Demokrasi agama dan moral dan

Suara Pembaruan

Opini & Editorial

Selasa, 8 Juli 2014

A 11

Demokrasi, Agama, dan Moral

Solita Sarwono

P

ilpres kali ini berjalan seru, melebihi
pilpres yang dulu-dulu. Masyarakat
membuat perbandingan kedua pasangan calon yang bertanding, menilai
visi-misi, penampilan, rekam jejak, sampai
kehidupan pribadi calon. Melihat proses
kampanye dan tanggapan masyarakat, terlihat ada tiga aspek yang sering dibahas,
yaitu demokrasi, agama dan moral. Penulis

ingin membandingkan kondisi di Indonesia
dengan di Negeri Belanda, tempat tinggal
penulis. Bangsa Belanda sudah menjalankan demokrasi seabad lamanya, memiliki
pemerintahan bersih dan rakyatnya berjiwa
sosial, sekalipun bukan bangsa yang mengutamakan agama.
Istilah demokrasi mengandung makna
keadilan, kesetaraan, persamaan hak serta
kebebasan untuk mengutarakan pendapat
dan memperoleh hak individu. Agar semua
orang dapat memperoleh hak mereka, maka setiap orang harus bersedia mengalah,
memberikan kesempatan kepada orang lain, tidak serakah dan tidak mementingkan
diri sendiri, sehingga semua orang puas
(situasi win-win). Contohnya, situasi lalulintas di simpang empat saat lampu lalulintasnya mati. Kalau semua orang merasa
berhak untuk maju, cepat melewati simpang empat itu, maka majulah semua kendaraan dari keempat penjuru. Tidak ada
yang mau mengalah. Akibatnya macet total, semua rugi (lose-lose). Padahal jika
setiap pengendara menahan diri, memberi
kesempatan kepada yang lain untuk bergiliran maju, dan tidak ada menyerobot,
maka arus lalu lintas akan dapat terus
berjalan.
Guna mencapai keadilan dan kesetara-


an bagi semua penduduk, di Negeri
Belanda diadakan sistem subsidi-silang
atau bantuan-silang. Yang kaya membantu
yang miskin (makin kaya, makin tinggi
persentase pajaknya); yang muda membantu yang tua (kawula muda bekerja secara
optimal, supaya ekonomi negara dapat
menopang kebutuhan para pensiunan) dan
yang sehat membantu yang sakit (iuran/
premi asuransi kesehatan warga yang sehat
dipakai untuk pengobatan/perawatan yang
sakit). Bantuan silang itu terjadi antar golongan (status ekonomi, kesehatan dan
usia), bukan hanya antar pribadi/keluarga.
Demokrasi yang baik haruslah disertai
dengan disiplin dan kesediaan menahan
diri/mengalah. Aneh, memang, dua hal
yang bertolak-belakang: kebebasan dan kepatuhan/menahan diri. Demokrasi tanpa
kendali/disiplin justru akan menimbulkan
anarki.
Kita simak perilaku bangsa Belanda.

Kebebasan bicara dan hak untuk memperoleh privacy sangat diinginkan tetapi orang
Belanda (termasuk politisi) berdebat dengan memberi kesempatan/giliran kepada
yang lain dan menahan emosi masingmasing. Orang berdisiplin dan sabar menunggu dalam antrian serta disiplin menepati waktu. Pendidikan disiplin diajarkan
sejak usia dini, dengan mengajar anak tentang apa akibatnya jika orang tidak mentaati
aturan. Membuang sampah di tempatnya,
membereskan kamar dan permainan sehabis
dipakai, serta mendidik anak untuk makan
secukupnya. Kalau kurang boleh tambah,
tetapi dilarang menyisakan/membuang makanan. Pendidikan semacam ini merupakan
pembinaan rasa tanggung jawab. Pendidikan
itu dimulai di rumah, dilanjutkan dengan
pendidikan di sekolah dan masyarakat.
Tentu tidak semua orang Belanda demokratis dan berdisiplin, tetapi upaya pembinaan
karakter terus diterapkan. Pelanggar disiplin lalulintas sampai kepada koruptor (ada
juga orang yang korupsi) dihukum.
Penduduk Negeri Belanda 16,5 juta,
menempati kawasan kira-kira seluas Jawa
Barat. Sebagian besar warga Belanda (pribuminya) tidak melaksanakan ritual agama, sekalipun mereka menganggap diri
beragama Katolik atau Kristen. Jarang sekali orang pergi ke gereja pada hari
Minggu, kecuali lansia 70+. Yang lain hanya ke gereja pada malam Natal. Acara

pernikahan dilaksanakan di kantor Pemda
(pencatatan sipil), acara pemakaman diselenggarakan di ruang duka tempat pemakaman atau perabuan/kremasi. Gerejagereja yang sudah beberapa abad umurnya
itu kosong, tetapi tetap dipelihara dengan

