Relevansi dan Kontradiksi Peran Perempua

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin

Relevansi dan Kontradiksi Peran Perempuan dalam Perdamaian
Latar Belakang Perempuan dan Stereotip Cinta Damai
Perempuan memang seringkali dikaitkan dengan segala hal yang bersifat feminin—tak
terkecuali perdamaian. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Francis Fukuyama yang secara
logis mengulas tentang hubungan perempuan dengan segala hal yang bersifat damai.
Fukuyama dalam artikelnya yang berjudul Women and the Evolution of World Politics
menjelaskan bahwa hendaknya permasalahan gender dalam hubungan internasional tidak
hanya dilihat dari faktor kebudayaan namun juga faktor biologis. Ide yang diungkapkan
Fukuyama berawal dari pengamatan terhadap perilaku simpanse yang ada di kebun binatang
Belanda dan Tanzania, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat violensi, dominasi,
dan kecenderungan membentuk koalisi antar simpanse. Hasil dari pengamatan tersebut
menunjukkan bahwa meskipun simpanse betina bisa juga berperilaku kasar dan kompetitif,
Fukuyama mengatakan bahwa simpanse jantan lah yang bertanggung jawab atas kekerasan
terparah serta pembentukan aliansi (1998: 25 dalam Charlesworth, 2008: 347). Kepercayaan
Fukuyama pada teori evolusi yang menyatakan bahwa simpanse adalah kerabat terdekat
manusia, membawa pada pernyataan bahwa perilaku dalam hubungan internasional juga
perlu diamati melalui sudut pandang biologis, yakni perbedaan jenis kelamin. Fukuyama
kemudian mendeskripsikan bahwa pria cenderung sering terlibat dalam agresi dan perang,

sedangkan apabila dunia didominasi oleh perempuan, maka keadaan akan cenderung tidak
maskulin (minim agresi, kompetisi, dan kekerasan) dengan sedikit konflik dan lebih
kooperatif (1998: 27 & 33 dalam Charlesworth, 2008: 348).
Ide mengenai perempuan secara alami cenderung damai mendapat sanggahan dari para
teoritis feminis yang menyatakan bahwa hal tersebut bertolakbelakang dengan fakta yang
menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi pencetus adanya konflik dan kekerasan. Dan
ide Fukuyama bisa membawa pada keterbatasan pemahaman terhadap keamanan global
(Charlesworth, 2008: 349). Meskipun ide bahwa perempuan cenderung damai kini telah
diakui dalam institusi internasional dan diulas dalam banyak dokumen. Namun ternyata hal
tersebut dianggap akan lebih memiliki pengaruh jika klaim tentang perempuan dan damai
diangkat lebih awal yakni 20 tahun yang lalu, dengan keadaan di mana kala itu perempuan
tidak diakui sama sekali dalam hukum internasional. Beberapa konvensi internasional seperti
Convention of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan Beijing Platform
mengajukan ide untuk melibatkan perempuan dalam perdamaian dan keamanan internasional

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
dalam level decision-making (Charlesworth, 2008: 349-350). Namun Dianne Otto (2006)
menambahkan bahwa keterlibatan perempuan bisa jadi memiliki batasan jika dikaitkan
dengan sifat alami perempuan yang cenderung lembut dan keibuan sehingga peran mereka

