KAPATA SEBAGAI WAHANA PENUTUR SEJARAH DA

KAPATA SEBAGAI WAHANA PENUTUR SEJARAH
DAN HARMONISASI SOSIAL MASYARAKAT MALUKU1

Fricean Tutuarima
Falantino Eryk Latupapua2

1. Pengantar
Sastra lisan memiliki fungsi yang amat vital dalam tataran budaya masyarakat
Maluku, terutama dalam ritual yang dilaksanakan oleh negeri-negeri adat seperti; panas
pela dan panas gandong3, pamoi4, cuci negeri5 dan sebagainya. Hampir semua jenis tradisi
sastra lisan selalu terintegrasi dalam ritual adat orang Maluku; nyanyian rakyat, ungkapan
tradisional, puisi rakyat, dan bahasa rakyat. Salah satu jenis sastra lisan yang menarik
untuk dibicarakan adalah kapata atau nyanyian rakyat Maluku. Tulisan ini merupakan
pengantar untuk mengenal kapata sebagai tradisi/sastra lisan yang telah lama dikenal
dalam tatanan adat dan budaya orang Maluku. Hal tersebut menjadi penting seiring dengan
semakin gencarnya wacana revitalisasi sastra lisan sebagai sebuah kekayaan bahasa dan
kekayaan budaya untuk membangun peradaban masyarakat yang sadar budaya.
Membicarakan kapata dapat berarti menggali kembali esensi sastra lisan tersebut sebagai
pembangun peradaban masyarakat Maluku. Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah
untuk memperkenalkan kapata sebagai salah satu media penutur sejarah masyarakat


1

Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Internasional Lisan VII di Provinsi Bangka Belitung, 19 – 23
November 2010.
2
Fricean Tutuarima adalah pengajar pada Program Studi PPKn FKIP Universitas Pattimura, mengampu mata
kuliah Hukum Adat dan Pengurus ATL Provinsi Maluku; Falantino Eryk Latupapua adalah pengajar di
FKIP Universitas Pattimura Program Studi PBSI.
3
Panas Pela bentuk ritual adat seperti “reuni” antara negeri-negeri yang terikat oleh hubungan PelaGandong. Ritual ini dilaksanakan beberapa tahun sekali menurut kebutuhan. Selain untuk memperingati
sejarah terbentuknya hubungan persaudaraan tersebut,
4
Pamoi adalah bagian dari upacara perkawinan adat, dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara inti.
Fungsinya sebagai lambang diterimanya istri dari luar mataruma masuk ke dalam mataruma suami.
5
Cuci Negeri adalah bentuk ritual adat komunal di Maluku yang dilaksanakan umumnya setahun sekali,
menjelang hari-hari besar agama, atau pada akhir tahun. Ritual ini biasanya dilakukan dengan pembersihan
di tempat-tempat yang dianggap penting bagi kelangsungan hidup masyarakat negeri itu, misalnya suangai,
mata air, hutan, dan Baileo. Filosofinya di balik ritual ini adalah bentuk ‘pemurnian kembali’ wilayah negeri
tersebut.


1

Maluku dan alat penjaga nilai dan norma demi merajut kembali harmonisasi hubungan
orang basudara di Maluku pasca konflik kemanusiaan.
Objek materi dalam kajian ini adalah tradisi lisan berupa nyanyian rakyat Kapata
Siwalima atau Kapata Kahidopang yang diperoleh penulis ketika melakukan riset di
Negeri Soahuku, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, serta Kapata Tani Te
Pauna Rua serta varian-variannya yang diperoleh dari pemuka adat atau Mauweng Negeri
Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Kapata-kapata ini
hanyalah dua dari sekian banyak yang diduga tersebar di berbagai wilayah Provinsi
Maluku, terutama di negeri-negeri adat di mana tradisi lisan masih dimiliki dan dijalankan
seiring dengan ritual adat yang ada.
Kajian ini menggunakan beberapa konsep, di antaranya konsep fungsi dan
formula dari Albert B. Lord untuk menguraikan struktur kapata-kapata tersebut sebagai
produk tradisi lisan. Konsep Lord tersebut memusatkan perhatian pada kajian tentang
formula, yang meliputi frasa-frasa, klausa-klausa, atau larik) sastra lisan sebagai hasil
kegiatan

mengingat


dan

menciptakan

analogi-analogi

tertentu.

Kajian

formula

dimaksudkan untuk mengeksplorasi esensi atau ide-ide yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, konsep lain yang dgunakan adalah konsep fungsi-fungsi nyanyian rakyat
(Danandjaya, 1991). Konsep tersebut digunakan untuk menentukan fungsi-fungsi kapata
dalam hubungan dengan masyarakat pemakainya setelah meninjau struktur dan
memperoleh formula-formula yang dibangun dalam teks.

2. Artikulasi dalam Kapata : Ekspresi-Ekspresi Formulaik

Dalam bukunya The Singer Of Tales, Albert B. Lord menjelaskan bahwa penampil
atau penyair sastra lisan tidak menghafalkan teks puisinya secara tertulis atau melalui
naskah. Umumnya para penyair tradisional bercerita dengan menciptakan kembali secara
spontan dan bebas, meskipun tidak seluruhnya, dengan memakai sejumlah unsur bahasa
(kata, kata majemuk, frasa) yang tersedia baginya, disebut oleh Lord dengan istilah stockin-trade, yakni kalimat-kalimat atau frasa siap pakai. Unsur-unsur yang dipakai
memperlihatkan bentuk yang identik atau variasi sesuai dengan tuntutan tata bahasa, matra,
dan irama puisi yang dipakai. Oleh karenanya, dalam setiap artikulasinya tidak ada bentuk

2

penciptaan yang spontan seratus persen, tetapi pencerita menggunakan sejumlah formula
siap pakai dengan berbagai-bagai kemungkinan variasi menurut tata bahasa, dengan
konsekuensi perubahan atau variasi itu terdistribusi dalam bentuk-bentuk berbeda setiap
penampilan atau pertunjukan itu dipertunjukkan kembali. Di samping itu, Formula juga
memiliki sifat umum dan dikenal dengan baik oleh semua pencerita lisan. Pencerita
menggunakan cadangan formula itu, untuk menggambarkan ide-ide yang bersifat umum.
Sebagaimana pencerita dari mengenal dan menguasai formula itu, demikian juga halnya
masyarakat. Formula yang bersifat umum itu, memberikan homogenitas kepada pencerita
yang dikenal pula oleh masyarakat (Lord, 1981:50).
Istilah ekspresi formulaik dikemukakan oleh Sweeney (1987:68-69) yang

berdasarkan pada konsep formula yang dikemukakan oleh Lord, seperti yang dijelaskan
sebelumnya.

