Antara Masyarakat Adat dan Umat Masyarak

MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
Antara Masyarakat Adat dan Umat:
Masyarakat Kampung Naga dalam Perubahan
Oleh Amin Mudzakkir1

Abtsrak
Masyarakat adat dan umat adalah dua konsep yang sering dilihat tidak
sepadan, sehingga di antara keduanya dibayangkan saling menjauh.
Pandangan seperti ini digunakan oleh banyak peneliti dan pemerintah, selain
juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat yang lebih luas. Tulisan ini
membalikkan pandangan tersebut dengan menunjukkan bahwa Kampung
Naga mampu menjadi masyarakat adat dan umat secara simultan, sehingga
dua konsep tersebut bisa digunakan sedemikian rupa sebagai strategi dalam
menanggapi perubahan. Secara teoritis tulisan ini menggugat pandangan
yang mengesensialisasikan masyarakat adat dan umat dalam deskripsi dan
konsepsi yang tunggal dan statis. Dengan merumuskan ulang logika
penelitian dan melihat secara empiris kenyataan yang berkembang di
lapangan, secara etis tulisan ini melihat prospek bagi kesalingmendekatan
bagi msayarakat adat dan umat.
Kata kunci: masyarakat adat, umat, Kampung Naga, perubahan.


Masyarakat Kampung Naga adalah penganut Islam seperti umumnya orang-orang di
sekitar tempat mereka tinggal. Akan tetapi, karena mereka juga adalah ‘masyarakat
adat’, sebagaimana diklaim oleh mereka sendiri, seringkali muncul streotip dan
stigma yang dilekatkan kepada mereka. Streotip dan stigma itu, misalnya,
menyebutkan bahwa masyarakat Kampung Naga adalah penganut paham keagamaan
sinkretis antara Islam dan Hindu yang diwariskan oleh leluhur mereka. Dalam
beberapa situs, seperti Wikipedia, masyarakat Kampung Naga bahkan disebut sebagai
penganut agama Sunda Wiwitan seperti Orang Baduy di Banten.2 Secara lebih detail,
beberapa riset juga melaporkan bahwa masyarakat Kampung Naga beribadah secara

                                                        
1

Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional-LIPI, Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana STF
Driyarkara, Jakarta.
2

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga




MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
Islam, tetapi berbeda dengan ibadah orang Islam kebanyakan. Mereka dikatakan
melakukan shalat maghrib dan isya saja, selin masih rajin menjalankan ritual mistik.3
Penggambaran terhadap masyarakat Kampung Naga yang ‘berbeda’ tersebut
patut dipersoalkan. Tentu soal akurasi data adalah hal pertama yang bisa
dipertanyakan. Bagaimanapun, pengetahuan mesti didasarkan pada objektifitas
tertentu, mempunyai status ontologis yang jelas, tidak dikarang-karang begitu saja.
Oleh karena itu, berangkat dari situasi diskursif tersebut tulisan ini secara teoritis akan
memproblematisasi deskripsi masyarakat adat yang terisolasi sedemikian rupa dengan
kondisi dan perubahan di sekitarnya. Terlihat bahwa atribut masyarakat adat
Kampung Naga dikonstraskan dengan pengamatan terhadap lingkungan di sekitarnya.
Apa yang disebut masyarakat adat seolah berbeda dengan ‘umat’, sebuah konsepsi
yang mengacu pada kelompok keagamaaan tertentu. Dari tinjauan kepustakaan
tentang Kampung Naga, muncul kesan bahwa mereka bukan penganut Islam yang
‘sebenarnya’.4 Dengan ungkapan lain, identitas Kampung Naga sebagai masyarakat
adat dinilai tidak bisa dilekatkan pada saat yang sama dengan Kampung Naga sebagai
bagian dari umat Islam pada umumnya.

