Simulasi (gosip) infotainment dalam retorika Image (keaiban) selebritis - USD Repository

  

SIMULASI (GOSIP) INFOTAINMENT

DALAM RETORIKA IMAGE (KEAIBAN) SELEBRITIS

Tesis

  Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta Oleh:

  Anicetus Windarto 106322014

  Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta 2013

  MOTTO

  T A K M E N U N G G U S E M P U R N A

KATA PENGANTAR

  Penelitian yang merupakan tesis pada program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini adalah salah satu dari kajian budaya media yang berupaya bukan sekadar mengamati dan mewaspadai dampak ironis dari komodifikasi media komunikasi massal, khususnya televisi, tetapi juga mencermati paradigma budaya seperti apa yang telah membentuk masyarakat dan ingatannya dalam konteks modernisasi dan/atau globalisasi hidup sehari-hari. Dengan lebih memperhatikan pada produk atau barang budaya dari televisi dalam bentuk infotainment, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap dan memaparkan bagaimana tayangan yang berpretensi untuk memberi informasi dan hiburan kepada masyarakat itu hanya mampu melonggarkan ikatan-ikatan moral atau immoral misalnya, tanpa menyediakan celah atau ruang untuk membentuk wacana yang bukan sekadar apelatif, tetapi juga argumentatif, bahkan jika perlu kontradiktif. Dalam konteks ini, wacana yang dibentuk melalui praktik atau teknik retorika yang jelas memungkinkan pembicaraan dan penulisan terhadap realitas yang sebelumnya tidak jelas dapat menjadi tidak membingungkan lagi. Karena itu, penelitian yang bertujuan untuk mengenali dan memahami ketidakjelasan atau kebingungan yang diakibatkan oleh teknologi informasi dan komunikasi modern ini bertendensi untuk menganalisa hal dan masalah berikut ini.

  Pertama, retorika seperti apa yang dimainkan dalam infotainment untuk mewacanakan sesuatu yang disebut sebagai keaiban selebritis? Kedua, bagaimana retorika itu disimulasikan dalam model-model realitas yang tidak dapat dibedakan lagi batas-batas antara yang real dan virtual? Ketiga, paradigma macam apa yang terbentuk dari simulasi yang hiperreal seperti itu? Ketiga hal dan masalah itu menjadi titik tolak untuk mengkaji infotainment yang telah membentuk suatu paradigma budaya dalam media komunikasi massal yang bukan sekadar menghasilkan komodifikasi dalam bentuk tontonan yang mengibur dan menguntungkan, melainkan juga simulasi realitas hidup sehari-hari yang tidak lagi memiliki rujukan apa pun, kecuali “realitas” yang telah disimulasi itu sendiri, dan berdampak ironis pada hilangnya fungsi hukum simbolik yang berperan penting dalam pembentukan “etika” dan/atau “moralitas” masyarakat secara “sehat”.

  Dalam penulisan tesis, termasuk selama studi di Program Magister Ilmu Religi & Budaya, Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta, penulis telah mendapat dukungan secara penuh dari Lembaga Studi Realino (LSR), Yogyakarta. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Budi Susanto, S.J. sebagai Direktur LSR yang telah memberi kesempatan studi lanjut yang juga merupakan sebuah peluang emas bagi penulis untuk berkarya demi membangun hidup keber(se)samaan. Juga untuk Sophia Wahyu Widiati, yang telah membantu kelancaran selama studi dalam hal penyaluran bantuan finansial berupa “beasiswa” dari LSR bagi penulis.

  Dengan St. Sunardi, dan sesama mahasiswa IRB, terlebih angkatan 2010: Benny, Mardison, Mando, Alwi, Lysis, Gintani, Zuhdi, Nana, Nelly, Pongkot, Amsa, penulis telah mendapatkan beragam pengalaman dan pengetahuan tentang kebudayaan dan kemanusiaan yang terbuka dan mendalam. Juga dari sejumlah staf pengajar yang telah berbagi ilmu: G. Budi Subanar, S.J., Baskara T. Wardaya, S.J., Hary Susanto, S.J., B. Hari Juliawan, S.J., A. Supraktiknya, Ishadi SK, Katrin Bandel, Y. Devy Ardhiani, penulis menghaturkan terimakasih dan hormat secara tulus. Tak lupa, penulis juga menghaturkan hormat pada A. Sudiarja, S.J. yang telah memberi kepercayaan pada penulis untuk menempuh studi lanjut.

  Tesis yang juga merupakan bagian dari proses pendewasaan akademik ini, secara khusus penulis persembahkan pada Rosa, Paras dan Gelar yang telah memberi perhatian selama penulisannya. Juga untuk ibunda tercinta yang telah mendampingi dan memberi kepercayaan pada penulis untuk menjalani hidup secara mandiri dan bertanggungjawab. Maka, semua hasil yang tertulis dalam bentuk tesis ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

  

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mewaspadai bentuk-bentuk retorik keaiban selebritis yang dikonstrukkan sebagai penanda utama dalam infotainment; (2) memahami dan memaknai dengan jeli politik media berbasis teknologi komunikasi dari realitas virtual (virtual reality) dan/atau virtualitas real (real

  

virtuality ) yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk retorik keaiban selebritis dalam

  infotainment dan; (3) mengungkap dan menyebar-luaskan paham dan aksi dari paradigma budaya hasil kaji-ulang yang lebih manusiawi dan adil dari realitas dan/atau virtualitas infotainment yang menginspirasikan gagasan tentang keaiban selebritis.

