BAB IITINJAUAN PUSTAKA - Ragam bahasa meme pada facebook (tinjauan sosiolinguistik) - Eprints UNPAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Landasan Teori Bab ini akan membahas tentang tinjauan pustaka dan landasan teori.

  Tinjauan pustaka berkaitan erat dengan penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini. Landasan teori berkaitan erat dengan teori-teori yang akan digunakan untuk mengkaji penelitian ini.

  2.2 Tinjauan Pustaka

  Penelitian secara khusus membahas tentang meme sudah pernah dilakukan sebelumnya. Setelah penulis melakukan penulusuran secara teliti, penulis menemukan penelitian yang sejenis. Penelitian tersebut sebagai berikut.

1. Aditya Nugraha, Ratih Hasanah Sudrajat, Berlian Primadani Satria

  Putri (2015) melakukan penelitian yang berjudul Fenomena Meme di Media Sosial : Studi Etnografi Virtual Posting Meme pada Media Sosial Instagram, jurnal sosioteknologi. Penelian ini menyimpulkan bahwa motif utama pengguna instagram dalam memposting meme menggunakan foto selfie adalah motif ingin tahu, motif kedua adalah motif menghibur, artinya ada keinginan untuk menghibur followes dengan hasil-hasil posting meme yang dilakukan. Motif ketiga adalah motif cinta, artinya dengan mendapat respon seperti likers dan komentar yang positif membuat informan merasa disukai oleh followers. Keempat buat melalui foto selfie dan menandai bahwa posting meme yang dilakukan merupakan hasil karya mereka. Motif terakhir adalah motif harga diri, artinya informan merasa bahwa komentar yang diberikan oleh followers dapat memengaruhi perasaan atau harga diri informan.

  Adapun keterkaitan dengan penelitian penulis yaitu sama-sama mengulas meme studi etnografi virtual yang ada di media sosial

  Instagram, sementara penelitian penulis mengulas meme menggunakan tinjauan sosiolinguitik di media sosial facebook.

  

2. Rosa Redia Pusanti dan Haryanto (2014) melakukan penelitian yang

  berjudul Representasi Kritik dalam Meme Politik, Studi Semiotika Meme Politik dalam Masa Pemilu 2014 pada Jejaring Media sosial Path sebagai Media Kritik di Era Siber, jurnal metode analisis semiotik.

  Penelitian ini menghasilkan analisa dan interpretasi tanda bahwa pesan kritis pada meme politik di jejaring media sosial path digambarkan memalui humor satire yang dimanifestasikan dengan menggunakan tanda visual dan tanda verbal yang dianalis melalui tiga tipe tanda Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Adapun keterkaitan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dari sisi ragam bahasa meme di media sosial path sebagai bentuk kritik politik.

  

3. Wella P. Gogor Bangsa dan Hen Dian Yudani, melakukan penelitian

  yang berjudul Pengaruh Ilustrasi Visual Meme Rage Face Terhadap Frekuensi Kunjungan Website 9GAG, jurnal metode kuantitatif, hasil pengujian hipotesa yang dilakukan menunjukan bahwa sebanyak 29 dari 43 responden yang pernah mengakses 9GAG memilih untuk tetap mengakses 9GAG meskipun tidak ada rage face. Ini menunjukkan minat akses responden (yang pernah mengakses 9GAG) terhadap Rage

  Face pada website 9GAG tidak begitu besar. Dari hasil kuesioner yang

  didapat, rata-rata responden akan tetap mengakses 9GAG (jika tidak ada Rage Face) adalah karena masih banyak gambar-gambar lain yang lucu selain Rage Face. Adapun keterkaitannya adalah menjadikan meme sebagai objek penelitian.