baik sampai sekarang. Guna memperoleh
dana perawatan gedung, pengurus gereja
menyewakannya untuk berbagai kegiatan,
seperti seminar, ujian mahasiswa, bazar,
pameran, pertunjukan kesenian dan konser.
Cukup banyak orang Belanda yang menyatakan tidak punya agama. Mereka lebih
percaya kepada hubungan antar manusia
dan kepada realitas saat ini, bukan kehidupan di alam baka. Di sekolah (selain sekolah Katolik) tidak diberikan pelajaran
agama. Warga Belanda menghormati hak
orang lain dan tidak ingin mengganggu/
merusak hubungan dengan orang lain bukan karena takut dosa tetapi untuk menjaga
keharmonisan sosial.
Meski tidak agamis, mayoritas penduduk (pribumi) Belanda memiliki toleransi
yang sangat besar terhadap etnis dan agama lain. Bahkan ada hukum yang melarang
diskriminasi berdasarkan etnis, agama dan
usia, selaras dengan asas demokrasi. Kaum

Muslim yang berkerudung/hijab diterima
bekerja di kantor-kantor pemerintah, perusahaan, toko-toko, rumah sakit dan panti
perawatan. Hanya yang mengenakan pakaian yang menutup seluruh tubuh dan
wajah (burka) tidak diterima karena alasan
keamanan/security.
Sejak peristiwa peledakan Twin Tower
11 September 2001, berkembanglah di
Belanda sikap negatif terhadap orang
asing/migran dan kelompok Muslim, terutama yang ‘berwajah/bergaya’ Muslim.
Bahkan ada anggota parlemen yang terangterangan menghujat Islam dan mendirikan
partai yang anti imigrasi dan anti Islam.
Juga ada yang membuat film yang memburukkan nama Islam. Namun pemerintah
Belanda tidak menghukum mereka selama
mereka tidak melakukan kekerasan.
Sebagai reaksi dari sikap negatif ini ada
angota kelompok Muslim radikal yang
membunuh sutradara film anti Islam tersebut serta ada yang menteror para politisi
yang menghina Islam. Pembunuhnya ditangkap dan dihukum penjara.
Moral
Sekalipun tidak agamis, pada umumnya warga Belanda memiliki sifat jujur,

terbuka/transparan, tidak suka korupsi,
bertanggung jawab, solidaritas tinggi, sosial, rela membantu orang yang lemah (yang
tua, sakit, cacat, renta, miskin atau tertindas). Banyak perhatian ditujukan untuk
membantu anak-anak dan kaum perempuan. Orang Belanda terkenal pelit, sehingga
timbul ungkapan ‘going Dutch’, yaitu
mengajak makan bersama tetapi membayar
sendiri-sendiri. Tetapi mereka merupakan

pembayar pajak yang patuh dan bersedia
mengeluarkan sumbangan bagi orangorang yang lemah/menderita atau terkena
musibah di mana saja. Contoh: setelah
tsunami 2004 masyarakat Belanda secara
spontan mengumpulkan uang 80 juta euro
untuk disumbangkan ke korban tsunami di
Indonesia. Cukup banyak dokter dan perawat Belanda bergabung dalam organisasi
Dokter Lintas-Batas (Artsen Zonder
Grensen) ke negara-negara yang dilanda
perang atau wabah penyakit dan kelaparan
(famine), padahal gajinya tidak besar.
Sifat sosial dan rasa peduli terhadap yang

lemah mendorong banyak warga Belanda
untuk bekerja sebagai relawan di bidang kesehatan dan perawatan, terutama membantu
lansia dan keluarga dengan anak atau pasangan yang cacat. Saat ini ada 3 juta penduduk (17% dari total penduduk Belanda) berusia 65 tahun ke atas, hampir 2000 di antaranya berusia di atas 100 tahun. Dengan bantuan relawan, para lansia dan penyandang cacat dapat hidup nyaman, ke luar rumah dan
tidak terisolasi dari masyarakat.
Sebanyak 6 juta orang Belanda (termasuk para pensiunan) menjadi relawan untuk kesejahteraan masyarakat. Relawan
sosial terdiri dari 60% perempuan dan 40%
laki-laki. Bantuan mereka bukan diberikan
sekali-sekali saja melainkan selama beberapa bulan sampai bertahun-tahun. Para
relawan menyumbangkan tenaganya 2-18
jam per minggu. Jika dinilai dengan uang,
sumbangan para relawan itu bernilai 7,7
miliar euro di tahun 2003.
Contoh situasi di Belanda menunjukkan bahwa penghayatan agama bukanlah
faktor yang paling utama bagi terciptanya
keadilan masyarakat, kesejahteraan, rasa
aman dan kenyamanan hidup sampai tua.
Yang paling penting adalah niat baik dan
rasa peduli para penyelenggara negara untuk bersungguh-sungguh (committed) berupaya membela dan mensejahterakan rakyat, terutama golongan yang lemah. Sikap
moral yang baik harus diajarkan di rumah,
sekolah dan di lingkungan masyarakat.