  Penelitian ini menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan mengingat posisi televisi di Indonesia sejak tahun 1998 semakin memainkan peran yang sedemikian menentukan bukan hanya dalam konteks perkembangan media massa, tetapi juga berkait dengan komodifikasi bidang ekonomi, politik dan budaya masyarakat pada umumnya seperti dalam Pilpres atau Pemilu DPR. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat dijelaskan mengapa dan bagaimana infotainment menjadi sebagai salah satu komoditi unggulan dari industri televisi yang mudah mengabaikan atau menopengi demokratisasi demi kebaikan bersama (bonum

  ).

  commune

  Sumbangan utama dari penelitian ini adalah menawarkan cara pandang yang berupaya untuk memahami dan menafsir serta mewaspadai tayangan infotainment dengan pendekatan simulasinya Baudrillard. Artinya, penelitian ini berusaha memperlihatkan realitas seperti apakah yang telah diciptakan melalui tayangan infotainment dengan retorik keaiban selebritisnya dan bagaimana dampak ironis yang ditimbulkannya.

  

ABSTRACT

  This study is intended to: (1) become aware of celebrities rhetorical (im)morality forms which are constructed as a (floating) signifier in infotainment; (2) understand and interpreting the political media minutely based on communication technology of virtual reality and/or real virtuality that is produced by celebrities rhetorical (im)morality forms in infotainment; (3) recontruction and disseminate the understanding and action of cultural paradigms based on the results of re-examine of reality and / or infotainment virtuality which inspired the idea of the (im) morality celebrities.

  This study is important and urgent to be carried out due to the position of television in Indonesia that since 1998 it is increasingly play such a decisive role hopefully for democratization. It is not only in the context of the development of mass media, but also it is related to the economic, political and cultural society in general, expecially in General Election. Through this study, it is expected to explain why and how infotainment becomes one of the leading commodities in television industry which mask or pervert the democratization for the sake of a common good (bonum commune).

  The main contribution of this study is to offer a perspective that attempt to understand, interpret and become aware of infotainment show by Baudrillard simulation approach. This study attempts to describe the reality as what had been created through the infotainment show by its celebrity’s rhetorical (im)morality and how ironic impact that is in our society.

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL..................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.......................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...................... v MOTTO.......................................................................................................... vi KATA PENGANTAR.......……….....……………………………......……. vii ABSTRAK..................................................................................................... x ABSTRACT.................................................................................................. xi DAFTAR ISI................................................................................................. xii

  BAB I PENDAHULUAN

  1.1 Latar Belakang.............................................................. 1

  1.2 Perumusan Masalah...................................................... 6

  1.3 Tujuan penelitian.......................................................... 7

  1.4 Pentingnya Penelitian.................................................... 7

  1.5 Tinjauan Pustaka........................................................... 11

  1.6 Kerangka Teoritis.......................................................... 18

  1.7 Metode Penelitian......................................................... 27

  1.8 Pengolahan Data........................................................... 28

  1.9 Skema Penulisan............................................................ 30

  BAB II INFOTAINMENT: KEAIBAN SELEBRITIS DALAM SIMULASI GOSIP 2.1 “Peta” dan “Wilayah” Infotainment di Indonesia......... 35

  2.2 Keaiban Selebritis: Tabloidisasi yang Menghibur....................................... 40

  2.3 Simulasi Gosip sebagai Retorika Infotainment............ 44

  BAB III SIMULASI GOSIP INFOTAINMENT : MODEL-MODEL “REAL(ITAS)” KEAIBAN SELEBRITIS

  3.1 Poligami Aa Gym: Model “Real(itas)” Ujian............... 53

  3.2 Resepsi Pernikahan Anang-Ashanty: Model “Real(itas)” Kemewahan................................... 61

  3.3 Akhir Hayat Sudomo: “Real(itas)” Tanpa Model......... 67

  BAB IV RETORIKA KEAIBAN SELEBRITIS: HIPERREALITAS IMAGE DALAM INFOTAINMENT

  4.1 Retorika Aib Poligami dalam Image “Ujian”............... 74

  4.2 Retorika Pesta tanpa Aib dalam Image Kemewahan ............................................... 90

  4.3 Retorika Perkabungan tanpa Aib dalam “Nama Baik”........................................... 97

  Image

  4.4 Catatan Refleksif: Meretorik Ulang Keaiban Selebritis............................. 100

  BAB V PENUTUP................................................................................. 105 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 111 LAMPIRAN................................................................................................... 117

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  “Pak, gosip!” Teriakan lantang yang keluar dari mulut anak-anak penulis ini bagai dering peringatan kritis ketika melakukan penelitian tentang tayangan infotainment pada bulan Maret-April 2012 lalu. Meski penelitian ini merupakan bentuk “kegalauan” penulis terhadap dampak infotainment di televisi dalam keluarga, namun penulis sendiri seolah merasa tak berdaya tatkala menyaksikan anak-anak penulis tetap berada di sekitar televisi. Itulah mengapa penulis begitu berhasrat melakukan penelitian terhadap budaya televisi, terutama yang berkaitan dengan pembentukan konstruk dari wacana keaiban selebritis dalam infotainment.

  Penting untuk dicatat bahwa saat ini ada tak kurang dari 116 tayangan

  1

  infotainment dalam seminggu. Hampir setiap stasiun televisi nasional menayangkan acara itu mulai pagi hari (pukul 05.30), siang hari (pukul 11.00) hingga menjelang petang (pukul 17.00). Dari sepuluh stasiun televisi nasional, tujuh di antaranya, yaitu RCTI, ANTV, Global TV, Indosiar, SCTV, Trans & Trans TV, menyajikan dalam sehari rata-rata 15 sampai 20 tayangan infotainment. RCTI misalnya, menayangkan Go Spot, Intens, Silet, Cek n Ricek. ANTV 1 menayangkan Seleb@seleb, Global TV menyuguhkan Hot Spot, Obsesi, Fokus

I. Syahputra (2013), Rezim Media, Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 97-101.

  dalam Industri Televisi

  . Indosiar menyiarkan Kiss, SCTV mengudara dengan Was Was, Halo

  Selebriti

Selebriti , Hot Shot. Trans 7 menampilkan Selebrita Pagi dan Siang serta Trans

  2 TV dengan Insert Pagi, Insert Siang, dan Insert Investigasi-nya.

  Gencarnya tayangan infotainment ini seakan-akan semakin tak terbendung manakala berita-berita yang disuguhkan berkait dengan keaiban selebritis tertentu.

