Media dan Konstruksi Identitas Nasional

Media dan Konstruksi Identitas Nasional :
Model Pembelajaran Nasionalisme, Patriotisme dan Multikulturalisme dalam Televisi
dan Film Indonesia Kontemporer 1
Oleh :
Aulia Rahmawati & Ade Kusuma2
Abstraksi
Sejak era kebangkitan industri televisi swasta pada tahun 80-an dan kebangkitan film
nasional pada akhir tahun 1990 film, puluhan film dan tayangan televisi yang memiliki tema
’identitas kebangsaan’ diproduksi yang biasanya diputer menjelang peringatan proklamasi
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus. Identitas nasional ditafsirkan sebagai suatu cita-cita
politik untuk mempersatukan unsur-unsur tradisi dan inovasi serta keragaman etnis, agama,
budaya, dan kelas sosial ke dalam suatu ’botol baru’ yang bernama negara-bangsa.
Dari berbagai film-film yang diproduksi selama tiga tahun terakhir, peneliti
memutuskan akan menganalisis bagaimana identitas nasional direpresentasikan melalui film
Merah Putih (2009), Tanah Air Beta (2010), Garuda di Dadaku (2009) dan Tanda Tanya
(2011). Sedangkan dua acara televisi yang sekarang masing mengudara, yaitu Ethnic
Runaway ( TransTV) dan Si Bolang (Trans7) .Pemilihan empat film berdasarkan pemikiran
awal bahwa keempat film ini memiliki range atau segmen penonton yang berbeda-beda mulai
remaja-dewasa, anak-anak-remaja, dan segmen anak-anak. Sejalan dengan segmen yang
disasar untuk film, tayangan televisi yang digunakan dalam objek penelitian ini juga
berdasarkan pemilihan segmen ana-anak – remaja dan remaja –dewasa. Unit analisis dalam

penelitian ini adalah elemen-elemen naratif dari sebuah film dan televisi (plot, tokoh, ruang,
waktu, struktur naratif).
Melalui hasil analisis dan interpretasi data, didapatkan bentuk-bentuk representasi
identitas nasional diantara film – film dan tayangan televisi tersebut yang paling tidak
memiliki beberapa persamaan. Persamaan pertama yaitu nilai-nilai nasionalisme, yaitu civilpolitical nationalism, yaitu suatu konsepsi yang memandang bangsa sebagai komunitas
politik dari kehendak bersama (political community of will) yang dibangun atas keputusan
rasional yang dibuat oleh warga negara yang sederajat dalam dasar kesamaan kehendak dan
tumpah darah. Persamaan kedua, adanya penonjolan pandangan-pandangan yang
multikultural.
Multikulturalisme merupakan pandangan politik tentang pentingnya membentuk
sebuah (elite settlement) yaitu mencari titik-titik temu dari kebangsaan yang majemuk dan
plural. Dan aspek yang tampak selanjutnya adalah pada patriotisme progresif, yang mewujud
pada kemandirian bangsa yang berakar pada kemajuan bangsa dan kemaslahatan. Tokohtokoh dalam film ini digambarkan sebagai patriot, yaitu orang-orang yang berjuang demi
kemajuan dan kemaslahatan bangsa baik kedalam (mengatasi segala sekat dan perbedaan ,
maupun keluar untuk mengatasi tantangan jaman dan globalisasi).
Keywords : Nasionalisme, patriotisme, multikulturalisme, identitas nasional, negara –
bangsa (nation-state).

Penelitian ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Pemanfaatan Hasil Riset Untuk Menunjang
Pemberdayaan Ekonomi Lokal dan Industri” yang diselenggarakan oleh LPPM UPN “Veteran” Jawa Timur,

Surabaya, pada tanggal 13 Desember 2012
2
Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UPN “Veteran” Jatim

1

Pendahuluan
Di Indonesia, penetrasi media yang tertinggi hingga saat ini merupakan televisi, dan
masih digunakan sebagai media primer (primary medium) untuk menjangkau khalayak
audiens bagi pengiklan. Rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi televisi sekitar 20 jam per
minggu dengan puncak menonton mulai jam 17.00 hingga jam 21.59. Yang menarik,
sebagian besar ‘pecandu berat’ televisi adalah kaum perempuan. (Media Guide, 2010 : 36).
Namun dengan semakin banyaknya pilihan media yang lain (radio, film, internet) orang
tidaklah terlalu tergantung pada televisi sebagai saluran informasi dan hiburan walaupun
televisi masih tetap menempati media teratas dalam menjangkau khalayak.
Era liberalisasi media membuat segala arus informasi semakin mudah dan cepat untuk
diakses. Sisi positifnya, peristiwa-persitiwa penting dan terbaru dapat diupdate secepat
mungkin. Namun sisi negatifnya, content seputar pornografi, kriminalitas dan hal-hal
sensasional lainnya juga mungkin untuk diakses segala lapisan umur. Media audio-visual,
terutama televisi selama bertahun-tahun telah dituding sebagai agen penyemai kerusakan

