AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU STANDA

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN
BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI
PARA PIHAK PEMBUATNYA
(Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan
Berkontrak)
Oleh:
Abuyazid Bustomi, SH, MH.1
ABSTRAK
Secara umum perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih, dalam hal ini
kedudukan hukum antara para pihak yang
mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang, akan tetapi perjanjian tersebut
mempunyai pengertian yang luas dan
umum, tanpa menyebutkan untuk tujuan
apa perjanjian tersebut dibuat. Hal
tersebut
disebabkan
pengertian

perjanjian menurut konsepsi pasal 1313
KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang
pihak yang mengigatkan diri pada pihak
lainya tanpa menentukan tujuan apa suatu
perjanjian tersebut dibuat. Oleh karena itu
suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas
artinya,
jika pengertian
mengenai
perjanjian tersebut diartikan sebagai
suatu
persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih saling menigkatkan diri
untuk melaksanakan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan.
Untuk
mengkaji
bagaimana
Kekuatan Hukum dan Akibat Hukum
Perjanjian Standar/baku bagi Kedua Belah

Pihak ditinjau dari Aspek Kebebasan
Berkontak, Penulisan ini menggunakan
penelitian hukum normatif (normativelegal research). Penelitian normatif
dilakukan untuk mendapatkan bahanbahan hukum berupa teori-teori, konsepkonsep, asas-asas hukum serta peraturan
Abuyazid Bustomi, SH, MH, Dosen
Fakultas Hukum Universitas Palembang.
1

hukum yang ada hubungannya dengan
pokok bahasan.
Secara umum akibat hukum dari
suatu perjanjian pada umumnya termasuk
perjanjian baku, apabila telah memenuhi
ketentuan tentang syarat sahnya suatu
perjanjian,
maka perjanjian yang
disepakati dan ditanda tangani para pihak
secara sah, akan berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang terikat dan
membuat perjanjian tersebut. Selanjutnya
apabila pihak yang terikat dalam

perjanjian
tersebut,
tidak dapat
melaksanakan prestasi atau salah satu
pihak melakukan wansprestasi,
maka
terhadap pihak yang merasa dirugikan
dapat mengajukan keberatan kepada pihak
tersebut untuk melaksanakan pemenuhan
prestasi.
Akan tetapi jika keberatan
tersebut tidak diindahkan, maka pihak
yang merasa dirugikan tersebut dapat
melakukan gugatan Perdata Kepengadilan
Negeri setempat atau pengadilan yang
telah disepakati dan tercantum dalam
perjanjian baku tersebut.
A. Pendahuluan
Sunaryati Hartono mengemukakan
bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan,

akan tetapi hanya merupakan sarana dan
jembatan yang harus membawa kita kepada
ide yang dicita-citakan. 2
Menarik apa yang dikatakan di atas,
bila menyimak tentang ide yang ingin
dicita-citakan (das sollen), artinya kita
berupaya mewujudkan keinginan tersebut
dengan mencari format dan pola, yang
selanjutnya,
bagaimana membawa
kehendak, keinginan
tersebut agar
dituangkan kedalam isi perjanjian yang
dibuat para pihak (das sein).
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik
Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991, Hlm. 1.
2

Akibat Hukum dari Perjanjian ...... (Abuyazid Bustomi, SH, MH.)


1071

Secara umum perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih, dalam hal ini
kedudukan hukum antara para pihak yang
mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang, akan tetapi perjanjian tersebut
mempunyai pengertian yang luas dan
umum, tanpa menyebutkan untuk tujuan
apa perjanjian tersebut dibuat. Hal tersebut
disebabkan
pengertian
perjanjian
menurut
konsepsi
pasal
1313

KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang
pihak yang mengigatkan diri pada pihak
lainya tanpa menentukan tujuan apa suatu
perjanjian tersebut dibuat.
Oleh karena itu suatu perjanjian
akan lebih luas juga tegas artinya, jika
pengertian mengenai perjanjian tersebut
diartikan sebagai suatu
persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling
menigkatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 3
Suatu persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi
mereka
yang
membuatnya,
persetujuan-persetujuan tersebut tidak
dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.
Dan
persetujuan-persetujuan
itu
harus
4
dilaksanakan dengan iktikad baik.
Persetujuan
(overeenkomsten)
merupakan suatu perbuatan hukum berupa
kata sepakat antara dua pihak atau lebih

mengenai harta benda kekayaan antara,
dalam mana satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan suatu
hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu. 5