4. Intan Duhita, Daru Purnomo, Rulliyanti Puspowardhani, melakukan

  penelitian yang berjudul Ragam Bahasa Update Status Facebook Analisa Wacana Studi Kelompok Mio Salatiga Club Automatic Leader, jenis penelitian kualitatif diskriptif eksplanatoris, penelitian ini menyimpulkan bahwa facebook sangat jarang melakukan satu style saja. Mereka dapat mengkombinasikan satu gaya dengan gaya yang lain tergantung seleranya. Kedinamisan bahasa terjadi karena tidak adanya konvensi yang secara ketat mengatur cara penulisan update status

  facebook. Penggunaan kata-kata dalam update status, mereka ingin

  menggambarkan keadaan dirinya atau apa yang sedang terjadi atau dialami. Faktor faktor seperti kreatifitas, trend, dan gaya individu penulis update status facebook juga berperan besar mempengaruhi makna update status facebook. Adapun keterkaitannya adalah meneliti ragam bahasa update status pada facebook.

5. Muhammad Wildan (2015), melakukan penelitian yang berjudul

  Dialektika Kebahasaan Meme pada Media Sosial Tinjauan Sosiolinguitik, penelitian tersebut menyimpulkan Dialektika kebahasaan pada meme memang benar adanya. Kehadiran foto seseorang dan atau yang dijadikan tokoh di tengah masyarakat turut serta dijadikan sasaran meme. Meme tidak sekedar menjelaskan foto seseorang, melainkan meme turut berperan serta pada proses imitasi atas gambar tertentu dan bahkan kartun ikut dijadikan meme. Bentuk lingual meme terdiri dari kata, frase, klausa, dan kalimat. Dengan artian lain, meme sebagai potret yang terdeskripsikan kata-kata di dalamnya.

  Dialek sosial meme terdiri atas tiga bentuk; kelas sosial bawah, kelas sosial menengah, dan kelas sosial atas. Fungsi kebahasaan meme diklarifikasikan menjadi dua; makro dan mikro. Fungsi makro menyasar pada fakta kebahasaan yang terdapat di luar manusia itu sendiri, sedangkan fungsi mikro menyasar fakta kebahasaan yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Adapun keterkaitan dengan penelitian penulis adalah sama-sama menjadikan meme di media sosial sebagai objek penelitian hanya saja berbeda kajian.

2.2.1 Ruang Lingkup Meme

  Pada dasarnya meme merupakan gambar lucu yang dikemas sedemikian rupa dan tersebar di media sosial. Dalam Kamus Merriam-Webster meme adalah

  

an idea, behavior, style, or usage that spreads from person to person within a disebarkan dari orang ke orang dalam suatu karakter budaya. Sedangkan laman Wikipedia menempatkan meme sebagai akronim dari istilah mimema, kata meme (dibaca mim) diambil dari bahasa Yunani mimesis, yang berarti sesuatu yang menyerupai atau tiruan.

  Meme yang ada di internet pada saat ini lebih spesifik dan konkret dibanding dengan mimema yang diuraikan berdasarkan teori Richard Dawkins.

  Dawkins memakai istilah ini untuk mendefinisikan lahirnya budaya dengan anggapan terjadinya merupakan bentukan dari banyak replikator (penyerupaan).

  Selain Dawkins, Karen Schubert dalam bukunya Bazar Goes Bizzare yang terbit 2003 seperti dikutip USA Today, Juni 2007, menguraikan meme sebagai sesuatu yang menjadi terkenal melalui internet, seperti gambar, video, atau bahkan orang.

  

Mimema Internet biasanya tercipta saat seseorang membuat atau mengunggah

sesuatu di internet dan menyebar secara luas.

  Garry Marshall dari School of Computing Science, Middlesex University, juga pernah meneliti tentang meme. Dalam uraiannya berjudul The Internet and Memetics, Garry menjelaskan bahwa budaya pop internet telah menciptakan gaya komunikasi baru. Uraian Garry bersumber dari artikel Francis Heylighen berjudul

  

Evolution of Meme on the Network: from chain-letters to the global brain. Uraian

tersebut sering menjadi rujukan peneliti komunikasi internet dan meme.