moral dan ahlak terutama pada generasi muda. Film, disisi lain juga kerap dikritik sebagai
bagian dari media yang menyebarkan hiburan tidak mendidik dan kurang bermutu karena
berbagai film bertema drama percintaan, mistisisme dan seksualitas yang beredar tanpa
memperhitungkan deretan umur penonton yang bisa menontonnya.
Teori kultivasi menyatakan bahwa apapun yang kita lihat melalui televisi, begitulah
cara kita memandang dunia. Jika kita melihat tayangan berbau kekerasan, kriminal dan
bentuk-bentuk kejahatan lainnya, maka kita juga akan menganggap bahwa dunia juga penuh
dengan kekerasan dan para kriminal. (Burton, 2007 ; 6) Masalah televisi telah sering
diperbincangkan dan disebut sebagai medium yang ‘melahirkan ‘ sebuah dunia yang baru,
suatu masyarakat baru, sebuah fase sejarah baru berkat teknologi.( Williams, 2009 : 5)
Pada studi kajian televisi, secara umum terjadi dualisme pandangan yang
berseberangan. Dalam pandangan ‘television as the most powerful technology’ , televisi
dipandang sebagai medium yang memiliki efek luar biasa. Selain sebagai medium kultivasi
yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, televisi juga dipandang sebagai medium
katarsisasi yaitu medium tempat kita mencurahkan emosi dan perilaku kita sepanjang hari di
dunia luar. Dalam pandangan kelompok ini, televisi menjadi sesuatu yang harus diwaspadai.
Penelitian-penelitian yang mendukung pandangan-pandangan ini pun beragam dengan hasil
yang beragam pula.

Pada kajian cultural studies, efek buruk televisi dianggap bukan dikarenakan ‘mutlak’

oleh televisi. Kajan ini beranggapan bahwa audience-lah sebenarnya yang mengkonstruksi
makna – makna pesan dalam televisi. Kontruksi makna inilah yang kemudian berhubungan
dengan pengalamannya sehari-hari. Ada tiga posisi ‘pembacaan’ pesan dalam audience.
Stuart Hall, peneliti kunci dalam kajian cultural studies mengemukakan ada tiga posisi
pembacaan terhadap televisi. Dominant-hegemonic reading, negotiated reading, oppositional
reading. .Dalam

Hegemonic reading , audiens menerima pesan-pesan dominan dalam

medium. Dalam negotiated reading , audiens menegosiasikan pesan yang dilihatnya dengan
nilai-nilai yang dianut. Sedangkan dalam oppositional reading, audiens menolak nilai-nilai
yang dilihatnya.
John Hartley (1992) seorang pakar studi kajian televisis, menambahkan bahwa
berbagai metode dalam kajian televisi saling melengkapi satu sama lain. Menurutnya,
memberikan kritik dalam berbagai aspek kajian televisi secara terpisah tidaklah membantu.
Kita harus melihat bagian-bagian itu secara serentak sebagai suatu keseluruhan. Setiap
metode dalam kajian televisi memiliki kelemahan dan kelebihannya bisa mengisi kelemahan
yang satu dan yang lain. (Hartley dalam Burton, 2007 : 17)
Film di lain pihak, merupakan media audio-visual yang dalam tahun-tahun terakhir
makin populer di Indonesia. Hiburan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Film dan

bioskop adalah salah satu bentuk hiburan yang terpopuler dan relatif murah. Berdasarkan data
Indonesian Media Guide,

penetrasi bisokop di Indonesias relatif rendah dibandingkan

televisi (sekitar 20 %), namun mulai tahun 2006 mengalami kenaikan yang signifikan. Yang
menarik, penonton usia muda (anak-anak) mengalami kenaikan dari 8 persen di tahun 2007
ke 12 persen di tahun 2010. Mulai tahun 2007, sebagian besar penonton bioskop (74 %)
menonton film sedikitnya sekali dalam sebulan.
Film memiliki dualisme fungsi, antara lain sebagai media hiburan dan media
pembelajaran (pendidikan). Sebagai media hiburan, film ditempatkan sebagai alat pelepas
kepenatan dan relaksasi serta untuk mengisi waktu senggang masyarakat. Sementara sebagai
media pembelajaran dapat terlihat pada unsur-unsur ideologi dan propaganda yang
terselubung dan tersirat dalam banyak film hiburan umum, suatu fenomena yang tampaknya
tidak tergantung pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat (McQuaill, 1987 : 78).
Menurut Victor C. Mambor, dalam tulisannya pada Satu Abad “Gambar Idoep” di
Indonesia , mengungkapkan bahwa kurangnya minat penonton terhadap film-film lokal ini