Dalam suatu perjanjian, kedudukan
para pihak yang akan mengadakan
perjanjian
adalah sama dan seimbang,
yang selanjutnya dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak atau freedom of
contract, Maksud asas tersebut adalah
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh
membuat perjanjian yang berisi dan macam
apa pun bentuk dan isinya, asal tidak
bertentangan
dengan
undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Atau
dengan pengertian lain asas kebebasan
berkontrak memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja
dan dalam bentuk apa pun, sepanjang
tidak

melanggar
undang-undang,
ketertiban umum. Atau dengan pengertian
lain
asas
kebebasan
berkontrak
memberikan kebebasan yang seluasluasnya
kepada
masyarakat,
untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja
dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak
melanggar undang-undang dan kesusilaan.6
Sebagian besar
perjanjianperjanjian bersumber dari kesepakatan
kedua belah pihak,
akan tetapi ada
sebagian yang bersumber dari suatu
perbuatan yang tak melanggar hukum dari

salah satu pihak, yaitu perbuatan tertentu

Abdul kadir Muhammad,
Hukum
Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, Hlm. 78.
4
Purnadi Purbacaraka dan
Soejono
Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni,
Bandung, 1986, Hlm. 63.

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata
Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung
1981, Hlm.11.
6
Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa,
Jakarta, Cet IV, 1979, Hlm. 13.

3


5

SOLUSI No. 23 Tahun VIII Mei 2012

1072

yang meskipun bersifat sebelah atau
unilateral, akan tetapi undang-undang
menentukan akibat bagi pembuat dari
perjanjian itu.
Suatu perjanjian yang
dibuat secara sah dan tidak bertentanggan
dengan undang-undang adalah mengikat
kudua belah pihak, dan perjanjian itu pada
umumnya tidak dapat di tarik kembali,
kecuali dengan persetujuan kedua belah
pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang
ditetapkan oleh undang-undang. 7 Dengan
demikian jelas bahwa
perjanjian
merupakan suatu hubungan hukum, yang
berarti bahwa
yang tersangkut dalam
perjanjian haknya dijamin dan dilindunggi
oleh
hukum
atau
undang-undang.
Sehingga apabila haknya tidak dipenuhi
secara sukarela, dia berhak menuntut
melalui pengadilan supaya orang,yang
bersangkutan dipaksa untuk memenuhi
atau menegakkan haknya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
dan semakin berkembangannya kebutuhan
pelaku dunia usaha, orang perorang dan
badan hukum untuk melakukan perbuatan
hukum berupa perjanjian yang lebih
praktis, efektif, menghemat biaya, berdaya
guna
dan tidak menyimpang dari
ketentuan persyaratan perjanjian pada
umumnya. Untuk itu penulis mencoba
memfokuskan kajian penulisan ini pada
kekuatan hukum perjanjian baku dalam
pelaksanaannya bagi para pelaku dunia
usaha orang perorang dan badan hukum.
B. Permasalahan
Perjanjian baku (standart contract)
merupakan
kebutuhan dan menjadi
dinamika temuan hukum bagi para pihak
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Jakarta, 1980, Hlm. 139.
7

