BAB II TINJAUAN PUSTAKA - PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI PAKAN ALAMI ANTARA CACING Tubifex sp. DAN Artemia sp. TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN KOI (Cyprinus carpio L.) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ikan Koi (Cyprinus carpio)

  Ikan koi merupakan ikan hias yang sangat menarik sehingga banyak penggemarnya. Ikan koi dikatakan sebagai ikan hias karena mempunyai warna yang indah dan jenis yang bermacam-macam, sehingga ikan ini banyak digemari orang sebagai ikan hias. Keberadaan ikan koi selain menjadi ikan hias, ikan koi juga bisa dijadikan sebagai ladang bisnis yang cukup menjanjikan bagi para pecinta ikan koi. Selain mempunyai warna yang indah, ikan ini dikagumi karena keelokannya ketika menyembul dan melompat-lompat ke atas air. Ikan koi dikelompokan menjadi 13 yaitu, Bekko, Utsurinomo, Asagi-Shusui, Goromo, Kawarimono, Ogon dan Hikari-moyomono. Sedangkan 5 golongan utama yaitu Kohaku, Sanke, Showa, Hirarinuji dan Kawarigoi ( en Nippon Airinkai), (Gambar 2.1). Taksonomi ikan koi adalah sebagai berikut (Saanin, 1984, 1968) :

  Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Classis : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Familia : Cyprinidae Genus : Cyprinus Species : Cyprinus carpio L.

  5

Gambar 2.1. Ikan Koi

2.2 Morfologi Ikan Koi (Cyprinus carpio L.)

  Ikan koi termasuk dalam famili Cyprinidae yang mempunyai ciri

  • – ciri umum, badan ikan koi berbentuk memanjang dan sedikit pipih ke samping (compresed) dan mulutnya terletak di ujung tengah (terminal), dan di bagian mulut terdapat dua sungut, yang kadang
  • – kadang satu pasang di antaranya kurang sempuna dan warna badan beragam (Susanto, 2007 dalam Lutfika, 2012).

  Ikan koi digolongkan dalam 3 bagian, yaitu kepala, badan, dan ekor. Pada kepala terdapat alat

  • – alat seperti sepasang mata, sepasang hidung yang cekung dan tidak berhubungan dengan rongga mulut, celah
  • – celah insang, sepasang tutup insang, alat pendengar, dan keseimbangan yang tampak dari luar, dan sirip untuk bergerak (Cahyono, 2000).

  Koi mempunyai indera penciuman. Indera pencium ini berupa sepasang sungut (kumis) pada sebelah atas mulutnya, yang berguna untuk mencium makanan pada dasar kolam yang berlumpur. Dengan indera penciumannya ini, ikan koi mampu mendapatkan makanan dengan memisahkannya dari lumpur yang menutupi makanan tersebut. Pada sisi badannya, dari pertengahan kepala hingga batang ekor, terdapat gurat sisi (Linea lateralis) yang berguna untuk merasakan getaran suara. Garis ini terbentuk dari urat-urat yang ada di sebelah dalam sisik yang membayang hingga sebelah luar (Susanto, 2000).

  Pada dasarnya ikan koi sebagian besar mempunyai bentuk seperti ikan mas pada umumnya, hanya ikan koi yang mempunyai beberapa perbedaan dibandingkan ikan mas biasa. Perbedaannya dari segi warna ikan koi mempunyai warna yang lebih beragam, sedangkan pada ikan mas hanya mempunyai beberapa macam warna saja dam ikan koi mempunyai jenis yang beragam, sedangkan ikan mas hanya mempunyai beberapa macam jenis saja (James, 2002).

  2.3 Habitat Ikan Koi

  Ikan koi merupakan hewan yang hidup di daerah beriklim sedang dan hidup pada daerah perairan air tawar. Ikan koi umumnya dapat hidup pada kisaran suhu 24

  • – 29°C dengan pH 6, 8 – 7,4. Di daerah yang mempunyai musim dingin, ikan koi mampu bertahan hidup pada suhu 2
  • – 3C°. Ikan koi merupakan ikan yang tidak tahan terhadap perubahan suhu secara drastis. Penurunan suhu hingga 5°C dalam tempo singkat sudah dapat mengakibatkan ikan Koi stress (James, 2002).