Tulisan ini, sebaliknya, akan melihat Kampung Naga dalam situasi sosial yang
lebih luas. Argumen yang hendak diajukan adalah bahwa apa yang terjadi di
Kampung Naga bukan fenomena unik sama sekali, tetapi bisa ditemukan dalam
kasus-kasus di tempat lain. Oleh karena itu, identitas adat dan agama masyarakat
Kampung Naga akan dilihat dalam pengertian dan hubungan yang dialektis. Tulisan
ini berdiri di atas pandangan bahwa baik masyarakat adat maupun umat adalah atribut
yang bisa melekat secara bersamaan pada suatu komunitas kultural tertentu. Alih-alih
bertentangan, keduanya bisa bergerak saling mendekat. Akan tetapi, pada sisi lain,
pemerintah dan kelompok-kelompok di luar Kampung Naga, termasuk para peneliti,

                                                        
3

Lihat, misalnya, Agus Heryana, “Pandangan Orang Sunda terhadap Konsep Tri Tangtu di Bumi:
Studi Kasus pada Masyarakat Kampung Naga” dalam Aam Masduki dan Toto Sucipto (ed.),
Kebudayaan Tradisional di Tasikmalaya (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilia-Nilai Tradisional,
2006)

4


Tinjauan terhadap kepustakaan Kampung Naga, lihat Amin Mudzakkir, “Pariwisata, Masyarakat
Adat, dan Problem Minoritas: Kasus Kampung Nag Tasikmalaya” dalam Hikmat Budiman, Hak
Minoritas: Ethnos, Demos, dan Batas-Batas Multikilturalisme (Jakarta: Interseksi, 2009), hlm. 39-46.
Sebagian besar bahan tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan saya yang terdahulu ini.

 



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
seringkali melihat baik masyarakat adat maupun umat sebagai sesuatu yang terbentuk
secara alamiah.
Akhir-akhir ini disadari bahwa adat dan agama adalah isu yang sangat pelik.
Sementara secara global revitalisasi tradisi berlangsung, sehingga tesis tentang
modernisasi yang universal mendapatkan tantangan, pemerintah Indonesia justru
terlihat gagap menanggapi fenomena itu. 5 Di tengah gelombang demokrasi yang
masih muda, pemerintah terlihat terombang-ambing di antara berbagai pilihan sistem
nilai. Dalam situasi ini, masyarakat Kampung Naga sejatinya menemukan peluang
untuk menegosisikan ulang kepentingannya. Implikasi dari perdebatan filosofis dan
politis tentang masyarakat adat dan umat ini tercermin dalam kebijakan publik. Persis

pada arena inilah ketegangan terjadi, sehingga apa yang secara sosiologis dikatakan
sebagai konflik dan integrasi bisa dilihat bentuk kongkritnya.

Mengunjungi Kampung Naga
Kampung Naga sama sekali bukanlah kampung terpencil. Lokasinya berjarak sekitar
30 km dari pusat kota Tasikmalaya atau sekitar 25 km dari pusat kota Garut, terletak
persis di perlintasan jalur Selatan yang menghubungkan kedua daerah tersebut.
Kampung Naga mudah dijangkau baik oleh kendaraan pribadi maupun umum. Secara
topografis Kampung Naga adalah daerah perbukitan dengan latar belakang
pegunungan. Bagi yang membayangkan Tanah Priangan sebagaimana dilukiskan
dalam gambaran ‘mooi indie’, mereka mungkin tidak akan terlalu kecewa jika
mengunjungi daerah ini. Oleh karena itu, tidak heran kalau Kampung Naga sering
dikunjungi, bahkan oleh turis dari mancanegara.
Secara administratif Kampung Naga adalah bagian dari Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Semua penduduk
di daerah ini adalah orang Sunda dan beragama Islam. Bahasa Sunda digunakan
secara luas dalam percakapan sehari-hari, termasuk di kantor pemerintah. Sebagian
besar penduduk bekerja sebagai petani, selebihnya berprofesi sebagai peternak,
                                                        
5


Lihat, David Henley dan Jamie Davidson, “Pendahuluan: Konservatisme radikal-Aneka wajah politik
adat” dalam Jamie Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (peny.), Adat dalam Politik
Indonesia (Jakarta: YOI-KITLV, 2012), 1-55.

