Isi Skripsi Analisis Syariah Akad Wadiah

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehadiran Bank syariah pertama kali di Indonesia seakan menjadi wajah
baru dalam dunia perbankan. Hal ini ditandai dengan munculnya Bank Syariah
pertama di Indonesia pada tahun 1991 dengan nama Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang mendapat apresiasi yang cukup baik, baik dari pemerintah maupun
dari masyarakat.
Sebelum kehadirannya pun bank syariah menjadi obsesi bagi sebagian
besar orang, dikarenakan belum adanya lembaga keuangan yang bebas dari
riba. Ini membuktikan bahwa masyarakat sudah memiliki kesadaran akan
bunga bank yang termasuk ke dalam riba yang diharamkan dan merupakan
suatu kedzoliman.
Bank syariah sebagai lembaga keuangan menjadi alternatif dari bank
konvensional yang berbasis bunga. Industri jasa keuangan syariah tumbuh
dengan pesat walaupun cenderung melambat pertumbuhannya. Ruang untuk
tumbuh masih terbuka lebar. Terbukti dari market share perbankan syariah
menurut Kepala Departemen Perbankan Syari’ah Otoritas jasa Keuangan
(OJK) Ahmad Buchory periode Februari 2015 sekitar 5% dari total aset bank

secara nasional.1
Dipandang dari sisi lain ketika terjadi krisis ditahun 1997/1998 di saat
lembaga keuangan maupun entitas bisnis lainnya mengalami collapse, bank
syariah mampu bertahan menghadapi krisis tersebut. Melihat adanya peluang
di bank syariah maka banyak dari lembaga keuangan konvensional yang
membuka unit usaha syariah (UUS) serta bermunculan pula bank syariah

1

eksbis.sindonews.com/read/964020/34/ojk-market-share-bank-syariah-5-1423810057 diakses
pada tanggal 17 Januari 2016 pukul 09.45 WIB

2

lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perbankan syariah memiliki potensi dan
peran dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Produk perbankan syariah antara lain yakni funding (pendanaan),
financing (pembiayaan) dan service (jasa-jasa). Funding atau pendanaan di
perbankan syariah meliputi: giro, tabungan dan deposito. Yang membedakan
antara funding di bank konvensional dengan funding di bank syariah adalah

produk funding di bank konvensional diberi bunga per bulannya, sedangkan
funding pada bank syariah tidak diberi bunga melainkan bagi hasil sesuai
dengan akadnya.
Produk giro dan tabungan pada bank syariah menggunakan akad
wadi’ah (titipan) dan akad mudharabah (kerjasama antara pengelola dengan
pemodal). Sedang deposito menggunakan akad mudharabah dan musyarakah.
Salah satu produk yang paling banyak diminati oleh nasabah bank syariah
ialah produk giro dan tabungan dengan akad wadi’ah. Menurut data Statistik
Perbankan Syariah (SPS) bulan Desember tahun 2015, pada tabel komposisi
Dana Pihak Ketiga (DPK), Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS) pada bulan tersebut menunjukkan angka sebesar 17.327 (dalam
miliar rupiah) yang berasal dari dana Giro Wadi’ah yang mengalami kenaikan
dari bulan sebelumnya yaitu bulan November 2015 sebesar 16.261 (dalam
Miliar Rupiah). Sebesar 15.206 (dalam miliar rupiah) merupakan dana
Tabungan dengan akad Wadi’ah yang mengalami kenaikan dari bulan
November 2015 sebesar 14.053 (dalam miliar rupiah)2.
Melihat besarnya minat masyarakat terhadap akad wadi’ah ini menjadikan
bank-bank syariah berlomba-lomba menarik nasabah untuk menyimpan
dananya di bank syariah tersebut. Berbagai upaya dilakukan oleh beberapa
2


Statistik Perbankan Syariah (SPS) Desember 2015 pada tabel 22. Komposisi DPK – Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, hal. 63

3

bank syariah tersebut, baik dengan memberikan pelayanan terbaik kepada
nasabah, memberikan kemudahan dalam transaksi/transfer, serta penawaran
lainnya.
Penulis juga menemukan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi yang
dilakukan oleh bank syariah. Di antaranya yakni produk-produk di bank
syariah yang secara syar’i masih belum dapat dikatakan sesuai dengan syariat
Islam. Seperti halnya Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP), Talangan
haji, Gadai Emas Syariah, dan lain sebagainya yang termasuk dalam
multiakad.3
Misalnya saja Murabahah KPP dikatakan sebagai multiakad karena dalam
akad ini terdapat tiga pihak yang terlibat yakni pembeli, lembaga keuangan dan
penjual. Padahal dalam murabahah asli hanya ada dua pihak yakni penjual dan
pembeli. Murabahah KPP termasuk menggabungkan dua jual beli menjadi satu
jual beli yang telah diharamkan.4 Hadits Nabi SAW:


‫نهى عن بيعتين في بيعة‬
“Nabi saw telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR.
Tirmidzi, hadis sahih).5
Ridha dalam tesisnya yang berjudul Penerapan Sistem Jual Beli
Murabahah Pada Bank Syariah, menyebutkan bahwa dari hasil penelitian yang
ia lakukan ditemukan penyimpangan terhadap kelaziman dalam suatu transaksi
pembiayaan murabahah adalah pengakuan dari nasabah, di mana delapan dari
sepuluh nasabah mengaku tidak menerima salinan dari akad pembiayaan

3

Materi Multiakad disampaikan oleh H. Sigit Purnawan Jati, S.Si., MSI dalam mata kuliah Fiqih
Muamalah 2 di STEI Hamfara, 2013.
3
Multiakad adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua
akad atau lebih.
4
Materi Multiakad disampaikan oleh H. Sigit Purnawan Jati, S.Si., MSI dalam mata kuliah Fiqih
Muamalah 2 di STEI Hamfara, 2013.