disebabkan oleh tema film yang cenderung mononton. Selain itu, film-film lokal cenderung


dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.
Bahkan bisa dikatakan asal-asalan. Baik dari segi cerita maupun dari segi sinematografinya.
Terkait dengan identitas nasional, media audio visual seharusnya bisa menjadi sebuah
alat untuk menyebarluaskan ideologi tentang nasionalisme. Identitas nasional bisa dipahami
sebagai perasaan komunal (sense of belonging) seseorang dalam menjadi bagian dari sebuah
kelompok kewarganegaraan (nationality). Selama masa orde baru, pemerintah telah membuat
televisi dan bahkan film menjadi alat ideologis untuk mengkonstruski jati diri bangsa.
Setelah tahun 2004, dimulailah babak baru media yang lebih ‘ramah’ masyarakat.
Tayangan-tayangan bertema nasionalisme diproduksi untuk menjawab kritik dan tantangan
masyarakat tentang minimnya isi siaran yang mengajarkan nasionalisme. Salah satu kritik
datang dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sendiri. Didukung oleh penelitian KPI di tahun
2007, televisi menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat dalam berpartisipasi
dalam kehidupan bermayarakat, salah satunya kerja bakti, aksi kepedulian sosial dan pemilu.
Menonton televisi telah menjadi bagian gaya hidup yang merampok sebagian besar waktu
masyarakat. (Budi Santoso, 2007) Beberapa tahun terakhir, hadir berbagai tayangan televisi
dan film yang bertema ’perjuangan bangsa’ dan mendapatkan sambutan baik di masyarakat.
Beberapa tayangan televisi yang memiliki muatan nasionalisme adalah : Si Bolang (Trans7),
Ethnic Runway (TransTV), Jejak Petualang (TransTV), ProvocActive (MetroTV). Sedangkan
dalam film , beberapa film tersebut adalah : Merah Putih (2009), Indonesia Tanah Air Beta
(2010), Darah Garuda (2010) , Laskar Pemimpi (2011) dan Hati Merdeka (2011). Secara

eksplisit, nilai-nilai yang paling tampak dari keempat tayangan televisi dan kelima film
tersebut adalah nilai-nilai kebangsaan, patriotisme dan pluralisme. Melalui kajian teks media,
sebuah model pembelajaran tentang nasionalisme bisa disusun untuk melestarikan kecintaan
generasi muda untuk bangsa dan negara
Penelitian ini menggunakan metode analisis naratif (narrative analysis). Analisis
naratif merupakan metode yang jamak digunakan dalam studi tentang jalan cerita televisi dan
film. Dalam analisis naratif, objek penelitian yaitu dalam hal ini adalah tayangan televisi dan
film akan dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh. Secara umum, analisis naratif
memungkinkan peneliti untuk membedah struktur dari sebuah teks budaya. Karena hal inilah,
analisis naratif sangat berguna untuk mengeksplorasi segala macam cerita baik melalui
televisi, film, dongeng , lagu, berita televisi, cerita komik maupun teks budaya yang lain.
Analisis ideologi akan dilakukan setelah analisis naratif selesai. Ideologi merupakan
sistem kepercayaan, keyakinan yang mendasari sebuah teks ketika diciptakan. Tidak ada teks
yang tercipta tanpa memiliki ideologi tertentu. Stokes menandaskan bahwa tidak ada yang

dinamakan metode analisis ideologi karena sebuah teks yang dianalisis dengan metode
tertentu pastilah ada ideologinya. Melalui analisis naratif, peneliti selanjutnya akan
mengobservasi pesan ‘implisit’ yang mencerminkan ideologi yang melatarbelakanginya.