 



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
pedagang kecil, pegawai negeri dan swasta, dan buruh lepas lainnya. Kecuali usaha
kecil di bidang kerajinan tangan, tidak ada sektor industri yang bermodal besar dan
melibatkan tenaga kerja banyak di daerah ini. Singkat kata, Kampung Naga dan
daerah di sekitarnya mencerminkan kehidupan agraris di tanah Priangan pada
umumnya.
Gambar 1: Peta Kampung Naga

Sumber: Mudzakkir (2009)

Pada awal tahun 2009, penduduk Kampung Naga berjumlah 317 orang; terdiri

dari 156 laki-laki dan 161 perempuan. Jumlah ini lebih kecil daripada jumlah
penduduk Kampung Naga pada tahun 1984, yaitu sebanyak 351 orang, dan pada 1985
sebanyak 353 orang, atau pada tahun 2001 yang tercatat sebanyak 326 orang. 6
Perubahan demografi ini adalah akibat dari pola migrasi penduduk Kampung Naga
yang cukup dinamis. Tidak ada larangan yang membatasi pergerakan penduduk,
begitu juga dalam memilih pasangan. Banyak penduduk yang kawin-mawin dengan
orang luar kampung. Demikian juga dalam pekerjaan, banyak penduduk yang
mengadu nasib ke kota. Beberapa penduduk pernah tinggal di Jakarta, bekerja sebagai
buruh bangunan atau pedagang barang kerajinan tangan. Krisis moneter yang
menerpa Indonesia pada tahun 1998 membuat mereka pulang kampung. Mereka
kembali bertani, berdagang, atau jadi buruh kecil-kecilan. Diperkirakan jumlah
‘sanaga’ (keturunan Kampung Naga) yang tidak tinggal di Kampung Naga mencapai
sembilan kali lipat jumlah orang yang tinggal di Kampung Naga sendiri.
Daerah inti Kampung Naga adalah lahan pemukiman dengan luas sekitar 1,5
hektar. Di area pemukiman inilah ‘hukum adat’ berlaku, seperti larangan
                                                        
6

Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi (Bandung: Kiblat Pustaka Utama, 2006),
hlm. 20-21.


 



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
membicarakan sejarah atau cerita tentang leluhur pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.
Selain itu, tata cara pembuatan dan bahan-bahan yang digunakan dalam pendirian
sebuah rumah adalah prinsip adat yang kuat dipatuhi. Tidak boleh ada rumah dari
tembok, semuanya harus berbentuk panggung dengan bahan sebagian besar dari kayu
dan bambu. Atap rumah dibuat dari ijuk dengan alas rumbia. Berderet dari Timur ke
Barat dengan muka rumah menghadap ke arah Selatan atau Utara, rumah adalah
simbol dari pandangan mereka terhadap relasi antara dunia alam (nature) dan dunia
batin (spirit).7
Terletak di sisi Sungai Ciwulan, lokasi pemukiman Kampung Naga terbagi ke
dalam beberapa bagian yang masing-masing melambangkan pandangan kultural
tentang ruang. Jumlah rumahnya sendiri mengalami perubahan. Pada tahun 1921,
jumlah rumah di Kampung Naga adalah tujuh buah dengan penghuni sekitar 35 orang.
Pada tahun 1936, jumlah bangunan ada 40 buah, sedangkan pada tahun 1994 jumlah
rumah telah mencapai 104 unit. Jumlah bangunan bertambah lagi pada tahun 1999

menjadi 110 buah.8 Pada tahun 2009, jumlah bangunan tercatat sebanyak 112 buah;
109 rumah, sebuah masjid, bale patemon, dan bale ageung.
Sementara itu, meski Kampung Naga mempunyai aparat administrasi
pemerintahan sebagaimana umumnya seperti RT (Rukun Tetangga), RK (Rukun
Kampung), dan RW (Rukun Warga), otoritas politik berada sepenuhnya di tangan
kuncen. Dalam tugas sehari-hari, kuncen dibantu oleh punduh dan lebe. Tugas
punduh adalah ‘ngurus laku memeres gawe’ (mengurusi hal-hal umum yang
menyangkut penduduk), sementara tugas lebe adalah ‘ngurus mayit ti awal dugi ka
ngureubkeun’(mengurusi jenazah dan upacara kematian).
Karena alasan kultural dan pertimbangan praktikal, Kampung Naga melarang
penggunaan aliran listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara). Meski demikian,
hampir semua penduduk mempunyai alat-alat elektronik, seperti televisi, tape
recorder, radio, dan hand phone. Untuk menghidupkan alat-alat itu, penduduk
memakai tenaga accu yang disetrum di tukang jasa setrum accu di kampung tetangga.
Untuk memasak, mereka memakai tungku tanah dengan suluh kayu bakar atau
                                                        
