Review Dinamika Sistem Kota Kota dan Pem (1)

TUGAS MATA KULIAH
GEOGRAFI PERKOTAAN
(GEL 2304)
REVIEW JURNAL
DINAMIKA SISTEM KOTA-KOTA DAN PEMILIHAN ALTERNATIF
PUSAT PERTUMBUHAN BARU DI PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Disusun oleh :
Nama

: Noviyanti Listyaningrum

NIM

: 14/365321/GE/07821

Departemen

: Geografi Lingkungan


FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

DINAMIKA SISTEM KOTA-KOTA DAN PEMILIHAN ALTERNATIF
PUSAT PERTUMBUHAN BARU DI PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
oleh Bambang Sriyanto Eko Prakoso dan Luthfi Muta’ali
Majalah Geografi Indonesia, Vol. 19 No. 2, September 2005, halaman 155-179

Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam beberapa periode
cenderung bersifat urban bias. Wilayah kota semakin berkembang sedangkan desa
tidak berkembang bahkan semakin tertinggal jika dibandingkan dengan kota. Hal
ini didukung dengan adanya gejala primasi. Kota memiliki peran sebagai pusat
pertumbuhan bagi wilayah di sekitarnya, tidak terkecuali Kota Yogyakarta. Hal
yang menjadi perhatian adalah Kota Yogyakarta memiliki andil terlalu besar
terhadap Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pola padu terbentuk di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya (pinggiran). Wilayah pinggiran tersebut terlihat lebih
berkembang daripada ibukota kabupaten yang menjadi wilayah administrasinya.

Ibukota Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul relatif stagnan
jika dibandingkan dengan bagian dari kabupaten tersebut yang berbatasan langsung
dengan Kota Yogyakarta. Masalah yang ada bukan sekadar pengembangan wilayah
yang tidak merata tetapi dampak yang dihasilkan terlihat dari kondisi masyarakat
yaitu pengangguran dan kemiskinan. Sistem spasial yang terintegrasi secara baik
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antarwilayah.
Penelitian dilakukan untuk mengkaji bagaimana dinamika sistem kota-kota
dan karakter kekotaannya di DIY, mencari ada atau tidaknya hubungan antara
hirarki sistem kota-kota dengan tingkat kekotaan, dan mempediksi letak kota-kota
alternatif pusat pertumbuhan baru di DIY agar pembangunan lebih merata.
Penelitian dilakukan dengan ruang lingkup sejumlah 439 desa di kota dan
kabupaten di DIY. Desa sebagai unit analisis sedangkan data sekunder (rentang
waktu 1960-2003) menjadi basis analisis. Variabel penelitian meliputi aspek
demografis, komponen perkotaan, dan kebijakan pembangunan. Identifikasi
dinamika sistem kota-kota dilakukan dengan analisis city size dan indeks primacy
menggunakan Zipf’s sehingga dapat ditentukan sistem kota dan tingkat

2

dominasinya. Analisis kekuatan karakter kekotaan dilakukan dengan analisis faktor

untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan karakteristik utama meliputi
kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, lahan terbangun, penduduk non
pertanian, dan fasilitas sosial ekonomi. Analisis korelasi dengan statistik korelasi
Spearman dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara hirarki kota
dengan karakteristik kekotaan. Selanjutnya wilayah yang potensial sebagai pusat
pertumbuhan baru dapat ditentukan. Wilayah yang potensial tersebut dianalisis
secara deskriptif dengan memperhatikan kebijakan tata ruang wilayah dan rencana
para pengambil keputusan sehingga dapat ditentukan kluster pusat pertumbuhan
baru (terpilih).
Selama rentang waktu 1960-2002, nilai index of primacy di DIY semakin
meningkat meskipun kenaikannya tidak besar. Gejala ini memperlihatkan semakin
meningkatnya peran kota besar terhadap kota-kota di bawahnya. Kota Yogyakarta
dan sekitarnya terlihat sebagai bentuk kecenderungan menguatnya peran kota
utama sehingga dikenal istilah Yogyakarta Urban Development Program (YUDP).
Di satu sisi, Kota Yogyakarta memiliki beban yang semakin besar bahkan
melampaui daya dukung yang dimilikinya. Di sisi lain, kota-kota yang lebih kecil
menjadi tidak berfungsi karena perkembangan wilayahnya berjalan lamban. Gejala
primacy atau pemusatan penduduk semakin meningkat namun sejak 1990-2002
sudah mulai terjadi proses perkembangan wilayah yang lebih merata, terutama di
luar YUDP.