Menurutnya,

ekspresi

formulaik

merupakan

bentuk-bentuk

yang

memperlihatkan perulangan dengan sistem tertentu atau formula tertentu, menurut pola
irama dan pola-pola sintaksis yang sama, serta mengandung sekurang-kurangnya satu kata
yang sama, baik dalam bentuk perulangan-perulangan maupun sinonim.
Sejauh penelusuran penulis, kapata dalam kebudayaan Maluku memiliki dua
kemungkinan artikulatif, yaitu diucapkan sebagai puisi atau dinyanyikan dengan melodi

atau nada tertentu dengan atau tanpa iringan alat musik. Pada beberapa daerah di Maluku,
meskipun dijumpai kapata dilafalkan tanpa nada, kehadiran alat musik ritmis tifa tetap
membangun efek musikal lewat metrum yang terbentuk pada saat pelafalannya. Oleh sebab
itu, sesuai dengan kategorisasi folklor lisan Danandjaya (1991 :46), kapata dikelompokkan
dalam genre nyanyian rakyat.
Seiring dengan gerak perpindahan wilayah penguasaan berbagai bahasa rakyat
Maluku, misalnya Bahasa Tana, dari wilayah penguasaan komunal ke wilayah bahasa adat,
yang hanya dikuasai oleh individu tertentu dengan fungsi dan peran penting dalam ritual
adat, maka secara otomatis kapata-kapata yang menjadi bagian ritual tersebut juga
bergerak dengan kecenderungan yang sama. Artinya, jika genre nyanyian rakyat, seperti
yang dikemukakan Danandjaya, seharusnya menjadi semacam community anthem dalam
suatu kelompok masyarakat, maka sebagian besar kapata di Maluku tidak lagi mampu
memenuhi persyaratan tersebut. Namun pada daerah-daerah tertentu, fungsi dan peran para

3

performer (dalam hal ini para tetua adat) yang masih berjalan baik tetap mampu
mendudukan kapata sebagai milik komunal. Oleh sebab itu, dalam kajian ini, kapata akan
tetap dianggap dan diperlakukan sebagai nyanyian rakyat.
Dua teks yang digunakan sebagai objek material dalam kajian ini adalah yakni

teks Kapata Siwalima, serta teks Kapata Tani Te Pauna Rua. Untuk selanjutnya, kedua
teks tersebut akan dinamai teks A dan teks B. Teks A menggunakan bahasa Tanah atau
bahasa adat dan tersebar dalam versi-versi berbeda di sepanjang pantai selatan Pulau
Seram, terutama di wilayah Kecamatan Amahai. Versi paling lengkap dan paling tua
menurut penelusuran penulis, diperoleh dari Mauweng Negeri Soahuku yaitu Mathijs
Latuni. Sedangkan teks B yang menggunakan bahasa Hatuhaha diperoleh dari Abratip
Tuasikal, tokoh pemuda di Negeri Pelauw. Negeri Pelauw sendiri menjadi bagian
persekutuan adat negeri-negeri Amarima Hatuhaha, yang terbentang dari pesisir barat
hingga utara Pulau Haruku. Adapun transkripsi teks tersebut, sebagai berikut :
Teks A
(Kapata Siwalima)
(bagian I)
Tui-tuia heilete, heilete,
Heilete Nunusaku o, Nunusaku o,
Riai moma, taralele, taralele
Tara lele, moria la samo, moria la samo
(bagian II)
Uru Siwarima, uru Siwarima o,
Uru Siwarima, uru Nusaina o
Mae sama ito, sama ito mae o,

Sama ito mae ito lekahua o
Upu patasiwa toti apapua mae,
Apapua mae, upu patasiwa o
Nunusaku o, Nunusaku nunu o,
Nunu Nusa Ina nunu Siwarima o
Upu lepa pela upu ina lepa o,
Kwele batai telu kuru siwarima o
Sei hale hatu hatu lisa pei o,
Sei lesi sou sou lesi pei o

Teks B
(Kapata Ite Tani Pauna Rua)
(bait I)
Tani te pauna rua
isi rei Marikee
I pasa sahu e Wai Lapia
Ia ei pala laue maai-maai
I rena laina i hahiku sohura
I husa hoho haita Rakanyawa
I husa hako Rakanyawa haita

I rowo loto Haturesi yasalo
Ruru mata waina rua
Tiha si amanue rumasinggih Nambuasa
(bait 2)
Tani te usi aele e
Teus isi aele waa hoho Haturesi
Rulu mata pauna rua
Awa wai e surate padiana ru molo
Taru hatua naru molo taru hatua
Waa iana-waa meito e pama miri
Ruru hoho Hatu Malaka, rimba waela mala pone
Kuru hale Wai Uta Tulano
Rimba waela mama rita
Hoho si a olo si gareja Teuso
La ei pala e Poruta Haraa, seru eni tiha meele
La ei muria u waloko, kurang ei waa salo

4

Kedua teks kapata di atas bersifat resitatif, yaitu dinyanyikan berulang-ulang.

Teks A terdiri atas dua bagian dan memiliki ciri-ciri seperti gurindam. Bagian pertama
dinyanyikan oleh informan dengan tempo lambat, sementara bagian kedua lebih cepat.
Struktur penyajiannya juga memiliki karakteristik tersendiri. Baris pertama dalam tiap bait
dinyanyikan oleh Mauweng (berkode (x)) sebanyak dua kali, kemudian disambut oleh
hadirin dengan menyanyikan kata atau frasa terakhir bait tersebut (bergaris). Setelah itu,
bait kedua dinyanyikan oleh hadirin (berkode (y)).
Tui-tuia heilete, heilete, (x1)
Heilete Nunusaku o, Nunusaku o, (y1)
Riai moma, taralele, taralele (x2)
Tara lele, moria la samo, moria la samo (y2)

Formula ini berlaku sebaliknya pada pengulangan-pengulangan selanjutnya. Kendali atas
resitasi itu terletak pada fungsi Mauweng sebagai pencerita/penyanyi utama. Tidak ada
pola

yang

tetap

dalam


pengulangan

resitasi

tersebut.