  Menurut J.L. Borges, keaiban bagaikan “permainan sembrono dari seorang pemuda pemalu yang tak berani mengarang cerita sehingga asyik-asyik sendiri

  3

  dengan memalsukan dan menyelewengkan kisah-kisah karya orang lain.” Sementara dari asal katanya, bahasa Arab, aib artinya cacat dan kekurangan.

  Bentuk jamaknya adalah ‘uyub. Maka, sesuatu yang memiliki aib disebut dengan

  4 . ma`ib

  Dengan demikian, masuk akal jika keaiban selebiritis yang sesungguhnya memuat peristiwa hidup yang biasa-biasa saja secara tiba-tiba dapat menjadi begitu menghebohkan ketika ditayangkan dalam infotainment. Kehebohan ditunjukkan misalnya, lewat berita selingkuh, kawin-cerai, utang-piutang, bahkan warisan atau hak asuh anak, yang diinfotainmentkan secara berulang-ulang. Dengan kata lain, berita-berita yang bisa dialami oleh siapa saja dan terjadi di mana saja melalui infotainment dikonstruk sebagai larangan yang direpresi sebagai sesuatu yang dalam kebudayaan (masyarakat) Jawa dipandang sebagai “ora ilok” (dan “kualat”-nya), tetapi dapat ditulis-ulang baik dalam bentuk oral maupun visual. Merujuk pendapat H. M.J. Maier, penulisan atau penarasian

  2 3 Lihat, Lampiran Tabel 1 Daftar Tayangan Infotainment di Stasiun Televisi Indonesia. 4 J.L. Borges (2006), Sejarah Aib, (Yogyakarta: LkiS), x.

  Administrator (2012), “Aib”, www.Yufidia.com, 3 Februari.

  5

  macam ini menuntut kesekarangan dan/atau kesegeraan. Artinya, tanpa peduli pada masa lalu, bahkan masa depan, dari sebuah peristiwa, suatu kisah dapat dibangun untuk dibaca sebagai pengalaman dan/atau teks yang tanpa batas akhir

  6

  sekaligus tanpa stabilitas dalam ingatan dan berpendapat. Dalam infotainment, konstruk ini menjadikan keaiban selebritis sebagai sesuatu yang dominan dan memungkinkan siapapun dapat mengisahkan pengalaman diri manakala berhadapan dengan berbagai peristiwa dan begitu menggoda untuk diungkap.

  Pengungkapan inilah yang menimbulkan simulasi kenikmatan yang mampu melampaui apa yang dinilai sebagai larangan khas Jawa atau “ora ilok”.

  Tak heran, keaiban selebritis dalam infotainment laksana gosip atau rumor, bahkan tak jarang menjadi ajang interogasi dan intrik, yang melimpah dan merupakan bagian terbesar dari komunikasi dalam masyarakat. Sebagaimana telah diamati oleh Benedict Anderson, hal itu merupakan tipe dari komunikasi yang

  7

  dikenal sebagai “ucapan langsung” (direct speech). Lantaran bersifat cair dan sementara, konstruk yang terbentuk tipe dari komunikasi ini memungkinkan untuk diwacanakan sebagai komoditi. Artinya, tipe komunikasi yang lebih sering berbentuk ngoko dan jarang bermakna “moralistik”, apalagi “optimistik”, itu

  8

  menjadi cenderung di-krama-kan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Salah satunya melalui infotainment kepentingan media televisi untuk meningkatkan 5 nilai rating dan share menjadi alasan yang paling sah dalam

  

H. M.J. Maier (2005), “In Search of Memories – How Malay Tales Try to Shape History”

dalam M. S. Zurbuchen, Beginning to Remember. The Past in The Indonesian Present,

6 (Singapore: Singapore University Press), 109.

  , 113. Lihat juga, J. T. Siegel (2001), “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno” dalam Ibid. 7 Basis , No. 03-04, Tahun ke-50, Maret-April, 19.

  

Selain direct speech, ada juga symbolic speech (ucapan simbolik) yang berbentuk kartun,

komik, iklan, film, bahkan monumen dan upacara publik. B. R. O’G Anderson (2000), Kuasa-

, (Yogyakarta: Mata Bangsa), 327-333. 8 Kata. Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia

  

Tentang ngoko dan krama dijelaskan oleh Benedict Anderson sebagai tingkatan “rendah” (akrab, informal) dan “tinggi” (sopan, formal) dalam bahasa Jawa. Ibid., 328. mengkomodifikasikan keaiban selebritis, baik secara skandalistik maupun biasa- biasa saja. Komodifikasi inilah yang membuat keaiban selebritis mudah untuk berkelit dari dan/atau diabaikan oleh mata sebagian besar penonton Indonesia. Masuk akal jika, meski telah difatwa “haram” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) yang masih percaya dengan

  9

  10

  paham logosentris , tontonan ini tetap berlangsung. Bahkan, kendati Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah memposisikan-ulang infotainment sebagai tontonan “non-faktual”, keaiban selebritis tetap menjadi wacana yang tak bisa lepas dari praktik-praktik komodifikasi di media.