  Sumber lahan penelitian dipilih dari 2 fanspage yang berada pada facebook yaitu Meme Comic Indonesia dan Dagelan karena dianggap sebagai halaman

A. Meme Comic Indonesia

  Meme Comic Indonesia dengan situs resmiadalah salah satu komunitas halaman meme terbesar di Indonesia dengan basis pengikut terbanyak di media sosial facebook didirikan oleh admin S sejak tahun 2012 dan saat ini dikelola oleh admin-admin yang berdedikasi untuk memberikan hiburan terbaik, perlu diketahui bahwa di dalam manajemennya, identitas asli para admin Meme Comic Indonesia dilindungi sehingga sangat sedikit sekali informasi identitas yang mampu dan boleh ditampilkan kepada publik. Hingga sekarang Meme Comic Indonesia tercatat mempunyai pengikut atau followers sebanyak 3.119.590. Anggota Meme Comic Indonesia menggunakan meme sebagai ruang kebebasan fokus tersebut diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang dasar-dasar digunakannya meme serta di proyeksikan mampu memberikan penjelasan terhadap isu-isu kritik fenomena oleh meme yang kerap mengundang kontroversi.

Gambar 2.1 : Logo Meme Comic Indonesia

B. Dagelan

  Dagelan mempunyai pengikut sebanyak 236.027 dan telah memiliki unggahan foto serta video sebanyak 9.335 buah. Meme dengan berbagai tujuan yang diunggah dalam bentuk foto oleh penutur melalui akun Dagelan dapat langsung tersampaikan terhadap lawan tutur. Meme pada situs Dagelan dapat berbentuk teks saja tanpa disertai visualisasi dan teks yang disertai visualisasi. Visualisasi dalam situs Dagelan dimaksudkan untuk menguatkan maksud penutur agar lebih dipahami oleh lawan tutur, menimbulkan kesan lucu, menonjolkan informasi, atau memberi peringatan dan pemberitahuan.

Gambar 2.2 : Logo Dagelan

2.2.2 Sosiolinguistik

  Berbahasa yang baik dan benar bukanlah berarti harus selalu menggunakan bahasa baku atau resmi dalam setiap kesempatan, melainkan harus menggunakan satu ragam bahasa tertentu yang sesuai dengan fungsi ragam tersebut untuk satu situasi dan keperluan tertentu. Dalam studi linguistik, bidang kajian yang mempelajari berbagai macam ragam bahasa berkenaan dengan fungsi pemakaiannya masing-masing disebut sosiolinguistik, yang merupakan ragam

  Rokhman (2013:1) sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. sosiolinguistik adalah ilmu yang interdisipliner. Istilahnya sendiri menunjukan bahwa ia terdiri atas bidang sosiologi dan linguistik. Dalam istilah linguistik sosial (sosiolinguistik) kata sosio adalah aspek utama dalam penelitian dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut. Linguistik dalam hal ini juga berciri sosial sebab bahasa pun berciri sosial, yaitu bahasa dan strukturnya hanya dapat berkembang dalam suatu masyarakat tertentu.

  Chaer dan Agustina (2004:4) Menyimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Berkaitan dengan hal tersebut, Mashun (2007:229) juga berpendapat mengenai definisi sosiolinguistik, sosiolinguistik sebagai sub bidang interdisipliner bahasa dengan sosiologi yang mengkaji fenomena kebahasaan dalam kaitannya dengan faktor sosial, termasuk kelas sosial, jenis kelamin, usia, dan etnistas atau dalam menggunakan penjelasan atas dasar avidensi kebahasaan.

  Sedangkan menurut Kridalaksana (1978:94) sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa. Adapun J.A. Fishman (1972:4) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur. Menurut ahli lainnya Nancy Parrot Hickerson (1980:81) sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa.

  Berkaitan dengan ilmu sosiolinguistik, Hymes (1972:53) menjelaskan bahwa interaksi bahasa dengan kehidupan sosial dilihat sebagai alasan utama dari tindakan manusia, berdasarkan pengetahuan, secara sadar maupun tidak yang memungkinkan seseorang untuk berbahasa. Kemampuan bahasa seseorang dinilai sebagai pemasukan rangkaian sistem interaksi pada level cakupan yang berbeda.