5
Taqiyuddin Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, 2/308

4

murabahah tersebut. Bahkan ketika telah diminta pihak bank tetap enggan
memberikan salinan tersebut.6
Penyimpangan ini terjadi karena bank pada kenyataannya dihadapkan pada
kendala dari segi peraturan perundang-undangan yang memang pada
kenyataannya sulit untuk dilaksanakan karena dipandang dapat merugikan dan
sangat melemahkan pihak bank.7
Pada praktiknya banyak laporan keuangan dalam bank syariah, secara
umum kurang melakukan penerapan full disclosure (pengungkapan penuh)
informasi tentang perputaran uang yang disimpan. Dalam laporan keuangan
tidak dijelaskan secara sempurna apakah dana yang telah disimpan atau
diinvestasikan sudah sesuai dengan kepatuhan syari’ah (shari’ah compliance)
yaitu dengan tidak melakukan investasi pada yang dilarang oleh Islam dan
tidak mendatangkan keburukan bagi masyarakat dan lingkungan.8
Dari hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa masih ditemukannya
produk bank syariah maupun pelaksanaan kegiatan bank syariah yang tidak

sesuai syariat Islam dan kepatuhan syariah (shari’ah compliance). Maka
dibutuhkan pengkajian kembali terhadap akad-akad dan produk-produk Bank
syariah agar sesuai dengan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip syariah.
Atas dasar hal tersebut di atas, timbul kekhawatiran bagi penulis apakah
akad wadi’ah di Bank syariah sudah sesuai atau tidak dengan definisi wadi’ah
dalam syariah Islam. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan salah satu ulama
yang menyebutkan bahwa akad wadi’ah di perbankan syariah sejatinya adalah
akad qardh (pinjaman). Berikut penjelasannya:
“Maka ia (wadi’ah pada Bank) bukanlah wadi’ah. Karena bank tidak
menjadikannya amanah yang harus dijaga barangnya untuk dikembalikan
6

7
8

Ridha Kurniawan Adnans, Tesis : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah,
Universitas Sumatra Utara, 2007, hal. 66
Ibid, hal. v
m.kompasiana.com, Isu Auditing Penyimpangan pada Bank Syariah oleh Andri Setiawan,
diakses pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 15.20 WIB


5

kepada pemiliknya, tapi (bank) mengkonsumsinya dalam aktifitasnya, dan
mengembalikan semisalnya”.9
Penulis menemukan bahwa dalam penerapan akad wadi’ah di bank
syariah, pihak bank mencampur atau menggabungkan titipan nasabah yang
berupa uang dengan sumber dana bank yang lainnya. Di samping itu, bank
memanfaatkan dana nasabah tersebut untuk kemaslahatannya. Ditemukan pula
dalam salah satu situs bank syariah, pihak bank dapat menjadikan titipan
tersebut sebagai agunan pembiayaan. 10 Selain itu, titipan juga dapat digunakan
sebagai rekening sumber dana untuk pembayaran angsuran pembiayaan.11
Dari segi biaya, penulis menemukan terdapat biaya-biaya yang tidak wajar
yaitu biaya yang semestinya tidak dibebankan dalam akad wadi’ah karena
tidak sesuai dengan definisi akad wadi’ah menurut syara’ diantaranya yaitu:
biaya transaksi penarikan tunai, biaya cek saldo, biaya ganti pin, rekening
dormant, dan yang menjadi perhatian penulis adalah pemberian bonus kepada
nasabah.12 Jika benar akad wadi’ah di bank syariah hakikatnya adalah akad
qardh maka pemberian bonus ini dapat dianggap sebagai tambahan (riba). Hal
ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi:


‫كل قرض جرمنفعة فهوربا‬
13

”Setiap qardh yang meminta manfaat adalah riba”
Dari sisi aplikasi, penerapan akad wadi’ah juga menuai kontroversi. Nilai
simpanan yang dijamin oleh LPS paling tinggi sebesar Rp 2 miliar per nasabah
per bank sejak tanggal 13 Oktober 2008. Apabila seorang nasabah mempunyai
beberapa simpanan pada satu bank, maka untuk menghitung simpanan yang

9

Ali Ahmad As-Salus, Mawsu’ah al-Qadhaya al Fiqhiyah al Mua’shirah wa al Iqtishad alIslami, hal.163
10
BNI TabunganKu iB, www.bnisyariah.co.id
11
Tabungan Muamalat iB, http://www.bankmuamalat.co.id/
12
Data didapat penulis dari beberapa situs-situs perbankan syariah di Indonesia di antaranya yakni
BNI Syariah, Bank Muamalat Indonesia (BMI), BRI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri (BSM).

13
Muhammad Abdul Aziz Al Halawi, Fatawa Wa Aqhdiyah Amiruk Mukminin, alih bahasa Zubeir
Suryadi Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal. 378

6

dijamin, saldo seluruh rekening tersebut dijumlahkan. Nilai simpanan tersebut
meliputi pokok ditambah bunga untuk bank konvensional, atau pokok
ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah untuk bank syariah.14
Sedangkan jika nasabah memiliki simpanan pada satu bank melebihi Rp 2
miliar, LPS hanya akan menjamin pembayaran simpanan nasabah tersebut
sampai jumlah Rp 2 miliar. Sedangkan jumlah simpanan di atas Rp 2 miliar
akan diselesaikan oleh Tim Likuidasi berdasarkan hasil likuidasi kekayaan
bank.15
Dana nasabah di bank syariah di Indonesia sesuai dengan ketentuan BI
telah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga 2 miliar rupiah.
Namun apabila terjadi collapse yang menimbulkan kerugian hingga lebih dari
2 miliar rupiah, maka LPS tidak bertanggungjawab atas hal tersebut.
Terdapat ketidakjelasan dalam hal pertanggungjawaban dalam akad
wadi’ah di bank syariah. Bila terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap

titipan nasabah yang diakibatkan oleh kelalaian dari pihak bank syariah maka
yang bertanggungjawab dalam hal ini jelas dari pihak bank syariah sendiri.
Namun jika kerusakan atau kerugian terjadi bukan karena kelalaian dari pihak
bank syariah misalnya disebabkan oleh bencana alam, maka pihak bank tidak
bertanggungjawab dan nasabah tentunya mengalami kerugian. Berbeda dengan
pertanggungjawaban dalam akad qardh. Bila terjadi kerusakan atau kehilangan
terhadap dana nasabah baik dikarenakan kelalaian pihak bank syariah selaku
debitur maupun disebabkan karena bencana alam, maka ada kewajiban bagi
pihak bank syariah untuk mengganti.
Oleh karena itu, setelah melihat adanya kontroversi dan ketidaksesuaian
antara penerapan akad wadi’ah baik dari aspek normatif maupun aplikatif
14
15

http://lps.go.id/f.a.q diakses pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 21.38 WIB
Ibid