kemungkinan tidak benar-benar dilibatkan dalam perdamaian dan keamanan.
Rekognisi internasional terhadap peran perempuan dalam perang dan perdamaian ditandai
oleh Resolusi Dewan Keamanan 1325 (Charlesworth, 2008: 350). Resolusi 1325 merupakan
sebuah produk yang dilobi oleh NGO perempuan yakni Women’s International League for
Peace and Freedom yang mengatur tentang variasi isu mengenai perempuan dan perdamaian.
Resolusi tersebut menjelaskan tentang pentingnya perlindungan terhadap perempuan selama
konflik berlangsung, keterlibatan perempuan dalam proses menuju perdamaian, gender
mainstreaming dalam operasi peacekeeping dan sistem keamanan (Charlesworth, 2008: 350).
Jika disimpulkan, Resolusi 1325 menjelaskan tentang peran spesial perempuan dalam
resolusi konflik yang akan membawa mereka dalam kesetaraan menyangkut partisipasi di
bidang peacebuilding dan pencegahan konflik. Peran perempuan dalam perdamaian
kemudian dilanjutkan dengan adanya UN Peacebuilding Commission (PBC) sebagai
perpanjangan tangan dari Resolusi 1325 dengan adanya identifikasi empat elemen atas
perkembangan terhadap peran perempuan dalam perdamaian: 1) Asumsi bahwa perempuan
memang lebih baik dalam mengembangkan dan menjaga perdamaian; 2) Tendensi yang
menyatakan bahwa perempuan lebih peka dibandingkan laki-laki yang bisa mendukung basis
hubungan antara perempuan dan perdamaian; 3) Referensi terhadap kebutuhan untuk
menyertakan perempuan dalam negosiasi formal tentang perdamaian (diwujudkan dalam
Deklarasi Beijing dan Resolusi 1325); 4) Penggunaan terminologi gender yang
mereferensikan hanya pada perempuan; penjelasan tentang perspektif gender (Charlesworth,

2008: 351).
Contoh Kasus dan Kontradiksi
Hubungan antara peran perempuan terhadap perdamaian kemudian dideskripsikan oleh
Hilary Charlesworth melalui tiga studi kasus yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik:
Bougainville, Timor Timur dan Kepulauan Solomon. Konflik Bouganville berlangsung
selama kurang lebih satu dekade (1988-1998) didasari oleh keinginan untuk memerdekakan
diri dari Papua Nugini. Perhatian terhadap konflik ini kemudian disorotkan pada peran
perempuan dalam pereduksian intensitas konflik yang terjadi. Perempuan Bouganville
bergerak dari level grassroot yang melebar ke regional, nasional, bahkan internasional.

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
Bahkan dalam intensitas konflik tertinggi di tahun 1990an, perempuan Bouganville
mengadakan aktivitas perdamaian termasuk melakukan dialog sembunyi-sembunyi dengan
pejuang muda yang terlibat konflik. Selain itu, mereka juga melakukan demonstrasi,
konferensi, serta pertemuan damai yang diharap bisa mereduksi dan mengakhiri konflik
Bouganville (Charlesworth, 2008: 352). Namun peran perempuan dalam peacebuilding di
Bouganville ternyata mengalami penolakan karena Bouganville memang pada dasarnya
memiliki kultur keibuan yang secara otomatis mematikan peran perempuan terhadap aksiaksi perdamaian. Jadi memang sudah pada dasarnya perempuan memiliki kehendak dan
wewenang terhadap tanah Bouganville atau apapun yang terjadi di sana, sehingga

kemunculan peran perempuan dilihat bukan sebagai hal yang baru melainkan sebagai tradisi.
Kasus berikutnya adalah Timor Timur terkait disintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1999
yang kemudian menjadi negara baru pada tahun 2002. Dewan Keamanan PBB membentuk
United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) untuk mengawasi
perkembangan Timor Timur sebagai negara baru sekaligus menjadi sarana yang mewadahi
segala aspirasi terkait keadaan di sana. UNTAET merupakan badan PBB yang menindak
serius permasalahan peacebuilding yang melibatkan perempuan dan menjadi referensi
pertama sebagai implementasi terkait permasalahan gender dalam operasi perdamaian
(Charlesworth, 2008: 354). Budaya patriarki di Timor Timur sebagai warisan penjajahan
bangsa Portugis menyebabkan adanya diskriminasi baik secara fisik maupun mental terhadap
perempuan Timor Timur. Paska referendum 1999, tentara Indonesia dan militan lokal
dikatakan banyak melakukan penculikan perempuan serta pemerkosaan massal; perempuan
yang menjadi aktivis kemerdekaan adalah yang menjadi target utama kekerasan seksual di
sana (Harris Rimmer 2004: 339 dalam Charlesworth, 2008: 354). Meskipun telah diadakan
Kongres Perempuan di bulan Juni 2000 untuk menambah peran perempuan dalam aspek
sosial, namun sedikit yang berperan dalam proses pembangunan negara. Dan dalam
perkembangan di Timor Timur, ternyata partisipasi perempuan di dalam bidang politik masih
terbilang rendah.
Contoh kasus terakhir adalah Kepulauan Solomon terkait kesempatan ekonomi antar pulau
yang diperparah oleh migrasi internal yang menyebabkan adanya kekerasan dan instabilitas