  2.4 Pakan Alami

  Pakan ikan merupakan makanan yang dimanfaatkan atau dimakan oleh ikan untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan tubuhnya. Laju pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh jenis dan kualitas pakan yang diberikan serta kondisi lingkungan hidupnya. Pakan yang berkualitas adalah pakan yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan, yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral (Khairuman & Amri, 2008).

  Pakan merupakan faktor tumbuh terpenting karena merupakan sumber energi yang menjaga pertumbuhan, serta perkembangbiakan. Nutrisi yang terkandung dalam pakan harus benar-benar terkontrol dan memenuhi kebutuhan ikan tersebut. Kualitas dari pakan ini ditentukan oleh kandungan nutrisi yang lengkap mencakup protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Pakan yang diberikan untuk pakan ikan diharapkan mampu menghasilkan pertambahan bobot rata-rata yang tinggi (gram), kadar protein tubuh tinggi, dan efisiensi pakan yang tinggi (Rabegnatar & Tahapari, 2002 dalam Rolis, 2013).

  Salah satu kendala dari pembenihan ikan koi adalah ketersediaan pakan. Semakin berkembangnya usaha pembenihan, maka jumlah pakan yang dibutuhkan akan semakin banyak. Biaya pakan adalah biaya terbesar yang dikeluarkan dari total biaya produksi suatu usaha pembenihan ikan koi. Salah satu bentuk pakan yang diberikan adalah pakan alami. Salah satu pakan alami yang disukai ikan terutama ikan hias adalah cacing Tubifex sp, karena pakan alami mempunyai bau yang khas, warna yang menarik, dan merupakan pakan hidup yang bergerak didalam air, sehingga menarik perhatian ikan untuk memakannya. Cacing ini sering disebut sebagai cacing rambut karena bentuk dan ukurannya seperti rambut dengan warna tubuh kemerah-merahan (Khairuman & Amri, 2008)

  Pakan alami sangat dibutuhkan dalam pembenihan dan pemeliharaan ikan koi dalam pertumbuhannya, terutama pada benih ikan koi, karena pakan alami berupa hewan sangat menarik perhatian larva untuk memakannya. Pakan alami dari hewan yang dapat bergerak seperti cacing Tubifex sp, Artemia sp, Dhapnia sp, Monia sp, dan jentik nyamuk, karena pakan tersebut selain memiliki jumlah protein yang bagus untuk benih ikan, pakan alami juga memiliki bau yang khas (Satyantini, 2008).

  Pakan alami merupakan pakan yang dikonsumsi ikan berupa organisme hidup baik hewan maupun tumbuhan. Pakan alami yang dihasilkan untuk pakan ikan sangat bergantung dari kondisi lingkungan dan kualitasnya, maka dari itu cara membudidayakan pakan alami sendiri merupakan cara efektif untuk mengurangi kendala tersebut. Jadi, tidak mengganggu kebutuhan pakan dalam pembudidayaan ikan koi (Susanto, 2000).

  Ikan koi termasuk dalam jenis omnivora, yaitu ikan yang memakan tumbuhan dan juga hewan. Ikan koi mencari makan dibagian permukaan dan pertengahan perairan. Ikan koi biasanya diberi pakan berupa pelet, tetapi kadang diberi pakan segar seperti wortel, selada, dan kacang polong. Setelah ikan berumur empat hari harus mulai disediakan pakan karena cadangan makananya yang berupa kuning telur hanya tersedia pada umur 1-4 hari. Pakan pertama yang cocok untuk menjadi makanannya adalah Daphnia sp., Artemia sp., Moina sp., dan jentik nyamuk. Setelah koi berumur 20 diberi pakan cacing sutera atau

  Tubifex sp. setelah koi sampai umur 90 hari, koi diberi pakan tambahan pelet

  ukuran paling kecil hingga sedang yaitu ukuran D0 dan L1. Pemberian pakan ini harus diberikan secara rutin (James,2002).

2.5 Cacing Tubifex sp.

  Cacing Tubifex sp. disebut juga cacing sutera. Jenis cacing ini sangat digemari oleh berbagai jenis ikan hias dan benih-benih ikan. Di alam, jenis cacing tersebut banyak terdapat di tempat yang banyak mengandung bahan organik, di perairan yang dangkal (20-30 cm), dan airnya mengalir perlahan-lahan. Cacing

  

Tubifex sp. dapat ditemukan di parit, selokan kota, comberan, atau paceran.