Terdapat empat tipe hirarki kota-kota di DIY. Tipe I merupakan wilayah
dengan hirarki tinggi dan peringkatnya naik. Tipe I dimiliki oleh 120 desa di DIY
(27,4 %). Tipe II merupakan wilayah dengan hirarki rendah tetapi mengalami
kenaikan peringkat. Wilayah ini memiliki potensi yang semakin besar jika
dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan baru. Tipe II dimiliki oleh 84 desa di
DIY (19,4 %). Tipe III merupakan wilayah dengan hirarki tinggi tetapi mengalami
penurunan peringkat. Penurunan peringkat terjadi karena kejenuhan dan degradasi
wilayah. Tipe III dimiliki oleh 98 desa di DIY (22,4 %). Tipe IV merupakan
wilayah yang tidak berkembang. Tipe IV dimiliki oleh 135 desa di DIY (30,8 %).
Hasil analisis Chi-Square tipe hirarki di atas menunjukkan bahwa terdapat

3

hubungan erat antara peringkat wilayah dan perubahannya. Implikasi dari hal
tersebut adalah masih terdapatnya konsentrasi perkembangan wilayah pada wilayah
berperingkat tinggi sedangkan wilayah lain relatif stagnan atau menurun.
Terdapat empat tipe tingkat kekotaan di DIY. Tipe I merupakan wilayah
dengan skor kekotaan tinggi dan meningkat, dimiliki oleh 71 desa di DIY (16,2 %).
Tipe II merupakan wilayah dengan skor kekotaan rendah tetapi meningkat, dimiliki
oleh 159 desa di DIY (36,3 %). Tipe III merupakan wilayah dengan skor kekotaan

tinggi tetapi menurun, dimiliki oleh 73 desa di DIY (16,7 %). Tipe IV merupakan
wilayah dengan skor kekotaan rendah dan menurun, dimiliki oleh 135 desa di DIY
(30,8 %). Hasil analisis Chi-Square terhadap tipe di atas menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara skor kekotaan dengan perubahan tingkat kekotaan. Implikasi
dari hal tersebut adalah banyaknya wilayah baru yang muncul meskipun memiliki
skor rendah atau tinggi tetapi mengalami perubahan yang cukup tinggi. Wilayah
yang memiliki karakter kekotaan mulai tersebar di luar YUDP, khususnya di
Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo.
Hasil analisis hubungan hirarki sistem kota-kota dengan tingkat kekotaan
adalah sebagai berikut. Wilayah perperingkat tinggi umumnya berciri kekotaan
tinggi. Perubahan peringkat (mengalami kenaikan) terjadi pada wilayah dengan
karakter kekotaan yang kuat dan hirarki tinggi, umumnya di pinggiran Kota
Yogyakarta. Perubahan skor kekotaan yang dinamis terjadi pada wilayah
berperingkat rendah, dengan fenomena urbanisasi terutama di bagian selatan
Kabupaten Bantul.
Wilayah yang potensial menjadi pusat pertumbuhan baru di Provinsi DIY
digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu pusat pertumbuhan utama, pusat
pertumbuhan kedua, dan pusat pertumbuhan cadangan. Wilayah yang potensial
tersebut perlu dispesifikasi agar lebih jelas dan tepat sasaran. Hasil analisis
kebijakan menunjukkan bahwa pusat pertumbuhan baru terpilih di Provinsi DIY

memiliki ciri sebagai berikut: 1) nilai hirarki sistem kota-kota tinggi tetapi bukan
ibukota kabupaten; 2) karakter kekotaan yang potensial dan dinamis; 3) bukan
aglomerasi YUDP; 4) jauh dari Kota Yogyakarta; 5) terjangkau; 6) didukung
kebijakan politik; 7) memiliki kegiatan dan fungsi wilayah tertentu, misalnya

4

industri andalan; dan 8) mampu mendorong pengembangan wilayah. Terdapat
empat kluster pusat pertumbuhan baru terpilih di Provinsi DIY, yaitu kluster
Sentolo di Kabupaten Kulonprogo, kluster Srandakan-Brosot di Kabupaten Bantul,
kluster Patuk-Playen di Kabupaten Gunungkidul, kluster Tempel-Sleman di
Kabupaten Sleman, dan kluster Giwangan di Kota Yogyakarta.
Kluster pusat pertumbuhan baru diharapkan dapat menjadi katalisator bagi
wilayah di sekitarnya. Redistribusi dari kota utama ke pusat pertumbuhan baru
sebaiknya dilakukan agar hasil pembangunan lebih merata ke seluruh wilayah. Di
satu sisi pusat pertumbuhan baru menerima hasil distribusi dari kota utama tetapi di
sisi lain pusat pertumbuhan baru harus berdiri secara mandiri. Setelah ditentukan
kluster pusat pertumbuhan baru di Provinsi DIY, diperlukan penyusunan master
plan dan action plan. Kerja sama dan kajian mandiri yang lebih spesifik sangat
disarankan agar pusat pertumbuhan baru terwujud secara nyata dan berfungsi

