Masalah dan Strategi Pengentasan Kemiski

Masalah dan Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang timbul dalam
pembangunan bersama-sama dengan masalah pengangguran dan kesenjangan
yang ketiganya saling kait mengkait. Dalam konteks pembangunan di Indonesia,
masalah kemiskinan semakin menjadi primadona sejak krisis ekonomi melanda
Indonesia pada pertengahan tahun 1997 lalu. Kemiskinan menjadi semakin sering
dibicarakan karena adanya peningkatan jumlah penduduk miskin yang cukup tajam
yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tersebut. Kemiskinana di Indonesia sekarang
ini telah menjadi suatu maslah nasional yang behkan pemerintahpun tengah
mengupayakan usaha pengentasan penduduk Indonesia dari masalah kemiskinan
Kemiskinan adalah masalah yang mempunyai keterikatan terhadap maslah-masalah
social di Indonesia. Sebagai contoh nya keluarga yang miskin mempunyai tingkat
penghidupan dan kesehatan yang relative minim dibandingkan orang yang
kehidupannya tercukupi,
Sejak tahun 2002, sebuah tim yang terdiri dari para analis Indonesia dan
manca negara, dibawah naungan Program Analisa Kemiskinan di Indonesia
(INDOPOV) di kantor Bank Dunia Jakarta, telah mempelajari karakteristik
kemiskinan di Indonesia. Mereka telah berusaha untuk mengidentifikasikan apa

yang bermanfaat dan tidak bermanfaat dalam upaya pengentasan kemiskinan, dan
untuk memperjelas pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk Pemerintah dan
lembaga- lembaga non-pemerintah dalam upaya mereka untuk memperbaiki standar
dan kualitas kehidupan masyarakat miskin
Makalah ini mencoba untuk menganalisa sifat multi-dimensi dari kemiskinan
di Indonesia pada saat ini melalui pandangan baru yang didasarkan pada
perubahan-perubahan penting yang terjadi di negeri ini selama satu dekade terakhir.
Sebelum ini, Bank Dunia telah menyusun Kajian-Kajian Kemiskinan, yaitu pada
tahun 1993 dan 2001, namun kajian-kajian tersebut tidak membahas masalah
kemiskinan secara mendalam. Kajian ini memaparkan kekayaaan pengetahuan
yang dimiliki oleh Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia dan penulis berharap
bahwa kajian ini akan menjadi sumbangan penting untuk menghangatkan diskusi
kebijakan yang ada dan, pada akhirnya akan membawa perubahan dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.
Indonesia yang sekarang tentu saja sangat berbeda dari Indonesia satu
dekade yang lalu. Maka bukan hal yang mengejutkan apabila strategi-strategi
pengentasan kemiskinan telah berubah seiring dengan perubahan yang telah

dialami oleh Indonesia oleh karena itu dibuatlah makalah yang berjudul “Masalah
dan Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” dan penulis sangat

berharap bahwa kajian kemiskinan ini dapat menjadi sumbangan berarti dalam
menghadapi berbagai tantangan.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
1.
Apa pengertian kemiskinan?

1.
2.
3.
4.
5.

2.

Bagaimana cara mengukur kemiskinan?

3.


Apa saja penyebab kemiskinan?

4.

Bagaimana keadaan kemiskinan di Indonesia?

5.

Apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan?

2.2 Tujuan Pembahasan
Tujuan makalah ini adalah:
Mengetahui pengertian kemiskinan
Mengetahui cara mengukur kemiskinan
Mengetahui penyebab kemiskinan
Mengetahui keadaan kemiskinan di Indonesia
Mengetahui apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kemiskinan adalah keadaan dimana
terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian ,
tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas
hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan
kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah
global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif,
sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya
lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang"
biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:

 Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan seharihari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini
dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
 Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan,
dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan,
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada
bidang ekonomi.

 Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi
di seluruh dunia.
Sedangkan Kepala Badan Pusat Statistik , Rusman Heriawan mengatakan
seseorang dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi
makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal
non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. "Jadi ada
kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah. Kalau
rupiahnya yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang per bulan," kata Rusman
Heriawan kepada BBC. Dengan definisi itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia
tahun 2008 mencapai sekitar 35.000.000 jiwa.
Angka itu merupakan hasil survei sosial ekonomi nasional, Susenas dengan
sampel hanya 68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia
mencapai 55.000.000. Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi Surabaya,
Kresnayana Yahya, cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan tidak
mencerminkan realitas.
"Ada yang tidak diperhitungkan, perusak-perusak kalori. Orang merokok bisa
enam sampai tujuh batang. Itu sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya
sekian, tetapi di dalamnya ada enam-tujuh batang rokok," kata Kresnayana Yahya.