yang
berkepentingan,
baik
untuk
kepentingan pelaku dunia usaha orang
perorang ataupun Badan hukum, dengan
tidak
mengenyampingkan
ketentuan
tentang
syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian dan ketentuan yang tersirat
dalam
asas
kebebasan
berkontrak.
Perjanjian mana yang disepakati para
pihak tersebut adakalanya telah ditentukan
format dan isi dari perjanjian tersebut.
Sehingga yang terjadi ada pihak yang
harus menyetujui isi perjanjian tersebut
tanpa ada pilihan namun tidak ada tekanan
dalam kesepakatan perjanjian itu.
Atas dasar hal tersebut di atas
penulis akan membahas mengenai:
Bagaimana kekuatan dan akibat hukum
perjanjian baku (standart contract) bagi
kedua belah pihak ditinjau dari aspek
ketentuan kebebasan berkontrak bagi pihak
yang membuatnya?
C. Metode Penelitian
Jenis
penelusuran dan bahan
hukum dalam penulisan ini merupakan
penelitian hukum normatif (normativelegal research). Penelitian normatif
dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan
hukum berupa teori-teori, konsep-konsep,
asas-asas hukum serta peraturan hukum
yang ada hubungannya dengan pokok
bahasan.
D. Pembahasan
1. Unsur-unsur Dalam Perjanjian
Asas kebebasan berkontrak,
yang menjadi asas utama dalam suatu
perjanjian, berpangkal pada kesamaan
kedudukan para pihak, pandangan
terhadap hak milik sebagai hak yang
paling sempurna serta adanya prinsip
bahwa setiap orang harus memikul
sendiri
setiap
kerugian
yang
ditimbulkan akibat perbuatan suatu
perjanjian. Setiap orang
harus
dipandang sama dan diperlakukan
sebagai orang bebas dan dengan
kedudukan maupun hak yang sama.

Akibat Hukum dari Perjanjian ....... (Abuyazid Bustomi, SH, MH.)

1073

Untuk terjadinya suatu
perjanjian
yang ideal
menurut
Abdul Kadir
Muhammad,
unsur-unsur suatu
perjanjian, adalah sebagai berikut :
a. Adanya pihak-pihak, artinya para
pihak tersebut bertindak sebagai
subyek perjanjian hukum harus
telah dewasa dan cakap untuk
melakukan hubungan hukum.
b. Persetujuan antara pihak artinya
sebelum perjanjian dibuat dan
ditanda tangani harus diberikan
kebebasan
untuk
mengadakan
bergaining atau tawar menawar
diantara
keduanya
atau
berdasarkan asas konsensualitas
tanpa unsur paksaan dari pihak lain.
c. Adanya tujuan yang akan dicapai,
dimana tujuan tersebut merupakan
keinginan dari kedua belah pihak,
asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
d. Adanya prestasi yang dilaksanakan
artinya para pihak dalam suatu
perjanjian mempunyai hak dan
kewajiban tertentu satu dengan
yang lainnya saling berlawanan.
e. Adanya bentuk tertentu, artinya
suatu perjanjian dapat dibuat secara
lisan maupun tertulis, dalam hal
suatu perjanjian yang dibuat secara
tertulis dan dibuat dalam suatu akta,
maka akta tersebut secara tertulis
dan dibuat dalam suatu akta disebut
akta outhentyk maupun akta
underhands.
2. Syarat Sah Terjadi Perjanjian
Suatu perjanjian yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu bisa
dikatakan sebagai suatu perjanjian yang
sah dan perjanjian itu akan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Oleh karena itu agar
keberadaan suatu perjanjian diakui oleh
undang-undang (legally concluded
contract) haruslah sesuai dengan

syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Hak ini dapat dilihat
dari ketentuan pasal 1320 KUHPerdata
menyebutkan bahwa Supaya terjadi
persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
empat syarat :
a. Kesepakatan
mereka
yang
mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
d. Suatu sebab yang tidak dilarang.
Kesepakatan bagi mereka yang
mengikatkan diri, artinya setuju dan
seia sekata atas hal-hal yang
diperjanjikan, dengan tanpa ada
paksaan atau dwang, kekeliruan atau
dwaling dan penipuan atau berdog,
Untuk
menentukan kata sepakat
terhadap suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak. Selanjutnya Teori
Kepercayaan
(vetrouwenstheorie)
menyatakan bahwa kesepakatan terjadi
bilamana ada pernyataan yang secara
objektif dapat dipercaya. 8
Kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian dan melakukan
perbuatan hubungan hukum adalah
mereka yang bisa dikatagorikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban berupa
orang perorang dan atau badan hukum.
Akan tetapi tidak semua orang dapat
melakukan perbuatan hukum, hal ini
sebagaimana ditentukan dalam pasal
1330 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa yang tak cakap membuat
persetujuaan adalah :
a. Orang-orang (anak) yang belum
dewasa;
b. Orang atau mereka yang ditaruh
dibawah pengampuan;
c. Perempuan yang telah kawin dalam
hal-hal yang, ditentukan undangundang dan pada umumnya semua
R. Setiawan,
Pokok-Pokok Hukum
Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977, Hlm. 58.
8