7

terhadap definisi akad wadi’ah menurut syara’ maka penulis menganggap perlu

untuk dilakukannya penelitian terkait akad wadi’ah dalam produk funding di
Bank Syariah.
Penulis berharap penelitian skripsi yang berjudul “Analisis Syariah Akad
Wadi’ah di Bank Syariah” dapat memberikan kontribusi maupun sumbangan
pemikiran bagi perkembangan Bank Syariah di Indonesia di masa yang akan
datang.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran dan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu:
1. Bagaimana fakta akad wadi’ah pada bank syariah?
2. Bagaimana kesesuaian akad wadi’ah di bank syariah dengan pengertian
wadi’ah dalam syariah?
C. BATASAN MASALAH
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini dan agar dapat
mengarah pada pembahasan yang diharapkan, maka penulis membatasi hanya
pada masalah penerapan akad wadi’ah pada produk funding di bank syariah,
tidak terkait didalamnya aplikasi akad wadi’ah pada produk financing
dikarenakan keterbatasan penulis dalam hal waktu, tenaga, maupun materi.
Subjek penelitian dari skripsi ini adalah Bank Syariah secara umum khususnya
yang ada di Indonesia (yaitu BNI Syariah, BMI, BRI Syariah dan BSM) dan
nasabah. Objek Penelitian dari skripsi ini adalah akad wadi’ah pada produk
funding di bank syariah. Penulis juga membatasi dalam hal standar fiqih yang
digunakan dalam analisis skripsi ini adalah menggunakan pendapat dari Ulama
Ali as Salus.
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui fakta akad wadi’ah di bank syariah.

8

2. Untuk mengetahui kesesuaian akad wadi’ah di bank syariah dengan
pengertian wadi’ah dalam syari’ah.
E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, melalui penelitian ini diharapkan dapat memperoleh
pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang fakta yang
diteliti, dalam hal ini adalah analisis akad wadi’ah di bank syariah dan
kesesuaian akad wadi’ah di bank syariah dengan pengertian wadi’ah dalam
syari’ah.
2. Bagi kampus dan mahasiswa STEI Hamfara, diharapkan penelitian ini
dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk kemajuan ekonomi Islam
kedepan khususnya di bidang perbankan syariah serta sebagai bahan
referensi dan rujukan untuk melakukan penelitian berikutnya.
3. Bagi bank syariah, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangan
pemikiran dan juga menjadi perhatian bersama menuju bank syariah yang
sesuai dengan syariat Islam.
F. SISTEMATKA PENULISAN
Penuisan skripsi yang berjudul “Analisis Syariah Akad Wadi’ah di Bank
Syariah” ini terdiri dari 5 bab yaitu:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
BAB II

sistematika penulisan.
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi Landasan teori tentang pengertian definisi bank
syariah, sejarah bank Islam, produk-produk bank syariah, wadi’ah
(pengertian wadi’ah; hukum wadi’ah; rukun-rukun, syarat dan
karakteristik wadi’ah; cara menyimpan wadi’ah; macam wadi’ah;
mencampurkan wadi’ah dengan harta wadi’; pemakaian wadi’ah;
hukum menjualbelikan/meminjamkan wadi’ah; hukum wadi’ah

9

yang berkembang (nilanya) pada bank; hukum-hukum furu’
(cabang-cabang) dari hukum wadi’ah; titipan sebagai amanat;
wadi’ah yad amanah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah;
menanggung risiko; pendapat ulama tentang wadi’ah; wadi’ah
pada bank syariah adalah akad qardh; dan ketentuan fiqih: untuk
akad penitipan uang di bank), qardh (definisi; landasan hukum;
akad berutang; rukun dan syarat; pembayaran utang; dan perbedaan
qardh dengan istilah-istilah lain), dan riba (pengertian riba; hukum
riba; riba dan jenisnya). Pada bab ini dipaparkan pula tinjauan
pustaka dari beberapa jurnal penelitian yang berkaitan dengan judul
BAB III

skripsi. Serta biografi singkat dari Ali Ahmad as Salus.
METODE
PENELITIAN
DAN
DESKRIPSI

OBJEK

PENELITIAN
Bab ini menerangkan tentang ruang lingkup penelitian (yang terdiri
dari subjek penelitian, objek penelitian, jenis penelitian, tempat dan
waktu pelaksanaan, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan
data, metode analisis data, kerangka konsep penelitian, dan
pedoman

penulisan)

dan

sekilas

tentang

objek

penelitian

(fakta/realitas). Di samping itu penulis juga mencantumkan biografi
BAB IV

singkat dari Ulama Ali as Salus.
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Bab ini berisi fakta-fakta berkaitan dengan objek penelitian yaitu
fakta terkait produk funding di bank syariah dengan menggunakan

BAB V

akad wadi’ah.
ANALISIS DATA

10

Bab ini menjelaskan tentang proses dan hasil analisis data yang
telah dikumpulkan oleh penulis, serta pembahasan dari hasil
BAB VI

analisis yang dilakukan.
PENUTUP
Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan hasil pembahasan
serta saran maupun masukan kepada beberapa pihak.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Sekilas tentang Bank Syari’ah
1.1 Pengertian Bank Syar’iah
Pengertian Bank syari’ah dapat mengacu pada Undang-undang
Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Pasal
1 ayat 7 menyebutkan pengertian bank syariah adalah bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut
jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Perbankan syariah atau perbankan Islam (‫ المصسسرفيية السإسسلميية‬alMashrifiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan
sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga

11

pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha
berkategori terlarang (haram).16
Menurut Muhammad, bank syariah adalah bank yang aktivitasnya
meninggalkan masalah riba. Bank Islam atau bank syari’ah adalah bank
yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga.17
Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian,
yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam.
Bank Islam adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsipprinsip syariah Islam; (2) adalah bank yang tata cara beroperasinya
mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadist; sementara
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam adalah bank
yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syariah
Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.
Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktikpraktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi
dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan
perdagangan.18
1.2 Sejarah Bank Syari’ah19
Bank Islam pertama kali muncul pada tahun 1963 sebagai pilot
project dalam bentuk bank tabungan pedesaan di kota kecil Mit Ghamr,
Mesir. Percobaan berikutnya terjadi di Pakistan pada tahun 1965 dalam
bentuk bank koperasi. Setelah itu, gerakan bank Islam mulai hidup
16

id.m.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah diakses tanggal 9 Februari 2016 pukul 22.30 WIB
Drs. Muhammad, M.Ag, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005),
hal.13
18
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
(Yogyakarta: PT Dana Bakthi Wakaf, 1997), hal. 1
19
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, S.E., MM., M.B.A dan Ir. H. Arviyan Arifin, Islamic Banking
sebuah teori, konsep dan aplikasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), hal. 132
17

12

kembali

pada

pertengahan

tahun

1970-an.