Manakala

ia

sebagai

pencerita/penyanyi utama merasa cukup, maka ia akan berpindah pada bait selanjutnya.
Dengan demikian, formula resitasi tersebut dapat dirumuskan, sebagai berikut :
(x1)1 + (x1)2

(y1)1 + (y1)2 ~

(x2) 1 + (x2)2

(y2)1 + (y2)2 ~ (dst)

Pada pengulangan berikutnya, hadirin menyanyikan kemudian diulangi oleh Mauweng.
Sementara teks B terdiri dari dua bagian tanpa perbedaan tempo, dengan formasi bait dan
baris yang lebih bebas. Formula resitasinya lebih sederhana dari teks A. Teks B biasanya
dibawakan secara individu saja, maupun secara berkelompok saja, sehingga pengulanganpengulangan terhadap bait I (x) dan bait II (y) tergantung pada keinginan
penyanyi/pencerita. Formula resitasi teks B dapat dituliskan menjadi :
(x) + (y)

(x) + (y) ~ (dst)

Apabila dicermati secara seksama, kedua teks di atas memperlihatkan adanya adanya
pengulangan pada bagian-bagian tertentu, baik dalam bentuk kata-kata, frasa, maupun
5

klausa dalam intensitas yang berbeda. Pada teks A bentuk ekspresi formulaik berupa
paralelisme, yang tampak antara lain :
(1) pengulangan satu kata pada baris yang sama atau pada bagian akhir bait pertama
menjadi kata pertama bait kedua, dan seterusnya. Misalnya :
Tui-tuia heilete, heilete,
Heilete Nunusaku o, Nunusaku o,
Riai moma, taralele, taralele
Taralele, moria la samo, moria la samo

(2) pengulangan frasa pada bait terdahulu ke bait sesudahnya. Hal ini dapat dilihat pada
contoh kutipan berikut:
Uru Siwarima, uru Siwarima o,
Uru Siwarima, uru Nusaina o
Mae sama ito, sama ito mae o,
Sama ito mae ito lekahua o
Upu patasiwa toti apapua mae,
Apapua mae, upu patasiwa o

(3) pengulangan kategori fatik [o] pada akhir baris.. Contohnya :
Uru Siwarima, uru Siwarima o
Mae sama ito, sama ito mae o
Apapua mae, upu patasiwa o

Kategori fatik [o] dalam kebiasaan tutur bahasa-bahasa di Maluku, termasuk bahasa
Melayu Ambon sebagai bahasa yang lebih modern, biasanya digunakan dalam tuturan
afirmatif untuk menyatakan

penegasan dalam sebuah tuturan, dan dalam tuturan

interogatif bersifat konfirmatif. Di dalam teks A, kategori fatik [o] tersebut menciptakan
persajakan yang sama atau paralel pada batang tubuh teks, selain menciptakan pula suatu
keindahan bunyi.
Pada teks B, persebaran bentuk-bentuk ekspresi formulaik yang tampak tidak
sebanyak atau tidak seberagam seperti yang ditemui pada teks A. Formula yang dominan
dalam teks B adalah, sebagai berikut :

6

(1) Pengulangan kata dan frasa pada baris yang sama dan atau baris yang berurutan,
termasuk kata ganti orang (aku).
I rena laina i hahiku sohura
I husa hoho haita Rakanyawa
I husa hako Rakanyawa haita
I rowo loto Haturesi yasalo
La ei pala e Poruta Haraa, seru eni tiha meele
La ei muria u waloko, kurang ei waa salo

(2) Pengulangan beberapa kata pada baris pertama pada bait pertama dalam baris pertama
bait kedua. Kalimat dengan ide yang sama dengan bait pertama digunakan kembali pada
permulaan bait kedua.
Tani te pauna rua
isi rei Marikee
.................
Tani te usi aele e
Teus isi aele waa hoho Haturesi
Rulu mata pauna rua

Sebagai pusat resitasi, peran penyanyi atau pencerita utama sebagai performer,
dalam hal ini Mauweng atau ketua adat, sangat penting. Lord (1981:13) menyatakan bahwa
performer adalah orang yang memproduksi sastra lisan pada saat performance dan
sekaligus juga sebagai komposer. Penyanyi, performer, komposer, dan penyair adalah
orang dengan aspek yang berbeda, namun semuanya itu dapat dilakukan oleh satu orang
dalam waktu yang bersamaan dalam sebuah pertunjukan sastra lisan. Performance bagi
penyanyi atau pencerita sastra lisan merupakan momentum untuk berkreasi. Suasana,
tempat, dan audience akan mempengaruhi suatu performance. Hadirin atau audience dapat
datang, pergi, dan berbicara dengan sesama penonton yang lain. Hal ini akan
mempengaruhi performance atau mungkin juga performance dapat terputus sejenak.
Pembuatan komposisi bagi penyair lisan dilakukan pada saat pencerita melaksanakan
performance sehingga komposisi dan performance merupakan dua hal yang dilakukan pada
saat bersamaan
Uraian di atas juga telah membuktikan konsep Lord bahwa ekspresi formulaik dapat
juga membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan sarana untuk mengingat

7

kembali dengan mudah, cepat, dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan
hidup secara lisan (Lord, 1981:30). Formulaik yang tercipta lewat distribusi kata-kata dan
frasa yang sama dan berulang dan menciptakan bentuk-bentuk sejajar maupun pembagian
peran resitasi antara penyanyi/pencerita dan hadirin dalam kedua teks merupakan upaya
pencerita untuk membentuk baris-baris dengan cepat dengan menukarkan tempat,
menambah, atau mengurangi kata, sehingga tidak merubah sifat paralel kalimat itu.
Pengulangan-pengulangan yang teratur dan telah dikuasai dengan baik itu
merupakan suatu bentuk komposisi skematik. Komposisi skematik itu sendiri merupakan
skemata atau formula yang dipergunakan untuk mengungkapkan ide-ide atau gagasan.
Skemata atau formula itu diadaptasikan sesuai dengan kebutuhan dan penggambaran objek
yang diceritakan. Resitasi kapata secara lisan dihasilkan dari pengunaan pola-pola, ide-ide,
atau tema-tema yang merupakan bentuk komposisi skematis. Seorang performer dalam
sastra lisan menggunakan tema-tema yang sama (atau hampir sama), apapun cerita yang
ditampilkannnya (Sweeney, 1980:64).
Hal ini jelas terbaca dalam kedua kapata di atas. Meski menceritakan dua kisah
berbeda, tetapi temanya hampir sama. Keduanya berkisah tentang gerak perpindahan
manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dalam hal ini, manusia Alifuru dari Nunusaku ke
pesisir dan pulau sekitar (teks A) dan Pikai Laisina dari wilayah Amarima Hatuhaha ke
wilayah Hulaliu; yang mengakibatkan perpisahan antara satu dengan yang lain. Teks A
menunjukkan keterpisahan secara fisik, sedangkan teks B menunjukkan keterpisahan
ideologis. Keterpisahan keduanya tidak menyebabkan situasi chaotic, tetapi memunculkan
ikatan yang lebih erat. Ikatan dalam teks A dilakukan melalui sumpah adat, sedangkan
dalam teks B melalui persekutuan adat.