3.2 Mengukur Kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan
absolutdan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard
yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh
dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah
jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per
hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan
pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan
dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar

orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia
mengkonsumsi kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk negara berkembang yang
hidup dalam kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada
2001.Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup
dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1
juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada
bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi
ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah

pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi
kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam
pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk
menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara
berkembang.
3.3 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
 penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
 penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
 penyebab sub-budaya ("subcultural"), yang menghubungkan kemiskinan dengan
kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
 penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain,
termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
 penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil
dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai
akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di
dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja
miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih

gagal melewati atas garis kemiskinan.
3.4 Kemiskinan Di Indonesia
Pengentasan kemiskinan tetap merupakan salah satu masalah yang paling
mendesak di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan
penghasilan kurang dari AS$2-per hari hampir sama dengan jumlah total penduduk
yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2- per hari dari semua negara di
kawasan Asia Timur kecuali Cina. Komitmen pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2005-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan

Kemiskinan (SNPK). Di samping turut menandatangani Tujuan Pembangunan
Milenium (atau Millennium Development Goals) untuk tahun 2015, dalam RPJM-nya
pemerintah telah menyusun tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan kemiskinan
untuk tahun 2009, termasuk target ambisius untuk mengurangi angka kemiskinan
dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Walaupun
angka kemiskinan nasional mendekati kondisi sebelum krisis, hal ini tetap berarti
bahwa sekitar 40 juta orang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan. Lagi pula,
walaupun Indonesia sekarang merupakan negara berpenghasilan menengah,
proporsi penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2-per hari sama
dengan negara-negara berpenghasilan rendah di kawasan ini, misalnya Vietnam.

Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama,
banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional, yang
setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun
tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan
didasarkan pada pendapatan, sehingga
tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang
mungkin tidak tergolong (miskin dari segi pendapatan) dapat dikategorikan sebagai
miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya
indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan
beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan
antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
1.
Banyak penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan
nasional
sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Hampir 42 persen dari seluruh rakyat
2. Kemiskinan dari segi non-pendapatan adalah
masalah yang lebih serius dibandingkan dari kemiskinan dari segi pendapatan.
Bidang-bidang khusus yang patut diwaspadai adalah:
 Angka gizi buruk (malnutrisi) yang tinggi dan bahkan meningkat pada tahun-tahun

terakhir: seperempat anak di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk
di Indonesia, dengan angka gizi buruk tetap sama dalam tahun- tahun terakhir
kendati telah terjadi penurunan angka kemiskinan.
 Kesehatan ibu yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara di
kawasan yang sama, angka kematian ibu di Indonesia adalah 307 (untuk 100.000
kelahiran hidup), tiga kali lebih besar dari Vietnam dan enam kali lebih besar dari
Cina dan Malaysia hanya sekitar 72 persen persalinan dibantu oleh bidan terlatih.
 Lemahnya hasil pendidikan. Angka melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah
menengah masih rendah, khususnya di antara penduduk miskin: di antara
kelompok umur 16-18 tahun pada kuintil termiskin, hanya 55 persen yang lulus SMP,
sedangkan angka untuk kuintil terkaya adalah 89 persen untuk kohor yang sama.

 Rendahnya

akses terhadap

air

bersih,


khususnya

di

antara

penduduk

miskin. Untuk kuintil paling rendah, hanya 48 persen yang memiliki akses air
bersih di daerah pedesaan, sedangkan untuk perkotaan, 78 persen.
 Akses terhadap sanitasi merupakan masalah sangat penting. Delapan puluh
persen penduduk miskin di pedesaan dan 59 persen penduduk miskin di perkotaan
tidak memiliki akses terhadap tangki septik, sementara itu hanya kurang dari satu
persen dari seluruh penduduk Indonesia yang terlayani oleh saluran pembuangan
kotoran berpipa.
3. Perbedaan antar daerah yang besar di bidang kemiskinan. Keragaman antar
daerah merupakan ciri khas Indonesia, di antaranya tercerminkan dengan adanya
perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di pedesaan, terdapat sekitar
57 persen dari orang miskin di Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki akses
terhadap pelayanan infrastruktur dasar hanya sekitar 50 persen masyarakat miskin
di pedesaan mempunyai akses terhadap sumber air
bersih, dibandingkan dengan 80 persen bagi masyarakat miskin di perkotaan. Tetapi
yang penting, dengan melintasi kepulauan Indonesia yang sangat luas, akan ditemui
perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri.
3.5 Prioritias Untuk Pengentasan Kemiskinan
Strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga
komponen:

Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin


Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.



Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin

Sebagai kesimpulan, masalah kemiskinan Indonesia yang terus ada dan bersifat
khas, digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk
menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang
berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Pertanyaannya adalah: dari mana
semua harus dimulai? Berbagai tindakan
diperlukan di beberapa bidang untuk menangani empat butir penting dalam
pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu:
a.
mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan
b.

memperkuat kemampuan sumber daya manusia

c.

mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan

d.
memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat
kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.
Mengingat ke-empat butir tersebut di atas, maka ada 16 tindakan berikut merupakan
prioritas untuk dilakukan dengan segera. Ke 16 tindakan itu yaitu:
1) Hapuskan larangan impor beras.

2) Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses dan
keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat
miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.
3) Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu layanan
kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik ke
layanan kesehatan.
4) Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang sangat
tinggi di Indonesia.
5) Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi berbeda
antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6) Tangani krisis sanitasi yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7) Luncurkan
program
berskala
besar
untuk
melakukan investasi
pembangunan jalan desa.
8) Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis masyarakat
(CDD) Indonesia yang sukses.
9) Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu
menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir
miskin.
10) Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan membangun
kembali riset dan penyuluhan.
11) Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan tidak
subur untuk penggunaan yang produktif.
12) Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13) Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan akses
usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14) Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di tingkat
nasional untuk penyediaan layanan.
15) Jalankan program pengembangan kapasitas untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah
dalam
merencanakan,
menganggarkan dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan.
16) Perkuat monitoring dan kajian terhadap program kemiskinan.
3.6 Banyak Program, Namun Kemiskinan Tetap Tinggi
Ketika program subsidi langsung tunai (SLT) berakhir, banyak yang menduga
angka kemiskinan meningkat di 2007. Bank Dunia, misalnya, pada laporan World
Bank East Asia Update yang dilansir November 2006, memperkirakan angka
kemiskinan tahun depan akan meningkat setelah berakhirnya program SLT.
"Program Subsidi Tunai Bersyarat yang akan dimulai tahun depan akan
terlalu kecil untuk meredam dampak berakhirnya SLT," kata laporan itu.

Kajian Tim Indonesia Bangkit lebih kritis lagi. Gabungan pengamat ekonomi di
tim itu menilai angka kemiskinan pasti meningkat di tahun ini mengingat daya beli
rakyat yang terus merosot. Lalu karena berakhirnya SLT, dan tak terkendalinya
harga kebutuhan pokok seperti kenaikan harga beras dan minyak goreng serta
banjir di beberapa daerah.
"Angka kemiskinan hanya akan turun dengan dua kemungkinan, melakukan
perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan. Kedua, melakukan perubahan
atau pembersihan sampel data, yang merupakan cara yang sangat vulgar dan
manipulatif serta sangat memalukan baik secara moral maupun intelektual," tutur
pengamat ekonomi Imam Sugema. Namun, di luar dugaan angka kemiskinan justru
turun 2,13 juta orang dari tahun lalu. Dengan perubahan garis kemiskinan dari Rp
151.997 per kapita per bulan menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan. Besar
kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi garis kemiskinan karena
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikan pendapatan masyarakat
yang berada di garis kemiskinan itu meningkat dibandingkan kenaikan harga bahan
pokok. Di samping itu, walau harga beras naik, namun diimbangi dengan
digelontorkannya program beras bagi masyarakat miskin. BPS menilai walau pun
SLT berakhir tetapi banyak penduduk miskin yang dapat menggunakan duit yang
berasal dari SLT untuk bekerja informal. Terkait kemiskinan ini, analisa Bank Dunia
menunjukkan, perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin di Indonesia
sangat kecil.
Kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Bank Dunia
menyebutkan, ada tiga ciri menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak
rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan yang setara dengan
pendapatan perkapita US$ 1,55 per hari. Sehingga banyak penduduk yang
meskipun tergolong tidak miskin, rentan terhadap kemiskinan.
Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan sehingga tidak
menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin
tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, tapi dikategorikan sebagai miskin atas
dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar. Serta rendahnya indikatorindikator pembangunan manusia.
Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia,
perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Sedangkan dana yang dikucurkan untuk program kemiskinan, dinilai tidak
menyentuh langsung ke permasalahan kemiskinan. Anggaran kemiskinan sebesar
Rp 54 triliun di 2007 dan Rp 62 triliun di 2008, menurut Imam Sugema, dari nilai Rp
54 triliun itu yang langsung bersentuhan dengan kemiskinan hanya Rp 5 triliun.
Meski demikian, walau dari sisi statistik kemiskinan di Indonesia turun, tetapi