7

Robert Wessing, “The Shape of Home: Spatial Ordering in Sundanese Kampung” dalam Reimar
Schefold, Gaudenz Domenig, dan Peter Nas, Indonesian Houses: Tradition and Transformation in

Vernacular Architecture (Leiden: KITLV, 2003).

8

 

Her Suganda (2006), hlm. 19-20.



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
kompor minyak tanah. Suluh kayu dibeli atau dicari di kebun. Pada awal tahun 2009,
harga suluh kayu per satu bak mobil pick-up ukuran kecil adalah Rp. 130 ribu, bisa
diggunakan selama enam bulan dengan pemakaian wajar. Untuk penerangan di
malam hari, penduduk menggunakan lampu patromak yang diisi satu liter minyak
tanah tiap hari. Keluarga yang lebih sederhana biasanya menggunakan lampu tempel
biasa, satu liter minyak tanah biasa terpakai oleh penduduk selama tiga hari.
Sementara larangan adat masih berlaku dalam soal listrik, hal yang sama tidak
berlaku dalam soal pendidikan. Anak-anak Kampung Naga bersekolah minimal
sampai tingkat sekolah dasar. Pada masa lalu, orang Kampung Naga dianggap

‘diwaris kabodoan’ (diwarisi kebodohan) oleh leluhur mereka. Masyarakat Kampung
menjawab anggapan itu dengan mengatakan bahwa memang benar mereka bodoh,
tetapi ‘bodo alewoh’ (bodoh tetapi selalu bertanya). Sekarang seiring dengan semakin
banyaknya anak-anak Kampung Naga yang bersekolah bahkan hingga ke jenjang
perguruan tinggi, anggapan tersebut perlahan luntur. Ketiadaan biaya, bukan larangan
adat, yang membuat banyak anak-anak Kampung Naga tidak mampu melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Atas Nama Adat
Fondasi yang membentuk masyarakat adat adalah klaim atas sejarah. Akan tetapi,
justru aspek inilah yang masih menyelimuti masyarakat adat Kampung Naga hingga
sekarang. Sejauh ini asal-usul Kampung Maga masih lebih berupa mitologi daripada
sejarah. Beberapa pendapat menyebut bahwa leluhur Kampung Naga adalah prajurit
Mataram yang menyerang Batavia pada abad ke-17, seperti juga leluhur kampung
adat Pulo di Garut. Akan tetapi, sesepuh Kampung Naga menolak pendapat itu.
Mereka menyatakan bahwa leluhurnya adalah Sembah Dalem Singaparna dari
Kerajaan Galunggung. Karena adanya pergolakan politik kala itu (sekitar abad ke-16
menurut sebuah versi cerita lisan), Sembah Dalem Singaparna mengundurkan diri ke
pedalaman hingga menetap di sebuah daerah yang sekarang menjadi Kampung Naga.
Sesepuh Kampung Naga selalu menyebut ‘piagam Naga’ sebagai satu-satunya
sumber tertulis sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, konon piagam itu diambil oleh
pemerintah kolonial pada tahun 1922 dan tidak pernah dikembalikan. Hal serupa
terjadi pada barang-barang pusaka yang dibakar oleh gerombolan DI/TII pada tahun
1957. Sejak itu Kampung Naga menganggap dirinya ‘pareumenun obor’ (kehilangan
jejak sejarah). Lepas dari kebenaran historis cerita tadi, fakta tentang masa lalu
 