3. Makna Kapata Siwalima dan Kapata Tani Te Pauna Rua
Pembicaraan tentang makna kedua kapata dalam bagian dimaksudkan untuk
mengungkap esensi teks-teks kapata sebagai suatu produk kebudayaan, yang pada
akhirnya akan ,menentukan fungsi-fungsi kapata tersebut dalam hubungannya dengan
kehidupan masyarakat Maluku sebagai pemiliknya. Berikut ini adalah terjemahan teks
Kapata Siwalima dan Kapata Tani Te Pauna Rua dalam bahasa Indonesia, yang telah
8

disesuaikan ejaannya serta dituliskan dengan teknik parafrasis agar koherensinya makin
terlihat serta mempermudah eksplorasi terhadap kandungan maknanya.

Teks A
(Kapata Siwalima)

Banyak orang berpencar-pencar seperti tui-tui 6,
berjalan turun dari Nunusaku.
Ketika (mereka) sampai di suatu tempat mereka
berhenti (di sana) lalu membuat perjanjian.
Mereka berjanji saling peduli (dan) saling
menjaga satu sama lain sebagai saudara
sekandung.

Teks B
(Kapata Ite Tani Pauna Rua)

(Isi janji mereka adalah :)

Kedua matanya menangis (ketika)
mereka menyeberang Sungai Marikee
Dia menuju ke Wai Lapia
(lalu) sungguh-sungguh teringat
(Saat) dia pergi menyusuri pantai, mengikuti
ombak, lalu sampai di pantai Hulaliu (lalu)
naik ke daerah yang berbatu-batu.
Gugurlah air matanya (ketika) mengingat tifa di
mesjid Nambuasa
Ia menangis dengan penuh kesedihan

“Manusia-manusia Siwalima, manusia-manusia
Nusa Ina
Mari kita semua menari Mako-Mako
(karena) Bapa Patasiwa telah memberikan
apapua7
Nunusaku8 di Nusa Ina9 adalah tanah asal
anak-cucu Siwalima
Datuk-datuk10 telah menjanjikan bahwa
Tiga Batang Air11 adalah milik anak cucu Nusa
Ina.
Siapa membalikkan batu (maka) batu akan
menindihnya; siapa melanggar sumpah, maka
sumpah (akan) membunuhnya”

(Mereka yang) melihat dia berjalan ke Haturesi
12
(pun) berguguran air mata
(Lalu) keesokan harinya (sepucuk) surat diterima
(di ) malam (hari)
Bebatuan, ikan dan air laut (seakan) mendengarkan
(suara tangisnya)
Dia turun ke daerah Batu Malaka, di Sungai Uta
Tulano untuk mengambil air (untuk) mengambil
air (supaya) penuh(lah) (tempat) air yang (tadinya)
kering
Mereka mendirikan gereja Teuso (dengan bantuan)
(orang-orang) Porto dan Haria
(Dengan penuh) kesedihan ia berpaling ke
belakang, apa kekurangan (dan dosa) saya?

6

Tui-tui adalah istilah dalam bahasa lokal untuk menyebut sejenis hewan seperti musang.
Apapua adalah sirih pinang dan tabaku (tembakau) sebagai hidangan dalam upacara adat.
8
Menurut Sahusilawane (2005), Nunusaku adalah negeri utopia dalam sejarah dan mitos orang Maluku
tentang asal usulnya. Negeri itu dipercaya terletak di pusat Pulau Seram; digambarkan sebagai tempat yang
indah, penuh dengan pepohonan bunga dan buah. Hanya orang yang beruntung dan berniat baik saja yang
bisa mencapainya. Nunusaku adalah tempat asal Alif’uru atau manusia pertama. Penduduk asli Maluku
bermigrasi dari Nunusaku ke daerah pesisir dan pulau-pulau sekitar ketika terjadi perang besar di jazirah
Huamual.
9
Nusa Ina yang secara harafiah berarti “pulau ibu” adalah nama lain dari Pulau Seram. Disebut Pulau Ibu
karena diyakini merupakan tempat berasal manusia pertama.
10
Datuk-datuk adalah istilah lain untuk leluhur.
11
Tiga Batang Air berarti tiga sungai besar, yaitu Sungai Tala di Kairatu, Sungai Eti di Piru, dan Sungai
Sapalewa di Taniwel. Tiga sungai ini merupakan sarana vital bagi masyarakat dan diyakini sebagai jalur
lalu-lintas para leluhur dari Nunusaku ke daerah-daerah pesisir.
12
Nama lain Negeri Hulaliu dalam bahasa Adat. Istilah lainnya Teung Negri : Haturessy Rakanyawa.

7

9

Jika mencermati tabel di atas, jelaslah bahwa kedua teks tersebut merupakan
nyanyian naratif yang menceritakan kisah-kisah yang pernah terjadi di masa lampau. Teks
A menceritakan tentang migrasi manusia dari Nunusaku. Ketika sampai di pesisir, mereka
berpisah, namun berjanji untuk saling menjaga, saling memperhatikan, satu sama lain.
Perjanjian itu dikukuhkan dengan mengucapkan sumpah secara adat yang dikenal secara
umum pada negeri-negeri adat di Maluku; “sei hale hatu, hatu lisa pei ; sei lesi sou, sou
lesi pe”i. Secara harafiah sumpah tesebut memiliki arti; “siapa membalikkan batu (maka)
itu akan menindihnya; siapa melanggar sumpah, (maka) sumpah akan membunuhnya.
Secara langsung masyarakat telah mengamalkannya sebagai sebuah kekuatan religius
magis. Artinya, sumpah tersebut diyakini memiliki kekuatan sakral yang akan
mendatangkan malapetaka apabila dilaksanakan bersalahan dengan adat atau dijalankan
dengan tidak semestinya. Dengan demikian, perjanjian tersebut merupakan ikatan komunal
yang dalam praktiknya kemudian dapat diterjemahkan oleh kelompok masyarakat yang
lebih kecil sebagai hukum adat
Penggunaan ungkapan-ungkapan khusus dalam teks A juga menunjukkan dengan
jelas bagaimana cara pandang orang Maluku terhadap Sang Pencipta (Upu Patasiwa), alam
(Nunusaku), dan manusia atau sesama (Uru Siwalima, mae sama ito) dalam hubungan
harmoni yang padu. Filosofi yang terkandung dalam kapata tersebut, selain pengenalan
akan sejarah dan kosmologi, juga mengandung nilai-nilai pengakuan dan penerimaan satu
terhadap yang lain, serta nilai penghormatan terhadap adat-istiadat. Dalam praktiknya,
hubungan pela gandong antar negeri-negeri di Maluku merupakan bukti nyata penghargaan
terhadap janji leluhur dan pengakuan terhadap asal-usul orang Maluku yang berasal dari
satu pancaran, dari Nunusaku, Nusa Ina, yang turun melalui Tiga Batang Air; Tala, Eti, dan
Sapalewa kemudian terpencar-pencar ke pulau-pulau sekitarnya. Hubungan ini masih
terpelihara dengan baik sampai hari ini dan akan terus menjadi pengikat yang kuat bagi
masyarakat Maluku.
Selain terdapatnya sumpah adat sebagai penanda nilai saling menerima dalam
perbedaan, pengakuan terhadap nilai-nilai adat dan budaya yang harus dijunjung tinggi
terlihat dalam artikulasi ungkapan atau istilah-istilah yang spesifik. Istilah Siwalima
merupakan akronim dari patasiwa dan patalima, dua kelompok masyarakat Maluku yang