  Wacana keaiban selebritis yang dikomodifikasikan dalam infotainment dapat diamati misalnya, dari kasus poligami Aa Gym (Yan Gymnastiar bin Engkus Abdullah). Kasus yang menghebohkan ini sempat merusak citra ustadz populer itu, terutama di mata kaum perempuan, karena telah mengakibatkan cerainya Aa Gym dengan Teh Ninih (Ninih Muthmainnah) istri pertamanya pada

  11

  21 Juni 2011. Namun, kehebohan perceraian yang menempatkan posisi Teh Rini (Alfarini Eridani) sebagai istri pertama justru dikagetkan dengan rujuknya Aa Gym dengan Teh Ninih yang memposisikannya sebagai istri kedua. Di sinilah gosip yang beraroma keaiban selebritis diretorikakan dalam infotainment antara Teh Ninih, Aa Gym dan Teh Rini.

  9 “Fatwa MUI: "Infotainment" Haram!”,

     http://oase.kompas.com/read/2010/07/28/01151141/“Fatwa MUI: Infotainment Haram” dan TB Ardi Januar (2009), “PBNU : Infotainment Haram”, 10 http://news.okezone.com/read/2009/12/25/337/288252/pbnu-infotainment-haram.

  

“Tantowi Yahya: Infotainment Tak Dilarang”, http://log.viva.co.id/news/read/164716-

11 tantowi--80--keluhan-ke-kpi-soal-infotainment.

  “Ini-Penyebab-Aa-Gym-Akhirnya-Bercerai”,

http://www.tempo.co/read/news/2011/06/21/125342287/Ini-Penyebab-Aa-Gym-Akhirnya-

Bercerai.

  Penggosipan ini membuat wacana keaiban selebritis menjadi semakin

  12

  menggiurkan untuk dipertontonkan karena ada sesuatu yang ditutup-tutupi, tetapi menantang untuk dilihat. Hasrat itu memberi simulasi kenikmatan yang membuat subjek mengalami proses “kemenubuhan” dengan segenap pengindraannya. Dengan kata lain, tubuh menjadi “medium simulasi realitas dramatis” yang bukan sekadar menghasilkan hasrat untuk mengintip, melainkan juga hasrat untuk membangun ilusi yang menggiring pada, sebagaimana

  13

  dinyatakan Jean Baudrillard, sebuah hiperrealitas. Di sini batas antara yang real dengan yang virtual terlampau tipis untuk dibedakan. Akibatnya, hanya yang

  14

  simbolik yang dominan dan berperan dalam membentuk simulacra yang disesaki dengan berbagai kode dan mode seperti tampak dalam media televisi.

  Tak heran, pengalaman mengintip dan berilusi menjadi bentuk lain dari penetrasi dunia luar ke dalam diri yang berlangsung secara dominan melalui indra penglihatan. Indra inilah yang dianggap sebagai indra yang paling sosial karena membantu untuk mengungkapkan diri kepada yang lain. Tetapi, indra ini jugalah yang seringkali menutup kemungkinan indra-indra yang lain untuk tampil. Inilah tirani visualitas yang menciptakan arena “dominasi yang luar biasa dari melihat

  15

  atas mendengarkan” . Masih ditambah lagi, arena ini dibentuk dengan rasa estetik yang populer. Artinya, realitas yang dihadirkan tidak semata-mata bersifat dramatik dan/atau akrobatik, tetapi juga fatalistik. Masuk akal jika ketika 12 menonton tayangan infotainment, orang selalu ingin mencari dan menanti sesuatu

  

N. Postman (1995), Menghibur Diri Sampai Mati (Mewaspadai Media Televisi), (Jakarta:

13 Pustaka Sinar Harapan).

  

J. Baudrillard (1998d), “Simulacra and Simulation” dalam M. Poster (ed. & intro.), Jean

(Stanford: Stanford University Press). 14 Baudrillard. Selected Writting 15 Ibid., 164.

F. Budi Hardiman (2003), “Tirani Visualitas”, Kompas Bentara, Rabu 5 November, 38.

  yang lain. Seakan-akan ada ketakutan akan kekosongan yang tak pernah tergantikan meski yang disaksikan dalam infotainment adalah sesuatu yang diulang-ulang, bahkan sudah tuntas.

  Dalam konteks ini, keaiban selebritis selalu menggoda untuk diarenakan dalam fenomena “ngegosip”. Arena yang sudah lama ada dalam masyarakat ini dihadirkan kembali melalui infotainment untuk membicarakan berbagai pengalaman yang sama dan diretorikkan secara simulatif. Dalam penelitian ini, konstruk dari keaiban selebritis yang dibangun melalui simulasi dan membuatnya tampil lebih menarik dalam infotainment merupakan tema pokok yang diamati sebagai bagian khas dari budaya televisi.

1.2 Rumusan Masalah .

  Dengan latar belakang seperti itu, beberapa permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah:

  1. Bentuk-bentuk retorik macam apa yang dikonstrukkan secara dominan sebagai penanda utama dalam infotainment keaiban selebritis?

  2. Bagaimana bentuk-bentuk retorik itu ditampilkan secara audio-visual dalam infotainment keaiban selebritis mengingat tipisnya batas-batas antara realitas tiruan (virtual reality) dengan tiruan realnya (real

  virtuality )?

  3. Paradigma budaya seperti apa yang terbentuk dari realitas tiruan dan/atau tiruan real dalam infotainment keaiban selebritis yang melulu bersifat mekanis berbasis teknologi informasi dan komunikasi modern?

  1.3 Tujuan penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mewaspadai bentuk-bentuk retorik yang dikonstrukkan secara dominan dalam infotainment keaiban selebritis.

  2. Memahami dan memaknai dengan jeli politik media berbasis teknologi komunikasi dari realitas virtual (virtual reality) dan/atau virtualitas real (real virtuality) yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk retorik keaiban selebritis dalam infotainment.

  3. Mengungkap dan menyebar-luaskan paham dan aksi dari paradigma budaya hasil kaji-ulang dari realitas dan/atau virtualitas infotainment keaiban selebritis.