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
Kampung Naga yang masih diliputi tanda tanya memunculkan kesan, sekaligus pesan,
mengenai identitas mereka sebagai masyarakat adat. Dengan kata lain, berpijak pada
konstruksi sejarah inilah Kampung Naga sebagai kampung adat memperoleh
justifikasinya.
Bagi kalangan aktivis agraria, seperti KPA (Konsorsium Pembaharuan
Agaria), Kampung Naga adalah masyarakat adat yang mempunyai hak atas tanah adat
atau ulayat. Berangkat dari argumen bahwa selama ini hak masyarakat adat terhadap
tanah adatnya terampas oleh sistem politik dan hukum nasional yang bersifat
unifikatif, dilakukanlah proyek inventarisasi batas-batas tanah adat.9 Pada tahun 2002,
Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS) dan Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) melakukan pemetaan wilayah adat Kampung Naga.
Hasilnya penelitian itu menyimpulkan bahwa wilayah tanah adat Naga meliputi lahan
sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Ciwulan. Kalau dikonversi ke dalam konteks
administrasi pemerintahan sekarang, wilayah adat Naga meliputi tiga kecamatan di
dua kabupaten, yaitu Salawu dan Cigalontang di Tasikmalaya dan Cilawu di Garut
dengan luas lahan diperkirakan sekitar 16.000 hektar.10
Meski demikian, menurut Kuncen Kampung Naga, apa yang disebut ‘tanah
adat’ sejatinya lebih bersifat kultural daripada legal. Oleh karena itu, hasil pemetaan
YP2AS dan KPA dimaknai oleh mereka hanya sebagai catatan yang pararel dengan
pandangan kultural meraka. Dengan kata lain, mereka sama sekali tidak mempunyai
pemikiran dan, apalagi, agenda untuk merebut ulang tanah adat tersebut. Dalam
kenyataannya, tanah seluas 16.000 hektar itu kini sebagian besar berupa lahan
perkebunan milik Perhutani. Bagi pengurus Kampung Naga, hal paling penting dari
wacana tentang tanah adat Kampung Naga adalah adanya kesadaran baik dari
pemerintah maupun masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Implikasi dari perebutan makna terhadap adat beririsan dengan proyek
pembangunan. Pariwisata adalah praktik sosial yang lahir dari latar belakang ini.
Dengan modifikasi tertentu, sehingga masyarakat adat dikesankan menjadi sesuatu
yang eksotis, Kampung Naga dianggap sebagai aset pariwisata budaya yang berharga.
                                                        
9

Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat (Jakarta: RIPP-UNDP, 2006)

10

YP2AS, “Adat Istiadat dan Wialayh Adat Orang Naga di Jawa Barat”, maakalah yang disampaikan
dalam Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Lingkungan, Kementrian
Lingkungan Hidup dan AMAN, Cipayung, Bogor, 11-12 September 2002.

 



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
Pemikiran seperti ini telah muncul sejak 1970-an. Pada 1976, pemerintah pernah
menawarkan program untuk membangun tempat penginapan di sekitar Kampung
Naga. Akan tetapi, rencana itu ditolak oleh sesepuh setempat dengan alasan bahwa
dengan adanya fasilitas seperti itu penduduk Kampung Naga merasa dijadikan
tontonan. Dalam bahasa yang lebih sarkastis, mereka merasa diperlakukan seperti
kebun binatang. Rencana pemerintah tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Pada
2002, rencana pemerintah tersebut muncul kembali dalam bentuk lain. Kali itu
pemerintah membangun sebuah pos yang menarik karcis masuk Kampung Naga.
Pemerintah juga memasang papan-papan petunjuk jalan bertuliskan ‘Objek Wisata
Kampung Naga’. Tokoh masyarakat Kampung Naga marah dengan adanya itu, lalu
membakar pos dan mencabuti papan-papan tersebut. Kuncen Kampung Naga, Ade
Suherlin, menegaskan penolakannya terhadap berbagai bentuk eksploitasi budaya
untuk kepentingan industri pariwisata.
Belakangan pemikiran pemerintah tersebut justru diformalisasikan dalam
Perda No. 2/2005 tentang RTRW Kabupaten Tasikmalaya. Kampung Naga
dimasukkan sebagai kawasan wisata budaya. Pertimbangan ekonomi ikut serta dalam
perumusan kebijakan ini. Pada 2006, muncul perseteruan tentang pengelolaan lahan
parkir. Oleh karena menganggap lahan parkir Kampung Naga adalah milik negara,
pemerintah secara sepihak memberlakukan tarif di area tersebut sesuai dengan perda
yang berlaku, yaitu Perda No.16/2006 tentang retribusi lahan parkir. Sebelumnya,
tarif parkir menggunakan tarif khusus yang lebih murah. Akibat dari pemberlakukan
kebijakan tersebut adalah tarif parkir menjadi mahal. Para pengunjung protes. Bagian
krusialnya adalah para pengunjung berpikir bahwa itu adalah bagian dari kebijakan
yang telah dirundingakan dengan pihak Kampung Naga. Pengurus kampung menolak
anggapan itu dan menjelaskan bahwa soal parkir semata adalah urusan pemerintah.
Lebih lanjut mereka meminta pemerintah bertanggung jawab menerangkan kenaikan
tarif parkir tersebut sambil pada saat yang sama menutup diri dari kunjungan para
turis, bahkan termasuk para peneliti.
Persoalan lahar parkir di Kampung Naga cukup khas. Hal ini agak berbeda
dengan pengalaman yang sering dihadapi oleh komunitas adat di tempat lain yang
biasanya menyengketakan klaim atas tanah dengan negara, perusahaan, atau
kelompok masyarakat lainnya. Apa yang disebut lahan parkir di sini adalah sebidang
lahan yang digunakan sebagai tempat parkir para tamu yang berkunjung ke Kampung
Naga. Secara legal, tanah yang dipakai sebagai lahan parkir menuju Kampung Naga
 