kenyataannya, kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin di Indonesia
masih tajam.
Besarnya jumlah penduduk miskin itu, karena masih besarnya angka
pengangguran di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja, memang disebabkan
lambatnya laju ekspansi sektor usaha. Data BPS menunjukkan, jumlah angkatan
kerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 108,13 juta orang atau bertambah
174 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2006 yang tercatat 106,39 juta.
Dari penambahan angkatan kerja itu, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada
Februari tahun ini mencapai 97,58 juta orang. Dengan begitu, jumlah pengangguran
di Indonesia masih mencapai 10,55 juta orang hingga Februari 2007.
Bagaimana pun juga, jika pemerintah masih belum mampu menggerakkan
sektor riil, maka pengangguran masih akan membengkak karena angkatan kerja
terus bermunculan dan jumlah penduduk yang belum bisa diatasi seperti terlihat
pada data periode Maret 2006 populasi penduduk sebesar 221,328 juta orang
menjadi 224,177 juta orang di 2007.
Tugas berat bagi pemerintah saat ini maupun pemerintah yang selanjutnya
memang mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Tentu kita
mengharapkan, pemimpin-pemimpin negara ini tidak lagi terpecah-pecah dengan
beragam keinginan partai melainkan menjadi satu untuk bersama-sama mengatasi
masalah kemiskinan dan pengangguran ini.
Dua
Paradigma
Ada semacam kesepakatan luas, jika pengentasan kemiskinan menjadi motif utama
dari kebijakan pembangunan, maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang
miskin menjadi tujuan terpenting seluruh kegiatan. Namun, dalam kaitan itu, ada dua
paradigma
berbeda
tentang
cara
pencapaiannya.
 Pertama, keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah obat paling mujarab
untuk mengentaskan kemiskinan karena akan menyerap banyak tenaga kerja.
Namun, realitas empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu tak lain
disebabkan oleh maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga kerja.
 Kedua, keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu untuk mendapatkan
penghasilan. Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pun diyakini sebagai sendi
utama perekonomian rakyat. Asumsinya ialah ketika persamaan kesempatan
dengan usaha padat modal tersedia, maka usaha kecil menengah dipercaya akan
mampu meningkatkan investasi, pengembangan usaha, dan penghasilan.
Sayangnya, sebagimana paradigma pertama, belum ditemukan bukti-bukti empiris
yang menyakinkan guna mendukung kebenaran asumsi tersebut. Berpijak dari
kedua paradigma di atas, agaknya memang tidak ada resep instan yang dapat
dijadikan sebagai sebuah pegangan pasti dalam kebijakan pengentasan
kemiskinan.

Empat
Acuan
Meskipun demikian, penulis berpandangan ada beberapa hal yang dapat dijadikan
acuan bagi pemerintahan yang ada sekarang guna memaksimalkan upaya
pengetasan kemiskinan dalam sisa satu tahun masa pemerintahannya.
 Pertama, pengetasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus sangat
mempertimbangkan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara di
pasar dunia. Negara seperti Indonesia yang tingkat pertumbuhan industrinya belum
maju dan sektor informalnya masih sangat mendominasi, perlu mempertimbangkan
strategi yang pas. Hasrat untuk mampu bersaing dalam pasar global selayaknya
diimbangi dengan berbagai upaya untuk mendukung usaha kecil sebagai basis
industrialisasi.
 Kedua, negara berkembang dengan potensi pasar yang luas seperti Indonesia
sangat rentan diintervensi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (baca:
World Trade Organization, International Monetary Fund, dan World Bank) serta
negara-negara industri maju untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi.
Jika permintaan itu dipenuhi, maka tidak pelak lagi akan berdampak pada anjloknya
tingkat upah pekerja yang selanjutnya potensial berujung pada meningkatnya jumlah
pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti jumlah orang miskin di Indonesia akan
semakin
bertambah
banyak.
 Ketiga, kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha
kecil dan menengah padat modal maupun antar usaha kecil itu sendiri. Pemberian
kesempatan yang sama tersebut tentunya harus diimplementasikan lewat berbagai
kebijakan
dan
regulasi.
 Keempat, pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta strategi
pembangunan yang spesifik hanya akan dapat diterima luas jika hal tersebut
dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat, terutama
kaum tak berpunya. Jadi, tak hanya melibatkan para pengusaha atau kaum
berpunya saja. Dengan mengacu pada empat hal di atas, dalam kaitan perumusan
kebijakan pengetasan kemiskinan, maka Indonesia diharapkan dapat mencapai
salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu mengurangi separuh
jumlah penduduk miskin. MDGs merupakan proyek kemanusiaan yang dicanangkan
oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selama kurun waktu lima belas tahun
(2000-2015). MDGs disepakati oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia.
Dengan demikian hanya tujuh tahun sisa waktu yang dimiliki oleh Indonesia untuk
mengurangi separuh jumlah penduduk miskin.
Genealogi
Pemberantasan
Kemiskinan
Menurut Frances Fox Piven dan Richard A Cloward (Regulating the Poor: The
Functions of Public Welfare, Vintage Books 1993), kemiskinan meliputi tiga aspek (1)
kekurangan materi dan kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar, yang

biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan
pelayanan kesehatan; (2) tidak terpenuhinya kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan dan informasi; dan (3) kurangnya
penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat
berbeda-beda, tergantung konteks politik dan ekonomi suatu negara
Kemiskinan jamak terjadi di negara berkembang, namun eksis pula di negara
maju dalam bentuk komunitas tunawisma dan ghetto (daerah kumuh). Di Indonesia
sendiri, menurut data Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (dibentuk tahun
2005 melalui Perpres Nomor 54, lihat www.tkpkri.org), Pemerintah telah
melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui
strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan
Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti
di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965. Adapun pada era Orba, melalui
Repelita dilakukan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosialekonomi, yang mengerucut menjadi program Inpres Desa Tertinggal ( IDT). Namun,
usaha Orba ini pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun 1997.
Selanjutnya, era reformasi menelurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
Keppres Nomor 190 Tahun 1998. Berbagai usaha di atas belum menunjukkan hasil
yang memuaskan. Data UNDP menyebutkan, Indeks Kemiskinan Manusia (Human
Poverty Index-HPI) yang memfokuskan perhatiannya pada proporsi manusia yang
berada di bawah ambang batas dimensi pembangunan manusia yang sama dengan
indeks pembangunan manusia-panjang umur dan hidup sehat, memiliki akses
terhadap pendidikan, dan standar hidup yang layak, menyimpulkan Nilai HP-1 untuk
Indonesia, yaitu 18,5, berada di urutan 41 dari 102 negara berkembang (data tahun
2005). Indeks ini semakin buruk dalam krisis energi dan pangan saat ini, ketika
harga melonjak dan membuat pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, pendidikan,
kesehatan) semakin tak terjangkau
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan di manapun adalah masalah yang sangat sulit untuk
diselesaikan. Berikut ada 16 cara yang dapat dilakukan untuk mengentasakan
kemiskinan tersebut yaitu:
1) Hapuskan larangan impor beras.
2) Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses dan
keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat
miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.

3) Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu layanan
kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik ke
layanan kesehatan.
4) Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang sangat
tinggi di Indonesia.
5) Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi berbeda
antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6) Tangani krisis sanitasi yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7) Luncurkan
program
berskala
besar
untuk
melakukan investasi
pembangunan jalan desa.
8) Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis masyarakat
(CDD) Indonesia yang sukses.
9) Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu
menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir
miskin.
10) Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan membangun
kembali riset dan penyuluhan.
11) Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan tidak
subur untuk penggunaan yang produktif.
12) Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13) Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan akses
usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14) Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di tingkat
nasional untuk penyediaan layanan.
15) Jalankan program pengembangan kapasitas untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah
dalam
merencanakan,
menganggarkan dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan.
16) Perkuat monitoring dan kajian terhadap program kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, S. 2001. Penataan Ruang dalam Rangka Mendorong Pengembangan
Ekonomi Wilayah. Tangerang: Cipta.
Amar, Syamsul, (2000). Analisis Ekonomi Tentang Kemiskinan Dan Implikasi
Kebijaksanaannya di Pedesaan di Propinsi Sumatera Barat, Unair, Surabaya.
Frank, Robert H, (1991). Microeconomics and Behaviour, Third edition, The Mc
Graw Hill Companies Inc. USA.

Nurwidiastuti, (2001). Kemiskinan : Telaah Kritis dan Alternatif
Penanggulangannya,Kajian Bisnis, 24 September-Desember 2001, STIE Widya
Wiwaha.
Sulistyowati, Endang, (2002). Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan, Jurnal
Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. 13, No. 1.