Civil-Political


Nationalism

dan

Cultural

Nationalism

dalam

Film

Indonesia

Kontemporer

Ethno-nationalism atau cultural nationalism adalah suatu konsepsi kebangsaan yang

memandang bahwa kemanusiaan secara inheren diorganisasikan ke dalam komunitas historis,

yang masing-masing diwarnai oleh kekuatan uniknya sendiri, yang diekspresikan melalui
kekhasan budaya, berbasiskan pada persada alamiah dengan tata pemerintahan yang khas.
Percobaan ini antara lain dilakukan oleh Budi Utomo yang mambatasi bayangan komunitas
impiannya berdasarkan kesamaan etnis (Jawa) , dan Sarikat Islam , yang berlandaskan
sentimen keagamaan.( Latif, 2011 : 359).
Selanjutnya menurut Latif, timbullah kesadaran baru untuk memperjuangkan suatu
konsep nasionalisme sipil-politik (civic political nationalism) , yakni suatu konsepsi yang
memandang bangsa sebagai komunitas politik dari kehendak bersama yang dibangun atas
keputusan rasional yang dibuat oleh warga negara yang sederajat dalam dasar kesamaan
kehendak dan tumpah darah (Hutchinson dalam Latif, 2011 : 359).
Dalam film Indonesia kontemporer terutama yang mengangkat tema-tema persoalan
kebangsaan, masalah nasionalisme sangat kentara. Dalam film pertama yang diteliti, Merah
Putih, pergeseran dari cultural nationalism menuju civil-political nationalism terlihat melalui
representasi konflik tokoh-tokohnya. Dari yang awalnya tercerai berai , saling mencurigai,
terkungkung dalam individualisme kesukuan dan kedaerahannya, tokoh-tokoh perjuangan ini
melebur memiliki cita-cita bersama. Sesuai dengan yang tertuang melalui pemikiran
Soekarno dalam identitas atau budaya nasional bahwa awalnya hasrat untuk bersatu didorong
oleh derita kolonialisme Belanda. Hasrat untuk melepaskan diri sebagai negara jajahan itulah
yang mendorong tokoh-tokoh dalam film Merah Putih untuk bersatu. Ada sebuah dinamika
nasionalisme yang awalnya adalah semangat untuk menonjol sebagai entitas kesukuan

menjadi hasrat untuk menjadi political civil nationalism yaitu menjadi negara-bangsa
Indonesia.
Dalam film kedua, nasionalisme walaupun tidak jelas mewujud apakah cultural
ataukah civil political, direpresentasikan oleh narasi film dengan jelas bahwa nasionalisme
ala Garuda di Dadaku mewujud seiring perjuangan keras Bayu untuk menggunakan seragam

Garuda (membela Indonesia) dan memajukan sepakbola Indonesia. Sebuah film bernafaskan
olahraga yang menyentil kondisi industri olahraga di Indonesia yang penuh korupsi, kolusi
dan mis-manajemen. Ada sebuah utopia atau impian yang hendak ditawarkan oleh film ini
bahwa suatu hari Indonesia bisa memliki pemain berbakat kelas dunia dan bisa memiliki
industri sepakbola seperti negara-negara Eropa dan Amerika Latin.
Dalam film Tanda Tanya (?) nasionalisme diwujudkan melalui tokoh-tokoh Banser
muda NU yang memiliki ideologi untuk turut menjaga persatuan dan kesatuan di negeri ini.
Tampak dalam naratif film bahwa Banser turut menjaga dan mengamankan keamanan
termasuk mengawasi keamanan rumah peribadatan termasuk gereja di malam Natal.
Film yang keempat, Tanah Air Beta , menyiratkan satu keluarga yang tercerai berai
akibat berpisahanya Timor Timur dari wilayah kesatuan Republik Indonesia. Nasionalisme
walau tidak secara tersirat apakah cultural maupun civic-political nationalisme, ditandai
melalui karakter Tatiana yang diperankan oleh Alessandra Gottardo, yang memilih untuk
berpisah dari anak lelalakinya untuk tetap berada di wilayah NKRI. Perpisahan, kondisi sosial