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
memang milik pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Lahan tersebut dibeli oleh
pemerintah dari seorang penduduk setempat dengan luas sekitar 2520 m² atau 180
bata pada tahun 1992. Statusnya adalah tanah negara. Pemerintah, melalui dinas
terkait, otomatis bertindak sebagai pengelola lahan tersebut.
Pada akhir 2009, persoalan lahan parkir ini kembali mengemuka. Kuncen
mengumumkan bahwa Kampung Naga menutup diri dari kedatangan para wisatawan.
Ini adalah bentuk protes terhadap kenaikan harga minyak tanah yang ketika itu
mencapai Rp 10.000/kilogram. Harga ini sangat memberatkan penduduk Kampung
Naga yang tidak menggunakan listrik, tetapi menggantungkan banyak kegiatan
sehari-harinya pada ketersediaan minyak tanah. Setelah negosiasi yang cukup alot,
pemerintah akhirnya memutuskan bahwa Kampung Naga memperoleh subsidi
khusus. Tidak hanya itu, lahan parkir yang sebelumnya dikelola oleh dinas
pemerintah sejak itu diserahkan kepada pihak Kampung Naga. Lebih tepatnya,
penghasilan dari lahan parkir dibagi antara pemerintah dan pihak Kampung Naga,
tetapi pengelolaannya dilakukan oleh koperasi—bernama Koperasi ‘Sauyunan’—
yang didirikan oleh masyarakat Kampung Naga sendiri.

Islamisasi Dari Dalam
Masjid atau masigit menduduki tempat sentral dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Kampung Naga. Letaknya persis berada di tengah kampung, diapit oleh
bale patemon (tempat pertemuan) di sampingnya dan bale ageung (tempat
menyimpan barang pusaka) di depannya. Masjid ini digunakan untuk kegiatan shalat
lima waktu setiap hari dan pengajian baik untuk anak-anak maupun orang dewasa.
Sebuah bedug dan kentongannya tersimpan di depan sisi kanan masjid, ditabuh setiap
waktu shalat wajib tiba. Oleh karena tidak ada aliran listrik, adzan dikumandangkan
dari masjid tanpa bantuan alat pengeras. Air untuk wudhu dialirkan dari sumber mata
air yang ditampung di sisi kampung yang lebih tinggi, lalu dialirkan melalu pipa ke
bak yang di samping kanan dan kiri masjid.