  Sementara itu, pemaparan berbagai pandangan sosiolinguistik di atas dikaitkan dengan penelitian ini adalah penggunaan ragam bahasa meme sebagai faktor kebahasaan dan respon masyarakat terhadap ragam bahasa meme tersebut sebagai faktor diluar kebahasaan. Jadi dapat dikatakan bahwa penelitian ini sarat akan tinjauan sosiolinguistik.

2.2.3 Bentuk Lingual

a. Kata

  Kata adalah bentuk bebas yang terkecil yang tidak dapat dibagi menjadi bentuk bebas yang lebih kecil lagi (Wijana, 2009: 33). Berdasarkan kamus linguistik, kata adalah satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem; suatu terkecil dari leksem yang telah mengalami proses morfologis, morfem atau kombinasi morfem yang oleh ahli bahasa dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas (Kridalaksana, 2008: 110). Contoh kata : kopi, hujan, senja.

  b. Frasa

  Pada dasarnya frasa adalah gabungan kata. Namun tak semua gabungan kata merupakan frasa. Frasa merupakan gabungan kata yang tidak melewati batas fungsi, yang dimaksud fungsi adalah istilah subjek, predikat, objek, dan keterangan (Wijana, 2009: 46). Frasa juga dapat diartikan sebagai gabungan kata yang mana setiap kata tetap mempertahankan makna masing-masing dan gabungan kata tersebut tidak melewati batas fungsi. Dalam sebuah frasa hanya terdapat satu kata sebagai unsur inti atau unsur pusat, kata-kata yang lain hanyalah sebagai unsur penjelas. Contoh Frasa : Kopi hitam, sedang makan, sangat banyak.

  c. Klausa

  Klausa adalah satuan kebahasaan yang bersifat predikatif. Maksudnya satuan lingual ini melibatkan predikat sebagai unsur intinya (Wijana, 2009: 54).

  Oleh karena itu, klausa sekurang-kurangnya terdiri atas dua kata yang diperluas dengan beberapa fungsi yang lain seperti objek dan keterangan (Keraf, 1991:181). Secara sederhana kamus linguistik mengatakan bahwa klausa adalah kelompok kata yang sekurang-kurangnya memiliki subjek dan predikat dan berpotensi sebagai kalimat (Kridalaksana, 2008:124). Contoh klausa: aku pergi dan setelah aku belajar

d. Kalimat

  Kalimat adalah sekelompok kata-kata yang menyatakan pikiran lengkap juga memiliki subjek dan predikat. Menurut Wijana (2009: 56) kalimat adalah satuan lingual yang diakhiri oleh lagu akhir selesai baik lagu akhir selesai turun maupun naik. Dengan artian lain kalimat menjadi jelas ketika diucapkan. Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa (Kridalaksana, 2008: 103). Contoh Kalimat : Aku akan pergi jika hujan sudah reda.

2.2.4 Alih Kode

  Alih kode (code-switching) adalah penggunaan bahasa lain atau ragam bahasa lain pada satu percakapan untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain Suwito (dalam Rokhman 2013 :37). Menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Di dalam alih

  (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Tanda-tanda yang demikian dikemukakan oleh Kachru (dalam Suwito 1991 : 80) disebut ciri-ciri unit-unit kontekstual (contextual units). Dengan adanya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa di dalam alih kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri secara eksklusif, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian, alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

  Hymes (dalam Chaer dan Agustina 1995: 142) menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi tersebut, Hymes mengatakan “code switching has become a common term for alternate us of two

  

or more language, varieties of language, or even speech styles”. Alih kode adalah

  peristiwa pergantian bahasa dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai (Chaer dan Agustina, 2010: 107). Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai konteksnya.

