Agama dan Sosiologi agama aliran

Agama dan Sosiologi

Agama merupakan sebuah realitas yang telah hidup dan mengiringi
kehidupan manusia sejak dahulu kala. Bahkan Agama akan terus mengiringi
kehidupan manusia entah untuk beberapa lama lagi. Fenomena ini akhirnya
menyadarkan manusia bahwa baik Agama maupun manusia tidak dapat
dipisahkan, keduanya saling membutuhkan. Sebaliknya, manusia tidak akan
menjadi manusia yang memiliki budi pekerti yang manusiawi jika Agama
tidak mengajarkan manusia bagaimana cara menjadi manusia yang
menusiawi tersebut.
Secara harfiah Agama dapat diartikan yaitu sebuah “aturan atau
tatacara hidup manusia yang di percayainya yang bersumber dari Yang
Maha Kuasa untuk kebahagian dunia dan akhirat. Sedangkan Nurcholish
Madjit mendefinisikan Agama adalah: sikap pasrah kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, pencipta seluruh langit dan bumi.
Namun kini segelintir manusia telah mencoba untuk menenggelamkan
Agama menjadi sebuah barang antik yang sifatnya hanya untuk di pajang
dan dikenang. Hal ini di sebabkan antara lain oleh, telah terlalu lamanya
Agama mengiringi kehidupan manusia. Sehingga Agama di anggap sebagai
sesuatu yang kuno. Dan dikhawatirkan Agama tidak akan sanggup
mengikuti perkembangan zaman. Dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang

semakin beraneka ragam. Selanjutnya, sebagai manusia yang menyetujui
hal ini beranggapan bahwa kini telah terdapat alternatif lain untuk
menggatikan peran Agama, yaitu, teknologi. Agama yang selalu
membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis akan dengan mudahnya
digantikan oleh tehnologi yang dipastikan hanya akan membicarakan halhal yang sifatnya logis.
Namun ternyata anggapan semacam ini adalah anggapan yang sepenuhnya
keliru, karena nyatanya hingga kini Agama menjadi sesuatu yang tak
terpisahkan dalam tiap sendi kehidupan manusia. Bahkan manusia yang
menganggap dirinya sebagai manusia yang paling modern sekalipun tak
lepas dari Agama. Hal ini membuktikan bahwa Agama tidaklah sesempit
pemahaman manusia mengenai kebenaranya. Agama tidak saja
membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis, malahan juga
membicarakan hal-hal yang logis pula. Agama juga tidak hanya membatasi
diri terhadap hal-hal yang kita anggap mustahil. Karena pada waktu yang
bersamaan Agama juga menyuguhkan hal-hal yang riil. Begitulah Agama,
sangat kompleks sehingga betul-betul membutukan mata yang sanggup
“melek” (keseriusan) untuk memahaminya.

Dari perpektif antropology sendiri melihat Agama atau menafsirkan Agama
adalah: merupakan sebuah sistem budaya, dimana setiap sistemnya

terdapat unsur yang memungkinkan terbentuknya sebuah sistem itu.
Antropologi memandang sebuah hal penting dari terbentuknya sistem
budaya ini. Yakni sistem gagasan yang mendasari terbentuknya sistem
budaya “beragama” ini. Sistem gagasan inilah yang akhirnya menuntun
pemikiran manusia hingga menuju pada Tuhan yang nantinya akan di
sembah. Agama di sebut sebagai sebuah sistem budaya karena Agama
merupakan sebuah hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Sistem
gagasan disini bermaksud. Bahwa masyarakat primitif dahulu mengunakan
Agama sebagai “alat” penjelas terhadap fenomena-fenomena alam yang
terjadi, lambat laun manusia primitif menganggap bahwa segalanya
memiliki ruh. Segala fenomena yang disaksikan dan yang mereka nisbahkan
pada ruh. artinya dengan demikian, manusia primitif dapat menafsirkan
fenomena-fenomena yang ada diartikanya seperti banjir, gempa, dan lainya
dengan padangan tersebut.
Sedangkan bagi Max Weber melihat gejala Agama adalah: Tuhan tidak ada
dan hidup untuk manusia, tetapih manusialah yang hidup demi Tuhan.
Lebih jauh mengenai masalah ini, dijelaskan bahwa menjalankan praktekpraktek keAgamaan merupakan upaya manusia untuk merubah Tuhan yang
irasional menjadi rasional. Semakin kita menjalankan peritah-perintah
Tuhan maka akan semakin terasa kedekatan kita terhadap Tuhan. Berbeda
lagi dengan pendapatnya Emile Durkhem yang menyatakan bahwa Agama

secara khas merupakan permasalahan sosial, bukan individual. Karena yang
empirik (pada saat itu) Agama di praktekkan dalam ritual upacara yang
memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam pelaksanaanya. Sehingga
yang nampak saat itu adalah Agama hanya bisa dilaksanakan pada saat
berkumpulan dangan angota sosial, dan tidak bisa dilakukan tiap individu.
Cliford Geertz yang melalui penelitian yang di lakukannya di Mojokuto
mulai Mei 1953-September 1954, membagi Agama masyarakat Jawa hanya
menjadi tiga bagian, yakni: kalangan “Priyayi, Santri, dan Abangan”. Hal ini
disebabkan karena penekanan yang dilakukan oleh Geertz adalah masalah
komplesitas yang ada pada masyarakat Jawa. Dengan pengelompokan ini,
yakni: Priyayi, santri, abangan.
Dalam Sosiologis, Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang
diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman
manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu, setiap
perilaku yang diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran
Agama yang dianut. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan
dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Agama yang
menginternalisasi sebelumnya. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan
berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berhimpit
saling menciptakan dan meniadakan. (Dadang Kahmad; 2000).


Agama dalam perjalananya biasanya tidak hanya dijadikan sebagai
kebenaran yang diyakini dan dipahami, tetapi sebisamungkin kebenaran
Agama itu juga dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik
melalui sikap, perilaku, atau tindakan. Manusia dikatakan sebagai manusia
yang sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang etis yakni manusia yang
secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial,
antara jasmani dan rohani, antara makhluk berdiri sendiri dan
dengan KhalikNya. Hal ini terjadi karena hidup manusia mempunyai tujuan
terakhir, yang lebih baik dan tertinggi dalam rangka mendapatkan
kebahagiaan sempurna. Manusia sebagai objek material, etika dalam
melakuan tindakan-tindakan etis tentunya membutuhkan arahan-arahan
untuk mencapai kebahagiaan sempurna itu. (Heniy Astiyanto 2006:287).
Bagi Karl Marx: agama adalah sebagai alat melegitimasi kepentingan dunia,
& agama membawa keterasingan (agama adalah Candu). Gramcie: Agama
sebagai generator pengerak, (agama melakukan perubahan sosial)
berlawanan dengan Marx. Durkhem: Agama sebagai alat perekat.
(totem:sesuatu yang suci) Berlawanan dengan Marx. Albert Einstein: Ilmu
tampa Agama buta, dan agama tampa ilmu adalah lumpuh. Dan Nurcholish

Madjit: agama adalah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
pencipta seluruh langit dan bumi.