  Cacing ini juga dibudidayakan di kolam-kolam atau setelah dikeringkan (Mudjiman, 2004).

  Tubifex sp. mudah untuk dikenali dari bentuk tubuhnya yang seperti

  benang sutra dan berwarna merah kecoklatan karena banyak mengandung haemoglobin. Tubuhnya sepanjang 1-2 cm, terdiri dari 30-60 segmen atau ruas.

  Tubifex sp. membenamkan kepalanya ke dalam lumpur untuk mencari makan dan

  ekornya disembulkan di permukaan dasar untuk bernafas. Tubifex sp. berkembang biak pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2,75

  • – 5, kandungan amoniak < 1 ppm, suhu air berkisar antara 28 – 30˚C, dan pH air antara 6
  • – 8 (Khairuman, A., 2010 dalam Lutfika, 2012). Selain itu, cacing tubifex juga mempunyai kandungan protein yang tinggi sebagai pakan ikan (Tabel 2.1) sehingga baik untuk pertumbuhan ikan, khususnya ikan koi. Kandungan nutrisi dari cacing tubifex menurut Khairuman, A (2010) dalam Lutfika (2012).
Tabel 2.1 : Kandungan Nutrisi cacing Tubifex sp.

  Jenis nutrisi Komposisi % Protein

  57 Lemak 13,3 Abu 3,6 Kadar air 87,19 Karbohidrat 2,04 Serat Kasar 0,51

  Sumber : (Madinawati et al., 2011) Cacing sutera merupakan organisme hermaprodit yang memiliki dua alat kelamin jantan dan betina dalam satu tubuhnya. Cacing ini berkembangbiak dengan bertelur, proses peneluran terjadi di dalam kokon, yaitu suatu segmen yang berbentuk bulat telur yang terdiri dari kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuhnya. Telur tersebut mengalami pembelahan, kemudian berkembang membentuk segmen-segmen. Setelah beberapa hari embrio dari cacing ini akan keluar dari kokon. Cacing sutera ini mulai berkembangbiak setelah 7-11 hari (Lukito & Surip, 2007).

  Induk yang dapat menghasilkan kokon dan mengeluarkan telur yang menetas menjadi Tubifex mempunyai usia sekitar 40-45 hari. Jumlah telur dalam setiap kokon sekitar antara 4-5 butir. Waktu yang dibutuhkan untuk proses perkembangbiakan telur dalam kokon sampai menetas menjadi embrio Tubifex membutuhkan waktu sekitar 10-12 hari. Jadi daur hidup cacing sutera dari telur menetas hingga menjadi dewasa serta mengeluarkan kokon dibutuhkan waktu sekitar 50-57 hari (Gusrina, 2008).

  Cacing Tubifex sp. merupakan pakan alami yang bagus untuk ikan koi, karena mempunyai kelebihan dapat menunjang dalam perbaikan warna pada ikan koi. Selain itu cacing Tubifex sp. tidak hanya mempunyai kelebihan dalam menunjang warna ikan koi, tapi juga cacing Tubifex sp. itu mempunyai harga yang relatif murah, sehingga sangat efektif untuk memenuhi kebutuhan pakan dalam pemeliharaan ikan koi. Klasifikasi cacing Tubifex sp. Menurut (Chumaidi et al., 1991) adalah : Philum : Annelida Classis : Oligochaeta Ordo : Haplotanida Familia : Tubificidae Genus : Tubifex Species : Tubifex sp.

Gambar 2.2. Cacing Tubifex sp.

2.6 Artemia sp.

  Artemia sp. merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha

  pembenihan ikan dan udang, karena kandungan nutrisinya baik. Akan tetapi di perairan Indonesia belum ditemukan Artemia sp. sehingga sampai saat ini Indonesia masih mengimpor Artemia sp. sebanyak 50 ton/tahun, dimana harganya dalam bentuk kista/telur antara Rp 400.000

  • – 500.000/ kg. Walaupun pakan
buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup tesedia untuk benih ikan dan udang, namun Artemia sp. masih tetap merupakan bagian yang esensial sebagai pakan benih ikan dan udang diunit pembenihan (Jusadi, 2003).