10

telah ada sejak dahulu. Patasiwa yang artinya sembilan soa/kelompok adalah masyarakat
yang mendiami pesisir pantai,. Patalima berarti lima soa/ kelompok adalah masyarakat
yang mendiami daerah pedalaman (Sahusilawane, 2005 : 53). Gabungan dua istilah ini
kemudian dijadikan semboyan provinsi Maluku yakni Siwalima, yang artinya kira-kira
katong samua punya (dalam bahasa Indonesia berarti “(Maluku) milik kita bersama”).
Metafora Tiga Batang Air; Tala, Eti, dan Sapalewa dalam kapata ini menekankan
akan pentingnya fungsi lingkungan sebagai penunjang kehidupan manusia. Pada zaman
dahulu, nenek moyang orang Maluku yang biasanya disebut sebagai bangsa Alif’uru (alif
artinya pertama, dan uru artinya manusia) telah memfungsikan sungai sebagai urat nadi
transportasi mereka, selain fungsi-fungsi yang telah dikenal secara umum. Secara
keseluruhan, bagian ini menandai hubungan manusia yang sangat dekat dengan
lingkungannya. Selain itu, pengakuan terhadap janji dan perkataan yang dituturkan secara
lisan oleh para leluhur hingga saat ini menjadi nilai yang dapat diamalkan dalam kehidupan
bersama.
Dalam teks juga terdapat ajakan untuk menari Mako-Mako secara bersama-sama.
Tari Mako-Mako adalah sebuah tarian yang berasal dari Maluku Tengah, yang berisikan
gerakan-gerakan ritmik dan dinamis. Para penarinya bergerak melingkar sambil bergandeng
tangan dan bernyanyi, dipandu oleh seorang pemimpin. Dalam tradisi ritual adat, tarian ini
biasanya ditarikan sebagai tarian penyemangat perang atau sebagai ungkapan syukur dan
sukacita atas kemenangan perang atau terjadinya sebuah peristiwa penting dan baik. Para
penari biasanya melambangkan Malessy atau prajurit, sedangkan seorang pemimpin tarian
biasanya melambangkan Kapitan atau Mauweng (penghulu adat). Tari Mako-Mako
biasanya ditarikan sambil menyanyikan kapata diiringi tifa. Kapata yang dinyanyikan
secara berbalasan melambangkan kepatuhan dan pengabdian kepada pimpinan. Secara
keseluruhan, semua itu menggambarkan kehidupan orang Maluku yang memiliki daya seni
yang tinggi. Semua prosesi adat maupun kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan selalu
diwarnai dengan nyanyian dan tari-tarian.
Selanjutnya, apapua adalah sirih pinang dan tabaku (tembakau) sebagai hidangan
atau jaminan dalam upacara adat, yang melambangkan pengakuan akan kekuatan atau
penyertaan roh tete nene moyang sebagai pengikat tali persaudaraan anak cucu Siwalima.

11

Apapua selalu dihidangkan dalam setiap prosesi adat sebagai simbol penyertaan dan
perlindungan roh tete nene moyang atau suatu bentuk restu Upu Aman Lanite (Bapa
Pencipta langit dan bumi; dalam teks A disebut sebagai Upu Patasiwa) terhadap prosesi
adat yang sedang berlangsung. Apapua yang terhidang dan dinikmati oleh mereka yang
hadir juga merupakan lambang ikatan persaudaraan sebagai sesama anak-cucu Siwalima.
Hal tersebut secara langsung merupakan bukti adanya pola-pola religiositas dan relasi
sosial masyarakat yang telah lama terbentuk atau menemukan bentuknya sendiri.
Di sisi lain, teks B (Kapata Tani Te Pauna Rua), mengisahkan tentang perpisahan
yang terjadi antara lima bersaudara, leluhur dari lima negeri yang terletak di pesisir barat
hingga utara Pulau haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Persekutuan adat kelima negeri itu
dikenal dengan nama Amarima Hatuhaha. Amarima Hatuhaha adalah sebuah bentuk
persekutuan adat antara lima negeri di jazirah barat hingga utara Pulau Haruku, Maluku
Tengah. Persekutuan Amarima Hatuhaha Lou Nusa terdiri dari lima negeri adat dengan
pemerintahan masing-masing yaitu;

Pelauw (Aman Hatu Sima), Kailolo (Aman Hatu

Amen), Kabauw (Aman Hatu Hutui), Rohomoni (Aman Hatu Waela), dan Hulaliu (Aman
Hatu Alasi). Menurut sejarah, kesatuan masyarakat adat Amarima Hatuhaha terbentuk di
bawah pimpinan Upu Latu Nusa Hatuhaha sebelum bangsa Portugis datang ke Maluku
pada tahun 1512 dan telah memeluk agama Islam yang disebarkan oleh Maulana Ibrahim
yang dijuluki sebagai Datuk Pandita Pasai (Sopacua, dkk, 1996 : 4).
Dalam struktur Amarima Hatuhaha, Negeri Pelauw (Aman Hatu Sina)
dilambangkan sebagai kepala atau pemimpin dan berfungsi sebagai pemimpin tertinggi
dalam kesatuan Amarima Hatuhaha. Negeri Hulaliu (Aman Hatu Alasi) dilambangkan
dengan tangan kanan dan berfungsi sebagai sekretaris dan atau juru bicara Amarima
Hatuhaha sedangkan Negeri Rohomoni (Aman Hatu Waela) dilambangkan dengan tangan
kiri dan berfungsi sebagai pemuka agama atau imam. Selanjutnya, Kailolo (Aman Hatu
Amen) dilambangkan dengan kaki kanan, berfungsi sebagai penunjang perekonomian atau
kaum pedagang sedangkan Kabauw (Aman Hatu Hutui) berfungsi sebagai penjaga atau
pelindung Amarima Hatuhaha.
Pada awalnya, Masyarakat Adat Amarima Hatuhaha mendiami wilayah puncak
Gunung Alaka di sebelah timur Negeri Rohomoni. Selanjutnya, terjadi peperangan antara

