Mewujudkan Polisi yang Bener dan Pener

Harian Suara Merdeka - Wacana
30 Juni 2012

Mewujudkan "Bener" dan "Pener"
Oleh A Wahyurudhanto

”@redinparis @lisrasukur Nama kaptennya Hanafi bersama provost yang b****** kasar &
bentak2 gue. Akan gue proses kok.”

KUTIPAN itu adalah dialog pada akun twitter @LitaStephanie. Lita, pemilik akun dalam
twit-nya menuturkan pengalamannya tatkala dihentikan polisi dan diperiksa karena ada razia
narkoba. Lita mengaku mengalami intimidasi dan dipaksa mengaku tablet di kotak P3K
mobilnya adalah narkoba miliknya. Kabar itu menjadi info buruk bagi Polri menjelang HUT
Ke-66 pada 1 Juli besok.
Berita lain yang juga menjadi konsumsi media adalah vonis bebas PN Jakarta Pusat atas
Hasan Basri karena tak terbukti mencuri. Tukang ojek itu ditahan sekitar 8 bulan selama
proses hukum dan dipaksa mengakui tuduhan polisi. Pengacara Hasan kemudian menyomasi
kepolisian atas rekayasa kasus penangkapan itu.
Dua kejadian tersebut merupakan sebagian dari berbagai persoalan yang mengkritisi kinerja
Polri. Tugas Polri memang berat, apalagi ditambah tingginya ekspetasi masyarakat,
menjadikan keberhasilannya selalu diukur dari bagaimana masyarakat menempatkan harapan

akan kinerja polisi.
Karena keinginan berlebihan demi memenuhi harapan masyarakat itu, seringkali Polri
mengada-adakan target agar dinilai berhasil. Protes Lita lewat akun twitter-nya dan kasus
salah tangkap Hasan menunjukkan polisi kerepotan memenuhi harapan masyarakat, dan
kemudian berupaya ”mengelabui” lewat target-target.

Aparat Istimewa
Satjipto Rahardjo punya rumus unik panduan polisi ketika bertugas. Menurutnya,
keberhasilan tugas polisi ditentukan oleh rumus O2 + H, yaitu otot, otak, dan hati nurani.
Menurut guru besar Undip itu, dalam bertugas polisi menghadapi berbagai risiko bahaya
besar, yang secara sosiologis mewarnai pekerjaannya, bahkan kepribadian kerjanya.
Karena itu, wajar polisi disebut aparat hukum istimewa mengingat posisinya sedemikian
dekat dengan masyarakat. Interaksi yang intensif itu menjadikan pekerjaan polisi lebih khas
ketimbang penegak hukum lain, semisal hakim dan jaksa. Namun kedekatan itu bisa menjadi
bumerang bila tidak diimbangi hati nurani karena hanya menghasilkan tindakan kolutif.
Inilah yang membuat hingga kini upaya membangun kepercayaan publik tidak maksimal.
Kapolri Jenderal Timur Pradopo dalam berbagai kesempatan mengingatkan jajarannya untuk

mengubah mindset dan culture set. Dalam arah kebijakan, Kapolri pun menempatkan
membangun mindset dan culture set yang berpihak kepada publik, sebagai salah satu program

prioritas.
Tentu tujuannya agar mengakselerasi terbangunnya kepercayaan publik. Di sisi lain
kendalanya adalah tidak maksimalnya respons masyarakat. Maka solusinya adalah
menjadikan ekspetasi masyarakat yang tinggi itu bukan sebagai beban melainkan pemicu
untuk mau bekerja secara bener dan pener, kosakata dari Bahasa Jawa yang punya nilai
filosofi tinggi.
Bener berarti harus profesional, dan pener berarti harus arif, bijak. Harus kita akui banyak
kritik atas soliditas Polri yang oleh kacamata luar dinilai mulai rapuh karena tak bisa
menyinergikan antara bener dan pener. Pasalnya, pener berarti harus memahami budaya
Indonesia yang punya etika, sopan santun, baik dalam bertutur kata, bertindak, maupun
berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal Polri. Salah melangkah pasti berakibat
fatal.
Tahun ini genap 10 tahun reformasi Polri setelah pemberlakuan UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara RI. Masih banyak pekerjaan rumah Polri, di antaranya terusmenerus menjaga mutu institusi sekaligus personelnya, dengan menyinergikan tindakan bener
dan pener. Dirgahayu Polri. Selamat Hari Bhayangkara. (*)

— A Wahyurudhanto, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-PTIK Jakarta, kandidat
doktor Ilmu Sosial FISIP Unpad Bandung