Gambar 2: Masjid Kampung Naga

 



MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 

Sumber:
http://travel.kompas.com/read/2012/05/19/18210419/Menyingkap.Kearifan.Lokal.Kampung.Naga-diakses 22 Oktober 2012

Tidak ada yang unik dari cara beribadah masyarakat Kampung Naga. Shalat
Jumat diselenggarakan dengan adzan dua kali, seperti biasa dilakukan di masjidmasjid dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Khutbah disampaikan dengan bahasa
Arab yang selalu diikuti dengan penjelasan dalam bahasa Sunda. Khatib biasanya
menggunakan buku khutbah Jumat berbahasa Sunda yang banyak dijual di toko buku
agama. Orang tua berdiri di saf depan, sementara remaja dan anak-anak di saf
belakang. Masjid Kampung Naga mempunyai sistem kepengurusan sebagaimana
layaknya masjid di tempat lain, yaitu semacam Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM)
yang mengelola jadwal kegiatan ibadah dan pengelolaan sehari-hari, seperti
kebersihan dan perawatan masjid.
Dapat dikatakan bahwa Islamisasi memang terjadi dalam masyarakat
Kampung Naga. Hal ini berjalan seiring dengan proses yang kurang lebih pararel
dengan apa yang terjadi pada masyarakat sekitarnya. Seorang guru agama yang
mengajar di sebuah pesantren di dekat Kampung Naga, masih di desa yang sama,
menceritakan bahwa memang dulu masyarakat Kampung Naga kurang mengenal
ajaran Islam secara mendalam. Akan tetapi, mengikuti penilaian guru agama ini, itu
adalah fenomena umum pada masanya, tidak khas Kampung Naga. Sekarang banyak
anak-anak penduduk Kampung Naga ikut pelajaran les membaca Al-Quran. Tidak ada
penentangan yang berarti terhadap tradisi baru tersebut. Beberapa perempuan di
Kampung Naga juga terlihat mengenakkan kerudung dan ikut kegiatan pengajian di
tempat lain. Sejauh ini tidak ada program yang diimposisikan oleh pihak luar,
termasuk pemerintah, dalam urusan agama ini. Sebaliknya, beberapa penduduk ikut

 

10 

MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
aktif mengikuti berbagai kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di luar
kampungnya.
Akan tetapi, beberapa kalangan masih memahami corak dan tingkat keislaman
penduduk Kampung Naga dengan perspektif yang tidak berkorespondensi dengan
kenyataan yang sedang berubah. Ketika melakukan penelitian lapangan di sana pada
2009, saya bertemu dengan seorang pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) setempat
yang sedang mengurusi rencana pemberian bantuan dari Kementerian Agama.
Bantuan itu berupa Al-Quran, sajadah, sarung, dan sejumlah uang. Selain itu, ada juga
pembinaan yang dilakukan oleh pihak KUA setempat dengan mengisi acara pengajian
yang telah ada sebelumnya. Dikatakan bahwa itu adalah bagian dari program
Lembaga Pendidikan dan Pengamalan Agama (LP2A). Program ini sejatinya disusun
oleh Kementerian Agama yang ditujukkan kepada kalangan masayarakat tertentu
dengan kebutuhan khusus. Beberapa komunitas adat dimasukkan dalam penerima
bantuan program ini. Menanggapi hal ini, pengurus masjid Kampung Naga tidak
keberatan. Mereka tidak mempersoalkan lebih lanjut mengapa bantuan itu diberikan
kepada mereka, bukan kepada masjid di tempat lain. Bantuan adalah pemberian yang
tidak boleh ditolak, apalagi dari pemerintah. Hanya saja, pihak Kampung Naga
pernah mengingatkan bahwa umumnya penduduk setempat sudah mempunyai sarung
dan sajadah, jadi lebih bermanfaat jika bantuan itu diberikan dalam bentuk lain.
Pegawai KUA menghargai usulan itu dan berjanji akan membicarakannya dengan
atasannya. Kebetulan pegawai tersebut masih mempunyai ikatan keluarga dengan
penduduk Kampung Naga.
Memang seringkali yang ditonjolkan dari Kampung Naga adalah kegiatan
hajat sasih. Kegiatan ini adalah upacara adat yang diselenggrakan enam kali dalam
setahun, yaitu pada bulan Muharram, Rabi’ul Awal, Jumadil Akhir, Sya’ban, Syawal,
dan Dzulkaidah. Kegiatan ini berisi beberapa prosesi yang diikuti oleh kaum laki-laki
dewasa. Yang ikut serta dalam kegiatan ini tidak hanya penduduk yang tinggal di
Kampung Naga, tetapi juga karib kerabat yang mempunyai pertalian darah dengan
Kampung Naga atau disebut ‘sanaga’. Puncak acara adalah ziarah ke tempat leluhur
Kampung Naga. Sementara kaum lelaki melaksanakan prosesi, kaum perempuan
menyiapkan makanan yang nanti akan dibawa ke masjid untuk dimakan bersamasama sebagai penutup kegiatan. Para pejabat pemerintah biasanya datang pada
kegiatan ini, meski tidak ikut dalam keseluruhan prosesi yang memang hanya boleh
diikuti oleh kalangan ‘sanaga’ tadi.
 