Berdirinya

Islamic

Development Bank pada 20 Oktober 1975, yang merupakan Lembaga
Keuangan Internasional Islam multilateral, mengawali periode ini dengan
memicu bermunculannya bank Islami penuh di berbagai Negara, seperti
Dubai Islamic Bank di Dubai (Maret 1975), Faisal Islamic Bank di Mesir
dan Sudan (1977), dan Kuwait Finance House di Kuwait (1977). Sampai
saat ini, lebih dari 200 bank dan lembaga keuangan Islam beroperasi di
70 negara muslim dan non muslim yang total portofolionya sekitar $200
miliar.
Di Indonesia, bank Islam telah muncul sejak awal 1990-an dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Secara perlahan bank Islam
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang menghendaki layanan
jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip agama Islam yang dianutnya,
khususnya yang berkaitan dengan pelarangan praktik riba, kegiatan yang
bersifat spekulatif yang non produktif yang serupa dengan perjudian,
ketidakjelasan, dan pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi,
serta keharusan penyaluran pembiayaan dan investasi pada kegiatan
usaha yang etis dan halal secara Islam.
Namun demikian, perkembangan bank Islam yang pesat baru terasa
semenjak era reformasi pada akhir 1990-an, setelah pemerintah dan Bank
Indonesia memberikan komitmen besar dan menempuh berbagai
kebijakan untuk mengembangkan bank Islam, khususnya sejak
perubahan undang-undang perbankan menjadi UU No. 10 tahun 1998.
Berbagai kebijakan tersebut tidak hanya menyangkut perluasan jumlah
kantor dan operasi bank-bank Islam untuk meningkatkan sisi penawaran

13

tetapi juga menyangkut pengembangan pemahaman dan kesadaran
masyarakat untuk meningkatkan sisi permintaan.
Perkembangan yang pesat terutama tercatat sejak dikeluarkannya
ketentuan Bank Indonesia yang memberi izin kepada bank konvensional
untuk mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS). Semenjak itu bank Islam
tumbuh dimana-mana seperti jamur di musim hujan.
1.3 Perkambangan Bank Syariah Saat Ini
Diprediksi bahwa 2016, pertumbuhan aset perbankan syariah
diperkirakan sekitar 15%. Dengan demikian pertumbuhan dana pihak
ketiga (DPK) dan pembiayaan masih berkisar di angka tersebut. Salah
satu tantangan yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah persaingan
dalam mengumpulkan dana nasabah, terlebih dana murah (Current
Account Saving Account/CASA). Selama ini bank-bank syariah masih
rendah komposisinya dalam soal dana murah ini, seperti dana giro
wadi’ah. Menurut data, dana murah bank syariah sebesar 8%.20
Terkait pangsa pasar perbankan syariah, Kepala Departemen
Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Buchori
menuturkan hingga Oktober 2015 OJK mencatat pangsa pasar perbankan
syariah masih di bawah 5%. Namun OJK optimis dapat mencapai target
pangsa pasar tersebut di 2016. Secara rata-rata, jelas dia, pada 2016
perbankan syariah diperkirakan tumbuh antara 12%-13%.21
Menurut data Statistik Perbankan Syariah periode Desember 2015
menunjukkan jumlah BUS sebesar 12, jumlah UUS sebesar 22 dan
jumlah Kantor Pusat Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebesar 104. Sedang pada tabel komposisi DPK-BUS dan UUS
20

www.infobanknews.com tentang Tantangan Perbankan Syariah di 2016 oleh Paulus Yoga,
diakses tanggal 27 Januari 2016 pukul 14.56 WIB.
21
Ibid

14

menunjukkan giro wadi’ah sebesar 17.327 miliar rupiah, dan tabungan
wadi’ah sebesar 15.602 miliar rupiah.22
1.4 Produk Bank Syari’ah
Secara garis besar,
dikelompokkan

menjadi

pengembangan
tiga

kelompok,

produk
yaitu23

:

bank

syariah

(a)

Produk

Penghimpunan Dana; (b) Produk Penyaluran Dana; dan (c) Produk Jasa.
a) Penyaluran Dana24
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan
berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang
dilakukan dengan prinsip jual beli.
2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa
dilakukan dengan prinsip sewa.
3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna
mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa
yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk
yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan
istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu ijarah.
Kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya
keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk bagi
hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di
muka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini
adalah musyarakah dan mudharabah.
22

Statistik Perbankan Syariah (SPS) Desember 2015
Drs. Muhammad, Op.Cit, hlm.88
24
Buku Saku Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah
(PKES) dan dibagikan secara gratis ke masyarkat. Jakarta, 2005.
23

15

b) Produk Penghimpunan Dana
Bank melakukan kegiatan operasionalnya jika telah memiliki dana, oleh
karena itu bank selalu berusaha untuk memperoleh dana secara optimal.
Dana bank digolongkan menjadi25:
1. Loanable funds, yaitu dana-dana yang selain digunakan sebagai
secondary reserves dan surat-surat berharga.
2. Unloanable funds, yaitu dana-dana yang hanya dapat digunakan
sebagai primary reserves.
3. Equity funds, yaitu dana-dana yang dialokasikan sebagai aktiva tetap,
inventaris dan penyertaan.

Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro,
tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan
dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan
mudharabah.
Dana pihak ketiga didefinisikan sebagai total dana pihak
ketiga yang dikelola perbankan syariah yang merupakan penjumlahan
giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah. Bank
Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening
wadi’ah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadi’ah yad
dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai kustodian harus
menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi’ah.26
c) Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa
perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa
atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa :
wakalah, kafalah, sharf, qardh, rahn, dan hawalah.
25
26

Yuhan Veratama, Jurnal :Pengaruh Kurs, Inflasi, DPK, SWBI, Dan Pendapatan Bank
Terhadap Tingkat Pengguliran Dana Bank Syariah, Universitas Dian Nuswantoro
Nurhasanah dan Darma, 2009. “The Influence of Cash, Thrid Party Fund, SWBI (Sertifikat
Wadi’ah Bank Indonesia), Profit Margin, and NPF (Non Performing Financing) To Murabahah
Financing”, Jurnal Akuntansi dan Investasi Vol 10, No.2.

