Aktor Tindakan dan Demokrasi aktor

Judul: Memperbaiki Mutu Demokrasi Indonesia: Sebuah Perdebatan
Penyunting: Ihsan Ali Fauzi dan Samsu Rizal Pangabean
Penerbit: Pusat Studi dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina &The Asia Foundation
Cetakan: I, Desember 2012
ISBN: 978-979-772-037-7
Tebal: ix+171 hlm
Aktor, Tindakan dan Demokrasi
Buku ini merupakan orasi ilmiah yang diberikan oleh R. William Liddle, Guru Besar
Emeritus Ilmu Politik Ohio State University, Amerika Serikat, pada acara Nurcholish Madjid
Memorial Lecture, Universitas Paramadina pada 8 Desember 2011. Pada waktu itu Liddle
menyampaikan orasi yang provokatif berjudul “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi
Bermutu di Indonesia dan Amerika”. Gagasan Liddle kemudian dibukukan dengan
ditambahkan beberapa catatan kritis dari para sarjana terkemuka Indonesia, diantaranya
Faisal Basri, Ari Dwipayana, Airlangga Pribadi, Goenawan Mohamad dan Burhanuddin
Muhtadi.
Liddle tentang Demokrasi
Demokrasi Indonesia dirudung berbagai masalah. Korupsi yang merajalela, kekerasan
atas nama agama serta masih lemahnya institusi merupakan beberapa problem yang
berpengaruh pada turunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, bagi Liddle masalah
utama dari demokrasi di negara modern – termasuk Indonesia – adalah “kapitalisme pasar
yang menciptakan ketidaksetaraan dalam pembagian hasil pertumbuhan” (hal 4).

Argumen ini mendapatkan pengaruh dari tesis Robert Dahl tentang relasi antara
kapitalisme pasar dan demokrasi dalam On Democracy (1998). Dahl mengatakan bahwa
sepanjang sejarah modern demokrasi hanya bertahan di negara kapitalisme pasar, hal ini
disebabkan sistem insentif untung-rugi yang dihasilkan ekonomi pasar menghasilkan
ekonomi yang efisien. Kemudian ekonomi efisien cenderung bertambah pesat, mengurangi
penduduk miskin dan menghasilkan sumber daya ekonomi yang bisa dibagikan untuk
mengatasi konflik kepentingan.
Di satu sisi memuji, Dahl menurut Liddle juga bersikap kritis. Kapitalisme pada satu
sisi membantu terciptanya lembaga-lembaga demokrasi namun sekaligus menciptakan
berbagai ketidakmerataan dalam distribusi sumber daya politik. Inilah yang menjadi
kegundahan dari Dahl dan Liddle yang melihat bahwa tantangan demokrasi bermutu tinggi
adalah pembagian sumber daya politik yang tidak merata.
Untuk menjawab kegelisahan ini Liddle lalu membandingkan Marx dan Machiavelli
untuk mencari jalan keluar. Marx menurutnya adalah teoritisi kritis paling terkenal yang
banyak mengkritik kapitalisme pasar. Namun menurutnya Marx dan pengikutnya tidak

menawarkan pengertian bagaimana cara yang harus diperbuat untuk memperbaiki demokrasi.
Justru menurut Liddle “mereka cenderung menyuruh kita untuk membuang sang bayi,
demokrasi, bersama bak mandinya, kapitalisme, sekalian” (hal 4).
Liddle lebih memilih Machiavelli dalam mengatasi problem demokrasi Indonesia