  1.4 Pentingnya Penelitian

  Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat posisi televisi di Indonesia sejak tahun 1998 semakin memainkan peran yang sedemikian menentukan bukan hanya dalam konteks perkembangan media massa, tetapi juga berkait dengan bidang ekonomi, politik dan budaya masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh faktor kepemilikan media misalnya, yang selalu tercatat sebagai pemasok belanja iklan terbesar dalam industri media.

  Masuk akal jika konglomerat media seperti PT Media Nusantara Citra (MNC) yang mengoperasikan tiga stasiun televisi nasional, yakni: RCTI, Global TV dan MNC TV dan sejumlah televisi lokal, yaitu: Deli TV, Lampung TV, Minang TV, UTV (Batam), Indonesia Music TV (Bandung), PRO TV (Semarang), BMS TV (Banyumas), MHTV (Surabaya), Kapuas Citra Televisi (Pontianak), BMC TV

  (Denpasar), SUN TV (Makassar), MGTV (Magelang), SKY TV (Palembang), TAZ TV (Tasikmalaya), menjadi pemimpin utama dalam bisnis media dengan

  16

  mencetak pendapatannya di tahun 2012 sebesar 6, 09 milyar. Dari sejumlah

  17

  stasiun televisi yang ada, konglomerasi media yang dimiliki Hary Tanoesoedibyo telah menjadi pusat perhatian lantaran langkah-langkah politiknya yang cukup mengejutkan dan serba tak terduga. Sebagaimana telah dikabarkan secara luas, pemilik MNC TV itu telah mengundurkan diri dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) milik Surya Paloh yang menguasai Media Group dengan Metro TV-nya dan dengan diam-diam menyelinap ke Partai Hati Nurani Rakyat

  

18

  (Hanura) milik mantan Jenderal Wiranto. Dengan langkah-langkah ini, menjadi jelas bahwa media memiliki kekuatan sebagai perpanjangan tangan manusia (the

  19 extension of man ) sebagaimana dinubuatkan Marshall McLuhan , termasuk bagi

  sejumlah partai politik yang sedang mendandani diri untuk tampil pada pesta demokrasi atau Pemilu (Pemilihan Umum) di tahun 2014.

  Melalui penelitian ini, diharapkan dapat dijelaskan mengapa dan bagaimana infotainment menjadi salah satu komoditi unggulan atau bentuk komodifikasi utama dari industri televisi. Gencarnya kabar tentang penawaran saham perusahaan media milik Bakrie Group, yaitu PT Viva Media Asia yang menaungi stasiun televisi ANTV dan TV One serta portal berita vivanews.com, dengan harga 16 USD 1,5 miliar, baik kepada Chairul Tanjung maupun Hary Tanoesoedibjo

  

Raras Cahyafitri (2013), “Strong audience footing boosts MNC’s income ads”,

http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/22/strong-audience-footing-boosts-mnc-s- 17 income-ads.html. 18 Lihat, Lampiran Tabel 2 Kelompok Kepemilikan Media di Indonesia.

  

“Hary Tanoe quits Nasdem”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/21/hary-tanoe-

quits-nasdem.html dan ”Businessman Hary Tanoesoedibjo join Hanura”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/02/17/businessman-hary-tanoesoedibjo-join- 19 hanura.html.

  

M. McLuhan (1964), Understanding Media: The Extensions of Man, (New York: McGraw-

Hill).

  20

  membuktikan bahwa industri ini masih dianggap amat kompetitif. Meski hanya menayangkan berita-berita yang remeh-temeh seperti perselingkuhan, kawin- cerai, atau sekadar rutinitas hidup sehari-hari dari para selebritis, namun sulit untuk dibantah bahwa realitas yang dihadirkan lewat tayangan itu tak kalah sensasionalnya dibanding acara-acara televisi yang lain. Dengan kata lain, infotainment sepertinya mampu mengkonstruk realitas yang seakan-akan lebih real dari realitas yang sebenarnya. Hal ini merupakan hasil dari konstruk atau pembentukan realitas yang mampu menyamarkan, atau bahkan menghilangkan, tanda-tanda yang dijadikan rujukan dari realitas yang sesungguhnya. Penyamaran dan/atau penghilangan inilah yang memungkinkan infotainment tampil sebagai realitas yang hiper tanpa ada hypen (-) yang menghubungkan atau

  21

  membedakannya sekalipun. Dengan konstruk itu, infotainment kerapkali dipandang sebagai sebuah common sense yang mengandaikan apa yang ditayangkan adalah realitas yang secara empiris sudah ada dalam kehidupan sehari-hari lantaran secara bawaan ada dalam pikiran atau gagasan. Itulah mengapa tidak sedikit pihak-pihak yang merasa dirugikan, atau bahkan “diteror” sedemikian rupa oleh tayangan infotainment sehingga mereka merasa seperti berada dalam situasi yang tak berdaya dan terasing. Dalam situasi seperti ini, infotainment agaknya hanya mampu menolong melonggarkan ikatan-ikatan antara 20 yang real dengan yang virtual. Pendek kata, infotainment sekadar menayangkan

  “Chairul Tanjung Akui Akan Beli TVOne-ANTV dan Vivanews”, http://jogja.tribunnews.com/2013/03/29/chairul-tanjung-akui-akan-beli-tvone-antv-dan- vivanews/; A. Fitriadi (2013), “Hary Tanoesoedibjo Segera Miliki TV One?” http://politik.kompasiana.com/2013/02/20/mnc-akan-beli-tv-one--535440.html; D. Rachmat Kusuma (2013), “TVone Cs Mau Dijual? Anindya Bakrie: Semua Masih Spekulasi”,

http://finance.detik.com/read/2013/06/05/125846/2265452/6/tvone-cs-mau-dijual-anindya-

21 bakrie-semua-masih-spekulasi.