ekonomi di perbatasan serta kegamangan masyarakat yang tinggal di tapal batas adalah salah
satu fokus dari film besutan Ari Sihasale ini. Karena kecintaan terhadap tanah air, Tatiana
harus berpisah dengan anak laki-lakinya yang memilih tinggal di Timor Timur bersama
pamannya.
Sedangkan dalam naratif televisi, Si Bolang dan Ethnic Runaway untuk menjawab
kritik masyarakat dan lembaga pengawas media yang menyayangkan muatan-muatan televisi
yang dirasa semakin tidak mendidik. Si Bolang adalah acara televisi produksi Trans7 yang
menampilkan Bocah Petualang (Bolang) berkelanan ke seluruh Indonesia. Dari sudut
pandang anak-anak , Si Bolang dikisahkan berkelanan ke tempat-tempat terpencil yang indah
dan unik di Indonesia dan bertemu dengan anak-anak lokal. Salah satu episode, Si Bolang in
Nantu Forest, Bocah Petualang mengunjungi Nantu Reservation Forest, hutan suaka di
Gorontalo. Nasionalisme direpresentasikan Si Bolang dengan keingintahuannya untuk
menjelajahi seantero nusantara. Melalui proses screening, Si Bolang sebagian besar
mengunjungi daerah selain pulau Jawa, dan terutama hutan, gunung dan kekayaan alam
lainnya. Tayangan ini juga diselingi dengan pesan moral untuk selalu menjaga kebersihan
hutan, tidak membuang sampah sembarangan hingga jangan bertengkar sesama teman
bermain.
Hal yang sama juga ditampakkan oleh Ethnic Runaway. Acara ini dibuat menyerupai
tayangan reality show dimana kamera ikut bergerak bersama pemeran. Diawal kemunculan
Ethnic Runaway pada tahun 2010, acara ini dinamai Primitive Runaway. Akibat protes keras

dari masyarakat yang menganggap bahwa judul acara tersebut menghina suku-suku terpencil
di Indonesia, maka produser kemudian mengganti judulnya dengan Ethnic Runaway.
Semangat besar dari acara ini adalah nasionalisme dan multikulturalisme. Tayangan
ini menampilkan selebritas yang hidup beberapa hari bersama suku-suku di daerah terpencil,
mengamati dan turut serta dalam rutinitas adat sehari-hari. Secara sekilas memang seolah
ingin memberi wawasan pada penonton tentang keunikan suku-suku pedalaman di Indonesia.
Namun, gaya bertutur, jalan cerita, konflik yang dibuat-buat membuat program ini
‘mengekalkan’ ketertinggalan, kekunoan, keperawanan suku-suku tersebut.
Patriotisme Progresif dalam Film Indonesia Kontemporer

Representasi nasionalisme yang mengalir dari cultural menuju civic-political pada
akhirnya membawa pada sebuah pergerakan atau semangat untuk mewujudkan kemajuan dan
kemaslahatan bersama. Tokoh-tokoh dalam Merah Putih bertransformasi dari sekedar
pahlawan daerah menjadi patriot nasional, orang-orang yang berjuang untuk memerdekakan
Indonesia.
Patriotisme progresif berorientasi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Patriotisme progresif bersandar pada apa yang bisa ditawarkan ,
apa yang bisa kita persembahkan, bukan patriotisme negatif, yang bersandar pada apa yang
seharusnya dilawan. Patriotisme progresif adalah tentang memperbaiki keadaan negeri, bukan
hanya mempertahankan negeri dari penjajahan. Setidaknya dalam film-film Indonesia
kontemporer yang menjadi subjek dalam penelitian ini patriotisme mewujud dalam dua cara,
yaitu patriotisme progresif dan patriotisme negatif. Karena bersetting perang melawan
kolonialisme Belanda, film Merah Putih merepresentasikan patrotisme negatif, yang masih
berkisar seputar mempertahankan tanah air dari bangsa penjajah. Sedangkan dalam film
Garuda di Dadaku, karena bersetting kehidupan pasca kemerdekaan, bahkan pasca reformasi,
maka wacana yang lebih ditonjolkan adalah seputar patriotisme progresif. Ditandai dengan
keinginan Bayu untuk meraih impiannya, yaitu melekatkan simbol Garuda di dadanya
melalui sepak bola, sebuah olahraga yang dicintainya mati-matian.
Patriotisme progresif Bayu dalam film Garuda di Dadaku setidaknya mewujud dalam
dua cara. Pemberontakan diam-diamnya atas keinginan kakeknya yang lebih ingin
melihatnya menjadi seniman dan keuletannya untuk mengasah bakat terpendamnya hingga