12

rakyat Amarima Hatuhaha dengan Portugis terjadi pada tahun 1571. Dalam peperangan ini
masyarakat Amarima Hatuhaha dibantu oleh rakyat Tuhaha di Pulau Saparua di bawah
pimpinan Kapitan Aipassa, rakyat Negeri Oma di bawah pimpinan Upu Tuakaya Omon dan
Kapitan Ririassa.
Upaya penaklukan yang tidak membawa hasil membuat pasukan Portugis
mengubah taktiknya. Rakyat Amarima Hatuhaha diajak berunding seakan-akan ingin
berdamai. Sebagai juru bicara dalam susunan adat Amarima Hatuhaha, Hulaliu atau Upu
Aman Hatu Alasi yaitu Supu Pikai Laisina ditunjuk untuk mengikuti perundingan dengan
Portugis tersebut. Namun setelah ditunggu beberapa lama, utusan tersebut belum kembali.
Kenyataannya pada saat itu, tahun 1590, ia telah menerima sakramen baptisan dan namanya
disebut Simon Supu Laisina. Ia resmi berpindah memeluk agama Katolik akibat bujukan
secara harus dari Portugis. Portugis pun membangun sebuah gereja bernama Santo Theo
(dalam teks B disebut dengan nama gereja Teuso) di wilayah negeri Hulaliu yang bekasbekasnya masih ada sampai sekarang. Kemudian, keempat saudara Islam memberikan
nama Hulaliu yang berasal dari kata huranariu artinya bulan sudah lewat13.
Kapata Tani Te Pauna Rua merupakan nyanyian rakyat liris yang isinya bercerita
tentang “perpisahan” antara Pikai Laisina dengan empat saudaranya yang lain; bukan
perpisahan secara fisik, namun secara ideologis. Beberapa kata dan frase yang digunakan
dalam teks B dengan jelas melukiskan suasana perpisahan yang penuh haru. Tangisan Pikai
Laisina saat dapat dimaknai sebagai suatu ekspresi kesedihan karena harus berpisah
dengan keempat saudaranya dan mengalami ”keterasingan” dalam dirinya karena memilih
jalan berbeda. Pikai Laisina menangis mengingat tifa (beduk) di mesjid Nambuasa, mesjid
kecil milik Pikai dan keluarganya di negeri Rohomoni. Sementara itu, tangisan keempat
saudaranya juga merupakan ekspresi kesedihan karena adik mereka telah menjadi bagian
dari musuh karena telah beralih memeluk agama lain.
Pada kenyataan selanjutnya, leluhur Negeri Hulaliu berpisah dengan keempat
saudaranya dan mendiami pesisir Timur Pulau Haruku serta memeluk agama Katolik,
13

Bulan sudah lewat merupakan ungkapan yang berarti “telah melebihi waktu”. Nama tersebut mengacu pada
peristiwa berundingnya Pikai Laisina dengan Portugis. Hingga tiga bulan berikutnya Pikai Laisina tidak
kembali ke Alaka karena telah dipaksa memeluk agama Katolik. Hal ini diketahui oleh keempat saudaranya,
yang kemudian member nama Hulaliu atau huranariu.

13

kemudian berganti memeluk agama Protestan pada masa penjajahan Belanda. Pilihan
untuk memeluk agama Kristen tidak serta merta menyebabkan Pikai Laisina dan
keturunannya ”diasingkan” oleh keempat saudaranya. Fungsi, peranan, dan kedudukan
Hulaliu dalam tataran adat Hatuhaha Amarima tidak mengalami perubahan. Hubungan
persaudaraan mereka pun tetap terpelihara hingga saat ini. Hal itu terbukti dengan masih
utuhnya benda peninggalan Pikai Laisina yang ditinggalkan di tangan keempat saudaranya
yang tetap memeluk Islam. Benda-benda itu antara lain; Mesjid Nambuasa di Rohomoni,
adat istiadat di Kabauw, Al-Quran di Kailolo, dan Tiang Baileo di Pelauw. Selain itu,
dalam upacara adat komunal Amarima Hatuhaha, warga Hulaliu wajib mengambil bagian,
begitu pula dengan kegiatan bersama, misalnya pembersihan situs Amarima Hatuhaha di
puncak Gunung Alaka yang masih ada sampai sekarang.
.

Hanya saja, peninggalan-peninggalan leluhur Hulaliu yang berhubungan dengan

ritual keagamaan seperti mesjid, Al-Qur’an, tifa mesjid, dan sebagainya, tidak lagi menjadi
milik Hulaliu secara “utuh”, tetapi semua benda-benda tersebut “dijaga” atau berada dalam
pengawasan keempat negeri yang memeluk agama Islam. Pengawasan itu tidak serta-merta
membatasi akses warga Hulaliu yang ingin melihat atau berpartisipasi dalam
pemeliharaannya. Pada setiap waktu sholat, warga Pelauw, sebagai pemimpin tertinggi
Amarima Hatuhaha harus membunyikan beduk sebanyak 2 kali lebih banyak daripada
biasanya untuk mengingat atau mengenang masyarakat Hulaliu sewaktu masih tinggal di
Alaka. Jika beduk biasanya dibunyikan sebanyak sepuluh kali, maka dalam hal ini warga
Pelauw harus membunyikan beduk itu sebanyak dua puluh kali. Sementara itu, Baileo
Negeri Hulaliu dijadikan satu dengan Pelauw. Sudut di bagian utara hingga ke barat dalam
ruangan baileo tersebut adalah milik Pelauw, sedangkan sudut di bagian timur sampai
selatan dalam ruangan baileo adalah milik Hulaliu, yang wajib dipelihara juga oleh warga
Hulaliu, meskipun mereka telah memiliki baileo sendiri.
Menurut para informan dari keempat negeri Islam, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya (Tutuarima, dkk, 2009), benda-benda peninggalan tersebut tetap dijaga
sebagai penanda hubungan gandong (persaudaraan) yang harus tetap terpelihara, terutama
agar generasi muda dapat melihat bukti-bukti ikatan persaudaraan tersebut dan menyadari
bahwa keinginan yang kuat untuk memelihara hubungan gandong tersebut telah ada sejak

14

lama dan harus terus terpelihara. Filosofi utama yang terkandung di dalamnya adalah
pengakuan bahwa perbedaan prinsip dan keyakinan tidak selalu harus menjadi kendala
dalam masyarakat yang memiliki sejarah ikatan persaudaraan dan ikatan-ikatan adat
tertentu.
Hubungan persaudaraan di antara kelima negeri yang berbeda keyakinan tersebut
diuji melalui peristiwa konflik kemanusiaan 1999. Eskalasi konflik yang makin meningkat
di berbagai wilayah yang memanipulasi isu-isu SARA tidak dapat dipungkiri turut
menggoyahkan tatanan masyarakat. Pada peristiwa itu, sempat terjadi kontak fisik antara
keempat negeri Islam dengan Hulaliu, namun kesadaran masyarakat akan ikatan adat yang
mereka miliki dapat dikembalikan dengan segera hingga konflik tidak lagi berkepanjangan.
Bahkan persekutuan Amarima Hatuhaha kemudian memelopori proses perdamaian antara
kelompok-kelompok yang bertikai pada tataran yang lebih luas (Tutuarima, dkk, 2009).