Ajaran dogmatis atau ancaman hukuman
tanpa kesamaan kata dan perbuatan, akan
menghasilkan apatisme bahkan penolakan/
pemberontakan dari generasi muda, sedangkan perilaku yang buruk justru akan
ditiru. Melalui keteladanan karakter dan
perilaku yang baik dari orangtua dan tokoh
masayarakatlah anak muda dapat membentuk bangsa yang bermoral baik dan bertanggung jawab.
PENULIS ADALAH PSIKOLOG, SOSIOLOG,
AHLI KESEHATAN MASYARAKAT,
BERMUKIM DI NEGERI BELANDA

Harian Umum Sore

Suara Pembaruan

Mulai terbit 4 Februari 1987 sebagai kelanjutan dari harian umum sore Sinar Harapan yang terbit pertama 27 april 1961.
Penerbit: pT Media interaksi Utama
SK Menpen ri nomor 224/SK/MEnpEn/SiUpp/a.7/1987
Presiden Direktur: Theo L Sambuaga, Direktur: randolph Latumahina, Drs Lukman Djaja MBa
Alamat Redaksi: BeritaSatu plaza, lantai 11

Jl Jend Gatot Subroto Kav 35-36 Jakarta-12950, Telepon (021) 2995 7500, Fax (021) 5277 981
BeRitA SAtu MeDiA HolDingS: President Director: Theo L Sambuaga, Chief executive officer: Sachin Gopalan, Director of Digital Media: John riady,
general Affairs & Finance Director: Lukman Djaja, Marketing & Communications Director: Sari Kusumaningrum,
Dewan Redaksi: Sabam Siagian (Ketua), Tanri abeng, Markus parmadi, Soetikno Soedarjo, Baktinendra prawiro MSc, Dr anugerah pekerti, ir Jonathan L parapak MSc, Bondan Winarno, Didik J rachbini Penasihat Senior: Samuel Tahir Redaktur Pelaksana: aditya L Djono, Dwi argo Santosa,
Asisten Redaktur Pelaksana: anselmus Bata, asni Ovier Dengen paluin, Redaktur: alexander Madji, Bernadus Wijayaka, Gatot Eko Cahyono, irawati Diah astuti, Marselius rombe Baan, Marthin Brahmanto, M Zainuri, noinsen rumapea, Syafrul Mardhy pasaribu, Surya Lesmana, Yuliantino Situmorang, Unggul Wirawan, Asisten Redaktur: agustinus Lesek, Elvira anna Siahaan, Heri S Soba, Jeis Montesori, Jeany a aipassa, Kurniadi, Sumedi Tjahja purnama, Steven Setiabudi Musa, Willy Masaharu Staf Redaksi: ari Supriyanti rikin, anastasia Winanti, Carlos KY paath,
Dina Manafe, Deti Mega purnamasari, Erwin C Sihombing, Fana FS putra, Gardi Gazarin, Haikal pasya, Hendro D Situmorang, Hotman Siregar, Joanito De Saojoao, Lona Olavia, Miko napitupulu, natasia Christy Wahyuni, novianti Setuningsih, robertus Wardi, ruht Semiono, Siprianus Edi
Hardum, Yeremia Sukoyo, Yohannes Harry D Sirait, Dewi Gustiana (Tangerang), Laurensius Dami (Serang), Stefy Thenu (Semarang), Muhammad Hamzah (Banda aceh), Henry Sitinjak, arnold H Sianturi (Medan), Bangun paruhuman Lubis (palembang), radesman Saragih (Jambi), Usmin (Bengkulu),Margaretha Feybe Lumanauw (Batam), i nyoman Mardika (Denpasar), Sahat Oloan Saragih (pontianak), Barthel B Usin (palangkaraya), M. Kiblat Said (Makassar), Fanny Waworundeng (Manado), adi Marsiela (Bandung), Fuska Sani Evani (Yogyakarta), robert isidorus Vanwi (papua), Vonny
Litamahuputty (ambon), Kepala Sekretariat Redaksi: rully Satriadi, Koordinator tata letak: robert prihatin, Koordinator grafis: antonius Budi nurcahyo.
gM iklan: Sri rejeki Listyorini, gM Sirkulasi: Dahlan Hutabarat, gM Marketing&Communications: Enot indarnoto, Alamat iklan: BeritaSatu plaza, lantai 9, Jl Jend Gatot Subroto Kav 35-36 Jakarta-12950, Rekening: Bank Mandiri Cabang Jakarta Kota, rek Giro:
a/C.115.008600.2559, BCa Cabang plaza Sentral rek. Giro no. 441.30.40.755 (iklan), BCa Cabang plaza Sentral rek. Giro no. 441.30.40.747 (Sirkulasi), Harga langganan: rp 75.000/ bulan, Terbit 6 kali seminggu. Luar Kota per pos minimum langganan 3 bulan bayar di muka ditambah
ongkos kirim.
Alamat Sirkulasi: Hotel aryaduta Semanggi, Tower a First Floor, Jl Garnisun Dalam no. 8 Karet Semanggi, Jakarta 12930, Telp: 29957555 - 29957500 ext 3206 Percetakan: pT Gramedia
http://www.suarapembaruan.com e-mail: koransp@suarapembaruan.com

Wartawan Suara Pembaruan dilengkapi dengan identitas diri.
Wartawan Suara Pembaruan tidak diperkenankan menerima pemberian dalam bentuk apa pun dalam hubungan pemberitaan.