bisa mendapatkan beasiswa prestisius dari SSI (Soccer School of Indonesia) yang didanai
oleh Arsenal Football Club. Patriotisme progresif juga ditandai dengan adanya kesadaran
untuk mampu mengantisipasi tantangan yang dihadirkan oleh globalisasi. Olahraga bisa
menjadi kekuatan ekonomi sebuah negara, seperti yang terjadi di Eropa. Di Inggris,
sepakbola adalah olahraga yang paling popular dan menjadi identitas pemersatu rakyatnya
sekaligus mesin ekonomi yang menggurita. Kondisi sosial politik dunia olahraga di Indonesia
yang saling silang sengkarut yang salah satunya ditandai dengan amburadulnya manajemen
PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) mencoba ditangkap dengan halus oleh film
Garuda Di Dadaku. Larangan kakek yang menyatakan bahwa pemain sepakbola tidak
berduit, tidak bisa menjadi ladang mata pencaharian, dijawab oleh Bayu bahwa untuk
menyematkan impiannya ia bisa memanfaatkan bantuan asing (Arsenal). Bayu menampik
dengan uluran asing, toh pada akhirnya ia bisa tetap bermain untuk Indonesia. Tantangan
untuk mengglobal inilah yang merupakan perwujudan patriotisme progresif dalam film
Garuda di Dadaku.
Dalam film tanda tanya, patriotisme ditandai dengan perubahan cara pandangan dan
perilaku yang dialami oleh salah satu tokohnya, Soleh yang diperankan oleh Reza Rahadian.
Soleh yang awalnya sangat monolitik, gemar menghakimi orang termasuk istrinya (Menuk)
yang bekerja di restoran China dan memilih menjadi Banser NU yang mengakibatkan
pengroyokan ke restoran tersebut, bermetamorfosa menjadi seorang patriot ketika
mengorbankan dirinya untuk melindungi pemeluk agama Kristen dan Katholik yang
merayakan misa Natal. Soleh mendekap bom yang diletakkan di gereja oleh orang tak dikenal
untuk memecah belah kesatuan bangsa.
Dalam film keempat, Tanah Air Beta, wujud patriotisme direpresentasikan oleh
Tatiana dan Merry, yang rela berpisah dari keluarganya untuk tetap hidup dibawah wilayah
NKRI, walaupun untuk itu mereka harus memendam kerinduan untuk melihat Mauro. Mauro
adalah anak Tatiana dan saudara kandung Merry. Suasana di perbatasan yang sulit, akses
untuk saling bertemu yang sulit hingga Tatiana dan Mauro sempat saling mencurigai apakah
rasa cinta terhadap tanah air melampaui rasa cinta terhadap keluarga, adalah inti konflik yang
dilukiskan.

Multikulturalisme dalam Film Indonesia Kontemporer

Berbicara tentang persatuan Indonesia sudah pasti akan berbicara tentang betapa
majemuknya entitas suku, etnik dan adat kedaerahan di Indonesia. Pancasila sebagai satu-

satunya dasar negara dengan eksplisit menanamkan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ , atau
berbeda-beda tetapi satu jua. Masalah multikulturalisme dalam kebangsaan Indonesia secara
eksplisit tertuang dalam sila ke 3, yaitu Persatuan Indonesia.
Konsepsi kebangsaan Indonesia merupakan merupakan suatu usaha untuk mencari
persatuan dalam perbedaan. Persatuan diupayakan dengan menghadirkan loyalitas baru dan
kebaruan dalam bayangan komunitas politik, kode-kode solidaritas dan institusi sosialpolitik. hal ini terutama direpresentasikan oleh negara persatuan – dengan segala simbolnya –
yang mengatasi paham golongan dan perseorangan , konstitusi dan perundang-undangan ,
ideologi negara (pancasila), kesamaan kewargaan di depan hukum , dan bahasa persatuan.
perbedaan dimungkinkan terutama menghormati masa lalu, keberlanjutan etnisitas, warisan
kerajaan, local genius, dan kearifan tradisional, budaya dan bahasa daerah, penghormatan
hak-hak adat dan golongan minoritas, serta kebebasan untuk memeluk dan mengembangkan
agama dan keyakinan masing-masing. Kebangsaan multikultural hanya bisa dipertahankan
oleh suatu budaya politik jika kewargaan yang demokratis (democratic citizenship) bisa
menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu tapi juga hak-hak sosial-budaya
kelompok masyarakat.(Latif, 2011 : 365)
Dalam kaitannya dengan hak-hak individu dan kelompok, Hollinger dalam Latif
(2011 : 366) membedakan dua jenis multikulturalisme. Model pluralis memperlakukan
kelompok sebagai sesuatu yang permanen dan sebagai subjek dari hak-hak kelompok.
Sedangkan model kosmopolitan mengidealkan peleburan batas-batas kelompok, afiliasi
ganda, dan identitas hibrida yang menekankan pada hak-hak individu. Lebih lanjut, model
pluralis diejawantahkan pada kebijakan negara yang mengakui hak-hak aneka kelompok etnis
untuk mengekspresikan identitas masing-masing di ruang publik. Sedangkan model
kosmopolitan mendorong pelbagai kelompok etnis untuk saling berinteraksi dan berbagi
warisan budaya, serta berpartisipasi bersama dalam insitusi-institusi pendidikan, ekonomi,
politik dan hukum. dalam jangka panjang diharapkan terjadinya proses penyerbukan silang
budaya yang bisa mencairkan hambatan-hambatan prasangka antar kelompok, mendorong
hibriditas budaya, yang pada akhirnya lebih memberi keleluasaan bagi individu untuk
memenuhi hak dan menentukan pilihannya sendiri.
Film Merah Putih dengan jelas merepresentasikan multikulturalisme karena
mengangkat bagaimana berbagai tokoh memiliki latar belakang suku dan agama yang
berbeda. Sedangkan salah satu objek penelitian yang dengan jelas menangkap diskursus
tentang multikulturalisme adalah film Tanda Tanya. Namun, dilain pihak, film ini mengkritik
pemerintah yang dianggap gagal untuk mewujudkan sebuah kebangsaan multikultural.