  Adapun penyebab alih kode menurut Fisman (dalam Chaer dan Agustina 1995: 143), yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Secara umum penyebab alih kode adalah :

  1. Pembicara atau penutur. Melakukan alih kode untuk mendapatkan ‘keuntungan’ atau ‘manfaat’ dari tindakannya itu. Biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan dari lawan tuturnya.

  2. Pendengar atau lawan tutur. Karena penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tutur itu. Biasanya kemampuan berbahasa lawan tutur kurang karena mungkin bukan bahasa pertamanya.

  3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga. Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur.

  4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya. Perubaham situasi berbicara dari ragam bahasa Indonesia santai ke ragam bahasa Indonesia ragam formal.

  5. Perubahan topik pembicaraan. Perpindahan topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi dari situasi formal ke situasi tidak formal.

  Chaer Agustina (2004: 143-147) Rokhman (2013: 38) menyimpulkan bahwa alih kode merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain karena perubahan situasi yang mungkin terjadi antarbahasa, antarvarian (baik regional maupun sosial) antarregister, antarragam ataupun antargaya.

2.2.5 Ragam Bahasa

  Bahasa, dalam praktek pemakaiannya, pada dasarnya memiliki bermacam- macam ragam. Maksud ragam dalam konteks ini adalah variasi pemakaian bahasa yang berbeda-beda Mustakim (dalam Rokhman 2013: 15). Sedangkan Kartomihardjo (1988: 23) menyebutkan ragam sebagai suatu piranti untuk menyampaikan makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan melalui kata-kata dengan makna harfiah.

  Lebih lanjut, Kridalaksana (1993: 184) menyebutkan ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan dan menurut media pembicaraannya. Jadi ragam bahasa ini bentuknya beragam atau bermacam-macam karena beberapa hal atau faktor seperti disebutkan di atas.

  Rokhman (2013: 15) Ragam bahasa dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama, dilihat dari segi pemakaiannya dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis. Sejalan dengan pendapat tersebut meme termasuk bahasa lisan yang dituliskan. Penelitian ini melihat keragaman atau kevariasian bahasa yang dihasilkan oleh keberagaman penutur. Serta melihat respon yang dihasilkan ragam bahasa meme pada media sosial facebook terhadap masyarakat tutur yang beragam pula.

  Nababan dalam Chaer (2004 : 68) variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Chaer (2004 : 68) variasi bahasa ini biasanya dibicarakan berdasrkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa.

  Lebih lanjut Chaer (2004 :68) variasi bahasa sering kali mengorbankan struktur morfologi dan sintaksis. Hal itu diakibatkan karena keinginan untuk mencapai efek keeufonian dan kedaya ungkapan yang paling tepat. Penjelasan tersebut sejalan dengan ragam bahasa meme yang kurang memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ragam bahasa meme lebih memperhatikan efek yang ditimbulkan setelah masyarakat membacanya.

  Bahasa dilihat dari pemakaiannya memiliki fungsi yang beragam. Holmes (2001:259) mengungkapkan bahwa fungsi bahasa itu ada enam macam, yaitu (1) fungsi ekspresif, untuk mengungkapkan perasaan penuturnya; (2) fungsi direktif, untuk memperangaruhi seseorang agar melakukan sesuatu; (3) fungsi referensial, untuk menyediakan informasi; (4) fungsi metalingistik, untuk mengomentari bahasa itu sendiri; (5) fungsi puitis, untuk memfokuskan bahasa fitur estetikanya; (6) fungsi patik, untuk mengeskpresikan solidaritas dan empati kepada orang lain.

  Selain itu, Sudaryanto (dalam Saptomo,2001:14) memaparkan berbagai fungsi bahasa menurut hymes, yakni (1) fungsi ekspresif dan emotif; (2) fungsi direktif, konatif atau persuasive; (3) fungsi puitik; (4) fungsi kontak (fisik atau psikologis); (5) fungsi metalinguiatik; (6) fungsi refensial; (7) fungsi kontekstual atau situasional.