SOLUSI No. 23 Tahun VIII Mei 2012

1074

orang yang oleh undang-undang
dilarang
untuk
membuat
persetujuan itu.
Hal tertentu dalam suatu
perjanjian harus telah ditentukan dan
disepakati, dalam arti isi suatu
persetujuan harus mempunyai pokok
berupa suatu barang yang sekurangkurangnya
ditentukan jenisnya,
walaupun barang itu tak perlu pasti,
asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung. Dengan kata
lain bahwa hanya barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat
menjadi objek pokok dari persetujuan.
Menurut undang-undang, sebab
yang halal dalam suatu perjanjian
adalah jika tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum,
ketentuan ini disebutkan dalam pasal
1337 KUHPerdata yang intinya
menyatakan suatu sebab adalah
terlarang, jika sebab itu dilarang oleh
undang-undang atau bila sebab itu
bertentanggan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum.
Secara umum apabila dalam
suatu perjanjian yang telah dibuat
didapati ada ketentuan tentang syarat
subjektif tersebut tidak terpenuhi,
maka salah satu pihak
yang
mengadakan perjanjian mempunyai hak
untuk memohon kepada hakim untuk
membatalkan perjanjian tersebut. Dan
setelah adanya permohonan pembatalan
perjanjian tersebut dan diputuskan oleh
hakim, kemudian putusan te`rsebut
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, barulah perjanjian tersebut bisa
dinyatakan batal.
Dengan kata lain
selama perjanjian tersebut tidak
dinyatakan batal oleh putusan hakim
Perdata, maka perjanjian tersebut tidak
bisa dikatakan batal demi hukum dan

masih tetap mengikat bagi mereka yang
membuatnya.9
Terhadap ketentuan tentang
tidak terpebuhinya persyaratan obyektif
dari suatu perjanjian, maka perjanjian
tersebut adalah batal demi hukum,
karena tujuan para pihak untuk
membuat suatu pejanjian menjadi batal,
hal ini dikarenakan objek yang
diperjanjikan tersebut batal,
maka
perjanjian tersebut scara otomatis batal
demi hukum. 10
3. Akibat Hukum Perjanjian Baku
(Standart)
Menurut ketentuan asas yang
tercantum
dalam
pasal
1338
KUHPerdata bahwa setiap persetujuan
yang dibauat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Artinya
setiap
persetujuan yang dibuat hanya berlaku
dan mengikat bagi para pihak yang
membuatnya. Kebebasan berkontrak
ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya
memaksa, sehingga para pihak yang
membuatnya
persetujuan
harus
mentaati hukum,
sesuai dengan
persyaratan sahnya suatu perjanjian
1320 KUHPerdata. 11
Kebebasan
berkontrak,
berpangkal dari kesamaan kedudukan
para pihak, pandangan terhadap hak
milik sebagai hak yang paling
sempurna serta adanya prinsip bahwa
setiap orang harus memikul sendiri
setiap kerugian yang ditimbulkan
akibat perbatan suatunperjanjian. Serta
setiap orang harus dipandang sama dan
diperlakukan sebagai orang bebas dan

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian
Kerja, Raja Grafindo Persad, Jakarta, 1995, Hlm.
16.
10
Ibid, Hlm, 17.
11
Setiawan,
Hukum Perikatan,
Binacipta, Bandung, 1977, Hlm. 64.
9

Akibat Hukum dari Perjanjian ........ (Abuyazid Bustomi, SH, MH.)