Adegan penyerbuan sekelompok orang yang memekikkan ‘Allahuakbar ’ terhadap warung
yang dianggap menjual babi di bulan Ramadhan adalah sebuah kritikan tajam terhadap
gagalnya pemerintah dalam menjaga dan menjamin hak-hak warga sipil untuk
mengembangkan keyakinannya masing-masing. Film ini dengan segala kontroversinya
merupakan sebuah gugatan terhadap keengganan pemerintah dalam mewujudkan bangsa
yang multikultur. Jangankan mewujudkan multikulturalisme kosmopolitan dimana masingmasing entitas budaya melebur, untuk menjamin multikulturalisme pluralis dimana setiap
individu dijamin haknya untuk bergama dan menunaikan haknya saja tidak.
Film ini selain menampilkan tokoh-tokoh ‘konservatif’ , yang dianggap ingin
menyeragamkan cara berperilaku dan berkeyakinan masyarakat, yang menganggap bahwa
dunia ini hitam putih , juga menampilkan sosok-sosok yang toleran dan multikultur. Tokoh
yang diperankan oleh Henky Solaiman, Tan Kat Sun, misalnya. Ia mengelola restoran China
namun memisahkan peralatan masak antara yang mengandung babi dan yang tidak. Ia juga
selalu mengingatkan anak buahnya yang beragama Islam untuk sholat bahkan menutup
restaurannya selama dua minggu selama lebaran. Salah satu pegawainya, Menuk, yang
diperankan oleh Revalina S. Temat , adalah seorang berjilbab yang saleh. Hanya saja
kebutuhan ekonomi membuatnya bekerja di restauran China. Relasi antara Menuk – Tan Kat
Sun sangat multikulturalis. Masing-masing tokoh sangat toleran dan menganggap perbedaan
agama sebagai sesuatu yang membuat Indonesia menjadi kaya. Seperti halnya hubungan
Surya (Agus Kuncoro) , aktor muslim namun berperan sebagai Yesus dan Rika (Endhita)
seorang ibu yang berpindah agama. Keduanya menjalin hubungan yang didasari rasa
penghormatan terhadap pilihan hidup dan berkeyakinan masing-masing orang. Terlepas dari
banyak kontroversi yang mengiringinya, termasuk tudingan pada Hanung sebagai orang yang
menyebarluaskan paham pluralisme yang menganggap bahwa semua agama itu baik, film ini
menyuarakan dengan berani tentang masalah perbedaan agama dan keyakinan serta
kegelisahan pada beberapa ormas berbasis agama dan masyarakat yang suka menghakimi dan
memiliki keinginan untuk menyeragamkan cara berpikir masyarakat.
Film terakhir, Tanah Air Beta, merepresentasikan multikulturalisme yang mewujud
dalam sebuah komunitas tempat Tatiana (tokoh sentral) di Atambua. Tokoh-tokoh yang
mewarnai kehidupan Tatiana adalah orang-orang yang berasal dari berbagai suku dan
etnisitas. Tetangga dekat Tatiana dan Merry adalah sepasang peranakan China yang
mengelola toko kelontong. Abu Bakar, sosok berdarah Arab juga digambarkan sebagai orang
yang menolong Tatiana dan menjadi salah satu sahabatnya.

Si Bolang merepresentasikan multikulturalisme melalui pergaulan Bolang dengan
anak-anak dari setiap daerah yang dikunjumginya. Dalam narasi televisi, Bolang selalu
digambarkan gampang akrab, lalu sejenak kemudian bermain bersama anak-anak. Seperti
yang tergambar dalam episode ‘Nantu Forest’, si Bolang bermain petak umpet di hutan,
berenang di sungai hingga mendayung kano bersama anak-anak Nantu.
Sedangkan Ethnic Runaway, dengan segala kontroversinya yang dianggap makin
merendahkan suku-suku terpencil, harus dilihat sebagai salah satu cara media hiburan untuk
memperkenalkan nusantara. Dalam episode suku Sambori di Bima, kedua selebritis hidup
dalam satu rumah, makan, mengenakan pakaian adat, bahkan melakukan ritual-ritual adat
suku tersebut. Jikalau multikulturalisme per definisi dipahami sebagai rasa menghormati
beragam adat, etnis, agama dan kebudayaan di nusantara, Ethnic Runaway jelas tidak masuk
dalam kategori itu. Memiliki semangat nasionalisme dalam memperkenalkan suku terpencil,
namun masih timpang dalam membangun konsep multikulturalisme.