16

Gambar 1 Produk dan Jasa Bank Islam27
2. WADI’AH
2.1 Pengertian Wadi’ah
Kata wadi’ah berasal dari wada’a asy syai’a, yaitu meninggalkan
sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga
disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup
menjaga.28 Barang titipan dalam bahasa fiqih dikenal dengan sebutan
wadi’ah. Menurut bahasa wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan
pada pemiliknya supaya dijaga (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi
Layahfadzuhu), berarti bahwa wadi’ah ialah memberikan, makna yang
kedua wadi’ah dari segi bahasa adalah menerima, seperti seseorang
berkata: “awda’tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya
(Qabiltu minhu dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah ‘Indi), secara bahasa
wadi’ah memiliki dua makna, yakni memberikan harta untuk dijaga dan
pada penerimaannya.29
Apabila seseorang menitipkan barang kepada saudaranya, maka ia
wajib menerima titipan tersebut, bila ia merasa mampu menjaganya, hal
ini termasuk dalam rangka tolong-menolong dalam ketakwaan dan
kebajikan. Pihak penerima barang titipan wajib mengembalikan titipan
kepada pemiliknya kapan saja ia memintanya.
27

www.ibfi-trisakti.ac.id
Dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau
Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf
Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hal. 705 - 706.
29
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2002) hal. 179
28

17

Menurut Bank Indonesia dalam kamus keuangan dan perbankan
Syariah, wadi’ah secara umum adalah penempatan sesuatu di tempat
yang bukan pemiliknya untuk dipelihara. Juga dalam Peraturan Bank
Indonesia, definisi wadi’ah adalah perjanjian penitipan dana antara
pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk
menjaga dana tersebut.30 Sementara konsep wadi’ah yang digunakan
pada Bank Syariah adalah wadi’ah yad ad-dhamanah (titipan dengan
resiko ganti rugi).
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, wadi’ah secara bahasa bermakna
meninggalkan atau meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain
untuk dipelihara atau dijaga. Wadi’ah secara istilah adalah memberikan
kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya
dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan
itu.31
Pengertian lain menurut Ali As Salus dalam kitabnya menerangkan
definisi dari wadi’ah yaitu :

‫ وإذا هلكت فإينما تهلك على صا حبها‬.‫أيما الوديعة فهي أمانة تحفظ عند المستودع‬

‫ ولذلك فهو غير ضامن‬, ‫ وليس له النتفاع بها‬, ‫لين الملكيية ل تنقل إلى المستودع‬
‫ إلل إذا كان الهلكا أو ال ي‬, ‫لها‬
‫ضياع بسبب منه‬
“Wadi’ah adalah amanah yang dijaga oleh orang yang menerima
titipan. Apabila titipan (amanah) itu rusak, maka titipan yang rusak itu
menjadi risiko pemiliknya, karena kepemilikan (barang) tidak berpindah
kepada si penerima titipan, dan dia tidak boleh memanfaatkannya. Oleh
karena itu dia (penerima titipan) tidak menanggungnya, kecuali apabila
binasa atau hilangnya disebabkan olehnya”32
Dalam

literatur

fiqih,

para

ulama

berbeda-beda

dalam

mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa
30

Peraturan Bank Indonesia No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal.
1899
32
As-Salus, Ali Ahmad, Mawsu’ah al-Qadhaya al Fiqhiyah al Mua’shirah wa al Iqtishad alIslami, hal. 162
31

18

hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka
dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini
dikatagorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus
berupa harta atau tidak.33
Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan
bahwa wadi’ah adalah:

‫الوديع في حفظ مال‬
َ
“Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.”
Imam As Syairazy berkata:

34

‫والوديعة أمانة في يد المويدع فإن تلفت من غير تفريط لم تضمن‬

“Wadi’ah selama berada di tangan penerima wadi’ah (titipan), berstatus
sebagai amanah. Konsekwensinya, bila terjadi kerusakan tanpa ada
kesengajaan, maka ia tidak wajib menggantinya.”35
Para Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan wadi’ah, antara
lain:
a) Menurut Malikiyah, bahwa wadi’ah memiliki arti:

‫صيح نقله الى المودوع‬
‫عبارة عن نقل مجيردحفظ اليشي المملوكا الللذى ي ص‬.

Ungkapan tentang pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki
secara mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan.36
b) Menurut Hanafiyah bahwa wadi’ah ialah :

‫عبارة عن ان يسيلط شخص غيره على حفظ ماله صريحا أو دلَلة‬.

Ungkapan tentang seseorang menyempurnakan harta kepada orang
lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah.37
c) Menurut Syafi’iyah yang dimaksud dengan wadi’ah ialah:

‫العقد المقتصى لحفظ اليشيئ المويدع‬.

Akad yang mengharuskan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.38
d) Menurut Hanabilah, wadi’ah diartikan dengan :

‫اليداع توكيل في الحفظ تبيرعا‬.
Titipan perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara sukarela
(tabarru’/non komersial).39
Dalam Fiqih ‘ala Madahabil Arba’a juga dijelaskan pengertian wadi’ah:
33

Hasan Abdullah Amin, Al-Wadi’ah Al-Mashrifiyah An-Naqdiyah Wa Istitssmariha Fi Al-Islam,
(Jeddah : dar asy-syuruq, 1983), hal. 23-31
34
I’anatut Thalibin oleh Ad Dimyathy 3/284
35
Al Muhazzab oleh As Syairazy 1/359
36
Abdul Rahman al Jaziri, Kitabul Fiqih ‘ala Madahabil Arba’a , Juz 3, (Beirut: Darul Kitab alIlmiah, t.t.), hal. 219
37
Abdul Rahman al Jaziri, Op.Cit, hal. 22
38
Ibid.
39
Abdul Rahman al Jaziri, Op.Cit, hal. 220