  

R. Mrázek (2006), Engineers of Happy Land. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di

, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), xviii.

  Sebuah Koloni kisah-kisah dari dunia selebritis yang sublim atau tak berbentuk, apalagi terukur, dalam retorika keaiban selebritis.

  Sumbangan utama dari penelitian ini adalah menawarkan cara pandang yang berupaya untuk memahami dan menafsir serta mewaspadai infotainment keaiban selebritis. Artinya, infotainment yang selama ini ditayangkan dalam retorika keaiban selebritis telah menyebarkan gagasan tentang hiper-realitas yang mengaburkan batas antara yang real dengan yang virtual sekaligus menampilkannya secara natural. Apalagi dengan dukungan teknik retorika sebagai gaya bicara dan tulis yang jelas, infotainment justru mampu menampilkan segala sesuatunya menjadi tidak jelas atau membingungkan. Di sini tayangan yang dikonstruk dengan memanfaatkan teknologi kamera

  22

  , termasuk teropong, pesawat, kereta api, yang berperspektif “jelas dan aman (distinct and safe), di balik kaca,”

  23

  ternyata mampu melonggarkan ikatan-ikatan antara derau (sound) dan suara (voice), antara kata (word) dan perbuatan (deed)

  24

  . Itulah mengapa penelitian ini bermaksud untuk mengkaji ulang konstruk dari infotainment yang memungkinkan keaiban selebritis diretorikkan sebagai sebuah realitas yang virtual 22 Keunggulan dari kamera adalah mampu menangkap dan menggambarkan emosi, keadaan,

  tempat serta waktu secara lebih jelas melalui teknik-teknik yang menjadi penanda dan

memberi petanda terhadap segala sesuatu. Close-up misalnya, yang ditandai dengan wajah

dari orang tertentu menjadi tanda dari sebuah keintiman. Sementara, medium-shot yang hanya

menampilkan bagian setengah badan menunjukkan hubungan yang bersifat personal. Long- shot sebagai setting dan karakter dari sebuah objek memperlihatkan konteks dan jarak yang

diobjekkan. Full-shot dengan seluruh badan objek menampilkan hubungan sosial yang ada.

Selain itu, sudut pandang kamera juga turut menentukan penampakan dari gambar dan suara

yang ditampilkan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pan-down (kamera mengarah ke

bawah) menandakan kekuasaan atau kewenangan. Pan-up (kamera mengarah ke bawah) menunjukkan kelemahan atau pengecilan. Dolly-in (kamera bergerak ke dalam)

memperlihatkan observasi atau fokus tertentu. Fade-in (gambar tampak di layar) dan Fade-out

(gambar menghilang di layar) mencerminkan permulaan dan penutupan. Cut (perpindahan

gambar) menandai kesinambungan atau ketertarikan. Wipe (gambar terhapus dari layar)

merupakan sebuah kesimpulan. Lihat, A. Asa Berger (2005), Media Analysis Technique, (California: Sage Publications). 23 Mrázek, (2006), op.cit., 164. 24 Ibid., 261. dan menempatkannya sebagai sebuah virtualitas yang real. Melalui kaji ulang ini, diharapkan dapat dideteksi paradigma budaya seperti apa yang terbangun melalui infotainment dengan retorik keaiban selebritisnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

  Penelitian-penelitian pionir tentang budaya televisi telah dihasilkan oleh

  25

26 John Fiske dan John Hartley . Keduanya merupakan peletak dasar dari kajian

  budaya televisi yang telah memberi kerangka pemikiran secara otentik dan sistematis bagaimana dan mengapa budaya televisi begitu kuat membayangi hidup sehari-hari masyarakat. Baik Fiske maupun Hartley, mampu menjelaskan bahwa budaya televisi adalah teks yang dominan dalam masyarakat dan memprasyaratkan kesenangan yang sebelumnya luput dari perhatian banyak orang. Budaya itu sangat masuk akal untuk direproduksi dari masa ke masa meski hanya menghasilkan gaya hidup yang amat banal. Bahkan budaya yang menikmatkan juga sekaligus memuakkan ini menjadi tak terbantahkan meski tak tertanggungkan sebagai ritual dalam hidup sehari-hari.

  Melalui penelitian-penelitian itu, dapat dipahami dan disadari lebih dalam mengapa televisi masih bertahan sebagai barang kultural yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Meski kenyataannya, tak sedikit kajian dan temuan yang menempatkan televisi sebagai “musuh” bagi masyarakat, namun konstruk atau produksi barang kulturalnya masih tetap dinikmati dengan berbagai cara dan rasa. Di sinilah sumbangan dari penelitian-penelitian ini bahwa budaya televisi 25 bukan semata-mata teknik untuk menciptakan kesenangan, melainkan juga seni

J. Fiske (1987), Television Culture: Popular Pleasures and Politics, (London: Methuen & Co.

26 Ltd).

  J. Hartley (1999), Uses of Television, (New York & London: Routledge). untuk mengkonstruk realitas melampaui kesenangan yang selama ini dikonsumsi baik secara menyenangkan maupun tidak menyenangkan.

  Keunikan dari penelitian Fiske adalah pada kajiannya yang memperlakukan televisi sebagai sebuah “teks”. Artinya, Fiske mengkaji perbedaan lapisan-lapisan makna dan isi dari barang kultural bernama televisi itu. Melalui kajiannya, Fiske ingin menunjukkan bahwa para penonton tidak hanya sekadar mengkonsumsi berbagai produk yang ditawarkan di televisi, tetapi justru membaca dan menafsirnya sebagai teks. Maka, dengan kajiannya yang menggunakan pendekatan semiotik Fiske menolak gagasan umum bahwa “penonton” adalah massa yang tidak kritis karena mereka memiliki latar belakang sosial dan identitas yang khas.