  Cyste Artemia sp. yang masih dibutuhkan untuk pakan ikan di Indonesia sebagian besar masih diimpor, tetapi kebanyakan kualitasnya masih rendah, sehingga menyebabkan produksi yang beragam dan mengakibatkan kematian masal terhadap larva udang. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dilakukan pembudidayaan Artemia sp. di tambak secara lokal. Hasil budidaya Artemia sp. secara lokal diperoleh beberapa keuntungan yaitu waktu transportasi dan penyimpanan lebih singkat, pengawasan kualitas pada proses produksi dan pengawasan terhadap pengolahan lingkungan tambak budidaya mengarah ke produksi cyste Artemia sp. lokal yang berkualitas dan aman. Lebih jauh lagi, peroduksi Artemia sp. lokal dapat menunjang penghematan devisa melaui subtitusi impor (Jusadi, 2003).

  Artemia sp. merupakan kelompok udang

  • – udangan dari phylum Arthopoda. Artemia sp. merupakan jenis zooplankton yang juga digunakan sebagai makanan larva ikan. Oleh karena itu, kultur Artemia sp. dengan plankton yang lain sebagai pakan alami lebih mudah dilakukan dalam suatu unit usaha pembenihan. Pengambilan hasil pemanenan kista diharapkan mulai berlangsung pada akhir minggu ketiga setelah penebaran. Hasil dari Cyste Artemia sp. yang telah dipanen, kemudian cyste Artemia sp. sebanyak 4g direndam dalam air yang bersalinitas tinggi atau dalam larutan air garam, dengan cara mencampurkan 20-

  30g garam dalam 1 liter air tawar selama 24 jam dan diberi aerasi agar garam tercampur rata (Jusadi, 2003).

  Menurut Djarijah (2005), Artemia sp. sering dipergunakan sebagai pakan larva karena toleransi salinitas yang tinggi. Artemia sp. dibutuhkan sebagai pakan alami untuk berbagai macam larva ikan. Kebutuhan Artemia sp. sebagai pakan benih sangat tergantung pada bentuk mulut dan laju pencernaan benih ikan. Benih ikan memiliki laju pencernaan yang cepat dan kebutuhan nutrisi lengkap, semua kebutuhan tersebut baru dapat dipenuhi oleh pakan alami terutama Artemia sp.

  Artemia sp. mempunyai beberapa sifat yang unggul yaitu Artemia sp.

  merupakan pakan alami yang mudah dalam penanganannya, karena tahan dalam bentuk kista untuk waktu yang lama. Artemia sp. mudah beradaptasi dalam kisaran salinitas lingkungan yang lebar, dalam penyediaan makanannya sangat mudah karena Artemia sp. makan dengan cara menyaring, dapat tumbuh dengan baik pada tingkat penebaran tinggi, mempunyai nilai nutrisi tinggi (Tabel 2.1) yaitu kandungan protein 40

  • – 60 % (Harefa, 2000 dalam Satyantini et al. 2008). Sekarang banyak pembudidaya ikan dan udang memakai pakan alami

  Artemia sp. dalam pemberian pakan. Artemia sp. sangat mudah untuk ditetaskan

  menjadi larva sampai dewasa, tapi harga Artemia sp. tidak semurah pakan alami yang lain bagi pembudidaya ikan maupun udang (Jusadi, 2003).

Tabel 2.1. Kandungan nutrisi Artemia (Mudjiman, 2004)

  Jenis Nutrisi Komposisi % Protein

  40

  • – 60 Karbohidrat

  15

  • – 20 Lemak

  15

  • – 20 Air

  1

  • – 10 Abu

  3

  • – 4
Klasifikasi Artemia sp. menurut Sachlan (1982) adalah : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Crustacea Classis : Branchiopoda Ordo : Anostraca Famila : Artemiidae Genus : Artemia Species : Artemia sp.

Gambar 2.3. Artemia sp. (Perbesaran 10x)

2.7 Pertumbuhan

  Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran baik panjang, berat atau volume dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan ini secara fisik dapat dilihat dengan adanya perubahan jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh pada periode waktu tertentu. Secara energetik, pertumbuhan dapat dilihat dengan adanya perubahan kandungan total energi tubuh dan periode waktu tertentu (Gusrina, 2008). Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan energi bebas setelah energi yang tersedia pada pakan untuk metabolisme standar, energi untuk proses pencernaan dan energi untuk aktivitas.