11 

MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 

Kesalingmendekatan: Beberapa Prospek
Dari beberapa kasus empiris yang disajikan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat adat dan umat dalam praktik sosial tidak selalu beroposisi. Kampung
Naga bisa dikategorikan sebagai masyarakat adat dan umat sekaligus. Sekarang
tampak jelas bahwa tengah terjadi kesalingmendekatan (rapprochement) antara dua
hal yang secara deskriptif dibayangkan mempunyai rute sejarah yang berbeda. Secara
teoritis, implikasinya sangat luas. Pandangan esensialis yang berpengaruh dalam
beberapa riset etnografis tentang komunitas kecil mendapatkan tantangan serius.
Dalam kenyataannya, apalagi dengan latar belakang globalisasi seperti saat ini,
koneksi antar-indvidu dan komunitas berlangsung masif. Batas-batas antara
komunitas yang satu dengan yang lainnya berada dalam ketegangan diskursif.
Dengan demikian, sekarang cukup jelas bahwa masyarakat Kampung Naga
bukanlah masyarakat statis yang hidup dalam tempurung identitas secara pasif. Ini
membuktikan bahwa pandangan evolusi kebudayaan sampai tingkat tertentu mesti
diterima sebagai sebuah fakta. Dengan kemampuan yang dimilikinya Kampung Naga
berubah sedemikian rupa, tetapi pada saat yang sama mereka tetap mempertahankan
ciri-ciri tertentu yang sifatnya khas. Perubahan bercampur apik dengan keberlanjutan.
Dalam hal ini, kepemimpinan memegang peranan kunci. Tulisan ini memang tidak
menjangkau aspek itu. Akan tetapi, cukup pasti untuk dikatakan bahwa dalam sistem
masyarakat yang berkarakter paguyuban seperti Kampung Naga, peran pemimpin
sangat

penting.

Mereka

menjadi

sebagai

jembatan

yang

secara

simbolis

menghubungkan Kampung Naga dan dunia, dan begitu pula sebaliknya. Termasuk
dalam hal ini adalah kemampuan mereka merekonsiliasi ketegangan diskursif antara
konsep masyarakat adat dan umat. Bagi masyarakat Kampung Naga, adat dan Islam
adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. Keduanya adalah bagian dari
identitas mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tataran normatif, pengalaman Kampung Naga menantang pendekatan
pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, argumen
konservasionis yang juga sering muncul dari kalangan lembaga swadaya masyarakat
mesti dirumuskan ulang. Kalau menggunakan bahasa hak asasi manusia, pendekatan
dan argumen seperti itu cenderung diskriminatif. Komunitas kecil seperti Kampung
Naga sering dilihat sebagai komunitas yang lemah, sehingga harus dijaga dari
intervensi pihak luar. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa meraka adalah masyarakat
 

12 

MAARIF, Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012, hlm. 104‐116. 
dengan tingkat rasionalitas pra-modern yang rentan terhadap perubahan. Secara
empiris dan juga secara logis hal itu bisa dibantah. Seperti dalam kasus subsidi
minyak tanah, aksi afirmatif terjadi justru sebagai buah dari perjuangan politik
simbolik, bukan karena belas kasihan. Di sinilah, sekali lagi, peran agensi sangat
signifikan. Di tengah negara yang terombang-ambing dalam tarik-menarik politik
identitas seperti di Indonesia sekarang ini, strategi Kampung Naga untuk berubah
sungguh layak diperhatikan. []

 

13