dengan baik.
Jurnal berjudul “Dinamika Sistem Kota-Kota dan Pemilihan Alternatif
Pusat Pertumbuhan Baru di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” merupakan
karya penulis dengan latar belakang ilmu geografi. Geografi sebagai ilmu yang
mempelajari fenomena di permukaan bumi dikupas cukup tuntas dalam jurnal.
Pustaka yang digunakan oleh penulis relevan, tidak terbatas pada ilmu geografi
yang mengkaji perkotaan secara geografis. Pustaka mengenai perkotaan dihadirkan
dari ilmu teknik perencanaan, pembangunan, dan ekonomi. Ciri khas penelitian
geografi yang tidak lepas dari peta dihadirkan oleh penulis sebagai lampiran.
Keempat peta yang disajikan menunjukkan adanya proses dari peta tipe hirarki dan
peta tipe kekotaan dihasilkan peta tipe potensi pusat pertumbuhan. Selanjutnya hasil
akhir dari analisis kesesuaian kebijakan pembangunan terhadap potensi pusat
pertumbuhan baru adalah peta keempat, yaitu peta pusat pertumbuhan baru terpilih.
Meskipun berlatar belakang geografi, objek formal geografi tidak disebutkan oleh
penulis

apakah

menggunakan


pendekatan

analisis

keruangan

(spasial),

kelingkungan, atau kompleks wilayah.
Jurnal di atas runtut dan sistematis mulai dari latar belakang permasalahan,
tujuan, sampai kesimpulan dan saran. Tidak semua penelitian menuliskan saran,

5

akan tetapi jurnal tersebut mencantumkan saran sebagai tindak lanjut dari hasil
penelitian.
Data dan variabel penelitian yang digunakan oleh penulis representatif dan
memenuhi kebutuhan untuk mencari tahu hirarki wilayah, karakter kekotaan, dan
kesesuaian kebijakan pembangunan. Data seluruh desa yang ada di DIY digunakan.
Tentu saja merupakan hal yang baik jika data tersedia lengkap. Salah satu hal yang

menjadi perhatian adalah indikator demografis dalam hirarki wilayah. Data jumlah
penduduk yang digunakan penulis adalah tahun 1960, 1971, 1980, 1990, 2000, dan
2002. Data tahun 1960, 1971, 1980, 1990, dan 2000 dapat diperoleh dari hasil
sensus penduduk yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali kecuali pada tahun
1971 yang seharusnya dilaksanakan tahun 1970. Data jumlah penduduk tahun 2002
oleh penulis digunakan padahal bukan merupakan hasil sensus penduduk sepuluh
tahunan. Penulis tidak memberikan alasan yang jelas mengenai penggunaan data
tahun 2002. Selain itu, data tahun 2002 yang dipakai diprediksi tidak linier dengan
data tahun 1960, 1971, 1980, 1990, dan 2000. Tahun 2002 memiliki selisih waktu
dua tahun dengan tahun sebelumnya sedangkan tahun-tahun lain memiliki selisih
waktu rata-rata sepuluh tahun. Dinamika sistem kota-kota yang dimaksud dalam
penelitian teramati dengan pola tertentu (10 tahunan) dari tahun 1960 sampai 2000,
tetapi dari tahun 2000 sampai 2002 pola dinamika tersebut menjadi kurang sesuai
jika dibandingkan dengan pola sepuluh tahunan yang ada. Namun demikian penulis
secara tidak langsung menjelaskan pentingnya penggunaan data tahun 2000. Jurnal
diterbitkan September 2005 sehingga tidak memungkinan jika menggunakan data
tahun 2010, bahkan data hasil survei penduduk antarsensus (Supas) 2005 belum
tersedia. Penulis berusaha menyajikan kondisi terbaru mengenai sistem kota-kota
di DIY setelah tahun 2000.
Kesalahan penulisan ditemukan pada jurnal yang tidak mengikuti ejaan

yang disempurnakan. Contoh kesalahan tersebut adalah inkonsistensi antara kata
BAPEDA dan Bappeda, kata positif menjadi positip, dan provinsi menjadi propinsi.
Beberapa istilah tidak dijelaskan dalam tinjauan pustaka, misalnya urban bias dan
trickle down effect. Pembaca yang berasal dari disiplin ilmu yang berbeda harus
mencari informasi mengenai makna kata tersebut terlebih dahulu.