1075

dengan kedudukan maupun hak yang
sama.
Suatu perjanjian tidak saja
mengikat pada apa yang dicantumkan
semata-mata dalam perjanjian, tetapi
juga pada apa yang menurut sifatnya
perjajian dihendaki oleh keadilan,
kebiasaan
atau
undang-undang,
selanjutnya bahwa hak-hak atau
kewajiban-keajiban yang sudah lazim
diperjanjikan dalam suatu perjanjian,
meskipun pada pada kenyataannya
tidak dimasukkan kedalam surat
perjanjian, harus juga dianggap telah
tercantum dalam perjanjian.12
Suatu
perjanjian
yang
disepakati harus dinyatakan secara
bebas tidak ada tekanan dari pihak lain
sebagimana pasal 1321 KUH Perdata
bahwa suatu kesepakatan perjanjian itu
sah dan mengikat apabila diberikan
tidak karena kehilapan, atau tidak
dengan paksaan, ataupun tidak karena
penipuan. Dengan kata lain, suatu
kesepakatan harus diberikan bebas dari
kehilapan, paksan, ataupun penipuan. 13
Secara umum akibat hukum dari
perjanjian baku apabila telah memenuhi
ketentuan tentang syarat sahnya suatu
perjanjian sebgaimana yang teraurat
dalam pasal 1320 KUH Perdata dan
didasarkan kehendak dari
pihak
membuatnya tanpa adanya unsur
kebebasan, kehilapan, paksaan ataupun
penipuan, maka perjanjian tersebut
berlaku mengikat dan sebagai undangundang bagi pihak yang membuatnya
tanpa terkecuali.
Apabila dalam perjanjian baku
yang telah disepakati para pihak,
didapati
ada pihak yang tidak
melakukan prestasi atau melaksanakan

tapi tidak sebagaimana mestinya, maka
pihak yang merasa dirugikan dapat
meminta pemenuhan isi dari perjanjian
baku kepada pihak tersebut. Dan jika
hal itu tidak diindahkan oleh pihak
yang melakukan wanprestasi, pihak
yang
merasa
dirugikan
dapat
melakukan upaya paksa secara hukum
dengan melakukan gugatan perdata
kepada yang bersangkutan melalui
pengadilan negeri setempat atau
pengadilan yang telah disepakati dalam
perjanjian baku tersebut.
E. Kesimpulan
Bahwa secara umum akibat hukum
dari suatu perjanjian pada umumnya
termasuk perjanjian baku, apabila telah
memenuhi ketentuan tentang syarat sahnya
suatu perjanjian sebagaimana ketentuan
yang tercantum dalam pasal 1320 KUH
Perdata dengan berdasarkan asas yang
terkandung dalam pasal 1338
KUH
Perdata, maka perjanjian yang disepakati
dan ditanda tangani para pihak secara sah,
akan berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang terikat dan membuat
perjanjian tersebut.
Bahwa apabila didapati pihak yang
terikat dalam perjanjian tersebut, tidak
dapat melaksakan prestasi atau salah satu
pihak melakukan wansprestasi,
maka
terhadap pihak yang merasa dirugikan
dapat mengajukan keberatan kepada pihak
tersebut untuk melaksanakan pemenuhan
prestasi.
Akan tetapi jika ternyata
keberatan tersebut tidak diindahkan, maka
pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat
dilakukan pemaksaan secara hukum
melalui gugatan kepengadilan negeri
setempat atau pengadilan yang telah
disepakati dan tercantum dalam perjanjian
baku tersebut.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Bandung, 1980, Hlm. 140.
13
Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak,
Megapoin, Bekasi, 2004, Hlm,47.
12

SOLUSI No. 23 Tahun VIII Mei 2012

1076

DAFTAR PUSTAKA
Abdul

Kadir Muhammad,
Hukum
Perikatan,
Alumni,
Bandung,
1982.
Djunaidi, Hukum Perburuhan Perjanjian
Kerja,
Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1995.
C.F.G, Sunaryati Hartono, Politik Hukum
Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,
Jakarta, Cet.IV, 1979.
---------, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Jakarta, 1980.
Setiawan, Hukum Perikatan, Bina Cipta,
Bandung, 1977.
Purnadi
Purbacaraka
dan
Soejono
Soekanto, Perihal Kaedah Hukum,
Alumni, Bandung, 1986.
Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak,
Megapoin, Bekasi, 2004.
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata
Tentang Persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, Jakarta, 1981.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Akibat Hukum dari Perjanjian ....... (Abuyazid Bustomi, SH, MH.)

1077