  Pertumbuhan juga dapat didefinisikan sebagai proses kenaikan ukuran yang irreversibel karena adanya tambahan substansi, termasuk perubahan bentuk yang terjadi bersamaan proses tersebut dan tidak akan kembali. Pertumbuhan seekor ikan dapat diukur dari bertambahnya panjang tubuh dan kenaikan berat tubuh (Fatmawati, 2002 dalam Widiyanti, 2012). Faktor yang menentukan pertumbuhan di antaranya adalah jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, umur, dan lain-lain. Jadi, untuk pertumbuhan diperlukan pakan yang cukup, terutama pada ikan yang masih muda atau kecil yang sedang mengalami proses pertumbuhan yang cepat. Selain jumlah pakan, faktor frekuensi pemberian pakan setiap harinya dijaga dan diperhatikan (Fatmawati, 2002 dalam Widiyanti, 2012).

  Jumlah energi yang digunakan untuk pertumbuhan tergantung pada jenis ikan, umur, kondisi lingkungan, dan komposisi makanan. Semua faktor tersebut akan berpengaruh dalam metabolisme dasar atau metabolisme standar (Mudjiman, 2004).

2.8 SGR (Specific Growth Rate)

  SGR (Specific Growth Rate) merupakan nilai pertumbuhan ikan dalam waktu (hari). Jadi laju pertumbuhan spesifik dapat dilihat dan diamati setiap harinya untuk mengetahui pertumbuhan dari ikan uji yang sedang diteliti. Laju pertumbuhan dinyatakan sebagai perubahan bobot tubuh rata

  • – rata selama
percobaan atau penelitian berlangsung, laju pertumbuhan spesifik berkaitan erat dengan pertambahan berat tubuh yang berasal dari pakan yang dikonsumsi. Jadi, tinggi maupun rendahnya laju pertumbuhan spesifik dipengaruhi oleh kandungan protein pada pakan tersebut. Apabila laju pertumbuhan spesifik rendah, berarti menunjukkan bahwa kandungan protein dalam pakan belum mencukupi untuk laju pertumbuhan spesifik, tapi jika laju pertumbuhan spesifik tinggi, berarti kandungan protein dalam pakan sudah tercukupi untuk laju pertumbuhan spesifik(Fitriah, 2004).

  .

2.9 Efisiensi Pakan (Feed Efficiency Ratio/FER)

  Purwanty (2006) dalam Juanda (2010) menerangkan bahwa efisiensi pakan menunjukkan tingkat pemanfaatan pakan untuk pertumbuhan. Efisiensi pakan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu efisiensi kotor dan efisiensi bersih. Efisiensi kotor menggambarkan kadar energi (nilai parameter dalam bahan kering) dari pertumbuhan berat badan, dan menunjukkan energi yang termanfaatkan dari pakan yang diberikan. Adapun efisiensi bersih merupakan pertumbuhan relatif dari jumlah energi yang tercerna, kadar energi tersebut dihasilkan dari makanan yang dicerna setelah mengurangi kadar energi feses dan hasil eksresi. Menurut NRC (1983) dalam Hariyadi et al. (2005), efisiensi pakan bergantung pada cukupnya nutrisi dan energi pakan. Apabila pakan yang diberikan nutrisinya tidak mencukupi (seperti energi tinggi atau rendah), pertambahan bobot yang dihasilkan akan rendah juga.

  Efisiensi setiap jenis ikan untuk memanfaatkan sumber nutrisi juga berbeda-beda. Faktor utama yang menentukan tinggi rendahnya efisiensi ini adalah macam sumber nutrisi dan jumlah dari tiap-tiap komponen sumber nutrisi dalam pakan ikan. Istilah yang biasa digunakan untuk mengetahui macam dan jumlah sumber nutrisi dalam pakan ikan adalah kualitasnya. Untuk mengetahui kualitas pakan ikan ditentukan berdasarkan pertumbuhan ikan yang memakannya (Djarijah, 1995).

2.10 Rasio Konversi Pakan (Feed convertion Ratio/FCR)

  Jumlah makanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan penambahan 1 kg daging ikan disebut faktor konversi makanan. Di dalam praktek budidaya ikan lebih umum disebut rasio konversi pakan atau feed conversion ratio (FCR) (Mudjiman, 2004). Laju pertumbuhan berhubungan dengan ketepatan antara jumlah pakan yang diberikan dengan kapasitas lambung ikan tersebut dan kecepatan pengosongan lambung atau sesuai dengan waktu ikan membutuhkan pakan, semua itu perlu diperhatikan karena ikan dalam kondisi lapar (Sari et al.