6

DAFTAR PUSTAKA

Alfana, M.A.F. dan Giyarsih, S.R. 2013. The Role of Urban Area as The
Determinant Factor of Population Growth. Indonesian Journal of
Geography 45(1):38-47.
Alfana, M.A.F., Giyarsih, S.R., Aryekti, K., dan Rahmaningtias, A. 2016. Fertilitas
dan Migrasi: Kebijakan Kependudukan untuk Migran di Kabupaten Sleman.
Natapraja 3(1).
Anggleni, A., Rachmawati, R., dan Giyarsih, S.R. 2015. Kinerja Pelayanan
Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) di Kecamatan
Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim. Tesis. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Astuti, E.D. 2014. Peran Remitan TKI terhadap Peningkatan Kualitas Permukiman
di Desa Jangkaran Kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo. Jurnal
Manusia dan Lingkungan 2(2):184-189.
Dwihatmojo, R., Muta’ali, L., dan Giyarsih, S.R. Kajian Ruang Terbuka Hijau di
Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Tesis. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Giyarsih, S.R. 1999. Mobilitas Penduduk Daerah Pinggiran Kota. Majalah
Geografi Indonesia 13(2):141-155.
Giyarsih, S.R. 2010. Pola Spasial Transformasi Wilayah di Koridor YogyakartaSurakarta. Forum Geografi 24(1):28-38.
Giyarsih, S.R. 2010. Urban Sprawl of The City of Yogyakarta, Special Reference
to The Stage of Spatial Transformation (Case Study at Maguwoharjo
Village, Sleman District). Indonesian Journal of Geography 42(1):49-60.
Giyarsih, S.R. 2011. Gejala Urbam Sprawl sebagai Pemicu Proses Densifikasi
Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area) Kasus
Pinggiran Kota Yogyakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
12(1):39-45.

7

Giyarsih, S.R. 2014. Pengentasan Kemiskinan yang Komprehensif di Bagian
Wilayah

Terluar

Indonesia-Kasus

Kabupaten

Nunukan,

Provinsi

Kalimantan Utara. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21(2):239-246.
Giyarsih, S.R. 2015. Pemetaan Kelembagaan dalam Kajian Lingkungan Hidup
Strategis DAS Bengawan Solo Hulu. Jurnal Sains&Teknologi 2(2).
Giyarsih, S.R. 2016. Koridor Antar Kota sebagai Penentu Sinergisme Spasial:
Kajian Geografi yang Semakin Penting. Tataloka 14(2):90-97.
Harini, R.K., Giyarsih, S.R., dan Budiani, S.R. 2005. Analisis Sektor Unggulan
dalam Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah
Geografi Indonesia 19(1):1-20.
Hidayat, O. dan Giyarsih, S.R. 2012. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada tentang Bahaya Penyakit AIDS. Jurnal Bumi Indonesia
1(2):159-166.
Juliandi, N. dan Giyarsih, S.R. 2014. Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke
Non Pertanian di Kecamatan Mungkid dan Kecamatan Dukun Kabupaten
Magelang Tahun 2000-2011. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.
Prakoso, B.S.E. dan Muta’ali, L. 2005. Dinamika Sistem Kota-Kota dan Pemilihan
Alternatif Pusat Pertumbuhan Baru di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia 19(2):155-179.
Pristiani, Y.D. dan Giyarsih, S.R. 2014. Evaluasi Pelaksanaan Program Business
Coaching Bagi Pemuda Wirausaha Baru Bank Indoensia dan Implikasinya
terhadap Ketahanan Ekonomi Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi
di Bank Indonesia Cabang Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Setyono, J.S., Yunus, H.S., and Giyarsih, S.R. 2016. The Spatial Pattern of
Urbanization and Small Cities Development in Central Java: A Case Study
of Semarang-Yogyakarta-Surakarta Region. Geoplanning: Journal of
Geomatics and Planning 3(1):53-56.

8

Sriartha, I.P. and Giyarsih, S.R. Spatial Zonation Model of Local Irrigation System
Sustainability (A Case Study of Subak System in Bali). The Indonesian
Journal of Gepgraphy 47(2):142-150.
Sriartha, I.P., Suratman, S., and Giyarsih, S.R. 2015. The Effect of Regional
Development on The Sustainability of Local Irrigation System (A Case
Study of Subak System in Badung Regency, Bali Province). Forum
Geografi 29(1):31-40.
Susanti, S., Baiquni, M, dan Giyarsih, S.R. 2015. Strategi Penghidupan Masyarakat
Korban Lumpur Panas Sidoarj Setelah Relokasi Permukiman di Desa
Kepatihan Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo. Tesis. Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Tajuddin, L., Rijanta, R., Yunus, H.S., dan Giyarsih, S.R. Migrasi Internasional
Perilaku Pekerja Migran di Malaysia dan Perempuan Ditinggal Migrasi di
Lombok Timur. Jurnal Kawistara 5(3):310-321.
Yusup dan Giyarsih, S.R. 2015. Dampak Transmigrasi terhadap Tingkat
Kesejahteraan Warga Transmigran di Desa Tanjung Kukuh Kecamatan
Semendawai Barat Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Provinsi
Sumatera Selatan. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada.

9