI. 1996) yaitu 4,6-8 dan pH skin body lotion komersial yaitu berkisar 7,25-8,45.
b. Pengukuran Viskositas
Viskositas merupakan pernyataan tahanan untuk mengalir dari suatu sistem dibawah stress yang digunakan (Martin et al. 2012).
Pengukuran viskositas body lotion diukur dengan menggunakan alat viskometer Brookfield LV pada spindle no 4 dengan kecepatan 60 rpm.
Viskositas body lotion berdasarkan (SNI. 1996) yaitu berada dalam kisaran nilai viskositas 2000-50000 cp dan kisaran nilai viskositas skin body lotion komersial yaitu 1700-7200 cp. Semakin kental suatu cairan maka semakin besar kekuatan yang diperlukan untuk cairan tersebut dapat mengalir dengan laju tertentu (Martin et
al . 2012). Peningkatan viskositas akan meningkatkan waktu retensi pada tempat aplikasi, tetapi menurunkan daya sebar (Garg et al.
2002).
c. Pengujian Daya Sebar
Daya sebar adalah kemampuan dari suatu sediaan untuk menyebar di tempat aplikasi. Hal ini berhubungan dengan sudut kontak dari sediaan dengan tempat aplikasinya. Daya sebar keefektifan dalam pelepasan zat aktif dan penerimaan konsumen dalam penggunaan sediaan semisolid. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya sebar yaitu viskositas sediaan, lama tekanan, temperatur tempat aksi (Garg et al, 2002).
Daya sebar sediaan topikal yang baik berkisar 5-7 cm. Semakin luas daya sebar suatu body lotion maka dengan cepat melepaskan efek terapi di kulit (Garg et al. 2002).
I. Kulit
Kulit merupakan organ yang paling luas sebagai pelindung terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari, mikroorganisme, dan menjaga keseimbangan tubuh dengan lingkungan. Kulit merupakan indikator untuk memperoleh kesan umum, dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit misalnya pucat, kekuning-kuningan, kemerah-merahan (Syaifuddin. 2011).
Secara histologis, kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu lapisan epidermis kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin) dan lapisan subkutis (Zulkarnain. 2013).
1. Epidermis Epidermis adalah lapisan kulit yang paling luar, tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki.
Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit.
Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Fungsi epidermis yaitu perlindungan barrier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen.
2. Dermis Dermis merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai True skin. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis.
Fungsi dermis yaitu struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces, dan respon inflamasi (Perdanakusuma. 2007).
3. Subkutis Subkutis merupakan lapisan dibawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan dibawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Fungsinya yaitu tempat melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh, dan mechanical shock absorber (Perdanakusuma. 2007).
J. Kerangka konsep
Kulit pisang raja adalah salah satu bahan alam yang dapat digunakan sebagai antioksidan Kulit pisang raja di ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan menggunakan etanol 96% dan difraksinasi menggunakan etil aseteat
Uji antioksidan fraksi kulit pisang raja Formulasi sediaan body lotion fraksi kulit pisang raja
Uji Nilai IC pada sediaan body
50 Evaluasi sifat fisik dan stabilitas lotion
pada sediaan body lotion
Body Lotion fraksi kulit pisang raja yang memenuhi
persyaratan sediaan body lotion dan memiliki nilai IC
50 Gambar 2.3. Kerangka konsep K.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Fraksi etil asetat kulit pisang raja dapat diformulasikan menjadi sediaan body lotion.
2. Formulasi sediaan body lotion fraksi etil asetat kulit pisang raja memiliki nilai IC
50 yang memenuhi syarat sebagai antioksidan.
3. Sediaan body lotion fraksi etil asetat kulit pisang raja dapat stabil ketika dilakukan uji sifat fisik dan stabilitas sediaan body lotion.