  Berdasarkan pemaparan tersebut penulis meyakini bahwa ragam bahasa meme yang terdapat pada media sosial memiliki fungsi ekpresif ; (Hymes menyebutnya fungsi ekpresif atau emotif) maksudnya penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Penutur bukan hanya mengungkapkan emosi dalam bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak pembaca dapat menduga emosi apa yang disampaikan pembuat meme tersebut.

2.2.6 Fungsi Bahasa

  Fathur Rokhman (2013: 4) menjelaskan bahasa sebagai objek penelitian linguistik ditinjau dari batasan-batasan fungsi dan perkembangannya. Keberadaan struktur bahasa dapat ditinjau secara historis dan memberikan tempat yang spesifik, terisolasi dan tersendiri di antara unsur-unsur kemasyarakatan lainnya.

  Mengenai struktur bahasa dan batasan yang ada di dalamnya (semantik leksikal, fonologi, morfologi, sistem sintaksis, dan stilistis fungsional), membuat bahasa menjadi fenomena sosial yang sangat spesifik dan relatif terisolasi. Unsur-unsur dan kategori yang spesifik dari bahasa, ciri-ciri dan variasi structural tidak dapat dijabarkan dan ditemukan padanan formulasinya dalam perwujudan sosial lainnya.

  Fungsi bahasa salah satunya adalah sebagai media komunikasi antarmanusia. Adapun fungsi bahasa menurut Halliday (dalam Tarigan, 1984: 5- 7) yaitu mencakup:

  1. Fungsi Instrumental, dalam fungsi instrumental ini bahasa bertindak untuk menggerakan serta memanipulasi lingkungan yang menyebabkan suatu peristiwa tertentu terjadi. Contoh :

  • - Para guru beranggapan bahwa kamu bersalah.

  Jangan pegang pisau itu! -

  

2. Fungsi Regulasi atau Pengaturan, bahasa adalah penggunaan bahasa

  untuk mengatur dan melakukan pengawasan sehingga norma yang telah ditetapkan dapat ditegakkan. Fungsi pengawasan ini kadang- kadang sulit dibedakan dari fungsi instrumental. Ucapan “saya

  menganggap kamu bersalah dan menghukum kamu selama tiga tahun di penjara.” Bertindak sebagai fungsi instrumental, tetapi ucapan “Demi keadilan untuk memperbaiki tindakanmu yang tidak bermoral maka kamu akan disekap di penjara selama tiga tahun”, lebih

  menonjolkan fungsi regulasi.

  

3. Fungsi Representasional adalah penggunaan bahasa untuk membuat

  pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan menjelaskan atau melaporkan dalam pengertian “menggambarkan” realitas yang terlihat oleh seseorang. Contoh :

  “Jalan Malioboro sangat ramai pada musim liburan sekolah”. - “Presiden Jokowi berkunjung ke Yogyakarta”. -

  

4. Fungsi Interaksional, bahasa bertindak untuk menjamin pemeliharaan

  sosial. Kontak komunikasi antara sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari menjaga adanya hubungan sosial di antara mereka dapat dapat tercipta dengan baik melalui pembicaraan atau komunikasi dengan menggunakan bahasa tertentu. Keberhasilan komunikasi interaksional menuntut pengetahuan mengenai bahasa slang, jargon, lelucon, cerita rakyat, adat istiadat, sopan santun, dan lain-lain yang ada dan hidup di lingkungan tempat kita berinteraksi dengan sesama tersebut, maka komunikasi yang dibina akan lebih berhasil.

  

5. Fungsi Personal, dalam berbicara atau berkomunikasi seorang

  pembicara menggunakan bahasa untuk menyatakan perasaan, emosi, kepribadian, reaksi-reaksi yang terkandung dalam sanubarinya.

  Kepribadian seseorang biasanya ditandai oleh penggunaan fungsi personal komunikasinya. Dalam ciri personal bahasa jelas bang kognisi atau pengertian, pengaruh, dan budaya saling mempengaruhi dengan cara-cara yang belum banyak diselidiki.