4. Fungsi Kapata: Relevansinya dengan Kesadaran Historis dan Harmonisasi RelasiRelasi Sosial
Menurut Bascom, folklor mempunyai empat fungsi umum, yaitu (1) sebagai sistem
proyeksi atau sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan
anak, dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan
selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya (Danandjaja, 1991:19). Fungsi-fungsi ini
kemudian dijabarkan secara lebih spesifik pada setiap genre folklor.
Uraian-uraian sebelumnya tentang ekspresi formulaik dan makna yang terkandung
dalam kedua teks di atas secara tersirat telah menunjukkan fungsi serta kedudukan kapata
sebagai sebuah produk budaya di tengah masyarakat pemiliknya. Selanjutnya, penentuan
fungsi-fungsi kapata didasarkan pada fungsi-fungsi folklor lisan nyanyian rakyat, seperti
yang dikemukakan oleh Danandjaya (1991 : 152 - 153). Menurut Danandjaya, fungsi
nyanyian rakyat sebagai salah satu genre folklor lisan dapat dikelompokkan menjadi empat
macam fungsi utama, yaitu : (1) fungsi rekreatif atau fungsi pelipur lara; (2) fungsi
pembangkit semangat dalam bekerja; (3) fungsi pemelihara sejarah, baik sejarah klan atau
masyarakat, dan sebagainya, dan (4) fungsi sebagai sarana protes sosial.
15

Jika keempat fungsi tersebut di atas dipetakan pada kedua teks (teks A dan B di
atas) yang digunakan sebagai objek kajian dalam tulisan ini, maka fungsi yang paling
menonjol adalah fungsi pemelihara sejarah, atau sebagai wahana tutur sejarah. Selanjutnya,
terdapat sedikit unsur fungsi rekreatif dan fungsi pembangkit semangat. Sedangkan fungsi
protes sosial belum dapat teridentifikasi dari kedua teks di atas, meski bukan tidak
mungkin terkandung dalam teks-teks lain yang belum sempat ditemukan oleh penulis.
Fungsi lain yang dapat pula ditambahkan berdasarkan kajian terhadap kedua teks, dalam
hubungan dengan masyarakat pemakainya, adalah fungsi harmonisasi sosial atau kontrol
sosial, serta fungsi pengayaan bahasa dan budaya.
Perbandingan antara hakikat fungsi-fungsi nyanyian rakyat yang umum seperti
yang dikemukakan oleh Danandjaya dengan kajian yang telah dilakukan terhadap
kandungan kedua teks kapata di atas menghasilkan setidaknya empat asumsi yang
berkaitan dengan fungsi-fungsi kapata dalam konteks kebudayaan Maluku. Fungsi-fungsi
tersebut, yakni; (1) fungsi pemelihara sejarah masyarakat ; (2) fungsi harmonisasi sosial
atau kontrol sosial; (3) fungsi pengayaan bahasa dan budaya, dan; (4) fungsi rekreatif dan
pembangkit semangat. Fungsi-fungsi tersebut akan diuraikan dengan lebih jelas, sebagai
berikut :
1. Fungsi kapata sebagai wahana pemelihara sejarah
Dari analisis yang telah dilakukan terhadap kedua teks, jelas terbaca bahwa kedua
teks kapata tersebut mengandung muatan sejarah yang amat kental. Sejarah yang
dinarasikan oleh kedua teks menyangkut sejarah masyarakat Maluku (teks A), sejarah
terbentuknya hubungan-hubungan kemasyarakatan (teks B), dan sejarah hukum-hukum
adat dalam masyarakat (baik teks A maupun teks B). Dengan menjalankan fungsi sebagai
penutur dan pemelihara sejarah, kapata sekaligus telah menjalankan peran sebagai alat
pengingat atau mnemonic device, sebagai jembatan antara kelisanan dengan sejarah
masyarakat itu sendiri.
Oleh sebab itu, di tengah-tengah keterbatasan referensi tentang sejarah masa lalu
masyarakat Maluku, teks-teks kapata dapat dijadikan sebagai salah satu sumber untuk
mengenal atau menelusuri sejarah tersebut. Lebih lanjut, teks-teks kapata memiliki
kemungkinan untuk dikembangkan menjadi salah satu sumber bahan ajar sastra lisan

16

maupun sejarah dan budaya daerah. Dengan demikian, kesadaran tentang historisitas
masyarakat dapat digerakkan untuk mempertahankan identitas yang pada gilirannya dapat
membangun ketahanan budaya masyarakat itu sendiri.

2. Fungsi kapata sebagai wahana harmonisasi sosial atau kontrol sosial
Fungsi harmonisasi dan kontrol sosial memiliki relevansi dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam teks. Dalam kedua teks di atas, wacana yang mengemuka adalah
penghargaan terhadap sejarah dan tradisi turun-temurun, terutama mengenai relasi-relasi
sosial-tradisional antarmasyarakat yang berbeda wilayah dan agama, sekaligus pengamalan
terhadap hukum-hukum adat yang menjadi pengikat masyarakat adat. Dengan kata lain,
harmonisasi masyarakat dan kontrol sosial yang efektif dapat dibangun melalui kesadaran
terhadap tradisi budaya atau adat-istiadat yang dimiliki.
Seperti yang ditunjukkan oleh teks A, nilai-nilai penghargaan terhadap adat dan
pengakuan terhadap identitas dapat diberdayakan sebagai alat kontrol terhadap tata cara
hidup masyarakat, antara lain untuk menciptakan keteraturan dan mencegah konflik.
Wacana seputar pentingnya identitas dan ikatan-ikatan lainnya dapat dijadikan sebagai
wahana untuk mempererat harmonisasi sosial di tengah gejala zaman yang cenderung
bergerak maju dan umumnya meninggalkan identitas dan ikatan sosial tradisional pada
wilayah pinggiran. Di sisi lain, teks B juga cenderung dapat dimanfaatkan sebagai wahana
refleksi dan penanaman kembali nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh kelompok
masyarakat pemiliknya, terutama di kalangan generasi muda.
Hal tersebut di atas memiliki relevansi dengan realitas masyarakat Maluku pasca
terjadinya konflik kemanusiaan 1999. Seusai konflik, kebutuhan paling penting dan paling
mendasar adalah memulihkan social trust di antara kelompok masyarakat. Social trust itu
dapat dibangun, di antaranya, melalui revitalisasi wacana-wacana budaya menyangkut
identitas, yang sebelumnya telah bergeser akibat konflik sosial tersebut. Oleh karena itu,
berkaitan dengan fungsi ini, kapata dapat dikatakan mengandung kekuatan untuk
membangun harmonisasi dan kontrol sosial dalam rangka memulihkan relasi-relasi yang
cenderung bergeser dari posisinya semula. Kekuatan-kekuatan itu dapat dieksploitasi

17

secara maksimal, tergantung peran setiap komponen dalam masyarakat adat sebagai
pemilik tradisi tersebut.