19

‫معنى الوديعة في اليلغّة ما وضع عند غيرمالكه ليحفظه يقال او دفعته مال اى دفعته‬
‫اليه ليكون وديعة عنده‬.
Arti wadi’ah secara lughat adalah menaruh barang kepada selain
pemiliknya untuk dirawat (jaga), seperti ucapan: Saya menitipkan harta
yakni saya menitipkan harta tersebut kepadanya dengan tujuan agar dia
menjaganya.40
Menurut jumhur ulama, mendefinisikan al-wadi’ah yaitu:

‫توكيل في حفظ مملوكا على وجه مخصوص‬.
Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu.41
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam pasal 763
yang dimaksud dengan barang titipan (wadi’ah) adalah barang yang
diserahkan kepada orang tertentu agar menyimpannya dengan baik dan
aman.42 Sedang menurut penjelasan atas UU No. 21 tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah pasal 19 ayat 1, huruf a, yang dimaksud dengan
“Akad Wadi’ah” adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak
yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
barang atau uang.”43
Dalam Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59
tentang Akuntansi Perbankan Syariah menyebutkan bahwa wadi’ah
adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat
apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung
jawab atas pengembalian titipan.44
Karena hanya “menitipkan dana, nasabah tidak berhak mendapat
hasil apapun. Akan tetapi nasabah dapat mengambil dananya kapanpun
dia
40

kehendaki.

Sebaliknya

bank

tidak

mempunyai

kewajiban

Ibid, hal. 219
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hal.245-246
42
H.A Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, (Majalah al-Ahkam al- Adliyah),
(Bandung: Kiblat Press, 2002), hal.167
43
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf
44
PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah Bab Pengakuan dan Pengukuran wadi’ah
bagian karakteristik pada paragraf ke 134.
41

20

memberikan hasil dari penitipan dana itu. Wadi’ah dari pengertian diatas
dapat diketahui bahwa pada prinsipnya akad wadi’ah itu amanah bukan
dhamanah. Dan pada dasarnya akad wadi’ah adalah akad tabarru’
(tolong menolong) bukan tijari.
Aplikasi aqad wadi’ah dapat dijelaskan sebagai berikut : “For
wadi’ah savings and current accounts, the IIFS (Institutions offering
Islamic Financial Service) acts as custodian, accepting deposits from
depositors who seek safe custody of their funds and absolute convenience
in their use. Depositors are the principals under this contract. After
accepting the funds, the

IIFS may utilize

them

in profitable

investments. Customers may withdraw part or all of their fund balances
at any time, and the IIFS guarantees the refund of such balances at any
time.45
“Untuk tabungan dan giro wadi’ah, IIFS bertindak sebagai
kustodian, menerima simpanan dari nasabah yang meminta agar
dananya disimpan oleh pihak bank dan kenyamanan mutlak dalam
penggunaannya. Deposan/nasabah adalah pemilik dana dalam kontrak
ini. Setelah menerima dana, IIFS dapat menggunakan dana tersebut
untuk investasi yang menguntungkan. Nasabah dapat menarik sebagian
atau seluruh saldo dana mereka setiap saat, dan IIFS menjamin
pengembalian dana saldo tersebut setiap saat.”
Mengapa dana wadi’ah tidak dapat digunakan untuk investasi
oleh bank? Dalam prinsip wadi’ah, uang atau dana nasabah sekedar
dititipkan di bank. Dana nasabah itu harus dapat diambil kembali setiap
saat dan bank wajib untuk memberikannya. Jadi secara teoritis bank tidak
45

Insurability of Islamic Deposits and Investment Accounts, Islamic Deposit Insurance Group
Research and Guidance Committee International Association of Deposit Insurers, August 2014.

21

dapat menggunakan dana titipan itu untuk investasi.46
Mengapa bank tidak wajib memberikan imbal jasa kepada
nasabah? Karena dana wadi’ah tidak dapat diinvestasikan oleh bank,
bank tidak mendapatkan manfaat apapun dari dana wadi’ah. Jadi, bank
juga tidak wajib memberikan imbal jasa kepada nasabah.47
2.2 Hukum Wadi’ah
Hukum penitipan dan meminta titipan adalah boleh. Dan bagi
orang yang memiliki kemampuan untuk menjaga, dia dianjurkan
menerima barang yang dititipkan. Orang yang dititipi sesuatu wajib
menyimpannya di tempat penyimpanan yang selayaknya. Titipan
merupakan amanat yang berada pada orang yang dititipi. Dia harus
mengembalikannya ketika pemiliknya memintanya.48
Landasan hukum wadi’ah yaitu :
a) Al Qur’an
Firman Allah SWT:

‫إين ا يأمركم أن تؤيدواا المسنست إلى أهلها‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya.”(QS An-Nisaa’: 58).
Menurut para mufasir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci
Ka’bah kepada Usman bin Talhah (seorang sahabat Nabi) sebagai
amanat dari Allah SWT.
Dalam ayat lain disebutkan :

….‫…فإن أمن بعضكم بعضافليؤيدايلذى اؤتمن أمسنته ولييتقّ ا ريبه‬.

“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya.” (QS
Al-Baqarah: 283).
2) As Sunnah
46

Irma Devita Purnamasari & Suswinarno. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat
cerdas, mudah, dan bijak memahami masalah akad syari’ah. (Bandung : PT. Mizan Pustaka,
2011) hlm.27
47
Ibid
48
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 5, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009) hlm. 311

22

Dan sabda Rasulullah SAW:

(‫أيد المانةَ إلى من ائتمنك ولتخن من خانك )روه أبو داود والترميذى والحاكم‬

“Hendaklah amanat orang yang mempercayai anda dan janganlah
anda menghianati orang yang menghianati anda”. (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi dan Hakim)49
Hadits lain tentang wadi’ah yaitu :

‫ عن‬,‫ وقيس عن أبى حصين‬.‫ حيدثّنا طلقّ بن غينام عن شريك‬.‫حيدثّنا أبوكريب‬
‫ أيدالمانة إلى من ائتمنك‬.‫ م‬.‫ قال الينبى ص‬:‫ وعن أبى هريرة قال‬, ‫أبى صلح‬
‫ولتخن من خانك‬.

“Abu Kuroib telah menceritakan kepada kami, dari Tolkun bin
Ghonnam dari Syarik dan Kois dari Abi Khasin, dari Abi Sholeh, dari
Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Serahkanlah
amanat kepada orang yang mempercayai anda dan janganlah anda
mengkhianati orang yang menghianati anda”50
3) Kaidah Ushul Fiqih
Pada dasarnya semua bentuk muammalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.