Kesimpulan

Nasionalisme lebih sering direpresentasikan melalui setting (tempat), tokoh maupun plot
dan jalan cerita yang intinya tentang kecintaan terhadap bangsa dan negara Indonesia. Namun
belum terlihat upaya untuk menggambarkan ‘civic-state nastionalism’ karena sebagian besar
masih berwujud pada cultural nationalism dimana selalu ada ‘musuh bersama’ yang dilawan.
Disisi lain, patriotisme yang direpresentasikan oleh semua objek penelitian adalah patriotisme
negatif, yaitu mewujudkan upaya untuk menanggulangi musuh bersama seperti diskriminasi,
prasangka dan intoleransi. Hanya film Garuda Di Dadaku yang merepresentasikan adanya
patriotisme progresif, yaitu sebuah daya upaya untuk membangun dan berjuang untuk
kemaslahatan bangsa. Patriotisme progresif ditandai dengan adanya upaya untuk menawarkan
solusi, mengupayakan kemajuan dan fokus pada usaha keluar untuk membawa bangsa
menuju era globalisasi.
Sedangkan multikulturalisme direpresentasikan di semua objek penelitian (kecuali Ethnic
Runaway), yaitu ditandai dengan adanya toleransi dan penerimaan antara tokoh-tokoh baik

yang berbeda agama, suku, etnis, maupun keyakinan. Namun jika mengacu pada
multikulturalisme model pluralis dan kosmopolis, semua objek penelitian masih berkutat
pada model pluralis. Model kosmopolis, yang ditandai dengan adanya ‘melting pot’ yaitu
berbaurnya dan ketiadaan sekat antara masing-masing golongan dan terwujud dalam
komitmen politik bersama belum nampak sama sekali.

Ucapan terima kasih kepada sponsor penelitian ini
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Republik
Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku
Burton, Graeme. Membincangkan Televisi : Sebuah Pengantar Pada Studi Televisi. Jalasutra.
Jakarta. 2007
Cheng, Khoo Gaik and Thomas L. Barker. Mau Dibawa Kemana Sinema Kita ? Beberapa
Wacana Seputar Film Indonesia. Penerbit Salemba Humanika. Jakarta. 2011.
Gianetti, Louis. Understanding Movies. Sage Publishing. California – USA. 2008.
Heider, Karl G. National Culture on Screen. Hawaiian Press. Honolulu. 1991.
Latif, Yudi. Negara paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 2011.
Pratista, Himawan. Memahami Film.Homerian Pustaka. Yogyakarta. 2008.
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Indonesian Media Guide 2010.
Dutakreasi Indonusa. Jakarta. 2010.
Prammagiamore, Mary. Film : A Critical Introduction. Blackwood Publishing. London.
2009.
Sen, Krishna. Kuasa Dalam Sinema : Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. Penerbit
Ombak. Yogyakarta. 2009.
Stokes, Jane. How To Do Media and Cultural Studies. Sage Publications. London. 2003.
Thwaites, Tony, Llyod Davis, Warwick Mules.

Tools for Cultural Studies. McMillan

Publisher. Australia 1994.
Turner, Graem. Film as Social Practice. New York. Routledge. 1999.
Williams, Raymond. Televisi. Resist Book. Yogyakarta. 2009.

Jurnal
Rahmawati, Aulia. Persepsi Mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur Tarhadap Konsep-konsep
Nasionalisme. Jurnal FISIP UPN Jatim. 2009.
Budi, Santoso Arif. Penelitian Mandiri KPID : Media dan Partisipasi Publik. Jurnal Intern
KPI. 2007.

Website (melalui www.questia.com) :
Hjort, Mette and Scott MacKenzie. Cinema and Nation. Routledge. New York. 2010
Vidal, Belen. Heritage Film : Nation, Genre and Representation . Columbia University Press.
USA. 2011.
Vitali, Valentina and Paul Willemen. Theorising National Cinema . Oxford Books. Oxford.
United Kingdom. 2009.