  Sedangkan Hartley berupaya merekonseptualisasi televisi sebagai media transmodern dan menciptakannya sebagai media pengajaran kultural yang lintas geografis dan komunikasi budaya. Melalui kajiannya yang bersifat historis, Hartley memfokuskan penelitiannya pada acara-acara televisi yang disiarkan dalam bentuk dokumenter dengan menganalisis dampak kulturalnya. Terinspirasi dari Richard Hoggart yang melakukan kajian berjudul The Uses of Literacy, Hartley mengkaji-ulang peranan televisi dalam mempromosikan pengajaran kultural melalui media transmodern yang direpresentasikan melalui “democratainment” dan “do-it-yourself citizenship”.

  Sementara, penelitian yang berkait secara tematik dengan infotainment

  27

  pernah dilakukan Vissia Ita Yulianto . Dalam penelitian ini yang berjudul 27 “Mengonsumsi Gosip: Redomestikasi Perempuan Indonesia”, dipaparkan

V. Ita Yulianto (2012), “Mengonsumsi Gosip: Redomestikasi Perempuan Indonesia” dalam A.

  

Heryanto (ed.), Budaya Populer di Indonesia. Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru, (Yogyakarta: Jalasutra), 191-211. bagaimana praktik konsumsi gosip dalam infotainment di televisi telah membentuk ulang wacana domestikasi perempuan di Indonesia. Dengan memberikan gambaran awal tentang infotainment di Indonesia, praktik konsumsi gosip dilihat sebagai bentuk domestikasi baru terhadap politik kebudayaan yang berorientasi pada perempuan. Dengan kata lain, gosip yang terlanjur dijadikan identitas bagi kaum perempuan Indonesia mampu dimanfaatkan oleh media massal, seperti televisi, untuk menjadikannya sebagai komoditi.

  Penelitian yang amat komprehensif dan mendalam ini mampu menjelaskan mengapa praktik konsumsi gosip melalui infotainment di televisi begitu dominan dalam hidup sehari-hari masyarakat, khususnya kaum perempuan, di Indonesia. Bagaimana pula dominasi itu ditanggapi oleh kaum perempuan yang mau tidak mau terdomestifikasi sebagai objek kultural yang dibangun melalui infotainment.

  Namun sayangnya, penelitian itu belum sampai pada tataran kekuatan objek kultural yang telah mendomestikasi ulang wacana keperempuanan sebagai subjek yang mengkonsumsi gosip. Artinya, penelitian itu justru memfetiskan wacana keperempuanan karena hanya berhenti pada masalah praktik konsumsinya, bukan pada soal kekuatan yang membuat orang mengkonsumsi barang tertentu, termasuk infotainment. Persoalan ini menjadi penting mengingat barang yang dikonsumsi itu tidaklah netral, atau tidak berdiri di sana sebelum ada konsumsi. Tetapi, barang itu sudah ada dalam ingatan setiap orang, bahkan membayangi seluruh kegiatannya. Dengan demikian, barang itu pada dasarnya memiliki kekuatan seduksi atau menggoda yang mampu menembus ke dalam benak siapapun juga, termasuk infotainment.

  Maka, untuk dapat memahami dan menafsir seberapa luas dan dalam barang itu membentuk kemanusiaan masing-masing, diperlukan pengukuran yang lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Dengan kata lain, melalui rasa (taste) daripada akal (rational), kekuatan barang itu mampu merasuki kekosongan dalam hidup sehari-hari yang selalu tak pernah mampu merepresentasikan realitas yang ada. Itulah mengapa rasa yang dibangun melalui infotainment di televisi selalu bersifat menggoda dan sekaligus mengedukasi, mereedukasi, mengajari dan melatih setiap orang untuk mempraktikkan gosip. Inilah implikasi metodologis yang lolos dalam penelitian ini, sehingga gagal untuk menerjemahkan komunitas rasa yang membentuk ulang domestikasi terhadap kaum perempuan di Indonesia.

  Penelitian lain dengan tema serupa juga pernah dilakukan oleh H. Pudjo Santosa dengan judul “Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di

28 Televisi”. Dalam penelitian ini Santosa menunjukkan bahwa para penonton

  infotainment tak bisa lepas dari praktik-praktik komodifikasi yang dikerjakan melalui simulasi dan tabloidisasi di televisi. Itulah mengapa apa yang ditayangkan dalam infotainment seakan-akan selalu siap untuk ditonton oleh siapa saja yang membutuhkan sumber informasi agar tetap dapat bergosip. Dengan informasi itulah, mereka yang selama ini menjadi penonton infotainment dianggap dapat memperoleh kejelasan atas segala sesuatu yang tidak jelas melalui televisi.

  Padahal dalam kenyataannya justru menunjukkan hal yang sebaliknya dan lembaga-lembaga yang bertanggungjawab terhadap hal itu seolah-olah membiarkan, bahkan terkesan cuci tangan.

28 H. Pudjo Santosa (2005), “Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi”, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

  Selain itu, Subkhi Ridho juga pernah meneliti infotainment sebagai imajinasi yang disukai, dibenci dan dikritik oleh kalangan aktivis perempuan di Yogyakarta dengan judul “Infotainment dan Imajinasi Audiens. Studi tentang Resepsi Audiens terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis Jaringan

29 Perempuan Yogyakarta.” Permasalahannya, Ridho yang “mencangkok” metode

  penelitian dari Ien Ang tentang para penonton opera sabun di Belanda seperti kehilangan kepercayaan diri untuk menunjukkan bahwa hasil penelitiannya adalah otentik. Selain karena berbeda topik kajiannya, Ridho tampak terlalu yakin bahwa aktivis perempuan yang berideologi populis mustahil untuk mengkonsumsi budaya televisi yang remeh-temeh dan tak jarang menyesatkan. Di sinilah tesisnya yang secara tematik relatif menarik justru seperti “dikoloni” oleh kajian Ang yang telah mampu memaparkan bahwa budaya massa yang dibentuk oleh televisi telah mendominasi kehidupan setiap orang yang menontonnya tanpa memandang jenis kelamin, pendidikan, atau kelas sosial tertentu. Alih-alih ingin membuktikan “kebenaran” dari kajian Ang, tesis ini justru terperangkap dalam femininasi yang oleh Ang disebut sebagai ideologi populis yang dituduh membungkam kekritisan.