‫الصل في الشياء الباحة حيتى يدلي دليل على اليتحريم‬

“Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang
menunjukkan keharamannya”51
Kaidah di atas, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang belum
ditunjuk oleh dalil yang tegas mengenai halal dan haramnya sesuatu
tersebut hendaklah dikembalikan kepada ketentuan aslinya yaitu
mubah.52
4) Ijma’
Para tokoh Ulama Islam seanjang zaman telah berijma’ (konsensus)
akan legitimasi al-wadi’ah, karena kebutuhan manusia terhadapnya. Ia
termasuk ibadah sunah. Dalam kitab al Mubdi’ disebutkan : “Ijma’
49

Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram, Jeddah, hlm. 182
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Jami’us Shahih, Libanon: Dar al-Fikr, tt., hlm12
51
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1, 2001,
hlm.58
52
Ibid, hlm. 59
50

23

dalam setiap masa memperbolehkan wadi’ah”.53 Dalam kitab alIfshah disebutkan : “Ulama’ sepakat bahwa wadi’ah termasuk ibadah
sunnah, dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala”. 54 Hal ini
juga terlihat seperti yang dikutip oleh Dr. Wahbah Azzuhaili dalam al
Fiqh al Islami wa adillatuhu dan al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibn
Qudamah serta al Mabsuth Imam Sarakhsy.55
e) Ketentuan Dewan Syariah Nasional (DSN)
Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No:
01/DSN MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan
secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan
Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat
dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000,
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.56
2.3 Rukun, Syarat dan Karakteristik Wadi’ah
Rukun wadi’ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada di
dalamnya yang menyebabkan terjadinya akad wadi’ah yaitu57:
a. Barang/Uang yang dititipkan (al wadi’ah) dalam keadaan jelas dan
baik. Barang-barang yang dapat dititipkan antara lain:
1) Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak.
2) Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet Giro, Surat perjanjian
Mudharabah, dll).
3) Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang
dianggap berharga mempunyai nilai uang).

53

Ibnu Muflih: al-Mubdi’ fi Syahril-Muqni’, juz V, hlm.233
Ibnu Hubair: al-Ifshah, juz II, hlm.27
55
Drs. H. Karnaen Perwataatmadja, MPA dan M.Muhammad Syafi’I Antonio, M. Ec, Apa dan
bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: PT. Amanah Bunda Sejahtera, 1999) hlm.17-18
56
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-muino-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
57
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh juz 4, 1999.
54

24

b.

Ada

pemilik

barang/uang

sekaligus

yang

menitipkannya/

menyerahkannya (muwaddi’)
c. Ada penerima titipan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian
(mustawda’)
d. Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Shighat), dalam perbankan
biasanya ditandai dengan penandatanganan surat/buku tanda bukti
penyimpanan.
Dalam perbankan syari’ah tanpa salah satu darinya maka proses
wadi’ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.
Syarat-syarat wadi’ah menurut jumhur ulama sebagai berikut :58
a. Barang titipan, syaratnya adalah barang titipan itu harus jelas bisa
dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu bisa diketahui
jenisnya, identitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara.59
Benda yang dititipkan diisyaratkan harus benda yang bisa
disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung
di udara atau benda yang jatuh kedalam air, maka wadi’ah tidak sah
apabila hilang, sehingga tidak wajib diganti. Syarat ini dikemukakan
oleh ulama-ulama Hanafiah.60
Syafi’iah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan
harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai
maal, walaupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk
berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak
memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka
wadi’ah tidak sah.61

58

Penulis mengambil dari beberapa sumber
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Bank Syari’ah, (Jakarta : PT. Grasindo,
2005), hlm 199.
60
Ibnu Abidin, hasyisah radd al-mukhtar, (Beirut; Dar al-Fikr, 1992) hal 328
61
Abdurrahan al-jaziri, kitab al fiqh `ala al-madzahib al arba`ah juz 3 (Beirut ; dark al fikr) hal
249
59

25

Syarat Barang62:
a) Barang yang disimpan hendaklah boleh dikendalikan oleh orang
yang menyimpan
b) Barang yang disimpan hendaklah boleh tahan lama
c) Jika barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama, orang yang
menyimpan boleh menjual setelah mendapat izin dari pengadilan
dan uang hasil penjualan disimpan hingga sampai waktu
penyerahan balik kepada yang punya.
b. Pemilik barang, seperti yang dijelaskan dalam kitab ahkamul
wadi’ah63 :

‫ وعليه فيجب أن‬,‫يشترط في كل من المودع والوديع أن يكون أهل للتصرف‬
‫يكون كل منهما بالغّا عاقل رشيدا‬
‫فسسإذا أودع رجسل وديعسة عنسد صسبي أو مجنسون أو العكسسس فسإن هسسذا العقسد ل‬
‫ ويكسسون مسسال الرجسسل السسذى أودعسسه الصسسبي أو المجنسسون غيسسر‬,‫يكونصسسحيححا‬
‫ ومال الصبي والمجنون في يد الرجل الذي تسلم وديعتهما مضسسمون‬,‫مضمون‬
‫ يبرأ ذلك الرجل من الضمان إل إذا سإلم المال إلي‬,‫بكل حال سإواء فرط أم ل‬
‫ لكن إذا وجد رجل صبحيا أو مجنوحنا بيده مسسال كسسثير وخشسسي‬,‫من أخذ منه امال‬
‫ضياعه فأخذه‬
‫منه كان أمانة لديه فل يضمنه إل بالتفريط أو التعدي‬.
Disyaratkan bagi setiap muwaddi’ dan wadi’ suka sama suka untuk
bertasharruf, dan wajib balig, berakal, dan cerdik.
Apabila seseorang menitipkan barang kepada anak-anak, orang gila,
atau sebaliknya (yang ada pada syarat diatas, pen) maka akadnya
tidak benar. Harta orang yang menitipkan kepada anak-anak, orang
gila tersebut tidak ditanggung (oleh anak-anak, orang gila).
Sedangkan harta anak-anak, orang gila yang ada ditangan seseorang
yang menyelamatkannya ditanggung dengan keadaan apapun baik
karena kelalainnya maupun tidak. Orang tersebut tidak lepas dari
tanggungan kecuali apabila ia memberikan harta tersebut kepada
wali. Tetapi apabila seseorang mendapati anak kecil atau orang gila
yang memegang harta yang banyak dan dikhawatirkan hilang, maka
mengambil harta tersebut sebagai amanah baginya dan ia tidak
menanggungnya (bertanggung jawab) kecuali karena kelalaiannya
dan melampaui batas.