  2009 dalam Rehiluna, 2012).

  Pakan harus mempunyai rasio energi protein tertentu dan dapat menyediakan energi non protein dalam jumlah yang cukup sehingga protein sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan. Protein sangat dibutuhkan oleh tubuh ikan untuk menghasilkan tenaga maupun pertumbuhan. Pemanfaatan protein dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran ikan, umur ikan, kualitas protein, kandungan energi dalam pakan, suhu air, dan pemberian pakan (Suhendra et al. 2005 dalam Batubara, 2009).

2.11 Sintasan

  Sintasan merupakan jumlah benih yang hidup setelah dipelihara beberapa waktu dibandingkan dengan jumlah benih pada awal pemeliharaan dan dinyatakan dalam persen (Effendi, 2004). Menurut (Mudjiman, 2004) tingkat kelangsungan hidup (SR) yaitu prosentase jumlah benih ikan yang masih hidup pada akhir penelitian. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, maka diperlukan makanan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Makanan yang telah dimakan oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup dan selebihnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Peningkatan padat tebar ikan akan berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan, artinya bahwa peningkatan padat tebar ikan belum tentu menurunkan tingkat kelangsungan hidup. Walaupun terlihat kecenderungan bahwa semakin meningkat tebar ikan, maka tingkat kelangsungan hidup akan semakin kecil (Rukmana, 2003).

  Sintasan ditunjukkan oleh mortalitas (kematian) (Said et al. 2006 dalam Wijayanti, 2010). Sintasan yang rendah terjadi karena ikan mengalami kekurangan makan berkepanjangan, akibat tidak terpenuhinya energi untuk pertumbuhan dan mobilitas karena kandungan gizi pakan tidak mencukupi sebagai sumber energi (Supriya et al. 2008 dalam Wijayanti, 2010). Salah satu upaya untuk mengatasi rendahnya sintasan yaitu dengan pemberian pakan yang tepat baik dalam ukuran, jumlah dan kandungan gizi dari pakan yang diberikan (Susanto, 2007 dalam Wijayanti, 2010).

  Faktor

  • – faktor lain yang mempengaruhi sintasan yaitu kualitas air, kepadatan, kuantitas pakan dan penanganan serta faktor internal seperti umur dan kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan (Purwanto, 2007). Kemampuan renang ikan juga mempengaruhi laju sintasan. Ikan yang kemampuan renangnya masih belum sempurna menyebabkan kemampuannya dalam mencari pakan terbatas. Maka dari itu ikan cenderung hanya memakan pakan alami yang berada didekatnya (Melianawati & Imanto, 2004). Ikan juga cenderung memilih pakan alami yang berukuran kecil, mudah ditangkap dan gerak dari pakan tersebut juga menyebabkan ikan tertarik untuk memakannya (Supriya et al. 2008 dalam wijayanti, 2010). Pemilihan pakan alami oleh ikan juga erat hubungannya dengan ukuran bukaan mulut ikan tersebut, ketersediaan pakan alami dalam media pemeliharaan ikan keaktifan berenang ikan, sifat gerak pakan alami serta kemampuan cerna ikan. Kemampuan cerna ikan mempengaruhi kebutuhan dari kandungan gizi pakan tersebut (Melianawati & Imanto, 2004). Contohnya ikan karnivora yang lebih mudah mencerna protein, sedangkan kemampuan mencerna karbohidrat relatif rendah (Afriyanto & Liviawaty, 2005 dalam Wijayanti, 2010).

2.12 Kualitas Air

  Air merupakan kebutuhan dasar manusia dan sumberdaya yang perlu dijaga kelestariannya untuk kepentingan manusia dan lingkungan.

  Pemeliharaannya secara kualitas dan kuantitas secara berkelanjutan memerlukan perhatian dan penanganan yang serius. Salah satu permasalahannya terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan air dengan kebutuhan dan penggunaannya (Safitri, 2009).

  Kualitas air menyatakan tingkat kesesuaian air untuk dipergunakan bagi pemenuhan tertentu kehidupan manusia. Pencemaran air merupakan segala pengotoran atau penambahan organisme atau zat-zat lain ke dalam air, sehingga mencapai tingkat yang mengganggu penggunaan dan pemanfaatan serta kelestarian perairan tersebut. Masalah pencemaran air berhubungan erat dengan kualitas air (Direktorat Pengendali Masalah Air,1975 dalam Wardhani, 2002).