3. Fungsi kapata sebagai wahana pengayaan bahasa dan budaya
Fungsi ini tidak kalah pentingnya dengan fungsi-fungsi yang telah disebutkan di
atas, karena berkaitan dengan kemampuan teks untuk merefleksikan kebudayaan
masyarakat yang kemudian dinikmati oleh masyarakat itu sendiri sebagai alat untuk
menciptakan kesadaran budaya. Lebih lanjut, Teks-teks kapata yang menggunakan bahasa
rakyat atau bahasa adat yang penuturnya semakin berkurang dapat memungkinkan
terjadinya proses pengayaan bahasa dan pengayaan budaya. Pengayaan bahasa dan
pengayaan budaya itu merujuk pada suatu proses revitalisasi kekayaan bahasa atau
kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang pada suatu kurun waktu
tertentu mengalami kemunduran karena berbagai sebab.
Dengan demikian, pada praktiknya, masyarakat dapat mengenal bahasa daerah
sendiri, mengenal budaya sendiri, melalui teks-teks kapata yang ditampilkan. Generasi
muda, misalnya, dapat mengenal seluk-beluk hubungan Pela Gandong dan nilai-nilai
humanisme yang terkandung di dalamnya, mengetahui legenda Nunusaku, mengenal dan
mempelajari bahasa-bahasa rakyat yang selama ini hanya dikuasai oleh generasi tua dalam
tataran-tataran yang terbatas, melalui penampilan suatu tradisi lisan tertentu, termasuk
kapata. Pengetahuan tersebut merupakan dasar untuk menciptakan pribadi-pribadi yang
sadar budaya sehingga kekuatiran bahwa tradisi lisan akan dengan sangat mudah digeser
fungsi dan peranannya oleh kemajuan teknologi komunikasi global dapat sedikit
berkurang.

4. Fungsi rekreatif dan pembangkit semangat
Kapata juga memiliki fungsi rekreatif atau pelipur lara. Teks A biasanya
ditampilkan dalam upacara adat dengan tanpa disadari menggunakan kemasan seni
pertunjukan yang cukup variatif, dengan iringan alat musik ritmis, tarian yang dinamis, dan
pertunjukan vokal yang harmonis. Dengan demikian, selain sebagai edukasi dan
memperkuat penghayatan akan kandungan nilai dalam teks, kemasan seperti itu dapat

18

menghilangkan ketegangan-ketegangan serta mencairkan kebekuan dalam hubunganhubungan sosial yang mungkin terjadi dalam masyarakat.
Penyajian Kapata Siwalima dengan ciri balada pada bait awal serta dinamisasi dan
akselerasi tempo pada bagian-bagian selanjutnya dapat membangkitkan semangat, baik
bagi pencerita atau penyanyi utama, maupun masyarakat sebagai pendengar. Efek-efek
musikal yang menghidupkan suasana dan membangkitkan semangat itulah yang menjadi
daya tarik untuk mempermudah upaya memasyarakatkan nilai-nilai dalam tradisi-tradisi
lisan agar memperoleh kembali tempatnya yang semula.

5. Penutup
Kajian singkat terhadap kedua teks ini telah mengimplikasikan bahwa kapata
merupakan suatu tradisi yang kaya nilai serta memiliki sebaran ekspresi formulaik yang
dilakukan oleh pengarang, penyanyi, atau pencerita sebagai sarana untuk mengingat, yang
terdiri dari perulangan kata, frase, maupun bentuk-bentuk kebahasaan lain, serta wacanawacana ritmis. Kedua teks juga menggunakan komposisi skematik sebagai cara yang
digunakan oleh penyanyi atau pencerita untuk menyampaikan cerita melalui serangkaian
sistem perulangan sesuai dengan situasi atau kondisi penceritaan.
Kedua kapata menceritakan dua kisah berbeda, namun memiliki kemiripan tema.
Keduanya berkisah tentang gerak perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain,
mengakibatkan perpisahan antara satu dengan yang lain. Teks A menunjukkan keterpisahan
secara fisik, sedangkan teks B menunjukkan keterpisahan ideologis namun kemudian
memunculkan ikatan yang lebih erat melalui sumpah adat dan persekutuan adat. Fungsifungsi yang dapat dirumuskan

dari kajian ini adalah : (1) fungsi pemelihara sejarah

masyarakat ; (2) fungsi harmonisasi sosial atau kontrol sosial; (3) fungsi pengayaan bahasa
dan budaya, dan; (4) fungsi rekreatif dan pembangkit semangat.
Pada akhirnya, kajian-kajian terhadap kekayaan tradisi lisan daerah Maluku harus
terus dilakukan agar hasil yang diperoleh dapat digunakan dalam proses edukasi
masyarakat untuk menjadi masyarakat yang sadar sejarah dan sadar budaya. Lebih jauh,
nilai-nilai tradisi itu dapat diekspos sebagai sarana pengikat relasi-relasi sosial yang telah
ada demi menciptakan masyarakat yang harmonis.

19

Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Lord, Albert B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Mass: Harvard University Press.
Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Asosiasi Tradisi Lisan.

dan

Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sahusilawane, Florence. 2005. Cerita-Cerita Tua Berlatar Belakang Sejarah dari Pulau
Seram. Ambon: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan
Maluku Utara.
Sopacua, L, dkk. 1996. Sejarah Perjuangan Masyarakat Amarima Hatuhaha. Ambon :
Balai Jarahnita Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Maluku.
Sweeney, Amin. 1980. Authors and Audiences in Traditional Malay Literature.
Berkeley. University of Colifornia Press.
________ 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World.
Berkeley: University of Colifornis Press.
Tutuarima, Fricean, dkk. 2009. “Persekutuan Masyarakat Adat Amarima Hatuhaha
Sebagai Model Pluralitas Sosial”. Laporan Penelitian Strategis Nasional Dirjen
Dikti , Universitas Pattimura Ambon : belum diterbitkan.

20