  Andai tesis ini mampu melangkah lebih jauh melampaui tiga kategorisasi penonton yang dihasilkan Ang, mungkin akan ditemukan “kebenaran” lain yang bukan sekadar membenarkan kedigdayaan budaya massa, tetapi menempatkannya sebagai “wilayah” yang menjadi prasyarat bagi dominannya budaya televisi.

  Budaya itulah yang memungkinkan infotainment dijadikan komoditas tontonan 29 yang bukan semata-mata mampu memberi kepuasan, tetapi juga mendramatisir

  

S. Ridho (2010), “Infotainment dan Imajinasi Audiens. Studi tentang Resepsi Audiens

terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta”, , Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  Tesis keaiban selebritis yang dijadikan tragedi sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan rasa ingin tahu meski hanya sekilas.

  Sedangkan Mulharnetti Syas meneliti infotainment dengan judul “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia : Studi Budaya Televisi

  30

  pada Program Infotainment”. Melalui penelitiannya itu, Syas menemukan bahwa tayangan infotainment dianggap terlalu berlebihan. Hal itu ditunjukkan dalam proses produksi infotainment yang tidak sepenuhnya mengikuti etika jurnalistik dan kerap dimotori keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Masuk akal jika dari 49 program yang ditayangkan oleh 11 stasiun televisi, kecuali TVRI, infotainment hanya menayangkan hal-hal yang mempergunjingkan urusan rumah tangga yang sarat perselingkuhan, perceraian, dan perselisihan orangtua serta anak yang selalu mendapatkan rating yang tinggi. Maka bukan kebetulan jika relasi kekuasaan yang terbentuk melalui infotainment lebih dipengaruhi oleh etika kapitalis daripada prinsip kebenaran, klarifikasi, independen, dan proporsional dalam pemberitaan.

  C.B. Bambang Kukuh Christono Adi pernah pula mengkaji soal budaya televisi yang dikemas dalam acara hiburan yang menghadirkan Inul sebagai

  

subject matter yang kontroversial berjudul “Siaran Televisi sebagai Produksi

  Budaya: Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang Ditayangkan oleh

31 Stasiun Trans TV”. Disebut kontroversial karena kemunculannya di pentas

  30 musik Indonesia telah memberi suasana yang menimbulkan dukungan dan

  

M. Syas (2010), “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia : Studi

Budaya Televisi pada Program Infotainment”, Disertasi Program Studi Ilmu Komunikasi 31 Universitas Indonesia, Jakarta.

  

C.B. Bambang Kukuh Christono Adi (2010), “Siaran Televisi sebagai Produksi Budaya : Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang Ditayangkan oleh Stasiun Trans TV”, Tesis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. penolakan. Pihak yang mendukung terhadap penyanyi dangdut itu berpandangan bahwa penampilan Inul biasa-biasa saja dan sama sekali tidak bertentangan dengan masalah etika dan moral. Sementara pihak yang menolak menilai Inul hanya menjual tubuhnya daripada suaranya dan karena itu tidak layak tampil sebagai penyanyi dangdut yang musiknya terlanjur dimitoskan beraroma keagamaan. Maka dengan acara itu, figur Inul yang kontroversial ingin direproduksi sebagai sosok yang tidak hanya mengekploitasi wacana kebertubuhan lewat goyang “ngebor”-nya, melainkan justru demi membangun wacana lain yang dapat mempopulerkan musiknya.

  Dalam penelitiannya, Adi mampu menunjukkan bagaimana acara “Rindu Inul” dibentuk dan dijadikan komoditi hiburan lewat televisi. Artinya, acara itu bukan semata-mata merupakan bentuk keprihatinan terhadap seni yang dipinggirkan, tetapi justru adalah sebuah konstruksi dan produksi atas seni yang dikomoditikan sebagai hiburan popular. Di sini penelitian Adi mampu menggemakan apa yang dikontruksi dan diproduksi sebagai komoditi hiburan itu dengan paparan data yang lengkap dan memikat. Namun data yang demikian itu gagal untuk dieksekusi karena tidak mampu memperlihatkan nilai guna dari popularisasi seni yang berakibat pada komodifikasi yang menciptakan parodi.

  Inilah yang menyebabkan kajian terhadap produksi budaya yang dihasilkan melalui siaran televisi pada acara “Rindu Inul” ini tersesat dalam wacana ekonomi yang hanya berhenti pada soal barang komoditinya, belum sampai pada barang kulturalnya.

1.6 Kerangka Teoritis

  Dari sejumlah penelitian yang telah dipaparkan di atas, penelitian tentang infotainment ini memakai teori simulasi yang dirumuskan oleh Jean Baudrillard.

  Teori ini dipakai karena diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk retorik yang digunakan dalam infotainment dan membantu untuk menganalisa mengapa bentuk-bentuk retorik itu yang dimanfaatkan sebagai model-model bahasanya. Di samping itu juga, melalui teori itu dapat diperoleh pemahaman yang lengkap dan mendalam mengenai paradigma budaya yang terbentuk akibat dari pemakaian bentuk-bentuk retorik tersebut.