  Pengolahan air bertujuan untuk menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi benih untuk hidup, berkembang, dan tumbuh sehingga diperoleh kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih yang maksimal. Prinsip pengolahan air adalah memasukan zat yang bermanfaat (O 2, air segar, dan sebagainya) ke dalam wadah kultur dan mengeluarkan yang tidak bermanfaat bahkan merugikan (feses, metabolit amoniak, CO dan sebagainya). Bentuk pengolahan air dalam

  2,

  wadah kultur benih antara lain pemberian aerasi yaitu memasukan udara (salah satu kandungannya adalah O

  

2 ) ke dalam air sehingga O

2 terdifusi ke dalam air dan

  kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen / DO) dalam air menjadi meningkat untuk menyuplai O

  2 bagi benih (Effendi, 2004 dalam Widiyanti, 2012).

  Kualitas penampilan dari ikan koi sangat dipengaruhi oleh kualitas airnya juga, karena kualitas air merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan ikan koi.

  Kualitas air untuk ikan koi harus selalu dijaga kebersihannya, dengan selalu dirawat kondisi air yang ada pada kolam. Karena apabila kualitas air untuk ikan koi terjaga dengan baik, akan berpengaruh pada kualitas dari ikan koi tersebut, terutama warna dari ikan koi yang lebih bagus.

2.12.1 Suhu

  Menurut Apridayanti (2008), suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme sel organisme air, terutama pada ikan. Peningkatan suhu akan menyebabkan kecepatan proses metabolisme sel dan respirasi ikan, dan selanjutnya sengakibatkan peningkatan dekomposisi bahan mikroba. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan ikan adalah suhu antara 20

  • – 30 ˚C. Kenaikan suhu air akan berakibat pada jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun, kecepatan reaksi kimia meningkat, kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu dan suhu yang terlampau panas bisa mematikan ikan dan hewan air lainnya (James, 2002).

  Menurut Pamunjtak (2010) koi merupakan jenis ikan yang kuat. Koi mampu bertahan hidup pada kondisi air yang kurang terjaga kualitasnya sekalipun dan temperatur yang baik atau ideal untuk ikan koi adalah 24 - 29 ºC. Meskipun ikan koi dapat hidup pada temperatur suhu tertentu, namun juga harus di perhatikan bahwa perubahan suhu yang sangat drastis akan menimbulkan efek yang tidak baik untuk ikan koi, seperti stress dan mengakibatkan fatal.

  2.12.2 pH

  Ikan koi dalam pertumbuhannya harus diperhatikan juga pHnya, pH merupakan tolak ukur untuk mengetahui kadar asam dan basa yang terkandung dalam air. Secara umum pH pada perairan adalah kondisi asam atau basa yang ditentukan berdasarkan nilai pH. Nilai pH antara 0-14, yang mana pH 7 merupakan pH normal. Kondisi pH kurang dari 7 menunjukkan air bersifat asam, sedangkan pH di atas 7 menunjukkan air bersifat basa (James, 2002). Nilai wajar pH ikan koi adalah antara 7 dan 8, yaitu netral sedikit basa. Kolam ikan koi kebanyakan, nilai pH jarang di bawah 7 (menjadi asam), nilai pH pada kolam ikan koi juga harus selalu diperhatikan, karena terkadang bisa juga terjadi keadaan di luar dugaan.

2.12.3 Oksigen Terlarut

  Menurut Kordi (2004), oksigen (O

  2 ) merupakan salah satu faktor

  pembatas, sehingga apabila ketersediaannya dalam air tidak mencukupi kebutuhan organisme yang ada, maka aktivitas organisme akan terhambat. Kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan semakin kecil atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin sedikit. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah.

  Oksigen terlarut merupakan tingkat saturasi udara di air yang dinyatakan dalam kadar mg per liter atau per million (ppm). Oksigen yang terlarut mempunyai peranan penting dalam kelangsungan hidup ikan, khususnya pada air kolam untuk ikan koi. Kebutuhan akan oksigen terlarut itu selain berpengaruh pada ikan koi, tapi juga berpengaruh pada bakteri di kolam tersebut yang bekerja sebagai pengurai. Oksigen terlarut biasanya diukur dengan menggunakan alat ukur yang dinamakan disolved oxygen atau biasa di sebut DO meter (James, 2002).