62

Prof. Dr. H. Veithzal Rivai S.E.M.M.MBA, dkk. Islamic Transaction in Bussiness dari teori
ke praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 88
63
Abdullah Husain al Maujaan, Ahkam al-Wadi’ah, hlm. 17

26

Adapun orang yang bodoh maka perlu diteliti karena terhalang
atasnya maka tidak boleh ia menerima wadiah darinya dan
menitipkan barang kepadanya.
c. Pihak yang menyimpan, syaratnya adalah bagi penerima titipan harus
menjaga barang titipan tersebut dengan baik dan memelihara barang
titipan tersebut di tempat yang aman sebagaimana kebiasaan yang
lazim berlaku pada orang banyak berupa pemeliharaan.64
4. Ijab qabul, akad ijab qabul di dalam wadi’ah yaitu ijabnya diucapkan
dengan perkataan dan qabulnya dilakukan dengan perbuatan. Akad
ijab qabul antara penitip dengan penerima titipan dapat dilakukan
secara jelas atau tersirat asalkan bisa menunjukkan kalau perbuatan
tersebut akan mengakibatkan ijab qabul. Seperti contoh “perkataan
penitip kepada seseorang (penerima titipan) “saya titipkan”, dan
penerima titipan menerima maka sempurnalah ijab qabul titipan secara
jelas, atau seseorang datang dengan membawa sebuah pakaian kepada
seseorang, penitip berkata “ini titipan kepadamu”, dan penerima
titipan diam maka sahlah ijab qabul titipan secara tersirat”.65
Syarat punya barang dan orang yang menyimpan66 :
a. Yang punya barang dan orang yang menyimpan hendaklah :
1) Sempurna akal pikiran
2) Pintar yakni mempunyai sifat rusyd
3) Tidak disyaratkan cukup umur atau baligh. Orang yang belum
baligh hendaklah terlebih dahulu mendapat izin dari penjaganya
untuk mengendalikan al wadi’ah

64

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penterjemah Imam Ghazali Zaid, A. Zainudin, Jilid IV,
Jakarta: Pustaka Amani, Cet. Ke-1, 1995, hlm. 467.
65
Wiroso, op. cit., hlm.197.
66
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai S.E.M.M.MBA, dkk. Islamic Transaction in Bussiness dari teori ke
praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 88

27

b. Yang punya barang dan orang yang menyimpan tidak tunduk pada
perorangan saja. Ia juga boleh dari sebuah badan korporasi
seperti yayasan, perusahaan, bank dan sebagainya.
Syarat Ganti Rugi67:
Ketika pemilik barang yang menitipkan mensyaratkan kepada orang
yang dititipi untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan atau
kehilangan, kemudian ia ridha dan menerimanya, atau di penyimpan
(yang dititipi) itu mengatakan bahwa ia menanggung kerusakan atau
kehilangan tersebut, maka bila ia ternyata dicuri atau rusak tanpa
kelalaian dalam menjaganya, maka ia tidak wajib menggantinya, karena
persyaratan untuk bertanggung jawab dari orang yang dipercaya/amanah
adalah batil. Demikian ini pendapat mayoritas ulama dari empat mazhab
yang ada.
2.4 Cara menyimpan al wadi’ah68:
a. Tanggung jawab menyimpan al wadi’ah adalah amanah. Al wadi’ah
ialah barang yang disimpan hendaklah dijaga seperti berikut:
1) Diasingkan dari barang-barang milik orang lain, yaitu tidak
dicampur antara barang yang disimpan supaya dapat diketahui
mana di antara milik orang-orang tertentu.
2) Tidak digunakan
3) Tidak dikenakan upah bagi penjaganya
b. Jika al wadi’ah yang dijaga seperti yang tersebut dalam butir (1) di atas
hilang, rusak atau musnah bukan karena kelalaian orang yang
menyimpan, maka ia tidak diwajibkan mengganti.
c. Jika al wadi’ah tidak dijaga seperti butir (1) di atas maka hal keadaan
tanggung jawab menyimpannya berubah dari amanah kepada dhamanah
yang bermakna wajib diganti apabila hilang, rusak atau musnah.

67
68

al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 7/93
al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, hlm 88-89

28

d. Bagi yang mempunyai barang boleh mengenakan syarat yang tertentu
berkaitan dengan keselamatan barang wadi’ahnya.
e. Sekiranya yang punya barang ghaib, hilang atau tidak dapat diketahui di
mana berada, sama ada masih hidup atau sudah meninggal maka
simpanan al wadi’ah itu diteruskan hingga ternyata masih hidup atau
sudah meninggal. Apabila ternyata kematiannya maka barang itu
hendaklah diserahkan kepada waris untuk dibagikan mengikuti aturan.
f. Semua pembelanjaan atas barang al wadi’ah seperti makan dan minum,
jika al wadi’ah itu dari jenis binatang ditanggung oleh yang punya al
wadi’ah. Tetapi jika orang yang menyimpan menggunakan al wadi’ah
itu untuk kepentingannya maka pembelanjaan itu ditanggung olehnya.
g. Orang yang menyimpan tidak boleh membuat akad al wadi’ah dengan
orang lain atas barang yang disiman tanpa izin dari yang punya barang.
Sekiranya ia membuat akad al wadi’ah dengan orang lain dengan izin
maka berpindahlah tanggung jawab menyimpan yang pertama kepada
orang yang menyimpan kedua.
h. Jika orang yang menyimpan meninggal dunia maka berpindahlah
tanggung jawab al wadi’ah itu kepada ahli waris sehingga selesai
barang itu diserahkan kembali kepada yang punya.
2.5 Macam Wadi’ah
Dilihat dari sumber modal yang terbesar selain modal dasar, maka
wadi’ah dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu69 :
1) Wadi’ah jariyah (tahta tholab) yaitu suatu titipan, di mana penyimpan
berhak mengambilnya kapan saja baik cash ataupun dengan cek
atapun melalui nasabah pihak ketiga.
69

Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, cet. I (Yogyakarta : UII

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63