  

6. Fungsi Heuristik, fungsi ini melibatkan bahasa yang dipergunakan

  untuk memperoleh pengetahuan dan mempelajari lingkungan. Fungsi- fungsi heuristik seringkali disampaikan dalam bentuk pertanyaan- pertanyaan yang menuntut jawaban-jawaban. Anak-anak khususnya memperlihatkan dengan jelas penggunaan fungsi heuristik ini dalam pertanyaan-pertanyaan “mengapa?” mengenai dunia sekelilimg mereka. Penyelidikan atau rasa ingin tahu merupakan suatu metode heuristik untuk memperoleh representasi-representasi realitas dari seseorang.

  

7. Fungsi Imajinatif, bertindak untuk menciptakan sistem-sistem atau

  gagasan-gagasan imajiner. Bahasa dalam fungsi ini digunakan untuk menyampaikan cerita secara lisan tentang cerita, cerita novel, membuat cerita lelucon, dan sebagainya. Melalui dimensi-dimensi imajinatif bahasa kita bebas menjelajah ke seberang dunia yang nyata membungbung tinggi ke atas ketinggian keindahan bahasa itu sendiri, dan melalui bahasa itu menciptakan mimpi-mimpi yang mustahil, kalau kita menginginkannya.

  Sementara fungsi kebahasaan secara umum terbagi dua, makro dan mikro.

  

Fungsi makro menyasar penggunaan bahasa untuk kepentingan kemasyarakatan.

Sedangkan fungsi mikro mengarah pada penggunaan kebahasaan secara khusus yang

menyasar sendi-sendi kehidupan diri perseorang

  Berikut ini penjabaran kedua fungsi tersebut.

  Fungsi makro terdiri dari: 1. Fungsi nalar, yakni fungsi bahasa yang digunakan sebagai alat berpikir.

  Pada waktu kita berpikir, berhitung, dan mengkhayal, kita sering berbicara dengan diri kita sendiri. Kesempatan seperti ini, bahasa memperlihatkan fungsi nalarnya.

  2. Fungsi emosi, yakti fungsi bahasa yang digunakan sebagai alat penyampai perasaan. Bahasa dalam hal ini terutama berfungsi bila seseorang dalam keadaan senang, bangga, marah, dan kesal.

  3. Fungsi komunikasi, yakni fungsi bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dalam pelaksanaannya berlaku proses dua arah, yakni antara penutur dan pendengar (leader and member).

  4. Fungsi perekam yakni fungsi bahasa yang digunakan sebagai alat pencatat hal-hal yang penting diingat berupa catatan harian, etnografi, arsip, dan lain-lain.

  5. Fungsi pengidentifikasian, yakni fungsi bahasa yang digunakan untuk mengidentifikasi benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang ada di lingkungan kita untuk keperluan manusia berkomunikasi.

  6. Fungsi fatis, yakni fungsi bahasa yang digunakan dalam pemeliharaan hubungan sosial dengan melakukan sapaan kepada orang lain.

  7. Fungsi memberi rasa senang, yakni fungsi bahasa yang digunakan untuk memberikan kesenangan atau keasyikan kepada pendengar atau pembacanya. Fungsi mikro terdiri dari:

  1. Fungsi ideasional, yakni fungsi bahasa yang dengannya kita mengonseptualisasi kenyataan dunia dengan jalan menggambarkannya dalam bahasa. Kita mengidentifikasi realita dunia ini dan mendeskrispsikannya dengan bahasa sebagai alatanya.

  2. Fungsi interpersonal, yakni fungsi bahasa yang menunjukkan hubungan antara pembicara dan pendengar tentang dunia tempat kita berada.

  3. Fungsi estetika, yakni fungsi bahasa demi keindahan bahasa itu sendiri.

  4. Fungsi tekstual, yakni fungsi bahasa yang membawa bahasa menjadi teks.

  5. Fungsi sosiologis, yakni fungsi bahasa dalam kaitannya dengan latar sosial dan perbedaan masyarakat.