secara kontinyu di sana sejak tahun 1998. Australia kemudian membentuk Regional
Assistance Mission to the Solomon Islands (RAMSI) pada tahun 2003 untuk merespon krisis
yang terjadi. Sejak awal, perempuan Solomon ingin sekali terlibat dalam peacebuilding,

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
namun kehadiran RAMSI ternyata tidak membantu mereka sama sekali. Adanya tradisi yang
menjadikan perempuan hanyalah sebagai properti di kawasan Solomon semakin
memarjinalkan peran perempuan dalam pereduksian konflik di sana. Hal tersebut dibuktikan
dengan tidak adanya perempuan yang terpilih di parlemen meskipun terdapat beberapa yang
mencalonkan diri (Charlesworth, 2008: 357). Jennifer Corrin menjelaskan bahwa peacetime
tidak selalu menjadi sinyal adanya pemberhentian kekerasan terhadap perempuan, dan tidak
pula memberi keuntungan terhadap perempuan (Corrin 2008: 189 dalam Carlesworth, 2008:
357).
Ketiga contoh kasus di atas memiliki pola yang sama yakni perempuan tidak dianggap
memiliki peran dominan terhadap usaha peacebuilding dan peacekeeping di daerah-daerah
konfliktual. Peran perempuan dinilai masih kurang dalam usaha-usaha terkait perdamaian
yang penulis simpulkan terjadi karena beberapa faktor seperti: budaya dan eliminasi. Faktor
budaya seperti patriarki yang ada di Timor Timur dan Kepulauan Solomon yang menganggap
bahwa perempuan hanya sekedar properti yang tidak memiliki kemampuan politis menjadi

dasar kurangnya partisipasi perempuan dalam usaha perdamaian di sana. Budaya yang ada di
Bouganville yang menyatakan bahwa memang sudah seharusnya perempuan yang memegang
peranan penting dalam decision-making terkait usaha-usaha perdamaian juga tidak membawa
perempuan memiliki status yang lebih tinggi dan malah dianggap menjadi suatu hal yang
lumrah sehingga pada akhirnya mematikan pemikiran bahwa perempuan Bougenville
memang memiliki peran penting selama masa konflik. Kemudian faktor eliminasi yang
penulis ambil dari contoh kegagalan UNTAET serta RAMSI di daerah konfliktual.
UNTAET, meskipun dilabeli sebagai badan PBB yang mengutamakan isu gender, tidak bisa
membawa perempuan ke tingkat yang lebih tinggi di Timor Timur yang dibuktikan dalam
minimnya partisipasi perempuan di bidang politik serta banyaknya kekerasan seksual
terhadap perempuan selama masa peacebuilding. Sedangkan RAMSI memang tidak bekerja
atas nama perempuan dan kehadirannya hanya semakin memarjinalkan posisi perempuan
Kepulauan Solomon yang pada dasarnya sudah termarjinalkan. Sehingga pada akhirnya
meskipun perempuan memang memiliki tendensi perdamaian, namun fakta lapangan
mengeliminasi sifat damai perempuan dan lebih memilih jalan yang lebih maskulin. Sifat
damai perempuan tidak bisa mencakupi kompleksitas konflik yang terjadi dan dianggap
bukan jalan yang seharusnya dilakukan yang berujung pada minimnya peren perempuan
dalam upaya peacebuilding serta peacekeeping.

Journal of International Politics

Pebriyana Arifin
Referensi:
Charlesworth, Hilary. 2008. Are Women Peaceful? Reflections on the Role of Women in
Peace-Building. Springer Science Business Media. Fem Leg Stud (2008), 16:347–361
DOI 10.1007/s10691-008-9101-6 pp: 347-361.