berdasarkan teori tindakan yang dibahasnya hampir 500 tahun yang lalu. Kajian Machiavelli
adalah akar dari studi tentang peran tindakan secara komprehensif. Machiavelli berbicara
tentang tindakan aktor politik yang mempunyai, menciptakan dan memanfaatkan sumber
daya politik. Lalu, konsep Machiavelli tentang virtu dan fortuna bermanfaat dalam melihat
bagaimana peran tindakan aktor politik menjadi penting dalam konteks sosial.
Virtu yaitu keterampilan dan kejantanan merupakan sumber daya politik sang aktor
politik untuk mencapai tujuannya, contohnya ialah kepintaran dan keberanian strategis dan
taktis, ketegasan, ketelitian dan kemampuan membaca tanda zaman (hal 23). Fortuna adalah
peluang dan keberuntungan, suatu situasi yang mesti dimanfaatkan namun juga ditaklukkan
karena bila tak diambil suatu keputusan untuk menangkalnya maka sulit untuk menjinakkan
kedahsyatannya.
Studi Machiavelli tentang peran tindakan aktor politik ini berpengaruh pada studi
Richard Neustadt dalam Presidential Power and the Modern Presidents yang mengkaji tiga
Presiden AS Franklin Roosevelt, Harry Truman dan Dwight Eisenhower. Menurut Liddle
konsep Neustadt the power to persuade, kekuatan untuk menyakinkan, amat penting untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk rakyat.
Lalu kajian penting selanjutnya untuk melihat pentingnya peran tindakan menurut
Liddle adalah John W. Kingdon Agendas, Alternatives and Public Policies. Kingdon
menekankan pada peran policy entrepreneurs dalam perubahan kebijakan. Wiraswastawan
kebijakan mengurusi seluk beluk kebijakan mulai dari penemuan masalah, penciptaan asalusul kebijakan dan kejadian politik. Tiga hal ini bertemu pada jendela-jendela keputusan yang

buka tutup dan merupakan kesempatan untuk membereskan masalah (hal 30). Kajian
Kingdon inilah yang mengelaborasi konsep virtu dan fortuna Machiavelli secara brilian.
Perdebatan
Selain paparan Liddle yang mengembalikan studi demokrasi Indonesia kembali fokus
untuk membahas masalah substansi, hal menarik lainnya adalah komentar kritis dari para
sarjana terkemuka Indonesia atas orasinya. Ari Dwipayana misalnya mengkritik tentang
kemandirian para aktor politik. Menurutnya tindakan politik para aktor tidaklah merdeka
tetapi didasarkan dan dibatasi oleh konteks struktur sosial, politik ekonomi dan budaya.
Goenawan Mohamad mengatakan individu sebagai aktor mandiri adalah ilusi.
Kritik paling paling menohok datang dari Airlangga Pribadi. Dia mengkritik bahwa
Liddle telah melakukan klaim sepihak terhadap Marxisme. Liddle menurutnya “terlihat sama
sekali tidak melucuti dan membongkar bagaimana tradisi Marx menjelaskan dan mengkritik
relasi demokrasi dan kapitalisme dan demokrasi sebagai realitas sosial” (hal 99). Tanpa
menjabarkan kenapa Marxisme tidak bisa menjelaskan permasalahan, Liddle malahan

memberikan justifikasi pendekatan Marxisme malah membuang demokrasi sekaligus
kapitalisme sekalian.
Berbeda dengan Liddle, Airlangga mengatakan bahwa pemikiran Marx malah
menjelaskan munculnya kontradiksi internal antara demokrasi dan kapitalisme. Demokrasi
dalam penerawangan Marx adalah kesetaraan yang mendasari pola-pola aktivitas manusia,

namun dalam arena ekonomi hal ini terhambat oleh mekanisme dan aturan main dalam sistem
kapitalisme. Maka dari itu, tidak salah apabila sejarah adalah upaya manusia melawan
sekongkolan orang yang memiliki alat produksi untuk membuat modal yang bekerja demi
golongan mereka sendiri.
Berpijak pada Garry van Klinken dan Olle Tornquist, Usman Hamid dan AE Priyono
pesimis bila perbaikan demokrasi berharap pada elite politik. Meminjam analisis Klinken
perbaikan demokrasi berharap pada elite politik sulit dilakukan karena formasi politik lokal
sejak pasca reformasi memperlihatkan bahwa struktur kekuasaan demokratis lokal begitu
eksklusif dan tertutup. Daripada berharap pada rekayasa elitis, Tornquist mengatakan bahwa
perbaikan demokrasi bisa dilakukan dengan memperkuat keterlibatan popular. Dengan cara
gerakan demokrasi mesti memanfaatkan kemajuan yang telah tercapai dalam penguatan sipil
(hal 90).
Wildan Sena Utama, Peneliti di Jurusan Sejarah UGM, Peraih Encompass Scholarsip
Leiden University, Belanda.